TELEVISI model baru akan diperkenalkan di Indonesia. Namanya, menurut Menteri Penerangan Harmoko, Televisi Saluran Siaran Terbatas (SST), dan akan dikelola swasta. Selain bakal ada siaran iklan, yang baru dari siaran televisi ini konon tak bisa ditangkap oleh sembarang orang. Pemilik televisi selain harus mengeluarkan uang langganan, juga harus melempar biaya untuk tambahan alat agar siaran "terbatas" itu bisa ditangkap. Model televisi semacam itu biasanya disebut televisi kabel. Bila SST beroperasi nanti, Indonesia akan sekaligus melakukan dua langkah dalam dunia pertelevisian. Yakni masuknya era televisi swasta dan era televisi kabel. Belum banyak negeri di Asia yang menggunakan model ini. Di Asia Tenggara mungkin yang pertama. Televisi kabel sudah lahir di Amerika Serikat sejak 30 tahun yang lalu. Mulanya dikenal dengan nama CATV -- Community Antenna Television (antena TV masyarakat). Ini sebenarnya hanyalah upaya masyarakat di daerah yang tak dapat menerima siaran TV biasa, karena letak geografinya tak memungkinkan (biasa dikenal sebagai white area atau daerah putih). Misalnya di daerah pegunungan yang jauh dari stasiun TV. Maklum, pancaran siaran TV bergerak bagai garis lurus, walhasil bila terhalang, misalnya oleh gunung daerah itu tak dapat dijangkau gelombang TV. Kemudian muncullah para wiraswastawan yang melihat peluang bisnis di white area ini. Mereka lantas menanam modal dengan mendirikan antena di puncak gunung, lalu menyalurkan siaran dari stasiun TV yang ada ke rumah-rumah melalui kabel coaxial yang berbentuk seperti pipa ini. Itulah sebabnya disebut TV kabel. Setiap rumah biasanya dipungut uang pangkal oleh pemilik stasiun kabel itu -- bukan oleh stasiun TV -- sekitar 15 atau 20 dolar, dan iuran bulanan ketika itu sekitar 6 dolar AS. Kehadiran para wiraswastawan CATV ini pada mulanya disambut hangat oleh para pemilik stasiun TV karena mereka berhasil memperbanyak jumlah pemirsa siaran mereka. Ini artinya stasiun mereka akan lebih digemari para pemasang iklan, dan karena itu bisa menaikkan tarif atau memperbanyak jumlah pemasang iklan. Jangan lupa, white area tak hanya terjadi di daerah pedesaan terpencil, melainkan juga di jantung kota metropolitan yang banyak gedung bertingkatnya seperti New York. Namun, kegembiraan para pemilik stasiun TV itu ternyata tak berlangsung lama. Kemajuan teknologi menyebabkan lebih dari satu siaran TV dapat disalurkan melalui kabel yang sama. Sehingga, pemilik stasiun kabel dengan mudahnya memilih program siaran yang disukai para langganannya dari sejumlah stasiun TV. Bahkan dengan memanfaatkan perekam video, pemilik stasiun kabel dapat memutar ulang siaran TV populer yang biasanya disiarkan stasiun pemiliknya dalam waktu bersamaan. Lebih dari itu, pemilik stasiun kabel dapat pula membuat program sendiri yang umumnya bersifat lokal, misalnya pertandingan olah raga d daerah itu. Walhasil, para pemilik stasiun TV biasa mulai melihat CATV sebagai saingan. CATV ternyata bukan saingan enteng. Terbukti pada tahun 1970, di AS biru terdapat 2.490 CATV yang mempunyai 4,5 juta pemirsa. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya menjadi 4.150 CATV dengan 15,5 juta pemirsa. Kini siaran CATV sudah jauh lebih canggih daripada 30 tahun lalu. Menurut peraturan di AS, sedikitnya setiap CATV harus memiliki 20 saluran siaran. Sepuluh saluran di antaranya disebut siaran basic, dan sisanya disebut premium. Yang disebut siaran basic adalah siaran yang tak perlu membayar lagi jika berlangganan TV kabel. Biasanya, siaran ini masih diselingi siaran niaga. Termasuk yang populer adalah siaran MTV (yang berisi musik dan wawancara tokoh musik populer) dan CNN (yang isinya berita terus selama 2 jam). Sedangkan siaran premium biasanya tanpa siaran niaga, dan memutar film-film dan acara hiburan terbaru. Misalya saja HBO, yang dimiliki oleh Time Life Inc. Untuk bisa menikmati siaran premium dipungut bayaran tambahan sekitar 10 dolar AS di luar biaya langganan kabel yang sekitar 8-15 dolar AS itu. Untuk memastikan hanya pelanggan yang bisa menerima TV kabel, sinyal-sinyal di dalam kabel sengaja dikacaukan (di-scramble) dan hanya dapat ditangkap TV bila pelanggan menghubungkannya melalui kotak elektronik khusus descramble/decoder. Pemanfaatan satelit untuk menyiarkan siaran TV pertama kali dilakukan oleh HBO (Home Box Office), 1975, hingga berhasil menggaet tiga juta langganan atau 20% dari total TV kabel. Sistem HBO ini sebenarnya mirip dengan yang digunakan TVRI dengan SKSD Palapanya. Bahkan satelitnya pun serupa, yaitu kembarnya Palapa yang dimiliki oleh Westar. Siaran dari stasiun utama HBO dipancarkan ke satelit dan oleh satelit diperkuat serta dipancar balik ke bumi. Setiap pemilik stasiun CATV menerima sinyal itu melalui stasiun bumi mereka lantas mengkonversikannya menjadi frekuensi TV kabel, menscrambel-nya dan mengalirkannya ke langganan (lihat gambar 1). Munculnya antena parabola murah ternyata membuat persoalan baru. Pasalnya, para pemilik antena ini dapat menangkap langsung siaran dari satelit tanpa harus membayar pada pemilik CATV. Mulanya, orang membeli antena ini karena di tempat mereka tak terdapat CATV. Namun, karena harga antena parabola menurun terus, dari 36 ribu dolar menjadi kurang dari seribu dolar AS, akhirnya banyak yang membelinya, kendati di daerah yang memiliki CATV. Membludaknya para pemilik antena parabola, yang diperkirakan mencapai 1,5 juta di AS, menyebabkan para pemilik CATV mengambil jurus perlawanan. Akhirnya, pada 1982, HBO memelopori penggunaan alat scramble buatan M/A-Com. Tanpa memiliki alat bernama Video Cipher II ini, para pemilik antena parabola tak dapat menikmati siaran HBO lagi. Yang terpampang di layar hanyalah gambar bergerak-gerak dengan warna terbalik dan suara gemerosok. Terpilihnya Video Cipher ini karena memang dianggap sistem yang paling canggih. Sekadar memllikinya tak berarti dapat menerima siaran yang di-scramble. Soalnya, si pemilik alat ini harus berhubungan dulu dengan stasiun pemancar dan membayar rekening bulanan. Oleh stasiun pemancar, pelanggan baru itu diminta memberikan nomor descramblenya. Setiap alat memang memiliki nomor berbeda, yang terpampang di layar TV mereka jika sebuah tombol alat itu ditekan. Kode ini kemudian dimasukkan oleh stasiun pemancar ke dalam gelombang pancarannya. Dan kode elektronik ini yang akan mengaktifkan alat descramble. Jadi, bila pelanggan tak membayar, stasiun pemancar tinggal membuang kode tersebut dari pancarannya. Maka, descramble si pelanggan itu pun tak berfungsi (lihat gambar 2). Kebanyakan pemilik stasiun TV kabel saat ini memungut bayaran lebih tinggi kepada pemilik antena parabola daripada pelanggan kabel. Untuk HBO, misalnya, dipungut bayaran 12 dolar/bulan untuk parabola, dan hanya 10 dolar untuk pelanggan kabel. "Soalnya, kita menginginkan distributor produk kami bahagia," kata Michael Fuch, pimpinan HBO. Maklum, 99% langganan HBO adalah dari CATV. Banyaknya jaringan CATV juga tercatat di Eropa dan Jepang. Di Prancis tercatat lebih dari satu juta pelanggan TV kabel yang dimonopoli oleh stasiun Canal Plus, yang mulai beroperasi tahun 1984. Di Inggris, yang memulai TV kabel sejak dua puluh tahun lalu, tercatat 60 CATV dengan 1,3 juta pelanggan. Setiap CATV memiliki 53 ribu hingga 183 ribu pelanggan. Bisnis ini tampaknya maju pesat. Terbukti, sudah terdapat 10 perusahaan baru yang sedang menjajaki bisnis ini, dan 11 lainnya sedang melakukan studi. "Tiga tahun ini saja sudah 150 juta pound terserap pada penanaman bisnis tersebut," kata Jon Davey, Direktur Jenderal Cable Authority, kepada Yudhi Soerjoatmodjo dari TEMPO. Cable Authority adalah badan pemerintah Inggris yang berwenang di bidang CATV. Inggris masih ketinggalan jauh dibandingkan Belanda dalam pertelevisian kabel ini. "Dari 14 juta rumah di Belanda, 12 juta sudah disambung TV kabel," kata Liz Nealon, Direktur MTV Europa, kepada TEMPO. Bandingkan dengan Indonesia, yang belum memiliki jaringan kabel ini sebuah pun. Padahal, di Inggris dibutuhkan biaya sekitar 50 milyar rupiah untuk membuat sebuah jaringan CATV. "Dan sekitar 70% digunakan untuk biaya menanam kabel," kata Jon Davey. Biasanya, modal baru kembali setelah 7 tahun beroperasi. Melihat kenyataan ini, kemungkinan besar TV kabel yang disiarkan di Indonesia nanti tidaklah benar-benar melalui kabel, melainkan melalui scrambler dan descrambler saja. Soalnya, di Indonesia masih banyak saluran TV udara yang belum dimanfaatkan. Walhasil, yang paling murah dan praktis adalah menyiarkan SST melalui saluran udara setelah siaran itu di-scramble. Lantas, "para pelanggan diwajibkan menyewa atau membeli alat descrambler/decoder," kata Drs. Ishadi S.K., ketua yayasan TVRI merangkap penanggung Jawab SST. Tiap decoder yang dimiliki pelanggan, menurut Alex Leo, Dirjen RTF, akan punya nomor (kode) sendiri yang akan dikendalikan dari komputer pusat. Tiap komputer bisa mengawasi satu juta decoder. Nomor itu sendiri tak bisa dibuka, misalnya oleh tetangga. Dan seandainya pemilik nomor itu tidak membayar uang langganan, decoder, menurut Alex Leo lagi, bisa dinon-aktifkan langsung dari komputer pusat. Kemungkinan ini dianggap Prof. Ktut Karsa, M.Sc., Kepala Laboratorium Microwave ITB, sebagai yang paling murah. "Sebab, secara teknis tak perlu memasang kabel hingga ke rumah-rumah pelanggan yang akan memakan biaya sangat besar itu," katanya kepada Jenni Ratna S. dari TEMPO. Ia juga menyarankan, sebaiknya yang digunakan adalah saluran 8. "Jadi, tak perlu investasi tambahan," tambahnya, sambil tersenyum penuh arti. Menggunakan saluran udara tentu ada pula risikonya. Mungkin saja, akhirnya ada juga yang dapat mengakali alat descrambler ini. Tapi kalau SST ini boleh memasang siaran niaga dan cuma satu-satunya di Indonesia, siapa yang peduli? Sapta Adiguna (Paris), Yudhi Soerjoatmodjo (London), Jenni Ratna S. (Bandung), dan Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini