Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ridwan Kamil-Suswono batal menggugat hasil pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi.
Sampai detik akhir, Jokowi masih ingin keduanya menggugat dan pilkada berlangsung dua putaran.
Prabowo Subianto menolaknya karena selisih suara yang besar dan minimnya bukti pelanggaran.
SUDAH semestinya Ridwan Kamil dan Suswono batal menggugat hasil pemilihan Gubernur Jakarta 2024 ke Mahkamah Konstitusi. Selain selisih perolehan suara yang besar dan minimnya bukti pelanggaran, upaya meminta putaran kedua bisa dicurigai sebagai skenario memenangi kontestasi secara curang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jakarta menetapkan Pramono Anung dan Rano Karno menang satu putaran karena mendapat suara 50,07 persen. Ancaman Ridwan Kamil akan menggugat penetapan itu batal pada detik-detik terakhir menjelang penutupan pendaftaran sengketa pemilihan kepala daerah pada 11 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasangan Ridwan-Suswono diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus, gabungan semua partai politik yang memiliki suara di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta minus PDI Perjuangan. Semula mereka hendak menyoal tidak meratanya distribusi formulir C6, atau pemberitahuan pemungutan suara kepada pemilih, yang membuat tingkat partisipasi pemilih di bawah 60 persen. Menurut mereka, materi itu menunjukkan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Tujuan gugatan adalah meminta pemungutan suara ulang di sejumlah titik. Kubu Ridwan-Suswono hanya perlu mengurangi 0,07 persen atau 2.975 suara Pramono-Rano, yang setara dengan jumlah pemilih di enam-tujuh tempat pemungutan suara. Jika upaya itu berhasil, kemenangan satu putaran Pramono-Rano dianulir dan pilkada digelar dua putaran. Di putaran kedua, kubu Ridwan-Suswono yakin bisa menang.
Kekalahan Ridwan-Suswono memukul Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto, yang sejak awal tidak ingin Jakarta dipimpin kader PDI Perjuangan, satu-satunya partai oposisi saat ini. Jokowi sampai detik-detik terakhir berkukuh meminta gugatan tetap dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi.
Prabowo juga ingin ada putaran kedua. Namun, menimbang selisih perolehan suara yang besar dan tidak ada cukup bukti kuat sebagai alasan pemungutan suara ulang, Ketua Umum Partai Gerindra itu tidak merestui rencana gugatan. Prabowo menolak permintaan Jokowi: pada akhirnya politik adalah kalkulasi untung-rugi.
Pilkada Jakarta telah menjadi anomali atas kesuksesan kolaborasi Jokowi dengan Prabowo di sejumlah pilkada. Pasangan yang disokong Jokowi-Prabowo di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara melenggang mengalahkan lawan-lawan mereka. Seperti halnya Ridwan dan Suswono, mereka adalah prajurit yang mendapat tugas dari Prabowo atau Jokowi untuk menjadi kepala daerah. Mereka tidak berkompetisi dengan ide dan konsep. Belakangan, muncul tudingan mereka menang karena campur tangan polisi dan aparat pemerintah. Istilah “parcok” atau partai cokelat belakangan populer untuk menjelaskan gerilya polisi di sejumlah pilkada buat memenangkan pasangan yang disokong Prabowo-Jokowi.
Kemenangan Pramono-Rano merupakan refleksi kemuakan warga Jakarta atas pelbagai praktik kotor itu. Mereka yang letih dengan perilaku Jokowi memilih Pramono di bilik suara, tidak memberikan suara alias golput, atau “iseng-iseng” memilih pasangan gurem Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Pendukung KIM plus pun tak semua memilih Ridwan-Suswono. Di Jakarta, politik uang tak sepenuhnya bekerja.
Yang bekerja justru dukungan mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Survei setelah mencoblos atau exit poll Saiful Mujani Research and Consulting pada 27 November 2024 menemukan dukungan Anies dan Ahok memberi efek bagus bagi pemilih Pramono dan Rano. Sebaliknya, dukungan Jokowi dan Prabowo tidak berdampak positif bagi para pemilih Ridwan-Suswono.
Dalam aspek lain, warga Jakarta juga menganggap perlu oposisi terhadap Prabowo, Jokowi, dan koalisi besar pendukung keduanya. Hilangnya oposisi yang efektif dalam sepuluh tahun pemerintahan Jokowi menjadi pelajaran penting menurut kelompok yang melek politik. Akibat tak ada proses checks and balances, pelbagai kerusakan kehidupan bernegara terjadi.
Dengan kata lain, kemenangan Pramono-Rano di pilkada Jakarta merupakan kabar baik akan pemahaman publik terhadap demokrasi. Harapan itu hendaknya tidak dirusak oleh korupsi dan politik aji mumpung. Pramono Anung dan PDIP hendaknya menjadikan Jakarta ajang uji profesionalisme dan kematangan berpolitik. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo