Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

MENANTI KOMISI YUDISIAL DAN MA BERDAMAI

Konflik Mahkamah AgungKomisi Yudisial terjadi karena masingmasing pihak ingin berada pada posisi yang nyaman. Sebuah tim mediator dibentuk untuk menyelesaikan kasus ini.

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKUMEN itu tebalnya cuma 15 halaman. Namanya draf Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tentang Perubahan UndangUndang Komisi Yudisial. Selasa pekan lalu, draf ini sudah diserahkan oleh Komisi Yudisial ke Menteri Hukum Hamid Awaludin. Isinya perbaikan sejumlah pasal yang tertera dalam UU Komisi Yudisial. Salah satunya memberi kewenangan komisi ini melakukan seleksi ulang terhadap hakim agung yang memasuki usia pensiun tapi akan diperpanjang masa kerjanya.

Hadirnya draf perpu, tak pelak, semakin meregangkan konflik yang tengah berlangsung antara hakim agung dan anggota Komisi Yudisial yang dua bulan terakhir ini terus memanas. Ributribut itu sendiri bermula pada 19 Desember 2005. Saat itu Bagir Manan menolak datang ke kantor Komisi Yudisial untuk diperiksa dalam kasus suap Probosutedjo. Komisi memanggil Bagir dalam kapasitasnya sebagai hakim agung yang memeriksa kasus Probosutedjo.

Pertikaian ini lalu berlanjut dengan munculnya keinginan Komisi Yudisial untuk menyeleksi ulang 49 hakim agung. Ide itu dilontarkan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas setelah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kantor presiden, 4 Januari 2006. Para hakim agung meradang dan menyatakan Komisi Yudisial tak memiliki wewenang menyeleksi ulang mereka.

Puncak ketegangan dua lembaga ini pun terjadi ketika media massa melansir daftar 13 nama hakim agung yang dinilai bermasalah yang bersumber dari Komisi Yudisial. Para hakim agung marah karena, tanpa didahului pemeriksaan, nama mereka terpampang di media massa. Apalagi, dasar pemeriksaan itu, kata juru bicara MA Joko Sarwoko, hasil pemeriksaan atas putusan perkara yang mereka buat dulu. ”Lihat keputusannya boleh, tapi memeriksa nggak boleh, karena itu wewenang MA,” ujarnya.

Para hakim agung rupanya tak mainmain ”mengayunkan kapak perang” terhadap Komisi Yudisial. Hakim Agung Artidjo Alkostar, salah satu hakim yang namanya masuk dalam daftar itu, melaporkan Komisi Yudisial ke polisi. Hakim Agung Arbijoto bahkan mendatangi kantor Komisi Yudisial dan menantang agar dirinya diperiksa.

Hakim Agung Harifin A. Tumpa dan beberapa hakim agung lainnya, yang namanya masuk daftar hakim bermasalah itu, juga tak tinggal diam. Mereka telah mempersiapkan pengaduannya ke polisi didampingi tim pembelanya. Bahkan sekitar delapan dari 13 hakim itu mengadakan pertemuan khusus dengan tim pengacara mereka di Hotel Sunlake, Sunter, untuk menggodok tuntutan dan pembelaan yang mereka buat.

Tak sekadar menuntut Komisi Yudisial, dalam pertemuan itu juga disebutsebut dibahas ide untuk mencari jalan membubarkan Komisi Yudisial. Tapi, adanya pembahasan rencana pembubaran komisi itu dibantah Joko Sarwoko. ”Kok hakim agung begitu bodoh, mau membubarkan lembaga yang didasarkan UndangUndang Dasar,” katanya.

Belakangan, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas meluruskan berita 13 hakim agung yang disebut bermasalah itu. Menurut Busyro, mereka tidak dalam status bermasalah. ”Masih dalam proses penelaahan oleh Komisi Yudisial,” katanya setelah bertemu Hakim Agung Artidjo Alkostar yang difasilitasi pengacara Todung Mulya Lubis, Rabu pekan lalu.

Apakah sikap Komisi Yudisial kini jadi melunak? Anggota Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto mengatakan, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung kini tengah mendinginkan suasana. Beberapa fasilitator, kata Soekotjo, sedang berupaya menjembatani kedua belah pihak untuk berdialog. ”Kami lagi menyusun daftar inventaris masalah,” ujar anggota komisi ini.

Menurut Joko Sarwoko, akar masalah dari semua ini adalah sengketa kewenangan. ”Selama akar masalah tidak dicabut, konflik tidak akan berakhir,” ujarnya. Pendapat senada dikeluarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie. Untuk menyelesaikan kasus ini, ia menyarankan sengketa itu diselesaikan lewat jalur formal, yaitu uji materiil UndangUndang Komisi Yudisial atau lewat putusan presiden.

Tapi, untuk ini pun bukan berarti tak ada kendalanya. Menurut undangundang, kata Jimly, Mahkamah Agung tidak bisa sebagai pihak beperkara di Mahkamah Konstitusi. ”Ini juga kekeliruan dalam membuat aturan. Jadinya repot,” ujarnya. Padahal, di mata Komisi Yudisial, kata Jimly, Mahkamah Agung termasuk obyek pengawasan lembaga itu. ”Sehingga ujungujungnya MA dan Komisi Yudisial enggan mengajukan masalah ini ke Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Yang pasti, draf perpu itu membuat kalangan hakim agung merasa disudutkan. Apalagi, salah satu dasar dibuatnya perpu itu disebutkan karena tidak efektifnya peran Mahkamah Agung dalam memberantas korupsi. Harifin memprotes alasan itu. ”Coba tunjukkan ketidakefektifan di mana. Jangan hanya ngomong. buktikan,” kata Harifin A Tumpa, hakim agung yang juga menjabat Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung. Suara protes juga datang dari Joko Sarwoko. Menurut dia, alasan perpu itu dibuat tak lebih untuk menyerobot wewenang yang selama ini dimiliki Mahkamah Agung.

Harifin dan Joko membuka data. Menurut mereka, selama 2005 Mahkamah Agung telah memutus 118 perkara korupsi. Dari jumlah itu, hanya lima perkara yang diputus bebas. Selebihnya dihukum bersalah. Karena itu, ia menolak jika disebut Mahkamah Agung tidak berperan aktif memberantas korupsi.

Tapi, kedua hakim agung tidak bisa menampik adanya ratusan pengaduan masyarakat yang mengeluhkan tentang kinerja hakim dan hakim agung. Komisi Yudisial sendiri telah menerima 500 pengaduan seputar kinerja para hakim. Di luar itu ada pula sekitar 50 pengaduan yang masuk lewat kotak pos presiden.

Kendati mendapat perlawanan dari para hakim agung, sejumlah pakar hukum menyatakan dukungan terhadap langkahlangkah yang dilakukan Komisi Yudisial. Ketua Komisi Hukum Nasional J.E. Sahetapy, misalnya, menyebut sikap reaksioner para hakim agung terhadap laporanlaporan masyarakat yang masuk ke Komisi Yudisial sebagai tindakan tidak dewasa.

Direktur Indonesian Monitoring Court Denny Indrayana menilai, sejauh ini ia tidak melihat Komisi Yudisial melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya. Karena itulah, dosen hukum UGM ini menyesalkan langkah sejumlah hakim agung yang melaporkan anggota Komisi Yudisial ke polisi. ”Anggota Komisi Yudisial harus diberi hak imunitas, tidak boleh dipidanakan atau diperdatakan atas tugas yang ia lakukan,” ujarnya. Menurut Denny, konflik kedua lembaga ini terjadi karena masingmasing pihak ingin berada pada posisi yang nyaman.

Jika kedua belah pihak mau duduk tenang pada satu meja, bisa jadi urusan ini memang selesai. Mediator untuk mendinginkan dua lembaga yang seharusnya seiringsejalan ini sudah dibentuk. Mereka, antara lain, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pengacara senior Adnan Buyung Nasution, dan Penanggung Jawab Program Pembaruan Mahkamah Agung Mas Achmad Santosa. ”Kami menunggu hasil kerja mediator itu,” kata Joko.

Maria Hasugian/Abdul Manan/Lis Yuliawati/Maria Ulfa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus