PESTA khitanan di rumah Ruba berjalan lancar. Menjelang asar,
acara joget yang diiringi musik gamelan dan suara pesinden,
tayuban, dihentikan. Haji Hasan Kasanah, Kepala Desa atau Kuwu
Desa Pegagan di Kabupaten Cirebon, mengusap keringat setelah
menyerahkan selendang, sampur, kepda salah seorang penari
wanita yang disebut ronggeng. Ia lalu meninggalkan gelanggang.
Ketika kepala desa itu hendak menstater Vespa-nya, mendadak ia
dikerubungi 8 orang pemuda, yang sebelumnya terlihat
bersama-sama minum lir di gelanggang joget. Tak ada yang tahu
apa yang mereka bicarakan. Orang-orang yang habis berpesta di
sana hanya melihat salah seorang pemuda merampas kunci Vespa.
Yang lain memukul, menendang dan ada pula yang menusuk dan
menyabit tubuh Hasan Kasanah.
Mendapat serangan mendadak tersebut, Hasan Kasanah mencoba lari
menghindar, sambil berteriak minta tolong. Baru beberapa
langkah, tubuhnya disergap dari belakang, lalu sebuah golok
kembali menghantam badannya. Tak seorang pun berani mendekat --
apalagi mencoba melerai penganiayaan yang dilakukan
terang-terangan tersebut.
Tinggallah Hasan Kasanah menjadi korban dengan tubuh ringsek
penuh luka. Ia ditinggalkan pengeroyoknya terkapar dengan mata
terbelalak dan lidah terjulur. Kemungkinan besar ia tewas pada
saat itu juga. Para penganiaya melarikan diri denga kendaraan
bermotor. Salah seorang di antaranya berteriak-seperti habis
memenangkan suatu perang: "Kuwu Kasanah mati . . .!"
Lebih Suka Diam
Pesta di rumah Ruba, 6 Oktober lalu, yang sedianya akan
dilanjutkan malam harinya dengan acara tarling, musik gitar dan
suling khas Cirebon, terpaksa dibatalkan. Sebab tuan rumah
terpaksa menginap di kantor polisi. Beberapa polisi yang datang
beberapa jam setelah peristiwa, tentu saja hanya menemui korban
yang tetap tergeleuk dekat dapur rumah Rakija.
Tak sulit bagi petugas kepolisian Kosek Kapetakan mengetahui
siapa yang menganiaya Hasan Kasanah. Penduduk Suranenggala Lor
sangat mengenal mereka. "Mereka adalah residivis yang sering
berurusan dengan polisi," ujar seorang bintara polisi. Mereka
dari kelompok yang menamakan dirinya bajing loncat yang biasa
mengganggu angkutan jalan raya, antara Indramayu-Cirebon.
"Mereka leluasa melakukan penganiayaan siang hari dan di muka
umum," kata polisi lagi, "karena penduduk sangat takut kepada
mereka."
Meskipun mengetahui siapa para pelaku, ternyata polisi belum
juga dapat menangkap salah seorang pun dari mereka. "Kami
sengaja tak mencari mereka," ujar polisi. Alasannya, pertama,
katanya polisi tak tahu di mana kawanan bandit tersebut
bersembunyi. Kedua, polisi yakin tak seorang penduduk pun mau
membantu, walaupun misalnya salah seorang di anura mereka tahu
di mana persembunyian para penjahat tersebut. Keterangan
penduduk Suranenggala, yang takut setengah mati pada pembalasan
dendam si bajing loncat, seringkali malah menyesatkan
penyelidikan polisi. "Jadi kami harus bekerja sendiri," kata
seorang polisi.
Jadi, untuk sementara, polisi lebih suka diam sambil memasang
mata dan telinga. Polisi paham benar bahwa suatu ketika, bila
keadaan dirasa sudah aman, bandit-bandit tersebut akan keluar
dari sarangnya. "Toh, identitas mereka sudah diketahui," kata
polisi. Pada saat itulah bandit-bandit tersebut akan diringkus.
Apa latar belakang pembunuhan Hasan Kasanah sendiri masih
dipertanyakan. Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Cirebon, Gunawan,
mengungkapkannya sebagai usaha "balas dendam" dari kelompok yang
menentang Aswidi, adik Hasan Kasanah, yang menjabat Kepala Desa
Suranenggala. Hasan Kasanah dituduh membantu posisi adiknya yang
hampir jatuh karena menggelapkan uang desa.
Aswidi memang diperbolehkan meneruskan jabatannya setelah
mengganti uang desa yang dipakainya. Camat Kapetakan mencabut
skorsingnya. Dan Hasan Kasanah, konon ceritanya, yang membantu
memulihkan keuangan adiknya. Tapi buntutnya, sering terjadi
bacok-bacokan antara pendukung Aswidi dan lawannya.
Tak Sanggup Membina
Kedudukan kepala desa di daerah itu memang tak begitu nyaman.
Haji Hasan Kasanah memperoleh kursi dari bekas saingannya, Peltu
Polisi Supeno, yang jatuh sekitar 12 tahun lalu. Yaitu setelah
berturut turut terjadi peristiwa berdarah: Supeno ditembak mati
polisi setelah membakar rumah seorang penduduk. Sebelumnya
Supeno menembak mati Camat Kapetakan, Lamari, yang telah
menjengkelkannya dengan tegurannya yang bertubi-tubi.
Namun, selama menjabat sebagai kepala desa, Hasan Kasanah, yang
sebelumnya bekerja sebagai guru, boleh dikatakan tak punya
musuh. Kalaupun ada hubungannya dengan kedudukan adiknya, kata
Aswidi sendiri, "saya tak tahu mengapa ia yang harus dibunuh."
Upacara penguburan, yang dihadiri banyak penduduk desa dan
pejabat kabupaten, menunjukkan bahwa Hasan Kasanah semasa
hidupnya cukup disegani.
Lalu untuk apa orang membunuhnya? "Kami akan tetap menyelidik
kematiannya," ujar Sekwilda Kabupaten Cirebon, Karna Sudiana,
"siapa tahu ada latar belakang politik--sebab Hasan Kasanah
adalah Komisaris Golkar di Kapetakan . . ." Sedangkan polisi
melihatnya sebagai kejahatan biasa. Polisi memang sering
direpotkan tingkah laku orang daerah situ. "Kami tak sanggup
membina desa-desa di sini," kata seorang pejabat polisi.
Orang-orang di Suranenggala Lor, Suranenggala Kidul dan Pagegan,
kata polisi tadi, memang mudah mencabut arit atau olok bila
bersengketa satu sama lain. "Kebiasaan tersebut sudah
turun-temurun sejak zaman Belanda," katanya lagi. Tentu saja tak
semua penduduk mewarisi kebiasaan buruk tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini