Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USIA Komisi Yudisial belum genap setahun. Tapi tujuh anggota komisi yang diberi mandat menjaga martabat para hakim itu sudah mengajukan usul perubahan UndangUndang tentang Komisi Yudisial (UU No. 22/2004). Usul itu mereka wujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perpu) yang drafnya pekan lalu sudah mereka serahkan kepada Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.
Ada tujuh pasal dari 41 pasal dalam UU Komisi Yudisial yang mereka ubah. Antara lain, jika dulu sanksi terhadap hakim diusulkan komisi ke Mahkamah Agung, kini usul itu mereka ajukan ke presiden. Selain itu, sebuah pasal sisipan, Pasal 39A, yang memuat ketentuan seleksi ulang hakim agung. Menurut pasal itu, setiap hakim agung yang diperpanjang masa kerjanya oleh Ketua Mahkamah Agung dan belum mencapai usia 67 tahun harus mengikuti seleksi hakim agung.
Inilah Perpu yang gencar disebutsebut sebagai "pintu masuk" Komisi Yudisial untuk mengocok ulang para hakim agung. Gagasan Komisi Yudisial untuk menyeleksi ulang hakim agung itu sendiri sudah memicu perseteruan antara lembaga itu dengan Mahkamah Agung.
Apa inti dari isi Perpu itu? Rabu pekan lalu, wartawan Tempo Maria Hasugian mewawancarai Ketua Tim Penyusun Perpu yang juga anggota Komisi Yudisial, Chatamarrasjid, di kantornya.
Bagaimana pembahasan perpu itu dilakukan?
Tiap pasal kami bahas. Pakai infocus pasal per pasal dishoot, lalu didiskusikan. Ada yang ditambah atau dibuang. Anggota tidak seorang pun memegang draf perpu untuk menghindari bocor keluar. Sekretaris saya pun tidak memegang kopian draf. Sehari sebelum draf diserahkan kepada Menteri Hukum Hamid Awaluddin, baru semua anggota memiliki draf itu.
Pasal mana yang paling memancing perdebatan anggota komisi?
Tidak ada perdebatan yang seru. Cuma, memang ada yang ingin memasukkan seleksi 49 hakim agung. Tapi pada akhirnya sepakat hal itu tidak perlu karena tidak efektif dan juga resistensinya tinggi. Itu saja. Makanya perpu cepat sekali jadi. Mungkin ada perubahanperubahan kecil, tapi cepat sekali. Katakanlah tiga minggu.
Beberapa hal dalam perpu ini juga ditemui pada UndangUndang tentang MA, misalnya soal perpanjangan pensiun. Kalau demikian, aturan mana yang diikuti?
Tentu saja berlaku asas: undangundang kemudian yang berlaku. Umpamanya, jika perpu berlaku, pasalpasal perubahan ini yang berlaku.
Mengapa perpu itu tidak mengatur soal definisi prestasi luar biasa sebagai syarat perpanjangan usia pensiun hakim agung?
Harus dikembalikan jangan sampai diri sendiri menilai diri sendiri karena itu pasti subyektif. Perpu ini mencoba mendapatkan obyektivitas terhadap penilaian. Juga, kalau semua dicantumkan di perpu akan sangat panjang. Komisi Yudisial akan membuat aturan terpisah tentang apa saja ukuran prestasi luar biasa itu, misalnya track record mereka, lalu mencermati putusanputusan mereka, apakah putusan itu bisa diingat hingga beratus tahun lamanya, nggak usah selama itulah, 10 tahun saja. Masihkah masyarakat mengingat putusan itu? Putusanputusan itu juga harus menciptakan yurisprudensi. Ya, seperti putusan Nabi Sulaiman tentang dua ibu rebutan seorang bayi itu. Kami juga akan menanyakan perilaku para hakim kepada tetangga para hakim itu.
Para hakim keberatan terhadap Komisi Yudisial yang memeriksa putusan mereka sebab, saat putusan itu dijatuhkan, anggota komisi belum dilantik. Apa tanggapan Anda?
Kalau kami bicara kehormatan, keluhuran, perilaku hakim, itu kan sesuatu yang sudah lampau. Bukan sesuatu yang akan datang. Jadi, kalau guru bilang anak itu baik, maka guru itu mendasarkan penilaiannya pada halhal yang akan datang atau yang sudah lewat? Tentu yang sudah lewat.
Sebenarnya, apa tujuan Komisi dengan cepatcepat mengubah pasalpasal itu?
Perpu ini terutama untuk meningkatkan kinerja Komisi, mengurangi kendalakendala. Kalau semua kekuasaan tetap di dia, bagaimana check and balance? Jadi, ya mengurangi area abuabu.
Menurut Anda, apa sebenarnya akar konflik Komisi Yudisial dengan MA?
Permasalahan ini muncul lebih karena cara berkomunikasi. Bagaimana caranya supaya komunikasi lebih baik dengan MA. Tidak ada yang disalahkan di sini.
Apa yang salah dalam masalah komunikasi itu?
Ada hal-hal yang prinsip dan ada halhal yang tidak prinsip. Kami tidak saling memahami. Contohnya, tata cara pemanggilan hakim agung. Apakah itu persoalan prinsip? Menurut saya, pemanggilan itu tidak diatur dalam undangundang, jadi tidak prinsip. Bisa saja untuk mengatasinya, lokasi pemeriksaan dicarikan tempat yang netral.
Yang prinsip, apakah Komisi Yudisial bisa periksa putusan? Menurut kami, bisa. Itu wewenang Komisi Yudisial. Yang penting tidak mengubah putusan. Lha, masyarakat saja boleh membicarakan putusan, apalagi kami. Lagi pula, kehormatan seorang hakim itu dilihat dari putusan. Ini prinsip yang kalau didialogkan tidak akan berhasil. Percuma. Yang mungkin bisa dicapai adalah kalau ada konsensus bahwa Komisi Yudisial tidak mengubah putusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo