MURHAYANIS tak peduli. Padahal, seorang anaknya sedang menangis di sudut rumah. Syamsul, 39 tahun, meminta istrinya itu melepas anak di gendongannya. Mur masih tak acuh. Setelah Syamsul marah, barulah ia melepaskannya ke lantai. Tapi belum sempat Mur meraih anaknya yang menangis itu, Syamsul bangkit. Ia kuat-kuat memegang istrinya. Lalu, Syamsul menyuruh Yusra mengambil anak yang digendong Mur tadi. Yusra, 30 tahun, segera memeluk anak itu. Dia memperhatikan lubang alis di atas kuping kiri dan alis mata si anak. "Ini anakku. Pasti," kata Yusra, setengah menjerit. Murhayanis, 25 tahun, meronta dari tangan suaminya. Ia ingin merebut kembali anak yang dipegang tamunya itu. Syamsul semakin kuat memegang istrinya. Ia berteriak kepada Yusra, "Bawa saja. Cepat." Yusra melarikan anak itu ke rumahnya, 2 km dari rumah Mur. Di rumah Yusra, para famili dan tetangga, pada Minggu 1 November lalu, bertangisan. Anak yang sudah tak mampu berjalan itu dibaringkan di tempat tidur. Sersan Dua Syafruddin Buzar 31 tahun, yang sedang dinas di Polresta Pakanbaru, dipanggil. Begitu menengok Syafruddin, anak itu berteriak, "Ayah, suapkan lontong ini untukku." Benar. Anak itu memang Sasri Febrina. Sekarang usianya 3,8 tahun. Dan lontong? Makanan itu memang kesukaan Sasri. Air mata Syafruddin tumpah. Sejak Sasri hilang, 1 November tahun lalu, dia melapor ke Polda Riau agar polisi ikut mencari anaknya itu. Tapi tak seorang saksi pun melihat dan mengetahuinya. Entah putus asa, Syafruddin lalu minta bantuan 362 dukun -- dan jutaan rupiah dari sakunya sudah meluncur. Sasri hilang ketika dia mengantar Yusra ke Pakanbaru, setelah diterima jadi guru di sebuah SMA di Rumbai, Riau. Di Pakanbaru, Yusra dan kedua anaknya, Retno Radisah, 5 tahun, dan Sasri menumpang di rumah ibunya. Sehari di situ, Sasri, yang sedang bermain di halaman, eh, dilarikan orang tak dikenal. Retno, kakak Sasri, sempat mengadu pada ibunya. Syafruddin, yang sedang menulis surat di ruang tamu, bukan main kagetnya. Bersama tetangga mertuanya, ia mencari Sasri -- yang kemudian memang hilang bagai ditelan bumi. Syafruddin meninggalkan Pakanbaru tanpa tahu di mana Sasri. Dia harus bertugas di Polres Aceh Selatan. Pada Yusra dipesannya agar terus mencari anak mereka itu. Dan Agustus lalu, Syafruddin dipindahkan ke Polresta Pakanbaru. Dia kembali mencari, siang malam, sampai ke kampung-kampung hingga di balik hutan. Suatu hari temannya Alel, 33 tahun, bercerita bahwa ada wanita mendapat seorang anak, setahun lalu. Info itu diterima Alel dari ibunya, yang mendengar dari famili dekat Mur. Karena alamat Mur sudah gampang diketahui, hari itu untuk kedua kalinya Yusra bertamu ke rumah Mur di Jalan Kenanga, Gang Bima Raya 4, Pakanbaru. Ibu dua anak yang hamil sembilan bulan ini menyaksikan Mur menggendong anaknya yang sudah kurus itu. Sasri kini dirawat di RS Ibnu Sina, Pakanbaru. Ketika ia ditemukan, beratnya 7 kg, tulang rusuknya menonjol, dan ada luka lebar di kakinya -- akibat disiram air panas oleh Mur. Ada juga bekas luka ikatan tali. Rupanya, selama setahun disekap, Sasri sering diperlakukan tak wajar. Beberapa tetangga Mur mengatakan kepada TEMPO, selama 6 bulan menyewa rumah petak di kampung itu, mereka tak pernah melihat Sasri bermain-main. Sekali-sekali mereka menyaksikan Sasri digebuk, ditampar, dan ditendang, ketika Mur memandikan anak itu di belakang rumah. Hampir setiap malam Sasri menangis. Dua jam setelah putrinya ditemukan ibunya, Syafruddin mengadu ke Polresta Pakanbaru. Hari itu juga Murhayanis dan Syamsul ditangkap. Mereka dimasukkan di sel yang berhadap-hadapan. Selama 6 hari ditahan, Mur sering berteriak-teriak sambil menarik rambutnya. Juga, Mur tak mau makan dan bungkam jika diperiksa. "Tampaknya, perempuan itu punya kelainan," kata Letkol Drs. Mulyono S., Kapolresta Pakanbaru, kepada TEMPO. Polisi lalu mengirim Mur, yang baru sebulan melahirkan itu, ke Rumah Sakit Jiwa Pakanbaru. Kembali ia mogok makan. Kondisinya melemah. Darah dari selangkangan wanita kurus itu mengucur ketika kesehatannya diperiksa. "Dia kurang gizi," kata Dokter Saleh Hasyim, direktur rumah sakit itu. Pada 8 November subuh, Murhayanis meninggal. "Dia mengalami depresi mental, lalu cenderung bunuh diri, karena merasa hidupnya tak berguna," kata dokter itu. Di RSJ tersebut, Mur sempat diinfus dan diberi oksigen untuk menaikkan tekanan darahnya. Polisi tak berhasil mengungkap motif penculikan Sasri. Hanya Mur yang tahu. Kata Syamsul, istrinya itu menunjukkan kelainan sejak seorang putrinya yang sangat disayangi meninggal. "Entah karena semua anak kami laki-laki," ujar Syamsul. Bahkan dia tak percaya, Sasri itu anak famili mereka di kampung, Sum-Bar. "Sukar mengorek keterangannya. Kalau saya tanya tentang Sasri, Mur marah. Saya bingung," kata Syamsul. Sasri sering jadi sumber pertengkaran di antara mereka. Ia tak tega melihat cara istrinya merawat Sasri. "Lagi pula, saya tak mampu memberi nafkah anak itu," kata Syamsul. Sehari-hari ia berjualan sate, dan memperoleh hasil Rp 2 ribu/hari. Syamsul sedih mendengar nasib bininya. "Biar dia setengah gila, saya tetap mencintainya," kata Syamsul. Ia menyangkal ikut menculik. Sedang Syafruddin, akhir pekan lalu membayar nadarnya: menjamu makan sejumlah anak yatim dan menyumbang untuk masjid. Monaris Simangunsong & Affan Bey
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini