KASUS dokter Nyonya Setianingrum ternyata berekor panjang.
Dokter Puskesmas dari Pati, Jawa Tengah, ini dihukum tiga bulan
penjara dalam masa percobaan 10 bulan, karena dianggap lalai
hingga mengakibatkan matinya pasien yang dia tolong (TEMPO, 12
September). Sementara perkaranya sendiri berada di tingkat
banding, kalangan dokter kelihatannya tidak puas terhadap
keputusan pengadilan itu. IDI Jawa Tengah, misalnya, akhir
September lalu memutuskan untuk mengadakan "hari keprihatinan"
sebagai salah satu pernyataan keresahan mereka.
Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Ketua IDI Pusat dr.
Abdullah Cholil MPH meragukan kebenaran putusan Pengadilan
Negeri Pati tersebut. Hal ini mereka nyatakan dalam konperensi
pers 14 Oktober lalu menyambut HUT ke-31 Ikatan Dokter
Indonesia. "Dokter yang menyuntik pasien lantas meninggal,
sebetulnya tidak bisa diajukan ke pengadilan, karena tidak ada
unsur kriminalitas atau pelanggaran di dalamnya," kata Mahar
Mardjono.
Tetapi para dokter di Jawa Tengah agaknya bukan sekedar
memperbincangkan mengenai adil tidaknya hukuman yang diterima
Setianingrum. Sejumlah dokter muda yang bertugas di Puskesmas
dikabarkan telah mengembalikan beberapa jenis obat ke Kantor
Wilayah Kesehatan setempat karena khawatir akan mengalami nasib
yang sama seperti "teman sejawat Setianingrum". Obatobat yang
dikembalikan itu adalah streptomycine, obat antibiotika yang
digunakan dr. Setianingrum tempo hari. Juga penisilin.
Kadaluwarsa
Streptomycine dan penisilin merupakan obat pilihan para dokter
untuk memberantas penyakit rakyat seperti TBC. Harganya juga
cukup murah. Sekali suntik Rp 150. Obat antiinfeksi itu bisa
diganti dengan yang berwadah kapsul. Tapi ongkos pengobatan,
menjadi jauh lebih mahal. Satu kapsul Rp 450. Satu hari
diperlukan dua kapsul, sedangkan dengan suntikan cukup tiga kali
seminggu.
Menurut cerita dr. Tjenol Poeger, Ketua IDI Jawa Tengah, para
dokter itu bukannya takut menggunakan streptmycine dan
penisilin. "Tapi dikhawatirkan kedua obat itu janganjangan sudah
kadaluwarsa. Itulah alasan mereka mengembalikannya, sebagaimana
saya dengar." Tapi dr. Sediono Ismakun, kepala tata usaha Kanwil
Depkes di Semarang mengaku belum pernah menerima laporan tentang
adanya dokter yang mengembalikan obat streptomycine maupun
penisilin. "Kalau pengembalian obat itu karena kadaluwarsa, itu
rutin," ujarnya.
Masalah obat yang kadaluwarsa ini belakangan makin mendapat
perhatian, karena hampir berbarengan dengan kasus meninggalnya
pasien dokter Setianingrum, di Cilacap ada pula pasien yang
meninggal karena streptomycine.
Sebuah sumber menyebutkan pihak Kanwil Depkes Jawa Tengah
sekarang ini sedang meneliti obat yang dipergunakan pemerintah
dalam program pemberantasan TBC tersebut. Penelitian menyangkut
bahan kimia yang digunakan apakah sudah kadaluwarsa atau belum.
Termasuk juga penelitian terhadap cara pengolahan obat itu di
pabrik. "Atau mungkin orang Indonesia sekarang sudah tak tahan
lagi terhadap streptomycine?" tanya sumber di Kanwil Depkes
Semarang itu.
R.H. Yudono, dokter yang mengepalai Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada memandang kasus ini dari segi
lain. Dia mengritik dokter-dokter sekarang yang dianggapnya
kurang menguasai masalah obat-obatan. "Dulu farmahologi
diberikan tiga tahun, tetapi sejak 1968 hanya diberikan satu
tahun," ulasnya.
Menurut keterangan dokter yang pernah meneliti dan menemukan
efek menenangkan dari kangkung dan pengaruh pasak bumi pada
seks, dulu farmakologi diberikan pada tingkat III hingga V.
Begitu mahasiswa kerja praktek pada tingkat VI dan VII
pengetahuan farmakologi mereka masih segar. "Tapi sekarang
karena pelajaran itu hanya diberikan di tingkat 111. Waktu
praktek pengetahuan itu lupa," katanya.
Hikmah
Toh ia menolak anggapan bahwa Serianingrum lalai. Yudono malahan
menyebutkan dokter Puskesmas itu sebagai orang yang
bertanggungjawab. "Kalau tidak bertanggungjawab dia akan
mengirimkan pasiennya itu ke Semarang. Tapi dia atasi sendiri di
tempat prakteknya. Begitu shock, lalu dia mencoba untuk
mengatasinya. Itu bertanggungjawab namanya. Bahwa tidak berhasil
itu soal lain," ulas Yudono. (lihat: Hukum).
Menurut Yudono, jika dia menghadapi kasus yang ditangani
Setianingrum, dia akan memberikan adrenalin sebagai pertolongan
pertama kalau si pasien tidak menderita penyakit jantung. Bukan
cortison (obat antialergi) seperti yang diberikan Setianingrum.
Ia sependapat dengan Kepala Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran UI, dr. Iwan Darmansjah. "Mengapa adrenalin lebih
dulu? Karena obat ini bekerja dalam beberapa menit kemudian. Dia
tidak hanya mengandung zat yang bisa memperbaiki tekanan darah
tetapi juga merupakan antialergi yang kuat. Sedangkan cortison
baru bekerja beberapa jam kemudian," kata Iwan.
Kasus dr. Setianingrum ternyata menggugah para dokter terhadap
perlunya penyegaran kembali mengenai farmakologi. Terutama yang
menyangkut tindakan mengatasi anapbylactic shock (shock karena
tak tahan obat) sebagaimana yang dialami Setianingrum begitu dia
menyuntikkan streptomycine. IDI Cabang Bogor, misalnya, belum
lama ini mengundang Iwan Darmansjah untuk memberikan ceramah.
Sedang di Semarang dilangsungkan seminar mengenai anaphylactic
shock.
Setianingrum sendiri, seraya mcnunggu putusan banding, sekarang
ini idak bisa ditemukan di rumah dinas,nya di Puskesmas
Wedarijaksa, Pati. Ia lagi tugas mengikuti tim kesehatan haji ke
Saudi atas permintan Menteri Kesehatan. "Inilah hikmah musibah
yang dulu," kata dr. Yasanto, suaminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini