Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indocement tiga roda memperkokoh...

Pt indocement tunggal prakarsa, perusahaan yang memproduksi semen merek "tiga roda" akan go public dan menawarkan saham rp 600 milyar kepada masyarakat. assetnya rp 1,2 trilyun. terbesar di asia.

28 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari yang besar, lahir yang besar. Setelah beberapa perusahaan menawarkan sahamnya kepada masyarakat dalam beberapa bulan terakhir ini, 30 Oktober 1989 akan tercatat sebagai tanggal dimulainya penawaran emisi saham terbesar dalam sejarah bursa efek dan pasar modal di Indonesia. PT Indocement Tungal Prakarsa (ITP) produsen semen paling utama di Indonesia saat ini, go public dan menawarkan saham sebesar Rp 600 milyar rupiah kepada masyarakat. "Suatu emisi saham terbesar dalam sejarah Bursa Efek di Indonesla yang hanya bisa ditandingi oleh emisi saham Cathay Pacific sekitar USS 400 juta di-Hong Kong tahun 1986," kata Direktur Utama ITP, Sudwikatmono. Perusahaan yang memproduksi semen merek "Tiga Roda" itu kini mengajak calon pemodal saham melaju bersama, menggalakkan pengerahan dana masyarakat untuk pembangunan, dan memacu pertumbuhan ekspor nonmigas sembari menikmati keuntungan. Dengan memiliki saham Indocement dengan merek "Tiga Roda" yang terkenal itu, berarti ikut memiliki suatu kompleks industri dengan delapan pabrik yang berdiri di areal 200 hektar, yang menjadikannya sebagai kompleks pabrik semen terbesar di Indonesia dan bahkan di Asia. Sedangkan jumlah produksinya termasuk sepuluh besar di dunia dan nilai buku assetnya berjumlah tidak kurang dari Rp 1,2 trilyun. Fajar keuntungan sekarang menyingsing makin terang, dan tampaknya akan kian cerah untuk masa-masa mendatang. Kenapa tidak?! Setelah mendung menggantung dari 1982 hingga 1985 lalu, langit industri semen kini kembali cerah. Tingkat konsumsi semen dalam negeri sekarang terlukis dalam grafik yang menanjak dari tahun ke tahun. Nilai dan volume ekspor pun demikian. Di masa peningkatan permintaan itu, saat ini produsen yang sangat mungkin dapat menambah suplai dengan segera untuk menjawab dengan cepat kebutuhan pasar hanyalah Indocement. "Go public, menawarkan saham kepada masyarakat, akan membuat perusahaan tersebut kian sehat," kata Ir. Setiadi Dirgo, 56 tahun, Ketua Asosiasi Semen Indonesia. Setiadi melihat go public sebagai alternatif pembiayaan yang menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan dana bank yang tingkat bunganya cukup berat. "Bunganya tinggi," kata Setiadi. Dengan memanfaatkan modal yang berasal dari masyarakat perusahaan akan dimungkinkan memperoleh keuntungan yang lebih baik. Pendapat yang sama juga terdengar dari Dirjen Kimia Dasar, Departemen Perindustrian, Ir. Wardijasa. Prospek di bidang ini sangat baik," kata Wardijasa, sambil menunjuk kenyataan bahwa keadaan harga maupun permintaan pasar, kini memberikan peluang cukup besar. Bagaimanakah peluang yang besar itu? Pasar terpokok bagi industri semen, sebagaimana sudah menjadi karakteristik jenis industri ini, adalah pasar domestik. Dengan mengisi 45 persen dari total produksi semen nasional, kini Indocement sendiri menguasai 35 persen pasar domestik tersebut. Suatu kesempatan untuk peningkatan pangsa pasar di kemudian hari sekitar 30 persen dari yang telah dicapai saat ini masih terbuka lebar. Saat ini sekitar 70 persen produk Indocement terserap di Jawa, 20 persen lagi untuk pasar Sumatera, sisanya untuk daerah luar Jawa dan Sumatera, serta ekspor. Setelah pukulan resesi ekonomi menjadi surut, secara perlahan-lahan tetapi pasti, sektor nonmigas menggantikan peranan minyak dan gas bumi dalam pengadaan devisa bagi negara. Pekerjaan konstruksi di dalam negeri dalam tahun-tahun belakangan ini kembali menunjukkan kegairahan. Setidak-tidaknya konsumsi semen dalam negeri Indonesia dalam semester pertama 1989 dibandingkan dengan semester pertama 1988 meningkat 13 persen. Jawa Tengah saja, daerah yang tak banyak memiliki proyek besar, konsumsi semennya tahun ini naik 15 persen. Apalagi Bali, yang membangun banyak hotel. "Konsumsi semennya naik 20 persen dan Sumatera Utara 12 persen," kata Ir. Wardijasa, Direktur Jenderal Kimia Dasar, Departemen Perindustrian, yang saat itu didampingi Ir. M. Tasfir, pejabat yang bertanggungjawab dalam pembinaan industri semen. Jika dulu peningkatan konsumsi semen itu terjadi lebih banyak karena peranan sektor pemerintah dalam pembangunan (yang sebelum 1982 begitu dominan), kini swastalah yang lebih banyak berbicara. Proyek-proyek swasta, sekarang tampil sebagai pemakai semen yang lebih besar dibandingkan dengan proyek pemerintah. Pertumbuhan permintaan dalam negeri ini disertai pula oleh jalan lapang yang terbentang menuju pasar luar negeri. Perkembangan harga ekspor juga memikat. Pada awal 1988, harga satu ton semen eskpor FOB (free on board) baru US$ 26. Tahun ini harga itu bergerak antara US$ 38 dan US$ 43. Harga semen Indonesia ini sekarang begitu kuat sebagai alat untuk bersaing di pasar internasional. Kenyataan lain, yakni dikuranginya produksi semen Jepang secara drastis, telah meniupkan pula angin keberuntungan bagi industri semen Indonesia sampai sekarang. Dan tampaknya angin keberuntungan itu masih tetap bertiup hingga beberapa tahun mendatang. Kebanyakan negeri di Asia Tenggara belum siap dengan pabrik barunya, sementara kebutuhan dalam negeri masing-masing bergerak naik dan agak mendesak. Karena itu pulalah, sebagai satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang mengalami surplus semen, dari tahun ke tahun Indonesia mencatat peningkatan volume penjualan ke luar negeri. Peningkatan volume ekspor ini telah menunjang pengembangan eskpor nonmigas, pilihan yang menjadi harapan nasional dalam pengadaan devisa. Untuk Indocement sendiri, pada 1986 tercatat jumlah ekspor sebesar 1,176 juta ton. Tahun berikutnya, 1987, angka penjualan ke luar negeri yang dikapalkan dari dermaga khusus mereka di Tanjung Priok, terjadi kenaikan sampai 1,570 juta ton. Berbarengan dengan pengluasan pasar di mancanegara, pada 1988, kenaikan juga berlangsung dalam jumlah yang meyakinkan: menjadi 2,299 juta ton. Jika tahun 1989 ditutup nanti, Indocement yang memulai ekspornya pada 1978 (ke Muangthai) akan mencatat volume penjualan luar negeri sebesar 3 juta ton. Untuk 1989 ini saja tercatat 21 negara sebagai negeri tujuan ekspor produk Indocement antara lain Australia, Bangladesh, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Hong Kong, Jepang, dan bahkan juga Nepal dan Mauritius. Dari Muangthai saja misalnya, "Untuk 1990, sejak sekarang sudah ada permintaan pesanan sebesar 1,5 juta ton dalam keadaan open price," kata Ir. Iwa Kartiwa, Direktur Teknik Indocement. Sambil menunggu perubahan kapasitas, diperkirakan pada tahun-tahun mendatang penjualan eksport diperkirakan akan menurun karena suplai dalam negeri hanus diprioritaskan. Dalam prospek bisnis secerah itulah Indocement menawarkan sahamnya kepada publik. Dan tentunya ia harus memenuhi persyaratan yang diharuskan atas sebuah perusahaan yang memohon izin untuk go public. Salah satu persyaratan itu ialah bahwa ia hanus memiliki stnuktur permodalan yang sehat. Sebelum melakukan go public, modal ITP telah diperkuat dengan adanya konversi pinjaman dari tiga buah yayasan menjadi modal saham. Indocement, sebelum adanya konversi pinjaman itu memang mencatat adanya hutang terhadap tiga buah yayasan. Yaitu Yayasan Super Semar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial dan Yayasan Dana Abadi Karya Bakti, masing-masing sebesar Rp. 20 (dua puluh) milyar. Namun semua hutang itu kini telah diselesaikan penusahaan tersebut. "Hutang itu memang dalam bentuk convertible debenture," kata Judiono Tosin, 37 tahun, Direktur Keuangan Indocement. Artinya, atas kesepakatan peminjam dan pemberi pinjaman yang dibuat sebelumnya, hutang tersebut dapat dikonversikan ke dalam bentuk saham. Selama waktu pinjaman, si pemberi pinjaman memiliki opsi untuk mengkonversikan hutang tersebut menjadi saham Indocement dengan suatu harga tertentu, jika pemberi pinjaman menghendakinya. Pinjaman tersebut ekivalen dengan 3,6 persen dari saham ITP. "Konversi yang dilakukan sebelum go public akhir Oktober ini, memperkuat struktur modal dan berarti pula menurunkan beban bunga ITP," kata Yannes H. Naibaho, lead underwriter (penjamin utama) untuk urusan go public Indocement. Keseluruhan saham yang ditawarkan Indocement ketika go public ini adalah 10 persen dari modal saham yang telah ditempatkan dan disetor, yang jika diukur dengan harga perdana sebesar Rp 10.000 per saham, nilainya sekitar Rp 600 milyar. Dalam bagian yang 10 persen ini, 2,5 persen di antaranya akan berupa saham lama yang dijual kepada publik. Itu berarti bahwa semua share holder Indocement melepas 2,5 persen bagiannya kepada para calon pemodal. Yang 7,5 persen lagi akan berupa saham baru. Sekurang-kurangnya 51 persen dari saham yang ditawarkan tersebut akan dialokasikan bagi para pemodal dalam negeri. Management Indocement melihat prospek yang baik dalam hal ini. Direktur Keuangan Indocement, Judiono Tosin, bahkan menjanjikan pembayaran dividen minimal sebesar Rp 100 milyar pada tahun 1990, tahun depan. Tapi soal pasar saham dan masalah go public yang sedang "hangat" saat ini, belakangan diramaikan pula oleh kritik. Management Indocement sendiri bukannya tidak menyadari kritik yang dilancarkan para pengamat di tengah-tengah meningkatnya kegandrungan orang akan bisnis saham di pasar modal tersebut. Karena itu pulalah, segi-segi yang merupakan kelemahan untuk menjadi public company, ia coba selesaikan terlebih dulu. Agaknya benar apa yang dikatakan Ketua Asosiasi Semen Indonesia, Ir. Setiadi Dirgo. "Dalam masalah saham ini, sebaiknya kita jangan sampai latah, kata lulusan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada itu. Orang latah, begitu Setiadi, tidak berpikir tenang, tidak obyektif dan tidak rasional. Setelah menyaksikan perkembangan harga berbagai saham belakangan ini, dia berkesimpulan bahwa banyak saham yang seharusnya belum mencapai harga seperti yang ditawarkan. "Itu kurang wajar dan agak berlebih-lebihan. DPR sudah mengingatkan kita akan hal ini," kata Setiadi. "Saya pikir, semua pihak, baik pemerintah, perusahaan maupun masyarakat, dalam masalah pasar saham, hendaknya berlaku unuk lebih dewasa," ujar Ketua Asosiasi Semen Indonesia yang juga Direktur Utama PT Semen Padang ini. Artinya, teliti sebelum membeli: investasi atau spekulasi? Apakah dana yang akan dibelanjakan betul-betul akan berkembang atau malah jadi buntung. Seperti yang disebut oleh banyak broker bahwa harga saham bisa naik atau turun. Karena itu, sangatlah penting untuk mempelajari prospektus perusahaan yang go public. Indocement pagi-pagi sudah berupaya menghindari berbagai sumber kritik seperti itu untuk menawarkan sahamnya ke masyarakat akhir Oktober. Sehingga bagi pemodal saham, dengan membeli dan memiliki saham Indocement Tiga Roda, berarti turut pula memiliki industri strategis penunjang pembangunan nasional. Setelah sukses secara gemilang mengatasi masa sulit industri semen antara 1983 dan 1985, produsen semen paling terkemuka ini kini berdiri kokoh dalam bidang industrinya. Baginya untuk menjawab surplus permintaan yang akan terjadi pada tahun 1993 nanti, ekspansi tidak menjadi soal lagi. "Hanya etika bisnislah yang menjadi pertimbangan kami," kata Ir. Daddy Hariadi, Direktur Riset dan Pengembangan Indocement. Hariadi bagaikan mengisyaratkan bahwa dengan Tiga Roda, Si Penggerak Roda Pembangunan Nasional" para pemodal saham akan melaju di jalan mulus, mengejar pertumbuhan. Negara Tujuan Ekspor Indocement 1989 ======================================= 1. AUSTRALIA 2. BANGLADESH 3. BRUNEI 4. KAMBOJA 5. CHINA 6. HONGKONG 7. JEPANG 8. MALAGASY 9. MALDIVES 10. MAURITIUS 11. NEPAL 12. FILIPINA 13. PNG 14. REUNION 15. SINGAPURA 16. KOREA SELATAN 17. SRILANKA 18. TAHITI 19. TAIWAN 20. MUANGTHAI 21. VIETNAM =========================================== Pelari Terdepan di Sirkuit Semen Indocement adalah sprinter yang melakukan start pertama dan melesat cepat ke muka menjadi pelari yang terdepan. Kelompok Industri semen terbesar di Indonesia ini sekarang mengelola blsnis semennya secara makin mantap. Dari 17,41 juta ton per tahun kapasitas terpasang industri semen pada akhir Pelita IV lalu, delapan pabrik yang tergabung dalam grup ini memproduks hamplr 7,7 juta ton atau + 45% dari kapasitas terpasang asional. Dengan mengendalikan kegiatan bisnis dari kantor pusatnya di Wisma Indocement, gedung jangkung berlantai 21 di pinggir Jl. Jenderal Sudirman, jalan protokol di jantung kota Jakarta, perusahaan ini berhasil menguasai 35 persen pangsa pasar semen dalam negeri. Grup inilah pemilik komplek pabrik semen terbesar di Asia pada saat sekarang. Akhir Oktober ini perusahaan tersebut go public dan menawarkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Indocement membuka pintu bagi masyarakat -- perorangan maupun institusi -- untuk jadi pemilik sahamnya. Peranan atau fungsi Indocement menjadi begitu penting dalam gerak pembangunan nasional, khususnya dunia konstruksi. Segala sesuatu yang terjadi atas perusahaan ini, dapat melahirkan dampak yang bergema secara nasional. Dan pada paruhan pertama 1980-an, memang ada sesuatu yang terjadi atas dirinya, sebagaimana juga menjadi pengalaman berbagai perusahaan lain ketika guncangan resesi dunia merambat ke perekonomian Indonesia pada tahun 1982 yang lalu. Indocement yang memanfaatkan dana luar negeri untuk investasi terpaksa memikul beban berat setelah rupiah didevaluasikan terhadap dollar Amerika Serikat pada waktu itu. "Pemanfaatan dana luar negeri tersebut merupakan satu-satunya pilihan dan terpaksa dilakukan. Karena sebelum deregulasi perbankan, Juni 1983 yang lalu, kredit investasi rupiah sangat terbatas," kata Judiono Tosin, 37 tahun, Direktur Keuangan Indocement, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Beban berat tersebut bukan hanya sekadar kredit luar negeri ini. Anjloknya harga minyak bumi membuat roda perekonomian berputar sangat perlahan. Pertumbuhan konsumsi semen dalam negeri, yang dalam tahun-tahun sebelumnya berlangsung sekitar 18 persen per tahun, sejak ditiup angin kelesuan ekonomi dunia merosot mendekati nol. Inilah masa sulit untuk Indocement. Kini dalam usianya yang mencapai 16 tahun, "Indocement sudah melampaui masa sulit yang berat itu," kata Daddy Hariadi, Direktur Riset dan Pengembangan Indocement. Masa selanjutnya adalah masa pertumbuhan dan memetik keuntungan. Itulah yang kami tawarkan kepada publik," ujar Sudwikatmono, 55 tahun, Direktur Utama dan salah seorang pendiri Indocement. Riwayat Indocement dimulai ketika Distinct Investment Cement Enterprise (DICE) didirikan tahun 1973 sebagai perusahaan joint venture Penanaman Modal Asing (PMA). DICE didirikan oleh dan milik Perkasa Indonesia Cement Enterprise (PICE) bersama Distinct Investment Company Limited (DICL) dari Hong Kong. Share PICE dalam DiCE adalah dua pertiga dan DICL yang sepertiga lagi. Perusahaan joint venture ini menginvestasikan dana untuk membangun dua pabrik semen -- dinamakan Proyek 1 (P 1) dan Proyek 2 (P 2) -- pada tahun 1974. Pada 1975 kedua pabrik itu rampung dan mulai berproduksi dengan kapasitas masing-masing 500.000 ton semen setiap tahun. Lantas, PICE sendiri pada tahun 1976 melakukan investasi untuk pabrik baru, P 3, dengan kapasitas produksi 1 juta ton per tahun. P 3 selesai pada tahun 1978. Kemudian PICE melakukan ekspansi lagi dengan membangun P 4 yang juga berkapasitas 1 juta ton per tahun pada tahun 1978. Pabrik yang keempat ini selesai dan mulai berproduksi tahun 1981. Bagaikan haus akan ekspansi, pada 1979 grup ini mendirikan sebuah perusahaan PMDN yang baru bernama Perkasa Indah Cement Putih Enterprise dengan kapasitas produksi 200.000 ton per tahun. Pabriknya mulai berproduksi pada 1981 dan diberi nama P 5. Dengan pemegang saham yang sama, sebuah perusahaan baru didirikan pula pada langkah berikutnya, 1980, untuk mengelola P 6. Perusahaan ini bernama Perkasa Agung Utama Indonesia Cement Enterprise. Pada 1983 produksinya mulai berjalan dengan kapasitas 1,5 juta ton per tahun. Dengan masih dibayangi pertumbuhan dalam negeri yang tinggi, pada awal grup ini merentangkan sayap usaha lebih lebar dengan mendirikan dua perusahaan baru berikutnya: Perkasa Abadi Indonesia Cement Enterprise, yang mengelola P 7 dan Perkasa Abadi Mulia Indonesia Cement Enterprise yang mengelola P 8. Tahun 1985 kedua-duanya mulai berproduksi dengan kapasitas masing-masing 1,5 juta ton per tahun Pada tahun 1984 diambil langkah Indonesianisasi. PICE membeli saham DICL. Di tengah-tengah masa tanpa pertumbuhan demand di pasar itu, di bawah tekanan kelesuan ekonomi, Indocement mendapatkan suntikan dana dari Pemerintah pada bulan Juni 1985. Suntikan Pemerintah tersebut mencapai Rp.364,3 Milyar untuk mendapatkan 35% saham-saham Indocement. Dengan begitu 35 perser saham Indocement menjadi milik pemerintah. "Ia sudah menjadi asset nasional," kata Ketua Asosiasi Semen Indonesia, Ir. Setiadi Dirgo tentang perusahaan produsen semen ini. Kalau perusahaan itu sampai berhenti, suplai nasional akan kacau, dan itu adalah musibah nasional," begitu Setiadi. Ketika itulah enam perusahaan dengan delapan pabrik tersebut digabungkan di dalam PT Indocement Tunggal Prakarsa (ITP). Dengan demikian di dalam ITP ada saham swasta (65 persen) dan ada saham pemerintah (35 persen). Pihak swasta itu adalah PT Mekar Perkasa -- milik keluarga Soedono Salim (Liem Sioe Liong) dan keluarga Djuhar Sutanto (Liem Oen Kian) -- pemegang 50 persen saham, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad, masing-masing 7,5 persen. Empat serangkai ini merupakan pendiri Indocement . Industri semen adalah industri strategis yang vital sebagai penunjang pembangunan nasional. Jenis industri ini adalah heavy capital industry, yang tidak/kurang efisien bila dikelola dengan memanfaatkan dana bank dengan interest rate yang tinggi. Tapi kenapa para pemrakarsa cikal bakal Indocement justeru memilih jenis industri ini sebagai lapangan usaha? Pilihan yang dibuat pada awal 1970-an itu semata-mata adalah pilihan yang secara ekonomis sangat rasional. Dalam masyarakat Indonesia pada awal dasawarsa 1970-an lalu kebutuhan akan semen terasa meningkat dari tahun ke tahun. Pada masa itulah, 1973, cikal bakal perusahaan ini didirikan, yakni dalam tahun keempat Pelita I. Perusahaan inilah yang menjadi maskapai swasta pertama yang masuk industri semen di Indonesia, setelah dalam masa-masa sebelumnya sektor ini sepenuhya ditangani hanya oleh perusahaan milik negara (BUMN). Dan dalam masa itu pula kebutuhan yang tinggi akan semen tidak kunjung diimbangi oleh suplai yang cukup. Kenyataan ini pada masa-masa tertentu menimbulkan gejolak harga semen yang peningkatannya pernah hampir dua kali lipat. Akhirnya, ketika swasta turut megambil prakarsa membangun pabrik semen, roda pembangunan juga tengah berputar cepat berkat devisa minyak dan gas bumi. Selama sepuluh tahun (1973-1983) pertumbuhan konsumsi semen di Indonesia rata-rata berlangsung sebesar 18 persen setiap tahun. Melihat pertumbuhan konsumsi yang kembali membaik, Indocement tampaknya sekarang berada di jalan yang memiliki prospek baik dan terentang panjang. Kedelapan pabrik yang ia miliki masih tergolong baru. Pabrik semen itu sendiri adalah pabrik yang berusia panjang. Apalagi ia beroperasi di negeri yang kaya akan bahan baku. Di belakang lokasi kedelapan pabriknya di daerah Citeureup, wilayah Jawa Barat, sekita 45 kilometer di sebelah selatan Jakarta, Indocement Group memiliki deposit untuk bahan baku yang diperhitungkan akan bertahan lebih dari enam dasawarsa, sampai pertengahan abad XXI. Karena itulah tentunya management Indocement optimis dalam melihat prospek usahanya. Dan satu hal yang mereka banggakan ialah seperti yang dikatakan Judiono, "Local content produk kami besar sekali. Di sana dengan delapan pabrik tersebut dioperasikan 16 silo sement, 16 rotary packer dengan kemampuan masing-masing mesin 2.000 kantong semen per jam, 26 stationary packer dengan kemampuan masing-masing 1.000 kantong per jam. Tenaga listrik dihasilkan sendiri dengan mengoperasikan 27 diesel genset dengan kapasitas total sebesar 2,75 MW. Perawatan dan fasilitas batu bara untuk mendapatkan energy yang murah juga melengkapi pabrik ini. Di pabrik ini pula salah satu kunci sukses produk untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, yakni quality control, dilaksanakan dengan mengoperasikan teknologi canggih. Test kualitas dengan komputerisasi, sanggup memberikan hasil hanya dalam 60 detik. "Bagi industri semen, pengawasan mutu seperti ini amat penting," kata Hariadi. Bahan yang kami olah, kata lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, berasal dari alam dan pasti memiliki kandungan yang tidak merata dan tidak seragam. "Dalam hal teknologi ini, Indocement tidak ingin tergantung pada satu negara. Ia memanfaatkan teknologi Jepang, Jerman Barat, Spanyol dan Perancis. Adakah polusi yang ditaburkan pabrik? "Dalam hal ini pabrik Indocement tergolong baik," kata Dirjen Kimia Dasar, Wardijasa. Kalau pun polusi ada, "Polusi oleh asap kendaraan di jalan raya jauh lebih berhaya ketimbang pencemaran udara oleh pabrik semen," kata Ir. Setiadi. Kandungan silikat yang dicemaskan orang itu sangat kecil. Yang terbang ke luar pabrik semen adalah debu semen dan uap air. Bagi kami, kata Judiono, tak sedikit pun ada keinginan untuk membiarkan debu itu terbang ke luar. Karena debu semen tersebut mempunyai nilai ekonomis. Membiarkan debu itu terbang berarti membiarkan uang melayang ditiup angin." Tetapi yang bertiup dari pabrik semen memang bukan sekadar debu semen dan uap air. Kehadiran pabrik Indocement di Citeureup, membawa multiplier effects, yang sedikit banyaknya turut mengangkat perekonomian desa di kawasan itu. Pembangunan jalan dan rangsangan untuk tumbuhnya kegiatan ekonomi rakyat di sekitar kawasan pabrik, agaknya menjadi sumbangan tak langsung perusahaan ini bagi masyarakat dan kawasan yang ia tempati itu. Lapangan pekerjaan baru juga turut ia ciptakan. Indocement kini mempekerjakan lebih dari 4.000 karyawan. Untuk tingkat Satpam saja, "Sekitar 400 orang," kata Ir. Hariadi. Bagaimanapun penciptaan lapangan kerja baru adalah fungsi ekonomi yang sekaligus bermakna sosial bagi sebuah perusahaan. Tanggungjawab sosial ini oleh Indocement ditunaikan dari waktu ke waktu dalam berbagai ragam antara lain pembangunan rumah sakit, mengadakan khitanan massal bagi warga di sekitar pabrik, sumbangan untuk korban bencana alam (bahkan juga untuk musibah di Bangladesh), serta pembangunan sarana olahraga.* Industri Semen di Indonesia ============================================================= Perusahaan Industri SemenKapasitas Terpasang (ton per tahun) ============================================================= 1. P.T. SEMEN PADANG 2,130,000 2. P.T. SEMEN GRESIK 1,500,000 3. P.T. SEMEN TONASA 1,220,000 4. P.T. SEMEN CIBINONG 1,500,000 5. P.T. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA 7,700,000 6. P.T. SEMEN NUSANTARA 750,000 7. P.T. SEMEN BATURAJA500,000 8. P.T. SEMEN ANDALAS 1,000,000 9. P.T. SEMEN KUPANG120,000 10. P.T. TRIDAYA MANUNGGAL PERKASA 1,200,000 =========================================================== TOTAL 17,620,000 =========================================================== Struktur Kepemilikan Saham Indocement =========================================================== PEMEGANG SAHAMJUMLAH SAHAMPERSENTASE =========================================================== PEMERINTAH RI186.986.000 33,75 SWASTA PT MEKAR PERKASA 267.123.000 48.23 SUDWIKATMONO 40.069.000 7,23 IBRAHIM RISJAD 40.068.000 7,23 ------------ ------- 347.250.000 62,69 YAYASAN YAYASAN SUPER SEMAR 6.573.000 1.19 YAYASAN DHARMAIS 6.573.000 1,19 YAYASAN DAKAB 6.573.000 1.19 ----------- -------- 19.719.000 3.356 =========================================================== TOTAL: 5532.965.000 100 =========================================================== Industri Semen di Indonesia: Penyediaan Dana Murah dan Pengamanan Suplai Serangkaian kebijaksanaan deregulasi yang dilaksanakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhlr berhasil membuahkan kegairahan dan pertumbuhan dalam kegiatan ekonomi Indonesia. Industri semen, sektor yang karena kedudukannya yang vital dan strategis cenderung mendapatkan pengaturan pemerintah, kini kemball memasuki prospek cerah yang dilahirkan oleh kebijaksanaan deregulasi itu. Produksi dan konsumsi semen di dalam negeri, serta permintaan dari mancanegara, kini memperlihatkan angka yang meningkat dari tahun ke tahun. Masa depan yang cerah ini ditemukan kembali oleh industri semen setelah menghadapi masa sulit pada pertengahan 1980-an lalu. Sepanjang 1984-1985 misalnya, pertumbuhan konsumsi dalam negeri hampir-hampir tak terjadi, padahal pasar utama industri semen adalah konsumen dalam negeri. Kelesuan yang berlangsung hampir tiga tahun itu, bagaikan antiklimaks untuk perkembangan industri semen yang selama sepuluh tahun sebelumnya, menikmati pertumbuhan demand yang sangat cepat. Sejak 1973 sampai 1983 permintaan akan semen meningkat pesat. Konsumsi dalam negeri mencatat angka pertumbuhan rata-rata sebesar 18 persen per tahun. Pada masa itu kegiatan sektor konstruksi memang dalam kegairahan tinggi akibat mengalirnya dana minyak dalam pembiayaan pembangunan. Tetapi resesi dunia yang kemudian disertai oleh krisis minyak bumi membalikkan keadaan, dan bahkan membawa kelesuan. Kelesuan dan penyusutan pendapatan dari minyak bumi itulah sebetulnya yang diantisipasi pemerintah Indonesia. Sejak Pelita IV yang lalu, pemerintah menyuarakan agar swasta mengambil peranan lebih banyak dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan dalam Pelita V sekarang pihak swasta diminta memobilisasikan dana lebih besar dibandingkan dengan pihak pemerintah. Dari Rp 235 trilyun dana yang diperlukan dan harus dimobilisasikan dalam Pelita V, 55 persen harus diupayakan kalangan swasta. Rencana pemerintah inilah yang ditunjang oleh berbagai langkah kebijaksanaan, baik berupa debirokratisasi maupun kebijaksanaan deregulasi perekonomian. Kini ia sudah memperlihatkan hasil nyata. Hasil nyata tersebut dapat dibaca antara lain lewat sektor industri pengolahan. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata "terangkat", karena pertumbuhan sektor industri yang jauh melampaui target pertumbuhan rata-rata per tahun Pelita IV, sebesar 9,5 persen. Kini peranan sektor industri pengolahan sendiri menunjukkan peningkatan dari 12,74 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dalam tahun 1983 menjadi 18,4 persen pada tahun 1988. Bahkan jika diukur atas dasar harga yang berlaku, peranan industri pengolahan dalam 1988 tersebut mencapai 18,52 persen dari PDB Peranan sektor industri pengolahan ini, melampaui target Pelita. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hampir seperlima dari kegiatan perekonomian Indonesia adalah kegiatan sektor industri pengolahan. Dalam pertumbuhan industri semen sendiri, dapat diperkirakan bahwa peningkatan demand di dalam negeri akan terjadi sekitar 10 persen per tahun hingga 1994 mendatang. Dengan kapasitas terpasang sebesar 17,4 juta ton per tahun, industri semen Indonesia dewasa ini mencatat angka produksi sebesar 15,6 juta ton. "Kebutuhan semen dalam negeri kini mencapai 10,9 juta ton per tahun, kata Ir. Wardijasa, Direktur Jenderal Kimia Dasar Departemen Perindustrian. Ekspor per tahun sekarang 3,5 juta ton. Berarti, setiap tahun Indonesia mencatat surplus semen sebanyak 1,27 ton. Surplus ini tentunya berguna untuk mengamankan pelonjakan permintaan dalam negeri, dan juga untuk peningkatan ekspor. Tentang eskpor tersebut, Ketua Asosiasi Semen Indonesia, Ir. Setiadi Dirgo berkata, Dalam perkembangan terakhir ini, ekspor terlihat sangat menarik. Ia disebut menarik karena jumlahnya cukup banyak. Volume ekspor semen Indonesia meningkat dari 2,6 juta ton (1987) menjadi 3,5 juta ton pada tahun berikutnya. Untuk 1989 ini ia diperkirakan sekitar 4 juta ton. Ini adalah manfaat yang dipetik oleh industri semen Indonesia setelah terjadinya perubahan drastis di kawasan Asia Pasifik. Perubahan itu antara lain ialah pengurangan produksi semen di Jepang, dalam jumlah yang banyak sekali. Karena kian tingginya nilai Yen terhadap dollar AS, harga semen produksi Jepang menjadi kian mahal dan tak kompetitif lagi di pasar internasional. Pemerintah Jepang lantas mengambil langkah regulasi, dengan mengurangi produksi. Jika pada 1978, jumlah produksi semen di negeri itu mencapai 125 juta ton per tahun, kini jumlah tersebut tinggal hanya sekitar 75 juta ton. Pengurangan volume produksi Jepang itu sampai sekitar 50 juta ton per tahun, atau sekitar tiga kali produksi nasional Indonesia. Ekspor semen Jepang pun mandeg. Bahkan ia lebih suka mengimpor, daripada membuat semen sendiri. Di sisi lain, beberapa negeri di Asia tidak siap melayani lonjakan permintaan semen dalam negerinya masing-masing yang mengharuskan mereka melakukan impor. Filipina dan Muangthai misalnya, pernah menerapkan kebijaksanaan harga yang sangat rendah. Akibatnya tidak satu pun pabrik mereka yang sanggup berkembang, bahkan sebagian ada yang ditutup. Akibatnya ialah, kedua negeri itu kini harus mengimpor semen. Padahal dahulu, Indonesia membeli semen dari Muangthai dan Filipina. Perkembangan ekspor semen Indonesia juga menarik karena harganya cukup baik. Harga semen Indoresia kini cukup kompetitif. Pada awal 1988 harga semen ekspor Indonesia adalah US$ 26 per ton (fob). Tahun ini harga itu bergerak antara US$ 38 dan US$ 43 per ton (fob). "Di lingkungan ASEAN kitalah yang paling kuat dalam ekspor semen ini, ujar Setiadi yang juga menjadi Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Dalam kondisi sekarang, di ASEAN yang mengalami surplus semen hanyalah Indonesia. Industri semen adalah industri strategis dan berkedudukan vital. Karena itulah pemerintah di berbagai negara di dunia, cenderung untuk mengatur industri ini. Bagaimanapun, masyarakat yang membutuhkan semen dan industri semen itu sendiri harus dilindungi. Jenis industri ini adalah heavy capital industry, yang tak mudah dikelola dengan memanfaatkan dana pinjaman dari bank yang dikenai tingkat bunga tinggi. Return of investment untuk industri ini memerlukan waktu lama. Pembangunan pabrik dari grassroot, memerlukan waktu sekitar 3 sampai 3,5 tahun untuk sampai pada tahap awal produksi komersial. Tetapi untuk perusahaan seperti Indocement, saat sekarang sudah menjadi masa di mana ia tinggal berkembang. Sampai dengan tahun 1973, seluruh industri semen di Indonesia sepenuhnya berada dalam tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebelum deregulasi perbankan bulan Juni 1983 yang lalu, kredit investasi rupiah sangat terbatas. Indocement misalnya, mengawali kegiatannya pada 1973, hanya mempunyai satu pilihan dan terpaksa memanfaatkan kredit dari Perancis, Spanyol dan sindikasi pinjaman komersial luar negeri, baik dalam mata uang dollar AS maupun Multi Currency. Untuk perusahaan yang memakai kredit luar negeri seperti ini, kebijaksanaan devaluasi -- naiknya nilai dollar AS terhadap rupiah -- membuat beban hutang kian menindih. Karena itulah, bagi industri semen swasta risiko kredit terasa lebih berat dibandingkan dengan industri semen BUMN yang dibiayai pemerintah dengan rupiah. Walau kebijaksanaan deregulasi perbankan 1983 mengizinkan industri semen memanfaatkan dana bank dalam negeri, tingkat bunga yang dirasakan masih tinggi tetap agak menyulitkan perkembangan usaha. Oleh karena itu, terbukanya kesempatan untuk memanfaatkan dana murah dari masyarakat -- lewat go public -- setelah keluarnya kebijaksanaan baru di bidang pasar modal pada akhir 1987, membuat industri semen menemukan pilihan yang lebih banyak memberikan kemungkinan dalam memperoleh keuntungan. Apalagi jika kenyataan ini dihubungkan pertumbuhan pasar baik di dalam maupun di luar negeri. Indocement membuat estimasi pertumbuhan permintaan pasar dalam negeri untuk 1990 sebesar 806 ribu ton. Artinya, permintaan dalam negeri untuk Indocement akan meningkat hampir 20 persen. Situasi ini sudah mendekati keadaan kegairahan pasar di masa oil boom tempo hari. Dengan proyeksi pertumbuhan pasar dalam negeri tersebut diperkirakan akan meningkatkan perkembangan pangsa pasar Indocement. Pasaran ekspor dalam beberapa tahun di muka tampaknya pun tidak akan menghadapi masalah. Ini diakui oleh Ir. Dady Hariadi, Direktur Riset dan Pengembangan Indocement. Muangthai yang kini mengalami lonjakan permintaan akan semen, sementara ia belum siap untuk menambah produksi, sudah memesan 1,5 juta ton untuk 1990. Indocement yang dapat dikatakan sebagai pemegang supremasi dalam produksi semen nasional, dengan mengisi 45 persen dari total produksi semen nasional, juga memegang supremasi tersebut untuk ekspor. Dari 3,5 juta ton ekspor semen Indonesia per tahun sekarang ini, Indocement memegang bagian terbesar. Dalam jumlah ini Indocement hanya didampingi PT Semen Padang yang memberikan suplai 400.000 ton. Sementara pabrik semen lain belum siap dengan penambahan kapasitas produksi, adanya peningkatan permintaan di dalam negeri dapat dipastikan akan "dimakan" sendiri oleh Indocement dengan mengalihkan penjualan ekspornya ke dalam negeri. Kenyataan-kenyataan inilah sebetulnya yang melahirkan estimasi bahwa dalam masa-masa mendatang industri semen Indonesia dapat berkembang ke tingkat yang lebih kuat. Di sisi lain, kebutuhan dalam negeri yang kini mulai berkembang kembali melahirkan perhitungan, bahwa jika penambahan kapasitas produksi tidak disiapkan sejak sekarang, pada tahun 1993 akan tercapai kelebihan permintaan atas semen. Keadaan itu tentunya akan merugikan masyarakat konsumen, terutama kegiatan konstruksi. Ekspansi tampaknya sudah harus disiapkan. Dengan melihat cerahnya prospek pasar dalam negeri dan untuk mempertahankan penjualan ekspornya, Indocement sendiri kini sedang mempelajari penambahan kapasitas dengan cara memodifikasi pabrik yang ada atau satu line tambahan di lokasi yang telah disediakan di samping pabriknya yang kedelapan (P8). Investasi di bidang ini sekarang semakin baik karena selain secara ekonomis ia membuka peluang bisnis yang cerah keadaan sosial politik Indonesia pun sangat mendukung. Indonesia kini adalah negara yang dapat disebut sebagai negeri paling stabil dari segi politik di kawasan Asia Tenggara. Penyertaan modal masyarakat baik dari dalam maupun dari luar negeri ke dalam industri semen, membuka peluang bagi perusahaan untuk meningkatkan efisiensi serta meningkatkan keuntungan. Ia sekaligus berarti memperkuat barisan ekspor nonmigas, selama surplus dalam negeri tetap ada. Bagi para pemodal saham dari dalam negeri ia juga dapat membuahkan pemerataan keuntungan ke tengah khalayak, selama aktivitas jual beli saham tidak semata-mata dilakukan dengan semangat spekulasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus