DI kediaman resmi, Pak Walikota sore itu mengumpulkan pimpinan
parpol dan golkar setempat. Acara persiapan kampanye Pemilu
1982. Hadir juga anggota panitia pemilihan daerah. dan
alim-ulama.
Sebagai penanggungjawab pelaksanaan pemilu di daerahnya, Pak
Walikota mesti melaksanakan perintah atasan. Walau pertemuan itu
dibungkus dengan kesantaian gule, sate kambing dan tahu petis,
tetap mencekam. Wajah wakil-wakil kontestan yang beliau hadapi
tetap mengandung banyak misteri.
Memang, pernyataan resmi mereka semua mendukung gagasan kampanye
bersama. Tetapi seingat Pak Walikota, memang sulit membuat
anjuran yang tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat di
daerahnya. Khas memang. Slogan kebudayaan gotong-royong,
seia-sekata, konon dibilang orang telah mendarah daging di sini.
Peribahasa anjing pun akan berhenti menyalak. begitu serigala
mengaum.
Tetapi firasatnya sebagai perwira, mengajarkan untuk hati-hati
dan tetap waspada. Sebagai pamong ia mengenal betul kelakuan
masyarakatnya. Sebagai putra daerah ia tahu di mana tersembunyi
daki dan kerak tiap orang di kotanya. Lagi pula, sebagai patriot
kusuma bangsa, beliau menjunjung tinggi panji-panji misi yang
harus beliau emban.
Kebiasaan Pemimpin
"Kampanye bersama meletakkan persatuan nasional di atas
segala-galanya. Kampanye bersama mendewasakan demokrasi.
Kampanye bersama menghilangkan risiko ketegangan, apalagi
bentrokan. Kampanye bersama mendidik rakyat berpemilu secara
santai." Pak Walikota pun membuka omongan dengan berslogan.
Wakil parpol dan golkar mengangguk-angguk. Sementara anggota
panitia pemilihan daerah memperhatikan reaksi dengan jeli, tak
lupa mengukir senyum di kedua ujung bibirnya. Sementara para
ulama dengan wajah sumeh datar, mendengarkan petuah itu,
seolah-olah tak tergetar oleh alunan irama pidato Pak Walikota
yang sore itu sudah dihias dengan pantun jenaka yang dipungut
dari kidungan Ludruk.
"Bayangkan eloknya, bila dalam kampanye semua rukun semua guyub.
Tak ada fitnah, tak ada tekanan. Omongan bohong dijauhkan.
Sindiran picik dihindari. Semua berjalan lancar, selancar Cak
Markuat ngidung Jula-Juli. Jurkam dan Jurkum alias juru kampanye
dan juru penegak hukum rangkul-rangkulan. Yang tiba giliran
pidato mlengos kanan mlengos kiri sambil unjuk gigi perak atau
emasnya. Yang menunggu duduk di mimbar berangguk-angguk. Di mana
perlu memimpin alunan tepuk tangan buat yang di mimbar, dengan
irama praja muka karana."
Sampai di situ pertemuan ditutup. Karena sate, gule dan tahu
petis sudah habis. Para hadirin dan hadirat meninggalkan
kediaman resmi Pak Walikota dengan wajah cerah, langkah santai.
Seperti melangkah terseok-seok habis makan di restoran yang
tidak plerlu membayar. Dibawanya kesan masing-masing.
Direnungkannya pesan yang diucapkan maupun kesan yang tidak
diucapkan. Tetapi apa pun jadinya, mereka sepakat mengadakan
kampanye bersama seperti telah diamanatkan oleh pengemban
penderitaan rakyat.
Di Alun-alun Tambak Boyo, siang itu suasana hiruk-pikuk. Rakyat
dari seluruh penjuru berdatangan. Kereta api, bis, kolt, bemo,
dokar bahkan cikar berbondong-bondong mengangkut anak manusia
yang diperlukan untuk menghias pestademokrasi. Untuk menciptakan
suasana gegap-gempita perlu massa rakyat. Tiap kontestan dijatah
mesti membawa pengikut sekian ribu. Ongkos ditanggung
sendiri-sendiri. Sesuai dengan keperluan, mereka dihadirkan
untuk bersorak-sorai.
Untuk merangsang gairah berdemokrasi bagi rakyat kecil, selingan
pun disisipkan. Ratusan saron, demung, kenong bonang dan kempul
serta gong ditabuh mengalun-alun, mengikuti hentakan gendang Cak
Wiyono yang sigap dan cekatan. Lagu Jula-Juli Seribu penari Remo
di bawah pimpinan Cak Tobi gemerincing, mengipas-ngipaskan kaki
kanannya yang berkelinting renyah. Membentuk tatanan barisan
yang berubah-ubah. Sampai di babak kidungan, Cak Tobi pun
melangkah berjingkatjingkat seperti banci, mendekati corong
pengeras suara. Ia ngidung, melengking berpantun-pantun:
Surabaya pasar Genteng
Makan rujak pasar Blauran
Kakbah Beringin Kepala Banteng
Semua jago pembangunan
Sorak-sorai gegap-gempita. Kidungan masih disambung beberapa
pantun sqenis, sebelum barisan Remo itu srisik keluar dari
arena.
CUCU Pucang Anom
Tibalah giliran juru kampanye berikutnya. Pengeras suara yang
ngadat tidak jadi soal. Karena rakyat toh sudah tidak sabar. Di
mimbar ia cuma mengacung-acungkan tangan dengan uluk salam.
Bahasa Arab, Madura, Jawa dan Indonesia dirangkum dalam pilihan
kata yang enak didengar. Kilasan senyumnya memantulkan sinar
lampu sorot, berbinar-binar di seantero arena. Karena omongan
tak terdengar, ia lepas baju. Itu saja sudah cukup meyakinkan
pemilih. Terbukti dari sambutan sorak-sorai mereka seusai
pidato.
Barisan Reog Ponorogo pun berduyun mengguncang arena. Seratus
empat puluh empat kuda kepang, konon piaraan Raden Panji dari
Kediri. Lapangan Tambak Boyo bak bergetar berdentam oleh gemuruh
gendang dan pekik senggakan penunggang kuda. Kepala yang berhias
warna-warni di seruak-seruakkan keras-keras maju mundur nyaris
oblak, untuk mengikuti irama gendang. Kacamata hitam sepasar
rombengan Wonokromo habis diborong untuk acara yang riuh rendah
ini.
Barisan cucu-cucu Pucanganom itu ngigel di tengah arena
membentuk berbagai tatanan menyerupai tanda gambar ketiga
kontestan. Dalam riuh-rendahnya irama gemblak Ponorogo itu,
tiba-tiba para Pucanganom serentak memekik bersama, dengan irama
ibarat memberi aba-aba:
Asal rukun, ndak jadi apa
Milih satu, yang mana saja
Syair ini dibolak balik mengucapkannya, terdengar sama enaknya.
Lalu diikuti segenap hadirin dengan he, he, he, he, horeeee!
Berbareng beratus-ratus gendang segede beduk pun dipukul keras
bertalu-talu.
Kampanye sore itu memang bukan main, biarpun melelahkan. Rakyat
menghayati makna kerukunan. Di samping rakyat jelata, bambung,
sekeng, copet dan gembel pun boleh ikut panen. Cuma satu yang
ketinggalan. Panitia lupa menyisipkan acara puncak. Pernyataan
bersama kebulatan tekad-untuk apa saja, terserah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini