Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jaringan Narkotik Sang Vokalis

Pentolan band Zivilia, Zulkifli, terancam hukuman mati karena menjadi kurir narkotik. Terhubung dengan bandar besar Casanova.

30 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Zulkifli (kanan) di Kepolisian Daerah Metro Jaya, 8 Maret 2019./TEMPO/Muhammad Fadhlan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zulkifli kaget bukan kepa-lang. Ia melihat polisi tiba-tiba sudah mengepung apartemennya. Dia tak menyangka akan diringkus malam itu. Seketika pria 37 tahun ini langsung memba-yangkan wajah anak dan istrinya. Tubuhnya langsung lemas. “Saya habis makai. Sedang ‘tinggi’ saat itu,” kata pria yang akrab disa-pa Zul tersebut kepada Tempo, Kamis, 21 Maret lalu.

Zulkifli adalah pentolan sekaligus vokalis kelompok musik Zivilia, yang mencuat dengan lagu hit berjudul Aishiteru. Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menangkap Zul di unit apartemen nomor 1208 lantai 12 Tower San Fransisco, Apartemen Gading River View City Home, Jakarta Utara, Jumat malam, 1 Maret lalu. Polisi menemukan 9,5 kilogram sabu beserta 24 ribu butir pil ekstasi di sana.

Zul tidak sendirian ketika itu. Polisi menangkap MH alias Rian, 26 tahun, dan HR alias Andu, 28 tahun, yang juga sedang berada di apartemen. Rian adalah penyewa apartemen. Penyidik langsung menginterogasi mereka. Ketiganya tak langsung mengakui aktivitas mereka di sana. “Kami pelan-pelan mengkonfrontasi mereka dengan alat bukti hingga akhirnya mengaku,” ujar Kepala Subdirektorat III Direktorat Reserse Narkoba Ajun Komisaris Besar Muhammad Iqbal Simatupang.

Penangkapan Zul bermula saat polisi menggerebek salah satu hotel di kawa-san Kelapa Gading, Jakarta Utara, sehari sebelum Zul tertangkap. Mereka menangkap Rizki, 29 tahun, dan Rivky, 25 tahun, bersama sabu seberat 0,5 gram di dalam kamar hotel. Polisi menyedot berbagai informasi dari telepon seluler mereka. Data dari telepon mencantumkan, mereka terkoneksi dengan Rian. “Besoknya kami langsung bergerak menangkap jaringan Rian,” tutur Iqbal.

Polisi tak berhenti menelusuri jaringan itu. Rian juga berhubungan dengan jaringan narkotik di Sumatera Selatan. Mereka tengah menunggu puluhan kilogram sabu dan ekstasi dari Palembang. Polda Metro Jaya meminta bantuan sejawat di Sumatera Selatan. Pada malam saat Zul dan Rian tertangkap, Polda Sumatera Selatan bersama Kepolisian Resor Palembang menangkap Ismayandi Putra Wardana alias Andi, 23 tahun, dan Rio Ramadhani alias Mirza, 25 tahun. Keduanya berasal dari Banjarmasin.

Mereka ditangkap di dua hotel di Palembang. Dari tangan Andi, penyidik menyita 25 kilogram sabu dan 4 kilogram pil ekstasi, 1 unit ponsel, 2 lembar kartu tanda penduduk yang diduga palsu, serta 2 kartu anjungan tunai mandiri. Polisi menemukan 15 kilogram sabu dan 12 kilogram ekstasi di kamar hotel Mirza.

Barang bukti di Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, 8 Maret 2019./ TEMPO/Muhammad Fadhlan

Polisi menjerat para tersangka, termasuk Zul, dengan Undang-Undang Narkotika. Mereka terancam hukuman mati, penjara seumur hidup, atau minimal penjara 6 tahun. Undang-undang itu juga menyebutkan denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 10 miliar.

Jaringan Rizki, Rian, dan Palembang diduga terkoneksi ke satu bandar besar. Polisi sudah mengetahui identitasnya dan kini tengah memburunya. “Nama panggilannya Casanova,” ucap juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Argo Yuwono, Senin, 11 Maret lalu. Casanova diperkirakan masih berada di Indonesia.

Penyidik turut menangkap Alvian alias Dimas, 25 tahun, dan Devy, 26 tahun, di tempat terpisah, sehari seusai penangkapan Zul. Devy ditangkap saat hendak pulang ke rumah orang tuanya di Semarang. Sama seperti Zul, mereka diduga kaki tangan jaringan Rian. “Sang bandar besar memang menyuruh Rian merekrut orang lagi untuk memecah jaringan,” kata Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Suwondo Nainggolan kepada Tempo, Kamis, 21 Maret lalu.

Cara kerja jaringan ini menggunakan sel terputus. Itu sebabnya Zul mengaku tidak mengenal para tersangka lain yang ditangkap di tempat berbeda. Ia hanya mengaku mengenal Devy, yang tinggal di apartemen bersama Rian. Sama seperti Devy, Zul diduga berperan sebagai kurir narkotik. “Cara merekrutnya tak langsung disebutkan sebagai kurir narkotik,” ucap Suwondo.

Zul mengaku mengenal Rian pada awal Februari 2019. Mereka sama-sama berasal dari Kendari. Keduanya rajin mengunjungi berbagai klub malam di Jakarta. Keakraban itu membuat mereka sering berpesta sabu bersama. Rian selalu menyediakan sabu untuk mereka secara gratis. “Dia mengaku beli dari temannya,” kata Zul. Menurut polisi, Rian dua kali ditangkap dengan kasus yang sama beberapa tahun lalu.

Zul mengetahui Rian adalah bandar sabu beberapa pekan sebelum penangkapan. Ia mengaku sempat kaget. Namun kekagetan itu pupus. Keduanya malah makin akrab karena Rian makin rajin memberikan sabu gratis. Zul pun makin rutin mengunjungi apartemen Rian. “Saya keenakan dikasih sabu gratis,” ucapnya. Polisi menyebut Zul ikut membantu mengemas narkotik milik Rian ke dalam plastik kecil.

Utang budi membuat Zul makin terseret jaringan Rian. Beberapa bulan belakangan, Zul mengalami kesulitan ekonomi di keluarganya. Dia mulai menerima bantuan uang dari Rian. Ia membuatkan lagu untuk Rian dengan upah Rp 15 juta. Rian pun mulai berani menyuruh Zul menjadi kurir. “Kalau disuruh-suruh dia, saya jadi susah menolak,” ujar Zul. Namun Zul membantah berperan sebagai kurir karena merasa tak pernah menerima uang dari jual-beli narkotik itu.

Polisi menyebutkan Zul sudah dua kali menjadi kurir narkotik. Suwondo mengatakan modus umum para bandar merekrut anak buah adalah awalnya memberikan narkotik secara gratis, lalu menjadikan mereka sebagai pesuruh. Ia menyatakan Zul tahu sedang mengantar narkotik. Penyidik sudah mengantongi bukti-bukti itu. Honor menjadi kurir, kata dia, tak selalu berbentuk uang. Satu gram sabu, menurut dia, seharga Rp 1,5 juta di pasar. “Kalau dia, misalnya, dua hari mengkonsumsi 1 gram, bisa disebut honornya sekitar Rp 17 juta sebulan,” Suwondo menjelaskan.

Zulkifli ‘Zivilia’:

Teman Saya Pengedar

Mengenakan baju tahanan oranye, vokalis band Zivilia, Zulkifli, menceritakan seputar kasusnya kepada Adam Prireza dari Tempo pada saat diwawancarai di ruangan Unit 4 Subdirektorat III Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Kamis, 21 Maret lalu. Sepanjang wawancara, bekas tenaga kerja Indonesia di Jepang itu kerap menundukkan kepalanya dan berbicara terbata-bata.

 

Anda sudah lama mengkonsumsi sabu?

Lumayan lama, sejak 2012, meski tak intens. Sempat berhenti, lalu mengkonsumsi dan berhenti lagi. Kemudian ketemu Rian, saya mengkonsumsi sabu lagi karena disediakan gratis.

Sejak kapan?

Yang pertama mengajari saya menggunakan sabu adalah event organizer (EO) yang mengundang saya di Bali pada 2012. Setelah itu, saya punya banyak uang karena lagu Aishiteru meledak di pasar. Saya mulai beli sendiri.

Tiap ada undangan manggung, Anda selalu memakai sabu?

Tawaran narkotik itu banyak sekali. Apalagi kalau kami diundang ke klub-klub. Biasanya EO sudah menyiapkan narkotik. Meski kadang enggak makai, EO tetap menyiapkan sabu. Untuk party-lah istilahnya.

Pernah makai bareng dengan teman-teman musikus lain?

Tidak pernah. Mereka tertutup semuanya sesama artis. Saya kalau pakai sendiri aja di kamar hotel. Anggota band tidak ada yang tahu saya mengkonsumsi sabu.

Apakah Anda tidak khawatir ditangkap polisi?

Sempat khawatir. Saya juga sudah menasihati Rian supaya berhenti menjadi pengedar narkotik. Bisa keenakan dan tidak akan berhenti sebelum ditangkap polisi. Tapi saya menasihati dia sambil makai juga.

Anda menyadari Rian adalah pengedar narkotik?

Beberapa minggu sebelum tertangkap, saya mulai mengetahui bahwa dia pengedar. Awalnya kaget juga. Tapi saya enak dikasih bahan (sabu) gratis terus, jadi tidak peduli. Dia sering mengajak ke apartemen dia, jadinya terus makai lagi dan lagi.

Sempat ada ajakan bergabung dengan jaringannya?

Enggak, dia enggak berani mengajak saya. Tapi, secara tidak sengaja karena saya di dalam apartemen itu, saya ikut terlibat kegiatan jaringan mereka. Memang karena asas pertemanan saja, makanya saya bantu kegiatan jaringan dia.

Kegiatan apa yang Anda bantu?

Saya membantu ngepak sabu itu sambil makai juga di apartemen. Saya refleks membantu saat melihat mereka sedang ngepak sabu. Sebenarnya saya juga enggak tahu kenapa membantu padahal tidak digaji. Mungkin karena keenakan saya dikasih bahan-bahan (sabu) gratis.

MUSTAFA SILALAHI, ADAM PRIREZA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus