Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Greenpeace Indonesia resmi meluncurkan seri buku cerita bergambar untuk anak-anak mengenai litigasi iklim. Seri berisi lima buku ini diluncurkan dalam rangkaian agenda Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2024, yang menjadi salah satu festival penulis dan pembaca terbesar di Asia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara peluncuran pun berlangsung di Kopi Nako Daur Baur, Ubud, Bali, pada Sabtu, 26 Oktober 2024, di hari keempat perayaan festival. Diskusi peluncuran buku ini diisi langsung oleh penulis dan ilustrator seri buku tersebut yang berasal dari Yogyakarta, Titah AW dan Sekar Bestari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seri lima buku bergambar untuk anak-anak ini memiliki lima tema yang berbeda yakni keanekaragaman hayati hutan, kebakaran hutan dan lahan gambut, masyarakat adat, tradisi melindungi hutan, hingga langkah kecil yang berdampak besar dari para pencegah api di hutan. Lewat buku ini, Greenpeace ingin membuat bacaan pengantar tentang hutan, masyarakat adat, hingga pelindungan ekologi yang mudah dimengerti anak-anak.
Menurut Titah, proses penggarapan seri buku ini sedikit lebih rumit karena harus menyederhanakan hal-hal besar dan kompleks menjadi kisah-kisah kecil namun tetap bermakna. “Ternyata mencoba menjelaskan hal-hal kompleks seperti litigasi, konflik lahan, perjuangan masyarakat adat, kabut asap, dan jalinan keanekaragaman hayati ke anak-anak itu menantang sekali. Aku harus menyederhanakan hal-hal rumit dan data itu ke kalimat yang mudah dipahami anak-anak. Ini pengalaman pertamaku menulis buku anak-anak,” kata Titah.
Sekar Bestari menambahkan, timnya langsung mendatangi hutan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah untuk bisa dekat dengan suasana hutan. “Kami juga riset kecil dan melakukan diskusi dengan psikolog tentang bagaimana otak anak usia 5-10 tahun memahami isi buku. Baru setelah itu kami mulai proses kreatif dengan menuliskan teks yang kemudian diterjemahkan menjadi bentuk ilustrasi,” tambahnya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji berharap, seri buku bergambar ini bisa menjadi teman belajar anak dalam memahami pentingnya menjaga ekosistem Bumi agar lingkungan hidup tetap lestari. Pasalnya, kata Sekar Banjaran, keadaan lingkungan hidup di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja dan semakin memperparah krisis iklim.
Sebagai satu dari tiga negara yang memiliki hutan hujan terbesar, Indonesia justru mengalami deforestasi yang masif selama dua dekade terakhir. Data analisis Greenpeace sepanjang 2001-2023 menunjukkan angka deforestasi mencapai 10 juta hektare atau 17 kali luas Pulau Bali.
Papua menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami deforestasi masif, menyusul Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Papua mengalami deforestasi seluas 722.256 hektare. Angka tertinggi terjadi pada 2015, yang menghilangkan 82.212 hektare hutan alam. Konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri ekstraktif serta penebangan liar adalah sejumlah masalah utamanya.
Pihaknya pun mengkritik rencana pemerintah untuk kembali melanjutkan proyek food estate sawah dan bioetanol di Merauke yang akan membabat hutan dan wilayah adat hingga 2,29 juta hektare. “Padahal, selama ratusan tahun, hutan Papua telah berfungsi sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati, dan memainkan peran penting dalam pengaturan iklim global,” kata Sekar Banjaran.
Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut atau karhutla juga menjadi masalah di Indonesia. Sumatera dan Kalimantan menjadi dua wilayah yang kerap mengalami karhutla dari tahun ke tahun, terutama di atas lahan gambut. Kebakaran merusak lingkungan dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat.
Di sejumlah kasus, karhutla terjadi karena tiadanya sistem mitigasi yang komprehensif untuk menjaga ekosistem lahan gambut agar tetap lestari. Menurut Sekar Banjaran, keadan tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk mengemas isu lingkungan atau kasus berat semacam ini agar mudah diceritakan ke anak-anak lewat buku cerita.
“Kami sadar bahwa pelbagai persoalan lingkungan hidup dan krisis iklim bukan hanya masalah orang-orang dewasa. Anak-anak juga menanggung beban itu. Mereka bahkan lebih rentan karena Bumi makin tidak baik-baik saja,” katanya.
Dalam rangkaian agenda UWRF 2024 ini, Greenpeace juga memiliki agenda lain bersama anak-anak. Ada sesi membaca salah satu seri buku ke anak-anak SD Negeri 3 Ubud pada 24 Oktober, ada juga sesi belajar menjadi Tim Cegah Api (TCA) Greenpeace bersama anak-anak SMP Negeri 1 Ubud pada 25 Oktober.
Greenpeace merasa perlu untuk belajar bersama dan membangun kesadaran anak-anak atas pentingnya melindungi kelestarian lingkungan di sekitar. Apalagi, di Pulau Bali, banyak wilayah hutan yang kelestariannya perlu dilindungi seperti Hutan Gunung Batukaru, Hutan Gunung Batur, atau Hutan Sangeh yang kebanyakan statusnya sebagai taman wisata alam (TWA) dan cagar alam (CA).
Pulau ini juga beberapa kali dilanda karhutla. Angka kasus yang terjadi pada 2023 tak bisa disebut sedikit, termasuk karhutla di Gunung Agung yang mencapai 700 hektare luasnya.
Peluncuran buku seri bergambar untuk anak-anak ini menjadi salah satu cara Greenpeace untuk mempromosikan perjuangan dan penyelamatan lingkungan melalui jalur litigasi atau meja hijau. Salah satunya yang dilakukan oleh masyarakat adat Awyu, yang sejak 2022 yang melakukan gugatan hukum untuk mempertahankan hutan adatnya dari ancaman industri sawit.
Tak hanya itu, Agustus lalu, belasan warga di Sumatera Selatan menggugat tiga korporasi akibat asap karhutla yang terjadi di atas lahan konsesi tiga perusahaan tersebut. Greenpeace Indonesia bersama mereka. (*)