Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kampanye Bersama

Kampanye bersama mendidik rakyat berpemilu dengan santai. Setiap kontestan diberi kesempatan berpidato, masyarakat menyambut dengan sorak-sorai. Panitia lupa pada acara pernyataan ketekadan bulat.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kediaman resmi, Pak Walikota sore itu mengumpulkan pimpinan parpol dan golkar setempat. Acara persiapan kampanye Pemilu 1982. Hadir juga anggota panitia pemilihan daerah. dan alim-ulama. Sebagai penanggungjawab pelaksanaan pemilu di daerahnya, Pak Walikota mesti melaksanakan perintah atasan. Walau pertemuan itu dibungkus dengan kesantaian gule, sate kambing dan tahu petis, tetap mencekam. Wajah wakil-wakil kontestan yang beliau hadapi tetap mengandung banyak misteri. Memang, pernyataan resmi mereka semua mendukung gagasan kampanye bersama. Tetapi seingat Pak Walikota, memang sulit membuat anjuran yang tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat di daerahnya. Khas memang. Slogan kebudayaan gotong-royong, seia-sekata, konon dibilang orang telah mendarah daging di sini. Peribahasa anjing pun akan berhenti menyalak. begitu serigala mengaum. Tetapi firasatnya sebagai perwira, mengajarkan untuk hati-hati dan tetap waspada. Sebagai pamong ia mengenal betul kelakuan masyarakatnya. Sebagai putra daerah ia tahu di mana tersembunyi daki dan kerak tiap orang di kotanya. Lagi pula, sebagai patriot kusuma bangsa, beliau menjunjung tinggi panji-panji misi yang harus beliau emban. Kebiasaan Pemimpin "Kampanye bersama meletakkan persatuan nasional di atas segala-galanya. Kampanye bersama mendewasakan demokrasi. Kampanye bersama menghilangkan risiko ketegangan, apalagi bentrokan. Kampanye bersama mendidik rakyat berpemilu secara santai." Pak Walikota pun membuka omongan dengan berslogan. Wakil parpol dan golkar mengangguk-angguk. Sementara anggota panitia pemilihan daerah memperhatikan reaksi dengan jeli, tak lupa mengukir senyum di kedua ujung bibirnya. Sementara para ulama dengan wajah sumeh datar, mendengarkan petuah itu, seolah-olah tak tergetar oleh alunan irama pidato Pak Walikota yang sore itu sudah dihias dengan pantun jenaka yang dipungut dari kidungan Ludruk. "Bayangkan eloknya, bila dalam kampanye semua rukun semua guyub. Tak ada fitnah, tak ada tekanan. Omongan bohong dijauhkan. Sindiran picik dihindari. Semua berjalan lancar, selancar Cak Markuat ngidung Jula-Juli. Jurkam dan Jurkum alias juru kampanye dan juru penegak hukum rangkul-rangkulan. Yang tiba giliran pidato mlengos kanan mlengos kiri sambil unjuk gigi perak atau emasnya. Yang menunggu duduk di mimbar berangguk-angguk. Di mana perlu memimpin alunan tepuk tangan buat yang di mimbar, dengan irama praja muka karana." Sampai di situ pertemuan ditutup. Karena sate, gule dan tahu petis sudah habis. Para hadirin dan hadirat meninggalkan kediaman resmi Pak Walikota dengan wajah cerah, langkah santai. Seperti melangkah terseok-seok habis makan di restoran yang tidak plerlu membayar. Dibawanya kesan masing-masing. Direnungkannya pesan yang diucapkan maupun kesan yang tidak diucapkan. Tetapi apa pun jadinya, mereka sepakat mengadakan kampanye bersama seperti telah diamanatkan oleh pengemban penderitaan rakyat. Di Alun-alun Tambak Boyo, siang itu suasana hiruk-pikuk. Rakyat dari seluruh penjuru berdatangan. Kereta api, bis, kolt, bemo, dokar bahkan cikar berbondong-bondong mengangkut anak manusia yang diperlukan untuk menghias pestademokrasi. Untuk menciptakan suasana gegap-gempita perlu massa rakyat. Tiap kontestan dijatah mesti membawa pengikut sekian ribu. Ongkos ditanggung sendiri-sendiri. Sesuai dengan keperluan, mereka dihadirkan untuk bersorak-sorai. Untuk merangsang gairah berdemokrasi bagi rakyat kecil, selingan pun disisipkan. Ratusan saron, demung, kenong bonang dan kempul serta gong ditabuh mengalun-alun, mengikuti hentakan gendang Cak Wiyono yang sigap dan cekatan. Lagu Jula-Juli Seribu penari Remo di bawah pimpinan Cak Tobi gemerincing, mengipas-ngipaskan kaki kanannya yang berkelinting renyah. Membentuk tatanan barisan yang berubah-ubah. Sampai di babak kidungan, Cak Tobi pun melangkah berjingkatjingkat seperti banci, mendekati corong pengeras suara. Ia ngidung, melengking berpantun-pantun: Surabaya pasar Genteng Makan rujak pasar Blauran Kakbah Beringin Kepala Banteng Semua jago pembangunan Sorak-sorai gegap-gempita. Kidungan masih disambung beberapa pantun sqenis, sebelum barisan Remo itu srisik keluar dari arena. CUCU Pucang Anom Tibalah giliran juru kampanye berikutnya. Pengeras suara yang ngadat tidak jadi soal. Karena rakyat toh sudah tidak sabar. Di mimbar ia cuma mengacung-acungkan tangan dengan uluk salam. Bahasa Arab, Madura, Jawa dan Indonesia dirangkum dalam pilihan kata yang enak didengar. Kilasan senyumnya memantulkan sinar lampu sorot, berbinar-binar di seantero arena. Karena omongan tak terdengar, ia lepas baju. Itu saja sudah cukup meyakinkan pemilih. Terbukti dari sambutan sorak-sorai mereka seusai pidato. Barisan Reog Ponorogo pun berduyun mengguncang arena. Seratus empat puluh empat kuda kepang, konon piaraan Raden Panji dari Kediri. Lapangan Tambak Boyo bak bergetar berdentam oleh gemuruh gendang dan pekik senggakan penunggang kuda. Kepala yang berhias warna-warni di seruak-seruakkan keras-keras maju mundur nyaris oblak, untuk mengikuti irama gendang. Kacamata hitam sepasar rombengan Wonokromo habis diborong untuk acara yang riuh rendah ini. Barisan cucu-cucu Pucanganom itu ngigel di tengah arena membentuk berbagai tatanan menyerupai tanda gambar ketiga kontestan. Dalam riuh-rendahnya irama gemblak Ponorogo itu, tiba-tiba para Pucanganom serentak memekik bersama, dengan irama ibarat memberi aba-aba: Asal rukun, ndak jadi apa Milih satu, yang mana saja Syair ini dibolak balik mengucapkannya, terdengar sama enaknya. Lalu diikuti segenap hadirin dengan he, he, he, he, horeeee! Berbareng beratus-ratus gendang segede beduk pun dipukul keras bertalu-talu. Kampanye sore itu memang bukan main, biarpun melelahkan. Rakyat menghayati makna kerukunan. Di samping rakyat jelata, bambung, sekeng, copet dan gembel pun boleh ikut panen. Cuma satu yang ketinggalan. Panitia lupa menyisipkan acara puncak. Pernyataan bersama kebulatan tekad-untuk apa saja, terserah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus