Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ketua KPK Masuk dalam Komite Pengawasan Danantara, Pukat UGM: Tugasnya Tidak Diketahui, Masih Gelap

Peneliti Pukat UGM menyatakan UU dan PP tidak mengatur tugas Komite Pengawasan Danantara yang didalamnya ada Ketua KPK. Semua terserah presiden.

8 April 2025 | 07.28 WIB

Presiden Prabowo Subianto ketika meluncurkan badan pengelola investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) Indonesia, di Istana Negara, Jakarta, 24 Februari 2025. Tempo/Imam Sukamto
Perbesar
Presiden Prabowo Subianto ketika meluncurkan badan pengelola investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) Indonesia, di Istana Negara, Jakarta, 24 Februari 2025. Tempo/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM, Zaenur Rohman menilai bahwa masuknya nama sejumlah pimpinan lembaga penegak hukum dalam Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan menimbulkan masalah baru dan sama sekali tidak menjawab masalah soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana investasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Menimbulkan masalah baru dan sama sekali tidak menjawab masalah karena di sana hanya ketua ketuanya, itu jabatan jabatan ex officio," kata Zaenur kepada Tempo, pada Senin, 7 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pimpinan lembaga seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ketua Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) dimasukkan dalam dalam Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

Menurut Zaenur, masuknya nama-nama, seperti Ketua KPK Setyo Budiyanto, Ketua BPK Isma Yatun, Ketua BPKP Muhammad Yusuf Ateh, Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak menjamin bahwa pengawasan terhadap Danantara akan berjalan efektif. Sebab, jabatan ex officio seperti ini justru bisa menimbulkan risiko.

Dia mengingatkan bahwa pada masa kepemimpinan Jokowi, terdapat Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan Pusat (TP4) serta Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan Daerah (TP4D). Namun dalam praktiknya, Jokowi menunjuk Kejaksaan sebagai pengawas sekaligus konsultannya untuk pembangunan insfrastruktur.

Namun bukannya melakukan pengawasan, yang muncul justru tindak pidana korupsi oleh sejumlah jaksa, seperti yang terjadi di Yogyakarta. Zaenur pun mengistilahkan peristiwa tersebut dengan "Jaksa makan pagar tanaman".

Karena itu, peneliti Pukat UGM ini menyebut Komite Pengawasan dan Akuntabilitas justru berisiko apalagi tidak adanya pengaturan tugas dan kewenangannya dalam Undang Undang (UU) No. 1 tahun 2025. Nama Komite ini baru muncul Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tahun 2025 itu pun, kata Zaenur, tidak tertera soal kewenangan mereka. "Kewenangan komite ini tidak diatur sehingga tidak diketahui tugasnya. Ini masih gelap, semua terserah presiden," ujarnya.

Tidak hanya melakukan pengawasan, akademikus UGM ini pun pesimistis bahwa para pimpinan lembaga tersebut bisa meredam potensi korupsi tapi justru memunculkan potensi konflik kepentingan karena, seperti KPK misalnya, sebagai lembaga independen seharusnya berada di luar sistem dari Danantara.

Seharusnya KPK menjadi pengawas eksternal sehingga bila suatu hari terjadi korupsi di Danantara, KPK bisa objektif. Sebab, jika KPK berada di dalam meskipun bukan berada di dalam organ Danantara, dikhawatirkan dapat mengganggu netralitas KPK. Karena itu, KPK harusnya berada di luar lingkungan Danantara, namun diberi akses untuk melakukan pengawasan. Misalnya, dari sisi audit, laporan-laporan kegiatan dari Danantara.

Zaenur menilai jika KPK diberikan akses dan tetap berada di dalam lingkungan, maka akan menjadi potensi konflik kepentingan.

Berbeda dengan KPK, keberadaan BPK di Danantara sudah diatur dalam UU No. 1/2025 di Pasal 3 k bahwa pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggung jawab keuangan badan Danantara dilakukan oleh BPK. Sehingga, menurut Zaenur, karena BPK diberi tanggung jawab untuk pemeriksaan, maka sudah jelas mendapatkan akses karena sudah diberikan kewenangan. Karena itu, BPK tidak perlu lagi dimasukan ke dalam Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Danantara karena sudah diberikan kewenangan untuk melakukan audit.

Danantara adalah lembaga pengelola dana investasi dalam bentuk dana abadi negara atau sering disebut sebagai sovereign wealth fund. Dana investasi tersebut akan digunakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta investasi strategis di sektor-sektor penting seperti energi terbarukan, teknologi, dan industri lainnya.

Secara struktur, Danantara adalah super holding bagi tujuh BUMN dan lembaga investasi beraset besar di Indonesia, yakni BRI, Mandiri, BNI, PT Telkom, PT Pertamina, PT PLN, Mind ID, Lembaga Pembiayaan Indonesia atau Indonesia Investment Authority (INA). Total asetnya mencapai Rp14 ribu triliun lebih. Nantinya, secara bertahap seluruh BUMN akan dikelola Danantara.

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus