Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus doxing yang menimpa peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya, akhirnya resmi dibawa ke ranah hukum. Bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), ICW telah melaporkan kasus pengungkapan data pribadi kepada publik ini ke Badan Reserse Kriminal Polri, Senin pagi, 13 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Laporan kami sudah diterima oleh SPKT Bareskrim Polri dan selanjutnya akan dilakukan proses penyelidikan oleh penyidik,” kata Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW, Tibiko Zabar di Mabes Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ICW mendesak penegak hukum menyelidiki pemilik akun yang melakukan doxing dan intimidasi tersebut. Kendati demikian, ICW hanya melaporkan peristiwa ini ke Bareskrim, bukan akun media sosial yang menyebarnya. Sebab menurut mereka sudah menjadi tugas dari kepolisian untuk menyelesaikan perkara ini karena sudah ada insiden peristiwanya.
Duduk perkara kasus doxing yang menimpa peneliti ICW
Doxing yang menimpa peneliti isu hukum dan kriminal dari ICW itu bermula ketika lembaga swadaya masyarakat antikorupsi itu menyampaikan kritik ihwal masuknya Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi dalam nominasi tokoh terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Dilansir dari akun Instagram resmi ICW, @sahabaticw, kritikan itu disampaikan pada Rabu, 1 Januari 2025. Saat itu peneliti ICW menjelaskan tentang nama Jokowi dalam daftar finalis atau nominasi tokoh dunia terkorup 2024 versi OCCRP, tayang di YouTube dan Instagram Kompas TV. Pernyataan yang sama juga ditayangkan Narasi Newsroom di Instagram keesokan harinya.
Kemudian pada Jumat, 3 Januari 2025 pukul 10.30 WIB, peneliti ICW Diky Anandya mendapat telepon WhatsApp dari nomor tak dikenal. Setelah itu muncul banyak telepon dari nomor lain dan pesan berantai bahwa data pribadi para peneliti yang sudah disebarkan oleh akun anonim di Instagram.
Selain penyebaran nomor telepon, Diky Ananda juga menjadi korban penyebaran data pribadi ke publik. Mulai dari nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), alamat tinggal, spesifikasi telepon yang dipakai, hingga titik koordinat lokasi terakhir dalam bentuk tautan Google Maps. Disebutkan, ia juga mendapat ancaman penghilangan nyawa.
ICW kemudian berencana melaporkan dugaan doxing terhadap salah satu penelitinya itu ke aparat penegak hukum. Hal itu diungkapkan Koordinator ICW Agus Sunaryanto. “Karena data-data pribadi (peneliti ICW) sudah dipublikasi,” katanya saat dihubungi, Jumat, 3 Januari 2025.
Terkini, Bareskrim Polri telah menerima laporan ICW dan TAUD tersebut pada Senin siang, 13 Januari 2025. Berdasarkan surat yang diperlihatkan oleh ICW dan TAUD, kasus ini sudah diterima oleh Bareskrim Polri melalui Laporan Polisi Nomor: LP/B/17/I/2025/BARESKRIM.
Selaku Tim Hukum dari TAUD, Andri Yunus, mengatakan pihaknya melaporkan peristiwa kasus doxing ini dengan Pasal 67 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Sebab doxing itu membuat data pribadi Diky Anandya tersebar hingga berujung pada ancaman pembunuhan.
“Laporan kami terima setelah prosesnya hampir 4 jam. Awalnya kami mengusulkan ada 2 Undang-Undang yang dikenakan terhadap peristiwa ini. Tapi setelah berdiskusi, maka diputuskan hanya memakai satu saja,” ujar Andri didampingi Tibiko.
ICW dan TAUD membawa barang bukti berupa tangkapan layar terhadap konten yang mengunggah data pribadi Diky Anandya di media sosial Instagram. Tangkapan layar ini menjadi dasar penyidik untuk mendalami kasus doxing tersebut.
“Masuknya nama Presiden Jokowi dalam OCCRP itu, direspons oleh peneliti ICW lewat siaran pers. Kemudian langsung bersambut dengan upaya doxing seperti itu,” kata Tibiko saat ditemui di lobi Bareskrim Polri, Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.
Tibiko menilai tindakan doxing yang menyebarluaskan data pribadi seseorang itu sebagai pelanggaran hukum. Selain itu, kata dia, tindakan ini terkesan sebagai sikap antikritik terhadap pernyataan peneliti ICW yang menyinggung nama Jokowi sebagai nominasi terkorup versi OCCRP.
“Kami menilai doxing ini bagian dari upaya mengaburkan pesan atau kritik yang hendak disampaikan oleh ICW atau masyarakat sipil lainnya,” ujar Tibiko.
Semestinya, menurut dia, kritikan terhadap masuknya Jokowi dalam nominasi OCCRP itu dijadikan sebagai alarm pembenahan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Terlebih lagi, dia menilai semasa kepemimpinannya dua periode, telah terjadi kemunduran terhadap pemberantasan korupsi dan demokrasi.
“Adanya doxing terhadap pihak yang mengkritik Jokowi justru patut dilihat sebagai penguat bahwa Jokowi layak masuk nominasi OCCRP,” ucap Agus.
Alif Ilham Fajriadi dan Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.