Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polda Papua mengumumkan secara resmi film yang mereka produksi Si Tikam Polisi Noken akan tayang perdana 10 Februari 2022. Polda menyampaikan salah satu tujuan film ini adalah untuk mempromosikan budaya Papua, khususnya yang ada di pegunungan yang dikelilingi oleh hutan dan lembah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Serta adat istiadatnya yang begitu unik dan mengangkat anak-anak dan generasi muda Papua untuk maju dan menggali potensi yang ada pada diri sendiri dengan menjadi abdi negara," kata Kepala Bidang Humas Polda Papua, Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal, dalam keterangan resmi yang diterima Tempo, Sabtu, 5 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trailer film ini sudah tayang di akun youtube resmi Div Humas Polri dengan judul POLDA PAPUA - Coming Soon XXI "Si Tikam Polisi Noken". Trailer berdurasi 1.39 menit sudah ditayangkan sejak 28 Agustus 2021.
Film ini disutradarai oleh Komisaris Besar Ade Djaja Subagja yang saat pembuatan film menjabat sebagai Kepala Biro SDM Polda Papua. Sementara, produsernya adalah Kapolda Papua saat itu, Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw, yang sekarang sudah menjabat sebagai Deputi II Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNNP).
Ahmad menuturkan bahwa film ini digarap selama dua tahun dengan melibatkan pemain lokal dan sejumlah personel polisi. Selain itu, film ini juga dianggap mengangkat sinergitas TNI-Polri dalam menyelesaikan permasalahan di Papua.
Ia bercerita, film diangkat dari kisah nyata saat perang suku di Papua yang diselesaikan dengan mengedepankan polisi dari putra asli pegunungan tengah Papua. Polisi tersebut saat itu menjadi moderator dalam perang suku, sehingga akhirnya permasalahan diselesaikan dengan patah panah atau perdamaian.
Pada intinya, kata dia, film ini ingin memberikan gambaran kepada masyarakat di Papua maupun di luar Papua tentang permasalahan-permasalahan di Papua yang sering terjadi perang suku. Perang terjadi karena ketidakpahaman masyarakat tentang permasalahan yang dihadapi.
Penyelesaian masalah suatu tindak pidana ini, kata Ahmad, tidak hanya dilakukan melalui peradilan formal. "Di Papua penyelesaian suatu tindak pidana masih sering dilakukan dengan peradilan restoratif atau restorative justive melalui peradilan adat," ujarnya.
Polda Papua, ia menambahkan, berharap film ini dapat mengurangi konflik-konflik sosial serta konflik lainnya agar Papua lebih kondusif. "Semoga film ini dapat memberikan pesan-pesan yang erat akan budaya dan tradisi, serta kehadiran sosok polisi di tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi," ujarnya.
Ahmad pun juga meminta masyarakat tidak hanya melihat dari judul film tersebut, melainkan makna dan pesan di dalamnya. Bahwa, semua permasalahan dapat diselesaikan dengan cara baik-baik dengan cara mempelajarinya terlebih dahulu.
Ahmad menyebut film akan tayang serentak di biosko-bioskop yang ada di seluruh Indonesia. Dalam trailer di youtube resmi, tertera keterangan Coming Soon XXI.
Tempo menghubungi Corporate Communications Manager Cinema XXI Fani Simatupang terkait rencana penayangan perdana film ini pada 10 Februari mendatang. Tapi, Fani menyampaikan pihaknya akan menyiapkan jawaban tertulis terlebih dahulu terkait pertanyaan yang diajukan.
Di sisi lain, trailer film ini menuai kritikan dari aktivis hak asasi manusia Veronica Koman. Ia melontarkan kritikan ini di akun twitternya @VeronicaKoman pada Jumat, 4 Februari 2022.
"A racist movie about indigenous West Papua officially produced by Indonesian police will be showing in national cinemas next week: West Papuans are depicted as tribal war manics - at one point called primitive and radical by the heroic police (Sebuah film yang rasis tentang penduduk lokal Papua Barat diproduksi secara resmi oleh kepolisian Indonesia, akan tayang di bioskop minggu depan. Warga Papua Barat digambarkan sebagai suku yang gila perang, di satu titik disebut primitif dan radikal oleh polisi)," tulis Verionica, yang sudah memberi izin kepada Tempo untuk mengutipkan.
Bagi Veronica, film ini mengandung stereotipe bahwa orang Papua gila perang dan barbar sehingga harus ditaklukkan. "Propraganda negara yang seperti ini akan makin menyuburkan rasisme terhadap orang Papua," kata dia saat dihubungi.