Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kampung Boncos, Jakarta Barat, menggeliat sebagai kampung narkoba sejak era 90-an.
Perdagangan obat terlarang di kampung itu kini makin masif meskipun telah berkali-kali digerebek polisi.
Penanganan kampung narkoba dinilai harus dilakukan secara lintas sektoral.
KAMPUNG Boncos di Kelurahan Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat, dikenal sebagai salah satu kampung narkoba terbesar di Indonesia. Peredaran narkoba di kampung ini pun tak berhenti meskipun polisi berkali-kali melakukan penggerebekan dan penangkapan. Terakhir, Kepolisian Resor Jakarta Barat menangkap 46 orang di kampung itu pada 17 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi Kampung Boncos sekilas tampak seperti permukiman biasa saat Tempo bertandang ke sana pada Senin siang kemarin. Jejeran sepeda motor terparkir rapi di lahan kosong di sebuah mulut gang kecil yang terletak di Jalan Kota Bambu Selatan VII itu. Dijaga sejumlah pemuda, lahan ini menjadi tempat parkir bagi para pengunjung yang ingin masuk ke kampung itu. “Itu tempat parkir bagi mereka yang ingin ‘belanja’ di sana,” kata Supri, bukan nama sebenarnya, salah satu warga di kampung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belanja yang dia maksudkan adalah transaksi jual-beli narkoba. Berada di area padat penduduk, gang tersebut hanya muat dilalui dua orang dewasa secara berpapasan. Di mulut gang, seorang laki-laki berjaga sambil berkata, “Mau?” kepada setiap pengunjung yang datang. Gang itu pun bercabang tidak beraturan sampai tembus ke sebuah tanah lapang.
Supri menyatakan para pengunjung itu berasal dari berbagai tempat. Pengunjung yang datang, menurut dia, pun berasal dari berbagai profesi, usia, dan jenis kelamin. Mereka ada yang hanya membeli narkoba lalu pergi, tapi ada juga yang menikmati barang haram tersebut di bedeng-bedeng yang disediakan. Pemandangan seperti itu, menurut Supri, terjadi sepanjang hari, tapi lebih ramai pada malam hari. “Warga di sini sebenarnya sudah resah,” tuturnya.
Sebagai warga yang tumbuh besar di sana, Supri mengatakan perdagangan narkoba di sana berlangsung sejak 1990-an. Hal serupa dikatakan dua rekannya, Mamat dan Burhan, juga bukan nama sebenarnya. Menurut Mamat, nama asli wilayah itu adalah Kampung Kiapang. Nama Kampung Boncos mulai digunakan setelah wilayah itu banyak dihuni pendatang yang bekerja sebagai pengepul barang rongsokan atau disebut boncosan pada awal 1990-an.
Kehadiran para pendatang itu pula yang dinilai sebagai awal masuknya narkoba. Burhan menceritakan perdagangan narkoba mulai merebak di kampung itu ketika seorang pendatang berinisial S tinggal di sana. S mengkamuflasekan bisnis haramnya itu dengan membuka lapak kayu bekas. S, menurut mereka, meninggal pada awal 2000-an. Namun bisnis narkoba S masih terus menggeliat karena diteruskan oleh kaki tangannya.
Barang bukti 10 paket narkotik jenis sabu seberat 10 kilogram yang terjaring dalam Operasi Nila Jaya 2024 di Kampung Boncos, Palmerah, Jakarta, 17 Juli 2024. Dok. Humas Polri
Seiring dengan berjalannya waktu, Burhan dan Mamat menyatakan perdagangan narkoba di Kampung Boncos makin berkembang. Jika dulu perdagangan itu hanya terpusat di wilayah RW 03, kini sejumlah titik di luar kawasan itu pun mulai menjadi tempat transaksi narkoba. Padahal polisi kerap menggerebek dan menangkap para pengguna serta pedagang di sana. “Sudah digerebek pasti muncul lagi. Makin meluas aktivitasnya di sini,” kata Burhan.
Kini, menurut mereka, para penjaja narkoba di Kampung Boncos pun kian menjamur. Salah satu bandar besar yang mereka ketahui adalah sosok perempuan berusia sekitar 40 tahun. Mereka mengaku tak mengetahui nama asli perempuan itu, tapi dia mendapat julukan Ibu Ratu. “Sekarang dikenalnya Ibu Ratu (bukan nama sebenarnya),” kata Burhan.
Tak hanya menjual narkoba, menurut dia, Ibu Ratu dan bandar lainnya juga menyediakan tempat bagi para pembeli untuk menikmatinya. Tempat yang biasa disebut "hotel" itu, menurut mereka, biasa disewakan dengan tarif Rp 10 ribu. “Hotel Boncos di dalam (gang) Rp 10 ribu,” kata Mamat.
Menurut mereka, modus operasi para bandar ini pun makin rapi. Mereka biasanya memiliki mata-mata yang memantau jika polisi datang dan akan saling memberi tahu. “Kasih tahu lewat ponsel saja, dulu masih pakai handy talky (HT),” ujar Mamat.
Tempo telah berupaya menghubungi Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak untuk meminta konfirmasi soal masih maraknya transaksi narkoba di Kampung Boncos. Namun Donald tak bisa memberikan jawaban kepada Tempo. “Nanti ya, saya masih sama anggota,” ucapnya saat dihubungi kemarin.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Mukti Juharsa menyatakan sulit memberantas peredaran narkoba di Kampung Boncos. Saat menjabat Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Mukti menyatakan telah berkali-kali menggerebek kampung itu, tapi tetap saja tak berhasil menghentikan peredaran narkoba di sana. “Memang susah, sudah ada pos polisi. Penggunanya banyak di situ,” kata Mukti di gedung Bareskrim, Senin, 22 Juli 2024.
Kampung Boncos merupakan satu dari ribuan kampung narkoba yang ada di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Desember tahun lalu menyatakan terdapat 7.426 wilayah rawan narkoba di seluruh Indonesia. BNN mengklaim jumlah itu turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 8.002 wilayah.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti-Narkotika (DPP Granat) Henry Yosodiningrat menilai menjamurnya kampung narkoba di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, dia menyoroti kegagalan polisi mencegah barang haram itu masuk ke Indonesia. Maraknya narkoba yang masuk dari luar negeri, menurut dia, membuat obat-obatan terlarang itu makin mudah didapatkan. Apalagi peminat narkoba di Indonesia pun masih banyak. “Kita harus berani menindak secara tegas. Jangan cuma tangkap beberapa orang, harus sampai ke akar,” kata Henry saat dihubungi secara terpisah.
Selain itu, Henry menilai berkembangnya kampung narkoba tak lepas dari alasan ekonomi. Para bandar besar, menurut dia, kerap mengiming-imingi warga dengan penghasilan besar jika ikut berdagang narkoba. “Ditambah lagi ada oknum-oknum, bisa jadi terorganisasi melindungi pelaku di sana,” ucapnya.
Karena itu, Henry menilai perlu ada perubahan paradigma dalam pemberantasan narkoba. Dia menilai perang terhadap narkoba harus dilakukan secara lintas sektoral. Pemidanaan, menurut dia, tetap diperlukan terhadap para bandar narkoba. Sementara itu, bagi para pengguna, menurut dia, seharusnya dilakukan rehabilitasi dan pengawasan saja.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Eliasta Meliala, sepakat bahwa diperlukan upaya yang lebih sistematis untuk memberangus kampung narkoba. Dia menilai upaya polisi melakukan penggerebekan selama ini sia-sia karena para pedagang juga akan terus berevolusi dalam menjalankan operasinya. “Tak mengherankan pengedar makin lihai dan aparat makin tertinggal,” ujarnya.
Pembersihan kampung narkoba, menurut Adrianus, memerlukan program lintas tahun yang berkelanjutan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dia menilai para pemangku kepentingan perlu menggunakan berbagai pendekatan selain razia dan penggerebekan. “Umumnya hanya polisi yang bekerja. Jika begitu, mana mungkin kampung-kampung itu berubah,” tuturnya.
Dalam laporan kinerjanya pada tahun lalu, BNN mengklaim telah menggunakan berbagai pendekatan untuk memberangus kampung narkoba. Misalnya dengan mengajarkan para penanam ganja di sejumlah tempat di Daerah Istimewa Aceh menanam jagung dan kopi. “Hasilnya, lahan seluas 96 hektare di Kabupaten Bireuen berhasil dikelola menjadi ladang jagung oleh 70 petani. Sementara itu, di Kabupaten Gayo Lues (Aceh) telah menghasilkan 315 ton kopi yang diekspor dengan total nilai Rp 29,631 miliar," kata Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom, Desember tahun lalu.
M. FAIZ ZAKI | MOH. KHORY ALFARIZI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo