Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memberikan isyarat atau sinyal yang mengundang penasaran adalah kebiasaan menarik dari seorang Jaksa Agung Pidana Khusus, Hendarman Supanji. Pada awal November lalu, misalnya, ketika ditanya ada-tidaknya tersangka baru dalam kasus Dana Abadi Umat (DAU) Departemen Agama yang disidik oleh Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, pria setengah baya yang selalu tampil necis itu cuma berujar pendek.” Nanti setelah Lebaran,” katanya kepada Tempo.
Kasus bocornya DAU yang dibuka pada Juli silam itu ”cuma” menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Taufik Kamil, ke kursi terdakwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Wajar saja jika orang jadi bertanya, mengapa kasus yang disebut jaksa merugikan negara sampai Rp 526 miliar itu tampak melempem alias tak berkembang.
Dan seperti yang telah diisyaratkan Hendarman itu, pada 14 November lalu, selembar surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP), syarat formal dimulainya sebuah pemeriksaan tersangka, dikirim oleh Tim Pemberantas Korupsi ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Namun isinya ternyata tak seperti yang dibayangkan orang ramai. Empat auditor Badan Pemeriksa Keuangan, lembaga yang bertanggung jawab mengaudit Departemen Agama, dinyatakan sebagai tersangka. Mereka adalah Mukron As’ad (anggota Pembina Utama BPK), Harijanto (auditor utama keuangan negara III), Tuhari Sawanto (kepala seksi Departemen Agama), dan Khairiansyah Salam (auditor). Nama yang disebut terakhir itu baru saja menerima Integrity Award dari Transparency International di Berlin, awal November lalu. Karena dinilai berjasa, sebagai informan dalam (whistle blower), membongkar korupsi di Komisi Pemilihan Umum.
Tak sedikit orang yang penasaran, mengapa justru auditor BPK yang dibidik. Padahal banyak sasaran yang lebih ”seksi”. Pelaku korupsi di Departemen Agama sendiri belum semuanya dijerat. Bahkan ada beberapa wakil rakyat di DPR yang diketahui menerima duit DAU (Tempo, 26 Juni 2005). ”Buktinya sudah cukup. Jadi kejaksaan melihat kasus ini bisa dilanjutkan ke taraf penyidikan,” kata Hendarman. Bukti itu malah sangat lengkap. ”Tak ada kendala untuk menyidik kasusnya. Angka kerugiannya juga tidak besar,” tuturnya. Tak mengherankan jika Tim Pemberantas Korupsi memilih menyerahkan perkara ”nasi bungkus” ini ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Salman Maryadi, temuan Tim Pemberantas Korupsi cukup untuk memulai penyidikan. ”Ada bukti permintaan dana, pengeluaran dana, bahkan tanda terima. Juga ada pengakuan saksi,” katanya. Bukti kesaksian antara lain datang dari bendahara Badan Pengelola DAU Abdul Rosyad dan Enin Yusuf Suparta, Bendahara Badan Pengelola Ibadah Haji (BPIH).
Fakta pemberian ke BPK bahkan sudah diungkapkan Abdul Rosyad, dalam kesaksian di bawah sumpah pada 14 November lalu, di depan majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ”Sekitar Rp 2 miliar yang diberikan ke BPK,” kata Rosyad di muka sidang. Hari ketika Rosyad bersaksi bertepatan dengan keluarnya SPDP atas diri empat tersangka BPK. Jumlah tersangka, menurut Salman, bisa saja bertambah. ”Kita lihat perkembangan pemeriksaan,” katanya. Pekan lalu, kejaksaan mulai memanggil saksi-saksi dari Departemen Agama.
Dari berbagai bukti permulaan itu, kejaksaan menjerat para auditor itu dengan sangkaan pelanggaran dua pasal sekaligus, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yakni terhadap pasal pemberian hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya (pasal 12 ayat b ) dan pasal gratifikasi atau pemberian dalam bentuk luas kepada pegawai negeri (pasal 12 B). Auditor BPK ini menjadi pihak yang bersalah menerima gratifikasi karena tidak melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut UU Nomor 20 Tahun 2001, sampai 30 hari sejak menerima pemberian tersebut.
”Dua tuntutan ini merangkum dua tuduhan sekaligus, yaitu menerima hadiah dan suap,” kata Salman kepada Tempo. Pasal itu juga dibuat sangkaan karena ditemukan unsur kesengajaan (opzet) dari penerima. ”Mereka tahu bahwa (pemberian) itu tidak benar, tapi mereka terima juga,” ujar jaksa yang kini merangkap sebagai Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali tersebut. Ancaman hukuman kedua pasal itu adalah penjara sekurang-kurangnya empat tahun dan maksimalnya penjara seumur hidup atau setidaknya 20 tahun. Adapun dendanya paling sedikit Rp 200 juta atau setinggi-tingginya Rp 1 miliar.
Tempo menemukan data aliran duit sebanyak delapan kali dari Departemen Agama kepada auditor BPK dari kas DAU dan BPIH yang mencapai Rp 2,01 miliar plus US$ 25.600 untuk ”biaya” audit tiga tahun anggaran (Tempo, 3 Juli 2005). Dalam dokumen temuan BPKP tertanggal 5 Mei 2003 dan 10 Juni 2004, duit itu dibagikan kepada 18 orang pegawai BPK yang bertugas mengaudit rekening penampung hasil penghematan operasional haji tersebut.
Jatah terbesar dinikmati Mukron As’ad, yang menerima Rp 50 juta. Harijanto menerima Rp 30 juta. Tuhari Sawanto Rp 15 juta. Jatah para bawahan antara Rp 5 juta dan Rp 10 juta. Khairiansyah sendiri termasuk salah satu bawahan tadi. Ia tercatat menerima, tanpa ada tanda terima dari dirinya, Rp 5 juta pada aliran bulan Mei 2003.
Yang mengejutkan, para auditor itu secara tak langsung mengakui menerima dana itu, dengan mengembalikannya ke polisi. Karena Khairiansyah Salman lewat Tuhari Sawanto, pada 12 Juli 2005, mengembalikan Rp 39,8 juta uang DAU yang diterimanya ke Markas Besar Polri. Duit tersebut meliputi uang Lebaran, uang transpor, dan uang saku yang diterima dari 22 Oktober 2002 sampai Rp 26 April 2004. Pengembalian itu dilakukan bersama 19 orang pegawai BPK lain.
Modus ini sama dengan yang dilakukan auditor KPU, yang juga mengembalikan dana ”terima kasih” KPU ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kali ini ternyata lain, kejaksaan tetap mengusut meski para auditor itu mengembalikan duitnya.
Hasil pemeriksaan internal Inspektorat Khusus BPK, yang selesai Oktober lalu, juga menemukan keterlibatan para pegawainya. ”Kesimpulannya, mereka menerima, dan sudah saya kasih sanksi,” kata Ketua BPK Anwar Nasution. Dari belasan orang yang diperiksa, sanksi terberat dijatuhkan kepada Tuhari Sawanto. ”Dia sudah saya pecat,” ujar Anwar lagi. Dua yang lain tak bisa dikenai sanksi. Harijanto keburu pensiun. Sementara Khairiansyah Salman mundur dari BPK.
Sedangkan sanksi untuk Mukron As’ad sendiri, yang sudah lengser, di luar kewenangan Ketua BPK. Menurut guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini, perbuatan anak buahnya tak bisa dimaafkan. ”Itu lebih jahat daripada korupsi uang negara,” katanya (baca wawancara Anwar Nasution: Lebih Jahat dari Koruptor).
BPK sendiri secara resmi mengakui meminta biaya audit dan ”hanya” menerima tiga kali pengiriman. Selebihnya haram. Menurut catatan kas BPK, yang sudah dilaporkan Ketua BPK Anwar Nasution ke DPR, lembaganya pertama kali menerima ”ongkos di muka” sebesar Rp 607 juta pada 19 April 2001 untuk biaya audit khusus Badan Pengelola Ibadah Haji tahun 2001 dan 2002. Duit itu masuk ke Departemen Keuangan dan baru bisa dicairkan pada Mei 2002. Ada penghematan Rp 1,2 juta yang lantas disetorkan kembali ke kas negara. Pada 11 April 2003, BPK kembali menerima Rp 472,6 juta untuk audit BPIH tahun 2003 dan hanya terpakai Rp 437 juta. Bulan Maret 2004, Departemen Agama kembali menyetor biaya audit Rp 378 juta. Duit itu masih utuh di kas negara karena ongkos audit Rp 298 juta bisa ditanggung oleh anggaran BPK sendiri.
Mukron As’ad merasa tak tahu latar belakang penetapan dirinya sebagai tersangka DAU. ”Saya tahu dari berita koran saja. Saya tunggu saja kelanjutan di koran,” kata Mukrom. Anggota BPK periode 1999-2004 ini tak menampik menerima dana DAU. ”Kami memang waktu itu memerlukannya untuk melakukan pemeriksaan di Konsulat Jenderal di Jeddah, Arab Saudi,” katanya pendek. Namun jumlahnya hanya Rp 600 juta. Itu pun dilakukan lewat mekanisme resmi.
Sikap Mukron, yang sejak awal terbuka, memang berbeda dengan Khairiansyah. Auditor muda tersebut awalnya mengelak mengakui menerima DAU. ”Saya tidak pernah terima,” katanya ketika dulu dikonfirmasi Tempo. Ia kini menolak bicara, termasuk kepada Tempo, yang berkali-kali mencoba menghubunginya. Sikapnya mengembalikan duit haji itu ke polisi tentu membuat kening orang jadi berkerut. ”Dia merasa belum saatnya bicara,” kata Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia. Tanpa komentar juga, staf nonaktif Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh itu memilih mengembalikan penghargaan Integrity Award 2005 dari Transparency International lewat Transparansi Internasional Indonesia, pekan lalu. ”Dia ingin berkonsentrasi ke kasusnya sampai proses hukumnya selesai,” ujar Todung.
Menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, kasus tersangka auditor BPK—termasuk Khairiansyah—telah disalahpahami orang. Kejaksaan dinilai pilih-pilih bulu. ”Tidak ada urusannya itu. Biar dia terima Integrity Award, itu bukan jaminan. Tak ada siapa pun yang menjadikan dia terus tidak tersentuh hukum,” ujar mantan hakim agung ini secara tegas. ”Dia bisa saja berjasa di KPU, tapi kemudian tersangkut kasus lain. Masa, tidak boleh?” katanya.
Arif A.K., Dian Yuliastuti, Mawar Kusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo