Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Buntut Kasus Setianingrum

Kasus dr. Setianingrum berbuntut panjang, kalangan dokter tidak puas terhadap keputusan pengadilan. Para dokter puskesmas di Ja-teng mengembalikan obat suntik streptomycine dan penisilin. (ksh)

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS dokter Nyonya Setianingrum ternyata berekor panjang. Dokter Puskesmas dari Pati, Jawa Tengah, ini dihukum tiga bulan penjara dalam masa percobaan 10 bulan, karena dianggap lalai hingga mengakibatkan matinya pasien yang dia tolong (TEMPO, 12 September). Sementara perkaranya sendiri berada di tingkat banding, kalangan dokter kelihatannya tidak puas terhadap keputusan pengadilan itu. IDI Jawa Tengah, misalnya, akhir September lalu memutuskan untuk mengadakan "hari keprihatinan" sebagai salah satu pernyataan keresahan mereka. Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Ketua IDI Pusat dr. Abdullah Cholil MPH meragukan kebenaran putusan Pengadilan Negeri Pati tersebut. Hal ini mereka nyatakan dalam konperensi pers 14 Oktober lalu menyambut HUT ke-31 Ikatan Dokter Indonesia. "Dokter yang menyuntik pasien lantas meninggal, sebetulnya tidak bisa diajukan ke pengadilan, karena tidak ada unsur kriminalitas atau pelanggaran di dalamnya," kata Mahar Mardjono. Tetapi para dokter di Jawa Tengah agaknya bukan sekedar memperbincangkan mengenai adil tidaknya hukuman yang diterima Setianingrum. Sejumlah dokter muda yang bertugas di Puskesmas dikabarkan telah mengembalikan beberapa jenis obat ke Kantor Wilayah Kesehatan setempat karena khawatir akan mengalami nasib yang sama seperti "teman sejawat Setianingrum". Obatobat yang dikembalikan itu adalah streptomycine, obat antibiotika yang digunakan dr. Setianingrum tempo hari. Juga penisilin. Kadaluwarsa Streptomycine dan penisilin merupakan obat pilihan para dokter untuk memberantas penyakit rakyat seperti TBC. Harganya juga cukup murah. Sekali suntik Rp 150. Obat antiinfeksi itu bisa diganti dengan yang berwadah kapsul. Tapi ongkos pengobatan, menjadi jauh lebih mahal. Satu kapsul Rp 450. Satu hari diperlukan dua kapsul, sedangkan dengan suntikan cukup tiga kali seminggu. Menurut cerita dr. Tjenol Poeger, Ketua IDI Jawa Tengah, para dokter itu bukannya takut menggunakan streptmycine dan penisilin. "Tapi dikhawatirkan kedua obat itu janganjangan sudah kadaluwarsa. Itulah alasan mereka mengembalikannya, sebagaimana saya dengar." Tapi dr. Sediono Ismakun, kepala tata usaha Kanwil Depkes di Semarang mengaku belum pernah menerima laporan tentang adanya dokter yang mengembalikan obat streptomycine maupun penisilin. "Kalau pengembalian obat itu karena kadaluwarsa, itu rutin," ujarnya. Masalah obat yang kadaluwarsa ini belakangan makin mendapat perhatian, karena hampir berbarengan dengan kasus meninggalnya pasien dokter Setianingrum, di Cilacap ada pula pasien yang meninggal karena streptomycine. Sebuah sumber menyebutkan pihak Kanwil Depkes Jawa Tengah sekarang ini sedang meneliti obat yang dipergunakan pemerintah dalam program pemberantasan TBC tersebut. Penelitian menyangkut bahan kimia yang digunakan apakah sudah kadaluwarsa atau belum. Termasuk juga penelitian terhadap cara pengolahan obat itu di pabrik. "Atau mungkin orang Indonesia sekarang sudah tak tahan lagi terhadap streptomycine?" tanya sumber di Kanwil Depkes Semarang itu. R.H. Yudono, dokter yang mengepalai Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada memandang kasus ini dari segi lain. Dia mengritik dokter-dokter sekarang yang dianggapnya kurang menguasai masalah obat-obatan. "Dulu farmahologi diberikan tiga tahun, tetapi sejak 1968 hanya diberikan satu tahun," ulasnya. Menurut keterangan dokter yang pernah meneliti dan menemukan efek menenangkan dari kangkung dan pengaruh pasak bumi pada seks, dulu farmakologi diberikan pada tingkat III hingga V. Begitu mahasiswa kerja praktek pada tingkat VI dan VII pengetahuan farmakologi mereka masih segar. "Tapi sekarang karena pelajaran itu hanya diberikan di tingkat 111. Waktu praktek pengetahuan itu lupa," katanya. Hikmah Toh ia menolak anggapan bahwa Serianingrum lalai. Yudono malahan menyebutkan dokter Puskesmas itu sebagai orang yang bertanggungjawab. "Kalau tidak bertanggungjawab dia akan mengirimkan pasiennya itu ke Semarang. Tapi dia atasi sendiri di tempat prakteknya. Begitu shock, lalu dia mencoba untuk mengatasinya. Itu bertanggungjawab namanya. Bahwa tidak berhasil itu soal lain," ulas Yudono. (lihat: Hukum). Menurut Yudono, jika dia menghadapi kasus yang ditangani Setianingrum, dia akan memberikan adrenalin sebagai pertolongan pertama kalau si pasien tidak menderita penyakit jantung. Bukan cortison (obat antialergi) seperti yang diberikan Setianingrum. Ia sependapat dengan Kepala Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI, dr. Iwan Darmansjah. "Mengapa adrenalin lebih dulu? Karena obat ini bekerja dalam beberapa menit kemudian. Dia tidak hanya mengandung zat yang bisa memperbaiki tekanan darah tetapi juga merupakan antialergi yang kuat. Sedangkan cortison baru bekerja beberapa jam kemudian," kata Iwan. Kasus dr. Setianingrum ternyata menggugah para dokter terhadap perlunya penyegaran kembali mengenai farmakologi. Terutama yang menyangkut tindakan mengatasi anapbylactic shock (shock karena tak tahan obat) sebagaimana yang dialami Setianingrum begitu dia menyuntikkan streptomycine. IDI Cabang Bogor, misalnya, belum lama ini mengundang Iwan Darmansjah untuk memberikan ceramah. Sedang di Semarang dilangsungkan seminar mengenai anaphylactic shock. Setianingrum sendiri, seraya mcnunggu putusan banding, sekarang ini idak bisa ditemukan di rumah dinas,nya di Puskesmas Wedarijaksa, Pati. Ia lagi tugas mengikuti tim kesehatan haji ke Saudi atas permintan Menteri Kesehatan. "Inilah hikmah musibah yang dulu," kata dr. Yasanto, suaminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus