Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ISLAM radikal" adalah sebuah istilah yang dikenakan pada suatu kelompok dalam gerakan Islam yang telah dipakai oleh dunia akademi di Barat, paling tidak oleh John L. Esposito dan Horace M. Kallen. Masalah ini bahkan telah menjadi obyek studi tesis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat. Sebenarnya, "Islam radikal" hanyalah satu di antara berbagai nama yang diberikan kepada kelompok tertentu yang disebut berbeda oleh berbagai sarjana, terutama yang paling sering disebut sebagai kelompok "fundamentalis". Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan Adam Schwarz menyebutnya "Islam militan". Pemikir muslim dari Maroko, Mohammad Abed al-Jabiri, memanggilnya kelompok "Islam ekstrem". Sebutan yang lebih "akademis" diberikan oleh Bill Liddle: "Islam skripturalis"?seperti yang terdapat pada agama Kristen Protestan.
Gejala "Islam radikal" baru-baru ini saja muncul di Indonesia. Sebenarnya, gejala ini sudah cukup lama ditengarai di Indonesia dan dunia Islam, misalnya ada Gerakan Tarbiyah pada 1980-an, Komite Indonesia untuk Solidaritas (1987), dan Ikhwanul Muslimin (1993). Namun beberapa kelompok yang disebut Islam radikal itu memang baru lahir pada masa reformasi, misalnya Front Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (Maret 1998), Front Pembela Islam (Agustus 1998), Himpunan Mahasiswa Antar Kampus (Oktober 1998), Hizbut Tahrir Indonesia (Mei 2000), dan Majelis Mujahidin (Agustus 2000).
Predikat dan ciri "radikal" sebenarnya bukan monopoli gerakan Islam. Sifat ini sudah lama populer dalam pemikiran pembangunan yang anti-kapitalisme dan "pembangunanisme" (developmentalism) di Dunia Ketiga dan diakui dengan bangga oleh orang-orang dan kelompok yang bersangkutan. Kelompok atau pemikir radikal yang berkecenderungan sosialis ini biasanya memakainya untuk membedakan diri dari kelompok komunis atau sosialis-Marxis. Di lingkungan gerakan Islam, julukan Islam radikal itu akhirnya diterima dengan dibentuknya Partai Islam Radikal Indonesia (PIRI), yang merupakan wadah dan saluran politik sejumlah kelompok Islam radikal di atas.
Sebenarnya Islam radikal ini cukup beragam, tapi disamakan oleh satu cita-cita, yaitu dilaksanakannya syariat Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bernegara atau sering disebut cita-cita mendirikan pemerintahan atau negara Islam. Namun metode perjuangan mereka bisa berbeda. DI/TII, misalnya, melakukan perjuangan fisik bersenjata, sedangkan Masyumi memilih cara demokratis parlementer. Hampir semua kelompok Islam radikal menghendaki perubahan radikal, tapi Gerakan Tarbiyah memilih cara gradual-evolusioner lewat pendidikan. Seperti pernah dikatakan oleh Hasan al-Bana, pendiri Ihkwanul Muslimin di Mesir, jika setiap orang sudah menjalankan ajaran Islam, dengan sendirinya negara Islam akan dapat didirikan.
Bagaimanapun, kebanyakan penganut Islam radikal berpendirian bahwa mendirikan negara atau pemerintahan Islam adalah jalan pintas untuk menegakkan syariat Islam, yaitu dengan menggunakan kekuasaan negara dan legitimasi pemerintahan. Karena itu, dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2002 lalu, kelompok Islam radikal ini mendesak agar MPR memberlakukan Piagam Jakarta, yang menyatakan bahwa dasar negara dalam Pasal 29 UUD 1945 diwujudkan dengan "kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Yang menjadi masalah, apakah yang dimaksud dengan syariat Islam itu adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran yang bersifat qath'i (pasti) atau yang sudah dirumuskan dalam fikih (korpus hukum Islam) yang disusun oleh para ulama ahli fikih? Fikih itu sendiri sangat beragam dan biasanya dibedakan menurut mazhab-mazhab. Jadi, apakah negara harus menetapkan mazhab tertentu untuk diberlakukan? Menurut Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Masyumi yang juga ahli hukum, fikih atau hukum agama itu statusnya barulah voluntary law, yang dilaksanakan secara sukarela oleh orang-orang yang beriman, lalu siapa yang merumuskan ketentuan fikih menjadi hukum positif?
Di sinilah mulai timbul perbedaan pendapat. Sebagai reaksi terhadap kelompok Islam fundamentalis yang ingin melaksanakan "hukum Tuhan", termasuk hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, atau qishah bagi pembunuh, timbul pemikir-pemikir yang kemudian disebut oleh seorang sarjana hukum muslim India, Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), dengan label "Islam liberal", yang sebenarnya identik dengan "Islam modernis". Para pemikir Islam liberal ini mendasarkan diri pada tiga asumsi. Pertama, ajaran Islam itu berwatak liberal dalam arti rasional dan terbuka terhadap penjelasan ilmu pengetahuan. Kedua, baik Al-Quran maupun sunah Nabi SAW itu bersikap "diam" terhadap masalah tertentu, misalnya tentang konsep negara dan pemerintahan, sehingga memberikan kesempatan pada upaya pemikiran yang serius, baik individual maupun kolektif (ijtihad). Ketiga, baik Al-Quran maupun sunah itu memerlukan dan memberikan kemungkinan pada interpretasi yang bervariasi, terhadap ayat-ayat yang dipandang dzanni atau mutasyabihat (tidak atau kurang jelas maknanya) ataupun yang qath'i atau muhmkamat (dianggap sudah jelas dan pasti).
Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), mengeluarkan pendapatnya di harian Kompas, 18 November lalu. Dalam tulisan Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, ia mengatakan apa yang biasa dipahami sebagai "hukum Tuhan" seperti keharusan berpakaian jilbab pada perempuan, potong tangan bagi pencuri, atau rajam bagi pezina itu tidak ada. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang sifatnya universal atau sunah Tuhan. Fikih atau hukum Islam memang ada, tapi itu buatan manusia?walaupun yang menyusun ulama?yang bisa salah, berubah, atau berkembang. Karena itu, syariat Islam tidak identik dengan hukum Tuhan itu sendiri. Konsep jilbab seharusnya ditangkap intinya, yaitu cara berpakaian yang sopan.
Ucapan Ulil itu dianggap menghina Tuhan. Padahal, menurut hemat saya, Ulil justru mengangkat wahyu Tuhan di atas syariat. Menurut hakim dan ahli hukum Islam Mesir, Muhammad Said al-Asymawi, sebenarnya pengertian syariat itu sendiri mengalami evolusi. Mula-mula sama dengan sabil, sirath, tariq, manhaj, atau "jalan" (way). Kemudian meluas maknanya menjadi hasil penyimpulan hukum oleh para ahli fikih atau kaidah perundang-undangan yang lengkap (kaffah), dari hukum keluarga hingga hukum pidana dan kenegaraan.
Tapi, menurut pemikir muslim India, Asghar Ali Engineer, syariat itu lebih merupakan kaidah moral daripada hukum, apalagi hukum positif. Menurut penyelidikan Al-Asymawi, kata syariah berasal dari syar'ah, yang hanya muncul sekali dalam Al-Quran dan kata turunannya disebut tiga kali, yang menunjuk pada pengertian skema, jalan, atau jalur. Ayat-ayat itu diturunkan hanya dalam kaitannya dengan alasan tertentu, yang berakibat penerapan prinsip-prinsip syariah secara benar mengharuskan mengetahui alasan-alasan dari masing-masing prinsip dan esensi peristiwa yang menyebabkannya diturunkan, dan mengetahui ayat-ayat yang dihapus (nasikh) dan ayat-ayat yang menghapus (mansukh) dan prinsip yang dapat dipelajari dari kedua ayat itu. Asymawi menyimpulkan dari ayat-ayat hukum dalam Al-Quran bahwa syariah tidak mengatur bentuk pemerintahan tertentu untuk selamanya, sehingga Syekh Ali Abdul Raziq, ulama Al-Azhar, mengatakan bahwa sikap "diam" Al-Quran ini memberi kaum muslim peluang untuk membentuk pemerintahan yang liberal-demokratis. Menurut Al-Asymawi pula, karena pemerintahan ada di tangan manusia, slogan pemerintahan Allah itu keliru adanya.
Ulil Abshar sendiri dituduh menghina Allah dan Rasul-Nya ketika menolak pengertian "hukum Tuhan". Dengan kata lain, Ulil hendak mengatakan bahwa hukum itu adalah buatan manusia untuk mengatur masyarakat sendiri. Salah satu contoh adalah Piagam Madinah, yang disusun bahkan melalui proses diskusi dan perdebatan kelompok muslim, yang pada waktu itu hanya 15 persen dari penduduk Madinah, dengan kelompok-kelompok Yahudi (45 persen) dan kaum musyrik (40 persen), yang merupakan mayoritas. Pada waktu itu, ayat-ayat kemasyarakatan malah belum turun, tapi Nabi SAW bersama tokoh-tokoh masyarakat Yathrib sudah menyusun sebuah konstitusi yang merupakan hasil kontrak sosial di antara masyarakat yang majemuk.
Munculnya paham liberal, baik di Mesir maupun di Indonesia, merupakan reaksi dari pemikiran kaum "fundamentalis" yang ingin membangun khilafah Islam. Keinginan membangun khilafah Islam itu, yaitu suatu kekuasaan mondial yang menerapkan syariat Islam, membuat mereka tidak menghiraukan apakah kekuasaan itu bertentangan dengan demokrasi atau tidak. Di Mesir, mereka ingin membentuk khilafah Islam, walaupun berbentuk monarki yang theokratis. Karena itu, Muhammad Abduh mengatakan bahwa Islam tidak mengenal theokrasi. Syekh Abdul Raziq, murid Abduh, kemudian mengeluarkan hasil kajiannya yang mengambil kesimpulan bahwa baik Al-Quran maupun sunah tidak menyuruh atau mewajibkan umat Islam membentuk khilafah dan tidak memberikan petunjuk apa pun mengenai konsep negara ataupun pemerintahan. Jikapun dalam masyarakat pernah dibentuk kekhalifahan, misalnya khilafah di bawah khalifah yang empat ataupun dinasti Umaiyah dan Abbasiyah, itu hanyalah merupakan hasil ijtihad. Begitu pula konsep negara menurut Al-Mawardi adalah hasil ijtihad yang tidak memiliki sanksi keagamaan.
Dari sini timbul kesan bahwa ulama seperti Ali Abdul Raziq ingin memisahkan negara dari agama dan memang Raziq berpendapat bahwa Islam itu adalah sebuah agama dan bukan negara. Baginya, konsep negara adalah hasil ijtihad atau pemikiran yang rasional. Karena itu, kaum muslim dihadapkan pada persoalan memilih bentuk negara dan pemerintahan, yaitu apakah otoriter, oligarki, diktator militer, atau negara dan pemerintahan yang demokratis. Kaum Islam liberal secara tegas memilih bentuk demokrasi atau paham kedaulatan rakyat. Sementara itu, kaum Islam radikal secara tegas pula menolak demokrasi karena, sebagaimana dikatakan oleh Ja'far Umar Thalib, pemimpin Laskar Jihad, demokrasi adalah sebuah pemikiran dari luar Islam. Ini memperkuat kesimpulan banyak pengamat Barat bahwa Islam itu tidak kompatibel dengan demokrasi. Menurut kaum Islam radikal sendiri, Islam menganut paham "Kedaulatan Tuhan", bukan "kedaulatan rakyat" sebagaimana paham demokrasi.
Bagi kaum Islam liberal, konsep "Kedaulatan Tuhan" itu sulit dipahami. Bagaimana Tuhan memegang kedaulatan-Nya dalam kehidupan manusia? Dalam praktek, "Kedaulatan Tuhan" diwujudkan dalam kedaulatan ulama, seperti dicontohkan secara jelas dalam konsep "Wilayah Al-Faqih" dalam mazhab Syiah. Hasilnya adalah sebuah negara theokrasi. Dalam praktek pula, kaum Islam radikal mendukung rezim monarki seperti Negara Arab Saudi, rezim otoriter Ziaul-Haq di Pakistan, rezim Ja'far Numairi di Sudan, dan rezim totaliter Taliban, Afganistan, hanya karena rezim-rezim antidemokrasi itu menerapkan syariat Islam. Di sinilah pendirian Islam liberal tidak bisa didamaikan dengan Islam radikal.
Menurut hemat saya, pendekatan keagamaan dan ilmu pengetahuan tidak perlu dipertentangkan dan wacana keislaman tidak perlu digantikan dengan wacana ilmu pengetahuan, seperti saran Denny J.A. Sebab, Islam itu sendiri sekarang sudah berkembang dan disajikan sebagai ilmu pengetahuan. Demikian pula agama tidak perlu dicegah memasuki wacana publik, seperti saran Ulil Abshar. Sebab, agama di zaman modern ini telah dan akan mengambil peranan penting dalam wacana publik. Namun Islam harus diperjuangkan melalui tiga proses, yaitu proses ilmiah dalam bentuk rasionalisasi dan obyektivisasi, dirumuskan kembali dalam konteks budaya setempat tanpa menghilangkan nilai-nilai yang universal, dan diperjuangan melalui prosedur yang demokratis dalam masyarakat yang majemuk dan terbuka (open society).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo