TINGGI tumit sepatu putihnya tak kurang dari 10 cm. Cocok dengan
tinggi badannya, 163 cm. Sesuai pula dengan tas kecil berwarna
putih yang dikempitnya. Sekuntum mawar merah tersisip di dada
kirinya di antara gaun yang keabu-abuan. Sanggulnya manis model
Ratu Sirikit dari Thailand.
Mudah ditebak, untuk tampil sebagai saksi utama di Mahmilti,
nyonya seksi setengah baya itu memerlukan singgah ke salon
kecantikan. "Tampil di mana pun saya berusaha secantik mungkin,"
kata Nyonya Supadmi Sulistyowati, 32 tahun, kelahiran Desa
Tanggul, 33 km dari Sidoardjo. Ja-Tim .
Bicaranya mantap. Terlihat dari caranya menjawab pertanyaan
hakim. Ia ditanya begini "Dalam berita acara pendahuluan saudari
mengatakan butuh seks -- apa benar?" Lugas Saudari ini menjawab:
"Butuh sekali tidak. Tapi, sebagai manusia normal saya
membutuhkan." Setiap hari, seminggu dua kali atau . . . ? "Tidak
menentu. Saya tidak minta bayaran. Tapi mereka memberi . . . "
Siapa dia sebenarnya? Yang jelas ia saksi utama perkara
pembunuhan atau penganiayaan berat yang dilakukan dua orang
perwira polisi. Salah seorang di antaranya, Letkol Suyono, orang
yang pernah menyebutnya "mami" dan yang disebutnya sebagai
"papi". Perwira itu dikenalnya, sekitar 1978, dari seorang
perwira polisi lain yang kini telah pensiun .
Ketika itu ia seorang janda tanpa anak dari seorang bernama
Ahmad -- tukang kredit keliling dari Tasikmalaya (Ja-Bar). Lalu
janda dengan dua anak dari Bambang Sumaryanto yang kini tinggal
di Desa Bareng, tak jauh dari Tanggul. Dan terakhir janda dari
apa yang disebutnya orang asing yang memberinya anak bernama
Bobby Lodewijk.
Tapi Supadmi sendiri mengaku menikah mula-mula hanya dengan
Bambang. Yaitu, katanya, ketika ia masih berusia 14 tahun dan
sebagai gadis tercantik di desanya yang masih duduk di kelas II
SKKP. Ia bercerai dari Bambang setelah berumahtangga selama lima
tahun (1963 s.d. 1968). Alasannya tak jelas. Tapi, Bambang
mengatakan, "ia minta cerai karena saya dianggap tak mencukupi
belanjanya."
Ganti-ganti Pacar
Ganti-ganti pacar, kata Supadmi, itu soal biasa. Namun,
lanjutnya, ia merasa tak pantas mempunyai lebih dari satu pacar
dalam waktu yang sama. "Kalau satu, ya satu saja," katanya.
Begitu pula ia memperlakukan Suyono.
Sebenarnya ia ingin memutuskan hubungannya dengan Suyono. Coba
saja, katanya, ketika ia hamil sang papi tidak mau
bertanggungjawab. Ia dianjurkan menggugurkan kandungan, begitu
ceritanya, tapi tak diberi biaya. Terpaksa Supadmi menelan
macam-macam ramuan tradisional. Kandungannya memang luntur, tapi
ia toh harus berobat ke rumahsakit, karena mengalami pendarahan.
Untuk itu pun Suyono, keluhnya, masih juga tak mau keluar uang.
Menengok pun, karanya, tidak. "Ternyata ia hanya mau datang
kalau saya lagi sehat saja," katanya. Putus hubungan memang
mudah. "Tapi saya belum puas kalau belum menghancurkan karir dan
rumahtangganya," katanya tegas.
Apa yang diinginkannya memang tercapai -- meskipun untuk itu ia
hampir pula mati. "Kalau perkara sudah selesai," katanya, "saya
akan kembali bekerja." Sebagai apa? Leher dan rahangnya, yang
pernah dijahit, bergerak "Kalau ada modal saya akan buka salon
kecantikan."
Dia bilang pernah kursus kecantikan di Jakarta. Bahkan, pernah
pula seorang walikota dari Kalimantan menawarinya modal untuk
membuka salon di sana, tapi ditolaknya. "Habis di kota kecil,
sih," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini