Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Suhendri Arsiansyah, 27 tahun, asal Jakarta Selatan, seorang pemuda yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar kini telah kembali ke keluarga. Dirinya berhasil kembali ke tanah air setelah kabur dan dijemput Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kisah pilu Suhendri bermula pada 11 Juli 2024 lalu. Saat itu Suhendri mencoba mencari informasi kerja kepada Rizki yang tidak lain merupakan sahabatnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rizki pun kemudian menawari sebuah pekerjaan dengan gaji yang cukup besar. Namun, Suhendri diminta untuk bisa pergi ke luar negeri tepatnya di Thailand.
Tanpa menaruh rasa curiga, dirinya pun kemudian menerima tawaran pekerjaan sebagai pekerja yang mengurus investasi. Apalagi, persahabatan Suhendri dengan Rizki pun terbilang telah lama terjalin.
Berjalannya waktu, pada 11 Juli 2024 lalu dirinya memutuskan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta. Keberangkatan inipun telah diatur semua oleh Rizki, dari tiket pesawat hingga visa.
Suhendri tiba di Thailand pada tanggal 12 Juli keesokan harinya. Sampai disana tidak ada kecurigaan, apalagi dirinya bertemu dengan Rizki yang merupakan sahabatnya itu.
"Sekitar jam 11 sampai di hotel, Rizki bawa dua orang kepercayaan bos Cina. Dia cuma bilang besok kamu akan ke kantor menggunakan bus selama 8 jam," kata dia saat dijumpai TEMPO, Senin malam, 7 April 2025.
Dengan lamanya perjalanan tersebut Suhendri sempat merasa ragu dan bertanya. Lagi - lagi dia diyakinkan oleh Rizki yang bilang akan segera menyusul.
"Dia suruh saya naik bus dan bilang turunnya di Maesot kalau sudah disitu dia bilang saya akan ada yang jemput. Betul, ada yang menjemput dan kemudian saya sibawa dengan mobil Hylux. Kebetulan disitu juga ada dua orang India yang memang satu tujuan," ujarnya.
Satu pria dan satu wanita yang menjemput Hendri, kemudian membawa dia dan dua orang kewarganegaraan India ke pelosok dimana tempat tersebut banyak dihuni oleh penduduk Myanmar.
"Tempatnya pelosok, kami tidak bisa melihat gedung tinggi," kata dia.
Ditodong senjata laras panjang dan dibawa ke perusahaan
Setelah perjalanan delapan jam itu Hedri bersama dua orang WN India itu dibawa menyeberangi sungai. Disitulah mereka ditodong.
"Kami nyeberang sungai, sampai diseberang kami ditodong senjata dengan dua orang dan satu sopir," ceritanya.
Dia mengaku setelah ditodong dengan orang yang diduga dari pasukan sparatis Myanmar ini mereka dibawa ke sebuah perusahaan.
"Kami dari situ dibawa ke perusahaan yang jaraknya sekitar 1 sampai 2 kilometer. Ini area Miyawadi. Kami dibawa ke office yang semua itu ada disitu kaya kantin dan fasilitas lainnya. Kami dibawa oleh tentara pemberontak disana yang memakai seragam," jelasnya.
Hendri pun tidak dapat berbuat banyak, Dia pun kemudian mengikuti alur yang telah disiapkan oleh kelompok tersebut.
"Kami dibawa ke kantor dan sudah ngeblank, saya udah pasrah dan takut itu jual organ. Disitu saya sempat di interview. Saya dikasih tau sama dua orang India yang bareng saya, dia bilang kita akan kerja scamming (penipuan)," jelasnya.
Tidak berhenti di perusahaan tersebut, usai Interview Hendri bersama dua orang India kemudian ditanya soal ketersediaannya untuk bekerja.
"Setelah interview ada sopir lagi yang datang dan menanya kepada kami siapa yang tidak mau kerja disuruh ikut dia. Disitu ada sekitar 6 orang yang memang tidak mau bekerja disitu. Kami pun dibawa ke pemukiman penduduk," jelasnya.
Sempat bernapas lega, mereka yang tidak bersedia untuk bekerja diimingi akan dikembalikan ke tempat asal. Apalagi, mereka berada di tengah pemukiman lokal.
"Disitu penduduk lokal, mereka baik dan meyakinkan kita akan dikembalikan ke Myanmar. kami istirahat dsitu dan pagi kami pun dijemput oleh dua orang cmCina dan pemberontak yang pegang senjata itu," jelasnya.
Lagi dan lagi, bukan dikembalikan ke lokasi awal untuk dipulangkan, mereka malah kembali dibawa ke perusahaan lain. Disitu mereka kembali dijual untuk dipekerjakan sebagai penipu atau scamming.
"Kemudian sekitar 3 kilo kami cek point penjagaan tentara. Kemudian kami pindah mobil di point ke lima. Ternyata kami dibawa kembali ke company. Dia kaya rumah susun dan tingginya 3 tingkat," sebutnya.
Disitu, Hendri bersama korban lainnya kemudian dibawa ke kontainer besar yang merupakan tempat mereka akan singgah.
"Kalau asrama itu kita pakai kontainer 2 tingkat yang diisi 8 orang dari berbagai negara. Itu kondisi kita kerja, di perusahaan ke dua ini. Kita tetap mau pulang tapi tetap ga bisa. Kita kemudian dibawa ke kota dan ternyata kita dijual lagi transaksi disitu. Kita tetap dipaksa ke perusahaan itu untuk bekerja," cerita Hendri.
Lagi dan lagi, Hendri mengikuti alur yang telah disiapkan oleh kelompok TPPO ini. Hal itu dia lakukan untuk bisa mendapat akses komunikasi ke pihak luar.
"Saya bawa cash sekitar 2000 bath sekitar sejuta kurang. Di hari ke 3 saya ikutin alurnya dengan tujuan dapat komunikasi itu dan diberikan. Saya sempat nanya jika di bulan ke 3 saya mau keluar dan pulang ke negara saya apakah dibolehkan, dia hanya bilang saya akan kena denda sekitar 3000 usd atau sekitar setengah milliar," sebutnya.
Atas pertanyaan tersebut Hendri kemudian menjadi korban pemerasan. Dia dipaks untuk memberikan uang sebanyak 500 juta rupiah.
"Saya kemudian dikasih akses untuk telpon keluarga dan saya dikasih waktu 3 hari untuk bisa bawa uang itu. 3 hari saya tidak bayar saya dipukul pantat saya didepan orang orang. Kemudian saya dikasih waktu lagi 7 hari untuk minta uang dan selama 7 hari itu saya kembali ga bisa bayar dan saya disuruh keluar saya dipukulin," kata dia.
Disiksa dan dibawa ke rumah hitam
Beberapa bulan telah berlalu, Hendri masih terjebak di negara yang kini tengah berkonflik. Dia kemudian dibawa dan dikurung lantaran tidak bisa memberikan uang yang diminta.
Dirinyapun kemudian dibawa oleh pria bertubuh tegap ke sebuah rumah. Rumah tersebut merupakan penjara bagi para korban TPPO yang enggan bekerja.
"Kemudian dia manggil petugas keamanan dibawa ke rumah hitam sebutan untuk penjara yang memang sangat gelap," sebutnya.
Di lokasi itu, kata dia, sudah terdapat beberapa orang dari berbagai negara. Mereka semua orang yang membangkang dan enggan dipekerjakan sebagai penipu online.
"Waktu saya masuk ke dalam kurang lebih ada 8 orang. Tempatnya itu kaya toilet - toilet di terminal," ujarnya.
Rumah gelap, sebutan penjara tersebut, merupakan tempat kumuh yang menyeramkan. Tempat itu juga menjadi tempat penyiksaan hingga korban TPPO mengeluarkan uang.
"Ada 8 baris toilet, saya taro di toilet tersebut pada malam itu. Terus paginya saya keluar dari toilet di iket dan di rantai. Satu borgol juga kaki g bisa nepak dan kaki jinjit terus dipukul pakai pipa besi bagian dada sampai kaki," sebutnya.
Di rumah tersebut, kata Hendri, dia dan beberapa orang lainnya diberikan akses komunikasi. Mereka diminta untuk mengubungi keluarga.
"Setiap sore kita dikasih akses telpon, pemerasan terus berjalan. Saya 35 hari di rumah hitam tersebut. Kemudian saya juga dipukul sama besi, stik baseball dan kayu. Muka saya juga ditutup pakai kresek biar g bisa nafas sambil dipukul 50 kali. Sampai dimana saya hanya bisa bayar sekitar 4 juta atau sekitar 250 dollar. Setelah itu saya ga pernah lagi saya kasih uang dari keluarga karena memang tidak ada uang," ujarnya.
Sampai pada akhirnya, dimana 8 bulan berlalu Hendri bersama dengan beberapa orang lainnya berhasil melarikan diri. Merekapun kemdian dijemput oleh pihak KBRI setempat.
Kini kisah kelam itu akan dijadikan pelajaran untuk Hedri agar kelak dirinya bisa lebih berhati hati. Dirinya pun merasa lega bisa kembali ke pangkuan keluarga tercinta.
Pilihan Editor: Pengusaha dan Politikus Pengendali Judi Online di Kamboja