Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia atau Polri besok akan merayakan Hari Bhayangkara ke -76. Saat ini, Polri yang dipimpin Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerapkan semboyan Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan atau Presisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS memberi beberapa catatan menjelang peringatan Hari Bhayangkara ke -76 besok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KontraS menilai semboyan Presisi yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih sebatas jargon. KontraS menilai semboyan itu belum benar-benar dipraktikkan oleh kepolisian di bawah kepemimpinan Listyo.
“Semboyan Presisi masih menjadi jargon sloganistik, tanpa diikuti perbaikan di lapangan,” kata Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, Kamis, 30 Juni 2022.
KontraS menilai perbaikan kepolisian saat ini masih berfokus pada citra, bukan kinerja. KontraS mencatat masih terjadi praktik kekerasan, arogansi dan tindakan berlebihan oleh kepolisian. Dalam banyak kasus pelanggaran, kata dia, kepolisian kerap berlindung di balik terminologi oknum.
Kekerasan Jadi Pekerjaan Rumah Utama Polri
Menurut Fatia, kultur kekerasan masih menjadi pekerjaan rumah utama dari institusi ini. Misalnya, mengenai penggunaan senjata api yang tidak terukur, penyiksaan dan kekerasan lainnya. Dalam periode Juli 2021 - Juni 2022, KontraS mencatat setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian. Sejumlah kekerasan itu menimbulkan 928 jiwa luka-luka, 59 jiwa tewas, dan 1.240 jiwa ditangkap. “Pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus,” kata Fatia.
Selanjutnya: Polisi masih bertindak represif...
Fatia mengatakan kepolisian juga masih bertindak represif dalam merespons penyampaian ekspresi oleh masyarakat. Cara-cara represif paling sering ditemukan, kata dia, adalah dalam penanganan demonstrasi dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM. Kepolisian, kata dia, juga masih antikritik, terlihat dari penghapusan mural, dan penangkapan pembentang poster.
Dia mengatakan, kepolisian terlibat terlalu jauh dalam investasi ekonomi. Hal tersebut, kata dia, menyebabkan naiknya kekerasan di lapangan ketika masyarakat berhadapan dengan perusahaan. Dia menilai kepolisian seharusnya lebih mengambil sikap menengahi konflik tersebut.
“Alih-alih menangani konflik di masyarakat dengan berkeadilan, Kepolisian malah bertindak sewenang-wenangan terhadap masyarakat, melakukan tebang pilih penegakan hukum, dan memihak pada kepentingan perusahaan,” kata dia.
Komitmen Perbaikan Pendekatan Keamanan di Papua
Selain itu, KontraS turut menyoroti komitmen perbaikan pendekatan keamanan di Papua. Menurut dia, belum ada perubahan nyata untuk mengubah pendekatan di Papua menjadi lebih damai.
Pendekatan kekerasan masih sering ditemukan, terutama ketika kepolisian menghadapi demonstrasi yang dilakukan oleh orang asli Papua. “Cara pandang stigmatisasi dan sekuritisasi pada akhirnya hanya membuat korban berjatuhan,” kata dia.
Rangkaian masalah itu, kata dia, memantik kemarahan masyarakat. Kemarahan itu tercermin dari viralnya tanda pagar #PercumaLaporPolisi, #1Day1Oknum, dan #ViralForJustice. Menurut Fatia, Korps Bhayangkara perlu melakukan evaluasi secara serius dan mendalam. Perbaikan harus ditujukan pada kinerja, bukan hanya citra.
“Sejumlah langkah konkret harus dilakukan segera guna mewujudkan institusi Kepolisian yang lebih transparan, akuntabel dan profesional,” kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Koreksi Berita:
Berita ini telah dikoreksi pada Kamis, 30 Juni 2022. Sebelumnya dalam catatan Kontras tentang kekerasan Polri tercatat 1.240 tewas. Data tersebut telah dikoreksi oleh KontraS. Mohon maaf atas kesalahan data tersebut.