Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURSI Gubernur Kalimantan Timur termasuk yang kini gonjang-ganjing. Setelah sekitar enam bulan Panitia Khusus Surya Dumai melakukan penelitian, Selasa pekan lalu sidang DPRD Kalimantan Timur memberhentikan Suwarna Abdul Fatah sebagai gubernur. Ikut pula ”dipecat” sekretaris daerah provinsi itu, Syaiful Teteng.
Panitia Khusus Surya Dumai dibentuk Dewan untuk meneliti dugaan penyimpangan yang dilakukan Suwarna dalam berbagai proyek yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Proyek ini sedikitnya telah memakan lahan seluas 2,5 juta hektare di sebelas kabupaten di Kalimantan Timur.
Beberapa saat setelah dilantik menjadi gubernur, pada Juni 1998, Suwarna mencanangkan program ”sejuta hektare kelapa sawit”. Tujuannya, biasalah: memberdayakan lahan dan ”meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat”.
Tapi, belakangan, proyek itu diduga banyak busuknya. Menurut Charles Siahaan, ketua lembaga swadaya masyarakat Visi 7, yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat Kalimantan Timur, Suwarna memberi keistimewaan kepada Surya Dumai untuk menguasai lahan seluas sekitar 500 ribu hektare, tanpa jaminan bank. ”Padahal, itu syarat mendapat izin pemanfaatan kayu,” kata Charles.
Belakangan terungkap, proyek kelapa sawit itu lebih mirip bo’ong-bo’ongan. ”Sawit yang ditanam tidak signifikan, sementara kayu habis ditebang,” kata Dahri Yassin, Ketua Panitia Khusus Surya Dumai.
Yassin memperkirakan, kerugian negara tak kurang dari Rp 3,5 triliun. ”Mungkin lebih, karena itu hanya untuk Surya Dumai saja,” katanya. Dari data Dinas Perkebunan Kalimantan Timur, tercatat sekitar 146 perusahaan yang mendapat izin menanam sawit di seluruh Kalimantan Timur.
Tak hanya izin pemberian lahan, atau dana reboisasi, yang diduga disulap Suwarna. Ia juga ditengarai ”menyelingkuhkan” pembelian pesawat terbang jenis ringan milik pemerintah Kalimantan Timur, yang dibeli dari Australia pada 2003.
Pada Desember 2003, kejaksaan mulai memeriksa kasus ini. Tapi sejumlah kelompok masyarakat menilai kejaksaan lamban, dan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Pada Oktober lalu, KPK mulai memeriksa Suwarna.
Kendati DPRD sudah menonaktifkan, Suwarna bergeming. ”Penonaktifan itu menyalahi hukum,” katanya, mantap. Ia juga membantah KKN dalam proyek kelapa sawit. ”Itu fitnah. Saya hanya memberi rekomendasi. Kewenangan ada di Departemen Kehutanan. Yang memberikan lokasi juga para bupati.”
Suwarna mengakui, ia memang membebaskan kewajiban menyerahkan garansi bank bagi sejumlah perusahaan sebagai syarat memperoleh izin pemanfaatan kayu. ”Tapi saya meminta mereka membuat perjanjian untuk membayar, dan kini mereka sudah membayar. Jadi, apa yang merugikan negara?”
Pekan lalu DPRD telah mengirim surat kepada presiden, meminta pemerintah segera memberhentikan Suwarna. ”Kami juga meminta KPK menuntut tuntas kasus korupsi yang melibatkan Gubernur,” kata Ketua DPRD Kalimantan Timur, Soehartono Soetjipto.
Seorang pejabat di Kalimantan Timur menyatakan, penonaktifan Suwarna lebih dipacu sakit hati para pengurus Partai Golkar provinsi itu. Suwarna, kata sumber itu, telah membuat marah para pengurus Partai Golkar karena tidak memberi bantuan uang kepada kader Golkar saat pemilihan para bupati di sana. Padahal, Suwarna dulu menjadi gubernur karena dicalonkan Golkar. Entahlah.
L.R. Baskoro, Redy M.Z. (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo