Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mendung di Ujung Pernikahan

Seorang warga Inggris ditangkap karena memukuli istrinya. Prahara cinta berujung deportasi?

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kantong kelopak matanya yang sembap masih terpancar di kulit wajahnya yang putih bersih. Senyum Sherisada Manaf Richardson mengembang, meski agak berat dan tak secerah hari-hari lalunya. Tujuh belas tahun menikah dengan suaminya, Frank Richardson, ternyata jauh dari impian. Pria Inggris itu acap kali memukul dan melakukan kekerasan terhadapnya. Tak tahan lagi, melaporlah ia ke Polda Metro Jaya pada 27 Oktober 2002 silam. Berbekal pengaduan tersebut, polisi mencokok Frank di sekolahnya di kawasan Ciputat, tengah hari bolong tanggal 6 November. "Saya masih sayang sama dia, tapi ini demi kebaikan bersama, termasuk perkembangan psikologis anak-anak kami," ujarnya lirih. Hingga saat ini, pernikahan mereka dikaruniai tiga anak: Edward Firman Richardson, 17 tahun, Eric Latief Richardson, 13 tahun, dan Annabel Nina Richardson, 11 tahun. Menurut pengakuannya, tak lama setelah menikah pada 4 April 1986 lampau, suaminya terbiasa "ringan tangan". "Biasanya dia langsung berhenti ketika saya teriak stop. Tapi belakangan dia bisa menghajar saya lebih dari sekali," demikian Sheri mengeluh. Padahal kisah cinta mereka bagaikan tragedi "Paris dan Helena" yang penuh rintangan dan pertikaian, yang jadi penyebab perang Troya selama bertahun-tahun. Ketika mengenyam pendidikan di London pada tahun 1980, Sheri bertemu pria pujaannya, seorang guru. "Namanya juga cinta, saya nekat menikahi Frank meski keluarga saya sebenarnya kurang mendukung," tuturnya. Bahkan ia mengaku biaya hidupnya banyak ditopang oleh tabungan dan "sedekah" keluarganya, "Walaupun betul-betul enggak enak hati." Klimaksnya, di tahun 1990 Sheri mengajak suaminya pulang. Untuk urusan administrasi, lagi-lagi Sheri minta bantuan ayahnya. "Bapak mensponsorinya menjadi guru di Universitas Islam Jakarta (Unija) demi mendapatkan visa bekerja di Indonesia," tuturnya. Sebagaimana diketahui, Unija memang milik keluarga Manaf. Sekitar tahun 1994, Frank-Sheri mendirikan Jakarta International Montessori School (JIMS) di bawah bendera Yayasan Pendidikan Khresna Internasional. Inilah cara Frank untuk memperpanjang kartu izin tinggal terbatas dari Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman Belakangan, menurut Sheri, Frank mulai menggunakan kekerasan pada pertengkaran rumah tangga. Selain mengalami kekerasan, sepupu Wakil Gubernur DKI Fauzy Bowo ini juga mengaku dibatasi akses sosialnya. "Saya sering dilarang menemui orang tua dan saudara-saudara," tuturnya. Bahkan tempat tinggal mereka di kawasan Jurang Mangu Barat pun disekat dua sejak mereka pisah ranjang dua tahun lalu. Jika keluarga Sheri datang berkunjung, "Mereka tak diperbolehkan menginjak rumah di sebelah, padahal statusnya adalah rumah saya." Setelah beberapa lama, menurut Sheri, "Sehari-hari cuma Annabel yang diperbolehkan tidur serumah dengan saya," demikian kata putri Asmawi Manaf?bekas Wakil Gubernur DKI di zaman Tjokropranolo?itu. Prahara cinta ini mengingatkan duka yang pernah dialami mantan penyanyi Nurafni Octavia. Pada awal april 2002 lalu, gugatannya atas Edwin Rondonuwu, suaminya, dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Edwin divonis satu tahun penjara karena menganiaya istrinya. Dalam kesaksiannya di persidangan ketika itu, ia menyatakan bahwa selama kurun waktu perkawinannya dengan Edwin sering terjadi perselisihan dan selalu diakhiri dengan tindak kekerasan yang dilakukan terdakwa. "Puncaknya adalah pada 25 Oktober 2001, saat perayaan hari ulang tahun Edwin," kata Nurafni. Kejadian itu telah mengakibatkan perdarahan di sekitar mata, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Sebulan sebelumnya, artis Ayu Azhari pun mengadukan Teemu Yusuf Ibrahim, suaminya asal Finlandia, ke Polda Metro Jaya. Kepada Suseno dari Tempo News Room (TNR), artis bernama asli Siti Kodijah ini mengaku berniat memberikan contoh yang baik bagi perempuan Indonesia. "Perempuan dan anak-anak sering jadi sasaran kekerasan, makanya hukum harus ditegakkan," katanya penuh semangat. Peraih penghargaan Festival Film Asia Pasifik itu pun menyadari, tak mudah membuat para istri "angkat bicara". "Indonesia kan menganut paham patriarki. Jadi, mereka merasa inferior dibanding suaminya," tuturnya. Selain itu, ia menilai kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan mental, "Seharusnya ada LSM, layaknya posyandu, yang rutin mengatasi penyakit mental semacam ini." Vony Reynata, Koordinator Pela-yanan Hukum LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), mendukung pernyataan Ayu soal sulitnya para istri buka mulut. "Selain persoalan ketergantungan ekonomi, mereka juga bingung memikirkan nasib anak-anak dan cibiran masyarakat jika mereka mengadukan suaminya ke polisi," ujarnya. Namun, Vony yakin angka pengaduan akan semakin besar. Dalam pemikirannya, hal itu merupakan dampak sosialisasi kepada masyarakat bahwa kekerasan dalam keluarga adalah masalah nyata. "Jadi, bukan persoalan pribadi," ia menegaskan. Ia mengakui selama ini angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diterima LBH APIK relatif kecil. Bahkan yang sampai ke pengadilan pun tak lebih dari lima persen dari total kasus. Sementara itu, Nurhasyim, juru bicara Rifka Annisa?sebuah lembaga konsultasi perempuan dan anak di Yogyakarta?menawarkan satu alternatif. "Kami merancang satu program penyadaran bagi para suami yang terbiasa melakukan kekerasan," katanya. Ia yakin program tersebut bisa memperkecil angka kekerasan terhadap para istri. Lantas, bagaimana tanggapan Frank? Benny Harman, kuasa hukumnya, menolak keras tuduhan Sheri. "Klien saya tidak pernah melakukan pemukulan. Paling banter cuma kata-kata 'bangsat'," ujarnya. Apalagi, "Visum kan bisa dibeli," tuturnya sembari mengusulkan adanya tim medis independen untuk melakukan visum. Malah ada tudingan balik, "Ini sebenarnya kasus perebutan harta antara suami dan istri," kata Benny menirukan ucapan kliennya. Menurut orang dekat Frank yang menolak disebut namanya, penahanan polisi dengan tuduhan menganiaya itu sebenarnya cuma akal-akalan Sheri untuk mendeportasi Frank. "Kalau sudah pergi, kekayaan akan jatuh ke tangannya," kata sumber itu. Tapi, sedari awal Sheri sudah mengingatkan bahwa dia sama sekali tak tahu-menahu soal fitnah rebutan harta itu. "Pengaduan saya cuma soal penganiayaan, tak ada hal lain," katanya. "Saya malah curiga, jangan-jangan justru hal itu yang ada di pikiran mereka." Apa pun alasannya, polisi sudah memiliki bukti kuat, termasuk memeriksa para saksi dan hasil visum. "Dia melanggar Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat," kata Kepala Direktorat Serse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Andi Chaeruddin, kepada Sri Wahyuni dari TNR. Malah, bagi Vony, kalau polisi mau lebih kreatif, Pasal 356 KUHP (pelaku punya hubungan keluarga) pun bisa dipakai untuk memperberat hukuman (ditambah sepertiga tuntutan). Sheri menghela napas sambil menerawangkan mata. Ia tetap saja belum bisa bernapas lega karena, "Frank pernah mengancam akan merusak wajah saya." Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus