Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Buruh Said Iqbal meminta Presiden Prabowo Subianto membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus penembakan WNI oleh aparat Malaysia yang menewaskan seorang pekerja migran asal Riau, di sekitar perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, pada Jumat 24 Januari 2025. “Bapak Presiden Prabowo Subianto membentuk tim pencari fakta datang langsung ke negara Malaysia,” kata Said, ketika menghadiri aksi unjuk rasa depan gedung Kedutaan Besar Malaysia, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Kamis, 30 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun urgensi pembentukan tim itu, kata Said, diharapkan dapat menyeimbangkan kebenaran dari kronologi penembakan yang disampaikan oleh Kepolisian Malaysia atau Polis Diraja Malaysia (PDRM). Menurut dia, pemerintah Indonesia cenderung bertindak pasif atas informasi yang diberikan oleh PDRM. “Pemerintah Indonesia menerima saja.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Said Iqbal menilai kasus penembakan itu merupakan pembunuhan bukanlah bentuk penegakkan hukum sekalipun orang tersebut berstatus pekerja migran ilegal. Semestinya, mereka melakukan pendekatan hukum berupa deportasi untuk menindaklanjuti para imigran gelap itu. “Pendekatannya enggak boleh ada pembunuhan, penembakan, apalagi kekerasan,” ujar dia.
Adapun aksi unjuk rasa ini juga diikuti oleh massa buruh yang mengenakan seragam bertuliskan Garda Metal yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI dan Partai Buruh. Mereka membawa tiga spanduk yang bertuliskan tuntutan mereka terhadap pemerintah atas kasus penembakan itu.
Tiga tuntutan itu berupa desakan untuk memenjarakan aparat Malaysia yang terlibat dalam penembakan; mendesak pencopotan Abdul Kadir Karding dari jabatan Menteri dan Christina Aryani selaku Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia atau P2MI; dan “ganyang Malaysia” yakni desakan terhadap otoritas Malaysia untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI).
Aksi unjuk rasa ini dipimpin oleh Koordinator Nasional Garda Metal Mubarok. Dalam orasinya, Mubarok menagih pertanggungjawaban pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus penembakan WNI. Ia berharap tidak ada lagi pekerja migran yang mengalami nasib serupa. “Partai Buruh dan juga KSPI sudah sangat concern terhadap persoalan ini, jangan ada yang main-main,” ujar dia.
Mubarok menilai pemerintah tidak menanggapi serius kasus penembakan itu. Apabila sikap pemerintah Indonesia tidak memperlihatkan perubahan, kata Mubarok, mereka akan menghadirkan massa yang lebih banyak untuk melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedubes Malaysia.
Ketika menyampaikan orasi, Mubarok juga menyerukan “ganyang Malaysia” yang diikuti peserta unjuk rasa. Dalam aksi unjuk rasa itu, peserta juga melemparkan sebutir telur terhadap logo tulisan Kedutaan Besar Malaysia. Selain melakukan unjuk rasa di depan Kedubes Malaysia, mereka menyatakan akan melakukan demo di depan kantor Kementerian P2MI pada pukul 14.00 WIB mendatang.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menceritakan kronologi penembakan lima warga Indonesia di Tanjung Rhu tersebut. Kronologi penembakan itu diperoleh dari pihak Malaysia. Judha mengatakan kelima WNI itu ditembak oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di Tanjung Rhu pada pukul 03.00 pagi, Jumat, 24 Januari 2025. Dalam rombongan mereka terdapat 26 pekerja migran Indonesia yang berada di satu kapal.
APMM yang berpatroli lantas melakukan penembakan terhadap penumpang kapal saat berada di perairan Tanjung Rhu. Pihak APPM mengklaim penembakan itu dilakukan setelah para penumpang kapal diduga melakukan perlawanan. Insiden ini menyebabkan satu orang WNI meninggal dan empat orang lainnya terluka.
KBRI Kuala Lumpur menanggapi insiden tersebut dengan mengambil langkah untuk memastikan perlindungan terhadap WNI yang terdampak. Kementerian Luar Negeri RI juga telah mengirimkan nota diplomatik kepada pihak Malaysia untuk mendorong dilakukannya penyelidikan menyeluruh, termasuk menyoroti kemungkinan adanya penggunaan kekuatan berlebihan.
“Kementerian Luar Negeri dan KBRI Kuala Lumpur akan terus memantau perkembangan kasus ini serta memberikan pendampingan kekonsuleran dan hukum guna memastikan terpenuhinya hak-hak WNI dalam sistem hukum di Malaysia,” kata Judha.
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.