Ide Anak Agung Gde Agung, ketika menjabat Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, menolak pembentukan Pemerintah Federal Sementara tanpa keikutsertaan Soekarno dan pemimpin-pemimpin republik lainnya. Tetapi, di zaman Demokrasi Terpimpin, Bung Karno memenjarakannya. Inilah sebagian perjalanan hidup putra raja Gianyar yang lahir pada 24 Juli 1921 itu. Ia menerima gelar sarjana hukum di Jakarta dan gelar Doktor ilmu sejarah di Utrecht, Negeri Belanda. Pernah menjabat berbagai posisi penting seperti: Mendagri NIT, Perdana Menteri NIT, Mendagri RIS, Menlu RI, Dubes di beberapa negara, anggauta lembaga proyek-proyek lanjutan -- Institute for Advanced Project -- di East-West Center, Honolulu juga penulis kolom di majalah Star Weekly. Penuturan atas permintaan TEMPO ini disampaikan kepada Priyono B. Sumbogo. PADA Juli 1945 masyarakat Bali melihat bintang bercahaya terang yang berekor panjang di ufuk timur. Bagi masyarakat Bali, ini adalah pertanda akan tibanya suatu musibah akibat pergantian zaman atau kekuasaan. Menjelang terjadinya "Puputan Badung" bulan September 1906 dan sirnanya Kcrajaan Badung, orang juga melihat bintang berekor. Pada 14 Agustus 1945, saat saya sedang menunggu bayi pertama di rumah sakit di Denpasar. Kurang lebih pukul 3 sore saya diberi tahu oleh seorang petugas daerah Gianyar bahwa semua shucho -- kepala daerah -- diperintah agar menghadap panglima tentara Jepang di Bali. Ia seorang kolonel angkatan laut bernama Hashimoto. Kira-kira pukul 4 sore, kami para shuchf yang dapat dihubungi berkumpul di Markas Besar Angkatan Laut Jepang di Denpasar. Markas itu terletak di rumah bekas asisten residen Belanda, dan sekarang menjadi kediaman resmi Gubernur Bali. Di ruang kerja Kolonel Hashimoto, pertemuan itu berlangsung dalam keadaan dan suasana amat tertekan. Kolonel Hashimoto berpidato dengan tersendat-sendat, yang diterjemahkan oleh seorang juru bahasa. Dari pidato tersebut, kami mendengar bahwa Amerika telah menjatuhkan genshi bakudan -- bom atom -- di Hiroshima dan Nagasaki. Berdasarkan keadaan menyedihkan ini, Tenno Heika memerintahkan agar Angkatan Perang meletakkan senjata dan terpaksa minta damai dan menyatakan takluk pada semua tuntutan Sekutu, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Postdam. Kolonel Hashimoto berterima kasih atas kerja sama shucho dan rakyat Bali di masa silam. Hashimoto juga mendoakan agar Pulau Bali di masa akan datang dapat menghadapi masa peralihan yang sulit itu. Dia menerangkan juga bahwa sebelum pasukan Sekutu tiba di Bali, Angkatan Perang Jepang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di Bali. Selama mendengarkan pidato, pikiran saya berada pada istri saya yang sedang berjuang melahirkan bayi. Ketika pertemuan dengan panglima itu selesai, saya cepat-cepat pergi ke rumah sakit untuk mendampingi istri yang sedang bergulat dengan kesakitan menghadapi krisis kelahiran bayi kami. Tidak lama kemudian, lahirlah bayi kami dengan selamat, bayi laki-laki. Jam menunjukkan pukul 4.30 sore. Saya dan istri saya sangat gembira dan bahagia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa anak laki-laki yang lahir tepat pada berakhirnya Perang Pasifik. Berakhirlah pendudukan tentara 3epang yang telah membawa begitu banyak malapetaka bagi rakyat Bali, dan terutama bagi keluarga kami. Ayah saya, Ide Anak Agung Ngurah Agung, ditangkap Kenpeitai -- polisi militer Jepang pada Agustus 1943 karena menentang pemerintahan militer Jepang dan kemudian diasingkan ke Lombok. Nampaknya Jepang, yang takut akan menerima konsekuensi dari tindakannya terhadap ayah saya itu, buru-buru memerintahkan agar Ayah dibebaskan dan diberangkatkan segera ke Bali. Kemudian saya mendengar kabar bahwa pada 14 Agustus Ayah mendapat perintah dari petugas Jepang di Selong, Lombok Timur, agar bersiap-siap diberangkatkan ke Bali. Pada 15 Agustus 1945 Ayah berangkat dari Ampenan, Lombok Barat, menumpang kapal kayu kecil bermotor menuju pelabuhan Padangbai di Bali Timur melalui Selat Lombok yang terkenal ganas dengan ombaknya yang besar. Setelah diombang-ambingkan badai besar, sore hari Ayah tiba di Padangbai. Dan seketika meneruskan perjalanan pulang ke Puri Agung Gianyar. Dengan mengucapkan doa syukur, kami sekeluarga bertemu kembali dengan Ayah, yang selama dua tahun meringkuk di pengasingan. Saya adalah putra sulung raja Gianyar, Ide Anak Agung Ngurah Agung. Ayah mempunyai sembilan anak dari berjenis ibu. Poligami pada waktu itu adalah soal biasa. Beliau memiliki 24 istri. Saya dilahirkan di Puri Agung Gimyar pada 24 Juli 1921. Ibu saya adalah putri Punggawa Ubud Cokorde Gde Sukawati, yang sangat terkenal di Pulau Bali. Ibu berasal dari golongan bangsawan, dari puri yang kedudukannya sama dengan Ayah. Karena anak sulung, sayalah pewaris utama takhta Ide Anak Agung Ngurah Agung. Dan saya termasuk generasi kesepuluh dari dinasti Manggis, yang berkuasa di Gianyar semenjak awal abad ke-17. Kerajaan Gianyar adalah salah satu di antara sembilan kerajaan di Pulau Bali. Didirikan oleh Dewa Manggis Kuning, yang kemudian menyebut keturunannya dengan nama Dinasti Manggis. Ayah saya memangku jabatan raja setelah Gianyar berada di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Beliau menggantikan kakek saya pada 1913. Kakek saya, Dewa Gde Raka, memangku jabatan raja pada 22 Desember 1896. Waktu itu Kerajaan Gianyar masih bebas dan berdaulat. Namun, pada masa itu timbul perang saudara antarkerajaan di Bali Selatan. Dan Kerajaan Gianyar dimusuhi dan diserang oleh Kerajaan Klungkung, Badung, Tabanan, dan Bangli. Dewa Gde Raka sadar bahwa dia tidak dapat mempertahankan integritas kerajaannya terhadap serangan empat kerajaan itu. Untuk menghindarkan kehancuran -- dan atas desakan para pemuka rakyat -- dia mengadakan pendekatan dengan Pemerintah Belanda untuk menempatkan Gianyar di bawah perlindungan Pemerintah Hindia Belanda. Pada Maret 1900 ditandatanganilah sebuah pernyataan antara Dewa Gde Raka dan Residen Belanda, F.A. Liefrinck, di Gianyar. Sejak itulah Gianyar berada di bawah perlindungan Belanda dan Dewa Gde Raka diberi gelar Sredehouder -- wakil Pemerintah Hindia Belanda di Gianyar. Puri Agung Gianyar sekarang masih utuh dan tegak berdiri di Kabupaten Gianyar. Di dalam puri inilah masa kanak-kanak saya berlangsung sampai saya mengakhiri Hollandsch Inlandsche School (HIS) sekolah dasar pada waktu itu. Tata kehidupan di dalam puri semasa saya kanak-kanak tidaklah berbeda dengan apa yang telah berlaku berabad-abad lamanya. Yakni dengan norma-norma dan tata krama yang ketat. Kurang lebih 100 orang bermukim di puri itu. Terdiri dari keluarga, petugas-petugas, dan abdi dalem yang makan tidur di sana sebagai satu keluarga besar. Ayah saya menjadi kepala keluarga, sebagai primus interparis yang dihormati dan disegani. Segala perintah dan petunjuknya harus dilaksanakan secara mutlak tanpa reserve. Ayah tidak mendapat pendidikan formal di sekolah. Maklum, waktu kecilnya di Gianyar belum ada sekolah. Beliau memperoleh pendidikan di rumah, dalam bidang agama, adat, sejarah, dan sastra Hindu Jawa dari pendeta-pendeta dan pakar-pakar umat Bali. Untuk memberi pelajaran membaca dan menulis huruf Latin, ditunjuk seorang guru khusus. Sekalipun demikian, beliau mempunyai pandangan yang jauh. Beliau muncul sebagai pemimpin yang berwibawa. tegas, dan cakap. Beliau menjadi seorang administrator dan pamong yang disegani dan dihormati. Ini dapat saya buktikan lewat pengalaman saya waktu masih kanak-kanak dan remaja. Beliau mendidik saya agar berkembang menjadi manusia yang baik, jujur, hormat kepada orangtua, saleh, tekun beragama, menghormati sila-sila agama Hindu Bali dan adat yang berlaku. Beliau juga mengajarkan agar saya menghormati tata krama dan aturan protokoler di lingkungan puri dalam pergaulan hidup di antara para bangsawan. oleh karena itu, sekalipun masih kecil, saya diwajibkan menyertai beliau pada tiap upacara agama di pura-pura dan upacara-upacara adat. Saya juga diajak menghadiri pembacaan-pembacaan sastra kuno Jawa Hindu yang sangat beliau minati. Kemahiran beliau tidak ada tandingannya di Bali. Maka dari itu, dalam usia sangat muda saya sudah mengenal cerita-cerita wayang dan kisah-kisah sastra kuno Jawa Hindu seperti Ramayana, Bharata Yudha, atau Adi Parwa. Pendeknya, semenjak masih muda, Ayah telah meletakkan dasar yang kuat dalam kehidupan dan perilaku saya mengenai kebudayaan, adat, dan agama hindu Bali yang menjadi sendi kehidupan saya, way of life saya. Ketika di Klungkung -- kurang lebih 10 kilometer dari Gianyar -- dibuka HIS, pada 1928 Ayah mengirim saya bersama saudara perempuan saya, Anak Agung Isteri Muter, ke sana. Waktu itu saya berusia tujuh tahun. Inilah pendidikan formal bagi saya. Akan tetapi, saya tidak meninggalkan adat, perilaku, pemikiran-pemikiran, dan agama Hindu. Saya tetap tinggal di Puri Agung Gianyar. Tiap hari mondar-mandir naik mobil tua ke Klungkung. Pada 1934 saya menyelesaikan pendidikan HIS. Di Bali pada waktu itu tidak ada sekolah menengah. Karena Ayah berpendapat bahwa saya dan saudara perempuan saya harus mendapat pendidikan lanjutan, maka kami berdua dikirim ke Malang, Jawa Timur, ke MULO di sana sekarang setingkat SMP. Sekali lagi Ayah memperlihatkan pandangan yang sangat jauh. Walaupun mendapat tantangan keras keluarga, Ayah tetap mengirimkan anak perempuannya sekolah ke Malang. Yang mencolok, kami berdua ditempatkan -- indekos pada keluarga Belanda totok, yaitu keluarga Van Velthoven, Direktur MULO. Ayah membayar uang kos Fl. 150 (seratus lima puluh gulden) sebulan untuk kami berdua. Jumlah yang cukup besar waktu itu. Bahkan lebih besar dari gaji camat. Nampaknya, tujuan Ayah mengirim kami ke lembaga pendidikan Barat adalah agar kami mengetahui tata kehidupan dan kebudayaan Barat. Beliau yakin, dengan pendidikan itu, diharapkan kami dapat berdiri sejajar dan dihormati, tanpa perasaan rendah hati bila berhadapan dengan orang-orang Barat. Setelah tiga tahun di MULO, saya pindah ke Hogere Burgerschool (HBS) Malang. Lagi-lagi, Ayah mencarikan rumah indekos pada keluarga Belanda totok, yakni keluarga Schaay, guru pelajaran geografi HBS. Sedang saudara perempuan saya meneruskan sekolah ke Surabaya. Jadi, kalau ditambah dengan sewaktu sekolah di MULO, maka lima tahun lamanya saya indekos di rumah keluarga Belanda totok. Hanya pada masa libur saya pulang ke Gianyar. Misalnya libur Natal, Paskah, atau liburan sekolah pada Juni sampai Juli. Selama kos, kedua keluarga Belanda itu memperlakukan saya sebagai anak kandung sendiri. Saya mengikuti tata kehidupan Barat, khususnya tata kehidupan Belanda, secara total dan komplet. Namun, saya tidak pernah meninggalkan adat-istiadat Bali. Di tengah keluarga Belanda, saya berperilaku menurut tata kehidupan Belanda. Tetapi, bila kembali ke Bali, saya berperilaku menurut tata cara Puri Agung Gianyar. Perkenalan dan sentuhan kebudayaan Barat pada diri saya tidaklah mengaburkan cakrawala dan wawasan tata kehidupan saya sebagai putra Bali. Lima tahun hidup secara intensif dalam lingkungan keluarga Belanda totok justru menghasilkan akulturasi di dalam kepribadian saya antara kebudayaan Barat dan Timur. Dengan mengenal dua kebudayaan dan dua dunia itu, pandangan dan wawasan saya menjadi lebih luwes dan toleran. Kemudian ini menjadi bekal yang sangat berharga di kemudian hari. Usai menempuh HBS pada umur 18 tahun, saya meninggalkan Malang. Sekarang tiba saatnya memilih perguruan tinggi. Saya memilih Rechts Hogereschool -- semacam fakultas hukum -- di Jakarta. Saya tinggal di asrama mahasiswa di Jalan Pegangsaan Timur 17, Jakarta, hingga Oktober 1941, setelah menggondol ijazah sarjana muda. Saya kembali ke Gianyar. Ketika itulah keadaan politik di Pasifik tegang. Jepang melancarkan perang blitz -- perang kilat -- ke wilayah jajahan Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Dalam waktu singkat, satu demi satu pangkalan Belanda jatuh. Makassar dan Tarakan sudah dikuasai. Bali dan Jawa pasti menyusul. Pada 16 Februari 1942, lapangan terbang Denpasar jatuh. Opsir Belanda dan panglimanya, Letnan Kolonel Rodenburg, tunggang-langgang ke Jawa. Pada 23 Februari 1912 satu kompi pasukan Jepang mengepung Gianyar tanpa perlawanan. Komandan Jepang menemui ayah saya di Puri Agung. Kebetulan saya juga hadir. Komandan itu berkata bahwa sejak hari itu Pemerintah Jepang berkuasa atas Gianyar. Dalam tata pemerintahan militer Jepang, ditetapkan bahwa wilayah Sumatera, juga Malaya dan Jawa, berada di bawah kekuasaan angkatan darat Jepang. Sedangkan Borneo dan Indonesia bagian Timur, termasuk Bali, di bawah angkatan laut (Kaigun). Kaigun tidak membawa perubahan prinsip terhadap tata pemerintahan di Bali. Delapan raja yang berkuasa selama pemerintahan Hindia Belanda sebagai kepala pemerintahan swapraja dikukuhkan oleh Kaigun. Tetapi namanya diubah menjadi shucho dan bertanggung jawab kepada Minseibu Chokun -- Gubernur. Saya diangkat menjadi pembantu Ayah untuk melaksanakan pemerintahan sehari-hari di Gianyar. Itu sampai awal 1943. Permulaan 1943 saya mendapat perintah tugas di kantor gubernur di Singaraja sebagai pembantu kepala bagian umum yang bernama Inaeiki. Saya punya firasat bahwa kepindahan saya itu memiliki latar belakang tertentu yang tidak dapat saya ramalkan. Baru pada Juli 1943. saya mengetahui latar belakangnya. Saya mendengar berita bahwa Kenpeitai -- polisi rahasia Jepang -- menyelidiki Gianyar. Banyak handai-tolan ditangkap dan disiksa. Agustus 1943 Puri Agung Gianyar dikepung. Kawashima -- pemimpin Kenpeitai -- menangkap Ayah dan membawanya ke Denpasar untuk diinterogasi. Ayah dituduh menentang kekuasaan Kaigun di Bali. Beliau diasingkan ke Lombok. Sayalah yang kemudian ditunjuk Jepang menggantikan Ayah sebagai Shuho Gianyar yang baru. Kabinet Anak Agung Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, selama berkobarnya revolusi mempertahankan kemerdekaan, saya tidak turut dalam perjuangan fisik atau perang gerilya. Karena saya bertugas melaksanakan pemerintahan sehari-hari demi kesejahteraan penduduk. Setibanya tentara Sekutu di Bali pada 12 Maret 1946, saya berunding dengan pihak Sekutu untuk mendapatkan pemecahan masalah politik dan pemerintahan di Bali. Pemuda-pemuda Bali, di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai -- seorang bekas opsir Pasukan Prayoda Bali -- bergerilya terus, untuk mempersulit usaha Belanda mengonsolidasikan kedudukan pemerintahannya. Tetapi musibah tidak dapat dihindarkan. Pada 20 November 1946, di salah satu tempat dekat Desa Marga, Tabanan, pasukan Ngurah Rai bisa dikepung Belanda. Terjadilah apa yang dikenal dalam sejarah perjuangan Bali sebagai Pertempuran Margarana. Letnan Kolonel Ngurah Rai pantang menyerah. Semua pasukannya mengadakan perlawanan heroik terhadap Belanda yang berjumlah lebih besar dan memiliki persenjataan serba modern dan lengkap. Ngurah Rai dan semua pasukannya, perwira dan kader, gugur di medan laga. Tidak ada yang mengecilkan kepahlawanan mereka. Tetapi Jenderal Abdul Haris Nasution di dalam bukunya yang mengupas sejarah perjuangan TNI bertanya, apakah tidak sebaiknya Letnan Kolonel Ngurah Rai melaksanakan prinsip perang gerilya: hit and run. Mungkin ada baiknya komentar Jenderal Nasution itu direnungkan. Karena, sesudah musibah Margarana itu, pemuda-pemuda Bali yang ingin meneruskan gerilya, kehilangan pimpinan. Perjuangan bersenjata tidak lagi terpimpin secara teratur dan terpadu. Perkembangan ini membawa akibat politis. Letnan Gubernur Jenderal Van Mook mengambil kesimpulan bahwa Batalyon Gajah erah mampu menjamin keamanan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada 17 Desember 1946 dibukalah Konperensi Denpasar, yang berlangsung tanpa gangguan. Utusan-utusan daerah ditunjuk untuk mewakili daerahnya masing-masing. Saya menjadi salah seorang wakil dari Bali. Pada 24 Desember 1946 Negara Indonesia Timur (NIT) diwujudkan dengan resmi. Sesuai dengan Undang-Undang Pokok Pembentukan Negara Indonesia Timur, konperensi memilih Tjokorde Gde Rake Soekawati -- wakil daerah Bali -- sebagai Presiden Negara Indonesia Timur. Selanjutnya, konperensi juga memilih ketua parlemen. Terpilih Tajuddin Noor, S.H., seorang pengacara asal Kalimantan Timur yang lama menetap di Makassar. Setelah kedua pejabat tertinggi itu dipilih, Tjokorde menunjuk Saudara Nadjamuddin Daeng Malewa, wakil Sulawesi Selatan, sebagai pembentuk kabinet (kabinet formatur). Kemudian Nadjamuddin membentuk susunan kabinet berdasarkan prisip-prinsip berikut ini. Anggota harus terdiri dari orang-orang yang dianggap cakap melaksanakan tugas dan memiliki pengalaman dalam bidangnya masing-masing. Sedapat nungkin anggota-anggota kabinet itu mewakili daerah-daerah bagian Negara Indonesia Timur yang berjumlah 13 daerah. Kabinet harus didukung oleh mayoritas. Jadi, waktu itu asal dianggap cakap dan didukung mayoritas, langsung diangkat jadi anggota kabinet. Mungkin karena baru pertama kali menyusun kabinet, tidak ada persaingan atau iri di antara kami. Saya sendiri ditunjuk sebagai menteri dalam negeri. Pertengahan Februari 1947, saya beserta anak istri berangkat ke Makassar, pusat pemerintahan Negara Indonesia Timur. Sementara waktu, takhta Gianyar saya serahkan kepada adik saya Anak Agung Gde Oka. Tidak lama kemudian, masih pada 1947, dibentuklah Kabinet Nadjamuddin Kedua. Saya ditunjuk lagi menjadi menteri dalam negeri, merangkap wakil perdana menteri. Dalam sidang pertama, saya selaku menteri dalam negeri mengajukan konsepsi susunan dasar pemerintahan yang baru di wilayah Negara Indonesia Timur. Namun, Kabinet Nadjamuddin Kedua ini tidak berlangsung lama. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi. Perdam Menteri Nadjamuddin tersangkut tindak pidana yang boleh dikatakan korupsi. Jaksa Agung NIT melaporkan bahwa Nadjamuddin tersangkut dalam kasus penjualan tekstil. Perkara ini segera diajukan ke sidang pengadilan. Hakim menyatakan Perdana Menteri bersalah menyelewengkan tekstil pemerintah untuk memperkaya diri dan dapat membuktikan adanya tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, ia dijatuhi hukuman penjara 3 1/2 tahun. Peristiwa ini membawa hikmah yang baik bagi masyarakat NIT. Jika seorang perdana menteri bisa dituntut dan dipenjarakan karena korupsi, bahkan diberhentikan, apalagi yang jabatannya lebih rendah. Khalayak menarik kesimpulan bahwa Pemerintah tanpa pandang bulu menindak tiap-tiap tidak korupsi secara tegas. Setelah itu, memang tidak pernah terdengar adanya kasus korupsi lagi. Presiden kemudian menunjuk Saudara Warrow -- menteri kesehatan dalam Kabinet Nadjamuddin -- sebagai pembentuk kabinet baru. Kembali saya ditunjuk menjadi menteri dalam negeri merangkap wakil perdana menteri. Tapi kabinet ini pun tidak bertahan lama. November 1947, saat parlemen mengadakan sidang kedua, Fraksi Progresif mengajukan mosi tidak percaya lagi. Mereka menganggap Perdana Menteri Warrow tidak dengan tegas mengeluarkan pernyataan mengutuk Aksi Militer Belanda Pertama terhadap Republik Indonesia pada Juli 1947. Mosi itu didukung anggota parlemen dari fraksi lain. Dan Kabinet Warrow jatuh pada pertengahan Novcmber 1947. Dengan perkembangan ini, Presiden NIT harus mengangkat seorang formatur pembentuk kabihet yang baru. Presiden Tjokorde Gde Rake Soekawati mengadakan konsultasi dengan semua pemimpin fraksi dalam parlemen. Beliau juga mengadakan konsultasi dengan pemuka-pemuka aliran masyarakat di Makassar dan wakil-wakil pemerintah swapraja di Sulawesi Selatan yang mempunyai pengaruh sangat besar. Sulawesi Selatan memang merupakan daerah bagian NIT terbesar dan terbanyak penduduknya -- sekitar 4 juta jiwa. Berdasarkan saran-saran dari golongan dan pemuka masyarakat itulah, pada akhir November 1947 Presiden menunjuk saya sebagai formiltur yang baru. Saya menerima penunjukan itu dan segera bertugas untuk membentuk susunan kabinet baru. Asas politik dan program kerja kabinet yang saya pimpin dan dimusyawarahkan dalam parlemen adalah sehagai berikut. Asas pendirian negara adalah "federalisme". Federalisme itu merupakan sistem pemerintahan administration -- belaka. Bukan suatu asas politik yang mungkin dipergunakan sebagai saran untuk mengadakan antitesa terhadap Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Bukan asas untuk menimbulkan permusuhan antara NIT dan Republik Indonesia. Sikap saya menyetujui sistem federasi dalam tata pemerintahan Indonesia adalah sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat sentralistis. Belanda mengurus semua segi pemerintahan, termasuk tetek-bengek dari Batavia. Akibatnya, semua pembangunan bidang sosial, ekonomi. dan politik dipusatkan di Pulau Jawa. Daerah-daerah terbengkelai sama sekali. Ini menyebabkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa mengalami kemunduran di segala bidang. I.ihat, misalnya, bidang pendidikan dan kesehatan. Pokok kebijaksanaan lain yang saya ajukan kepada parlemen adalah mengenai pemecahan masalah Indonesia di tingkat nasional. Saya sarankan agar Pemerintah Negara Indonesia Timur mempunyai konsepsi sendiri yang nantinya akan dirundingkan dan dimusyawarahkan dengan Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Kita di Indonesia Timur tidak boleh menerima "diktat" dari Pemerintah Hindia Belanda. Masalah nasional Indonesia harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Lalu, dalam usaha mewujudkan Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat Pemerintah NIT senantiasa harus bekerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sedapat mungkin diusahakan permufakatan dan kata sepakat dalam menghadapi Belanda. Kebijaksanaan nasional ini saya sebut sebagai Politik Sinthese yang menuju suatu penggalangan persatuan pendapat. Tujuannya untuk menghindarkan pertentangan atau antitesa yang dapat dimanfaatkan Belanda dalam memecah belah bangsa kita demi tujuan cita-cita politiknya. Saya pun menyarankan program pembangunan ekonomi menyeluruh dan menggalakkan pcrdagangan interinsuler (antarpulau) dengan Makassar sebagai pusat sekaligus scbagai pelabuhan entrepot -- gudang atau tempat penyaluran barang -- seluruh hasil bumi Indonesia Timur. Selain itu, daerah-daerah yang mengalami kerusakan karena bom Sckutu harus scgera dibangun kembali, seperti Ambon, Kupang, dan Manado. Program kerja dan kebijaksanaan yang saya ajukan disetujui parlemen. Ketiga fraksi juga menyepakati pembagian kursi jabatan menteri. Maka, pada 15 Desember 1947 terbentuklah Kabinet Anak Agung -- kabinet saya yang didukung oleh semua anggota parlemen. KMB Perjanjian Renville, yang ditandatangani Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia pada akhir Januari 144, tidak membawa keredaan politik. Sebaliknya, pertentangan kedua belah pihak semakin memuncak. Bclanda dengan seribu satu jalan berusaha menyabot pelaksanaan Renville. Ini menyebabkan Komisi Jasa-Jasa Baik atau Komisi Tiga Negara Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertindak sebagai penengah, menjadi putus asa. Belanda bahkan menyusun kesatuan-kesatuan tata negara d luar kekuasaan republik yang diperalat untuk melawan Pemerintah Republik Indonesia. Berdirilah Negara Pasundan di Jawa Barat Negara Jawa Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, dan lain-lain. Memang tidak semua negara bentukan Belanda itu dapat diperalat. Negara Pasundan yang dipimpin Adil Puradiredja, misalnya, ingin bekerja sama dengan republik dalam memecahkan masalah Indonesia. Tetapi Negara Sumatera Selatan pimpinan Abdul Malik dan Kalimantan Barat yang dipimpin Sultan Hamid menjadi boneka yang patuh melaksanakan segala perintah Belanda di Batavia. Saya sangat prihatin menyaksikan politik divide et impera itu -- politik memecah-belah. Melihat kondisi semacam itu, Juli 1948, bersama Perdana Menteri Pasundan Adil Puradiredja, saya mengundang semua kepala pemerintahan negara-negara dan daerah-daerah di luar Republik Indonesia untuk mengadakan konperensi di Bandung. Konperensi yang terkenal dengan nama "Bijeenkomstvoor Federaal overleg" -- forum kerja sama federal antara negara-negara bagian dan daerah -- atau yang disingkat BFO, berhasil menyusun konsepsi politik. Itu akan diajukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda sebagai saran guna mengatasi jalan buntu penyelesaian masalah politik kedua belah pihak. Keputusan BFO yang paling penting ialaih "semua gagasan atau saran pihak Belanda kepada kepala pemerintahan negara atau daerah mengenai masalah nasional tidak boleh diputuskan oleh kepala pemerintahan negara atau daerah itu sendiri". Tetapi harus dibicarakan dan dirundingkan terlebih dahulu dalam lingkungan BFO. Van Mook, sebagai petugas Belanda yang berpengalaman, tentu menyadari konsekuensinya. Dia tidak mungkin lagi mempergunakan antek-anteknya -- seperti Sultan Hamid, Dr. Mansyur -- sebagai alat pemecah-belah. Van Mook mulai saat itu sangat membenci saya, karena saya dianggap sebagai konseptornya. Dia melaporkan hal ini kepada pemerintah pusatnya di Den Hag dan menyebut saya sebagai petualang politik yang ambisius, ingin mencari kedudukan, dan menguasai serta mendominasi BFO. Sejak peristiwa itu sampai Van Mook meletakkan jabatan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada November 1948, saya tidak pernah lagi menemuinya. Van Mook diganti Beel - mantan Perdana Mentcri Belanda dari Partai Katolik. Sikapnya sangat reaksioner, sehingga ketegangan di Indonesia kian memuncak. Pada 19 Desemher 1948 pukul 00.00 terjadilah musibah besar. Tentara Belanda melancarkan Aksi Militer Kedua terhadap republik dengan tujuan menduduki Yogyakarta, menangkap Soekarno, Hatta, dan pejahat tinggi republik lainnya, yang kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Pagi harinya, 1 Desember 1948, saya mendengar peristiwa itu lewat pidato Beel di radio. Beel mengumumkan bahwa tentara Belanda telah diberi perintah menyerang Yogyakarta. Segera saya memberi instruksi mengadakan rapat kabinet darurat. Pukul 09.00 rapat dibuka. Saya sarankan kepada rekan-rekan bahwa satu-satunya yang bisa diperbuat Pemerintah NIT ialah mengajukan permohonan kepada Presiden NIT, Tjokorde Gde Raka Soekawati, untuk meletakkan jabatan. Ini merupakan protes terhadap Belanda yang mengingkari janji untuk tidak menempuh jalan kekerasan dalam memecahkan masalah politik. Tindakan ini juga untuk membuktikan solidaritas NIT terhadap republik. Saran saya didukung oleh semua anggota kabinet. Dan saya, bersama Semoukil -- Menteri Kehakiman -- bertolak ke Istana menemui Presiden Soekawati untuk memberitahukan keputusan kabinet. Presiden menerima keputusan kabinet itu. Namun beliau minta agar saya tetap menjalankan tugas sehari-hari dalam kedudukan demisioner sebelum kabinet baru terbentuk. Malam harinya saya mengadakan pidato radio untuk menjelaskan kepada rakyat NIT perihal keputusan Kabinet berikut alasannya. Di tengah-tengah siasat Beel itu, Presiden Soekawati di Makassar menunjuk saya lagi sebagai pembentuk kabinet. Waktu itu kabinet saya -- Anak Agung -- masih demisioner. Pada 12 Januari 1949 terbentuklah Kabinet Anak Agung Gde Agung kedua. Awal Januari 1949, saat sibuk mengadakan perundingan-perundingan dalam pembentukan kabinet, saya menerima undangan Beel agar Pemerintah NIT mengirimkan wakil ke Jakarta untuk bcrunding dengan Belanda dan Drees. Karena Kabinet Anak Agung masih demisioner, NIT tidak mengirimkan wakil. Baru pada 12 Januari sore, setelah kabinet terbentuk, saya, disertai beberapa rekan menteri, berangkat. Tiba di Jakarta, 12 Januari petang, kami segera menuju Gedung Dewan Rakyat (Volksraad) di Taman Pejambon -- sekarang Gedung Pancasila -- untuk menghadiri rapat BFO. Rapat dipimpin Sultan Hamid. Diskusi berjalan sampai jauh tengah malam. Sangat alot dan sering diliputi suasana gawat akibat adanya perbedaan paham. Pembicaraan berkisar pada sikap yang akan diambil BFO dalam pertemuan dengan Beel dan Drees esok hari, 13 Januari, di Istana Koningsplein, Istana Gambir sekarang. Pada rapat BFO saya kemukakan bahwa Pemerintah NIT tidak dapat mengadakan perundingan atau berpartisipasi dalam Pemerintah Federal Sementara dalam bentuk apa pun, tanpa turut sertanya Republik Indonesia. Saya usulkan konsep resolusi yang bentuknya kompromistis, tetapi isinya adalah penolakan pihak BFO terhadap gagasan Beel. Tentu dalam irama susunan kata diplomatis. Saya berhasil meyakinkan semua anggota BFO agar menerima resolusi tersebut. Esoknya, 13 Januari 1949, di Istana Koningsplein, Beel menjelaskan perkembangan politik di Indonesia setelah aksi militer dan keinginan Belanda membentuk Pemerintah Federal Sementara sebagai tindakan peralihan menuju Republik Indonesia Serikat. Beel juga mengimbau BFO agar melaksanakan tugas ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Saya menjawab imbauan tersebut dengan pernyataan bahwa BFO kemarin malam telah mengambil keputusan. Saya persiapkan Sultan Hamid membaca resolusi. Beel menjadi pucat dan kelihatan putus asa. Sedang pegawai-pegawai terasnya tercengang. Tetapi Perdana Menteri Drees tidak memperlihatkan emosi. Dia hanya duduk terpaku di atas kursinya. Beberapa hari kemudian ia kembali ke tanah airnya dengan tangan hampa. Buat Beel, peristiwa ini berarti pukulan. Patut direnungkan, bila Beel berhasil membentuk Pemerintah Federal Sementara tanpa republik atau saya gagal mencegat maksudnya, mungkin perkembangan sejarah politik Indonesia akan sangat berbeda dengan yang telah kita alami dan kita saksikan. Mungkin pemecahan masalah Indonesia akan berlarut-larut dengan timbulnya ketegangan dan pertikaian antargolongan serta campur tangan Belanda, yang dapat berkembang menjadi Vietnam kedua. Selanjutnya, sesuai dengan bunyi resolusi BFO, pada 7 Februari 1949 saya dan beberapa rekan BFO lainnya bertolak ke Muntok di Bangka, untuk menemui pemimpin-pemimpin republik. Selain menjelaskan peristiwa pertemuan dengan Beel dan Drees, kami berunding dengan Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, dan sebagainya mengenai tindakan-tindakan yang akan diambil kemudian. Soekarno-Hatta menjelaskan bahwa Pemerintah Republik ingin menunda pengambilan keputusan sampai Komisi Tiga Negara mengambil prakarsa. Sebab, menurut mereka, semua penyelesaian masalah Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB 28 Januari 1949, yang disponsori Amerika Serikat. Resolusi itu mengutuk aksi militer Belanda dan menghendaki penyelesaian melalui jalan perundingan. Dewan Keamanan PBB memerintahkan Belanda membebaskan pemimpin-pemimpin yang diasingkan. Ini berarti PBB menghendaki agar kekuasaan Pemerintah Republik di Yogyakarta direhabilitasi seperti sediakala. Akibat diterimanya resolusi itu, Belanda mendapat pukulan hebat. Ia terkucil dari politik dan diplomatik internasional. Tetapi Beel tidak tinggal diam. Setelah Resolusi PBB diterima kedua belah pihak pada 28 Januari 1949, dia mengambil prakarsa politik di Indonesia untuk menyelamatkan kedudukan Pemerintah Belanda. Maka, lahirlah Plan Beel -- gagasan Beel. Gagasan yang menyatakan bahwa Belanda bersedia mempercepat penyerahan kedaulatan dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Beel mengirim undangan kepada Soekarno dan Hatta di Pangkalpinang untuk mengikuti KMB. Tetapi mereka diundang sebagai pribadi, bukan sebagai pemimpin sebuah negara. Beel tetap berpendirian bahwa Republik Indonesia telah hapus. Sudah jelas Soekarno-Hatta tidak bisa menerima. Beliau berkata kepada Dr. J.P. Koets -- utusan Beel -- bahwa gagasan Beel diterima dengan baik. Namun, mereka tidak dapat turut serta sebelum Pemerintah Republik disahkan kembali dan semua pemimpinnya dibebaskan tanpa syarat. Harus disadari bahwa bila Soekarno-Hatta menerima undangan itu sebagai pribadi, mereka akan dianggap sebagai pengkhianat oleh rakyatnya. Pada 2 Maret 1949 saya bersama delegasi BFO lainnya pergi ke Muntok. Kami menginap satu malam dan mendapat kesempatan bertukar pikiran secukupnya dengan Soekarno, Hatta, dan lain-lain. Saya dapat mengerti pendirian Soekarno untuk tidak menerima undangan Beel. Maka, saya mengimbau dan mendesak BFO agar mendukung Soekarno dan mendesak Belanda supaya membebaskan pemimpin-pemimpin republik. Saran saya menimbulkan perdebatan dan diskusi sengit dalam sidang BFO (3 s/d 4 Maret 1949). Wakil Sumatera Timur dan Sumatera Selatan menentangnya dengan pidato berapi-api. Karena berlarut-larut, saya minta kepada ketua rapat agar voting mengenai usul resolusi saya. Hasilnya, tidak satu pun menentang. Ini berarti Pemerintah Belanda di Indonesia tidak lagi mempunyai kawan. Dan sekali lagi Beel terpukul. Memang, Beel masih berusaha membujuk Dr. Mansyur dan Sultan Hamid supaya mengadakan rapat lagi untuk membatalkan resolusi yang diambil dengan suara bulat itu. Namun, keinginan Beel tersebut tidak dapat dipenuhi, karena bertentangan dengan Anggaran Dasar BFo. Sekali lagi Beel terpukul. Dua puluh tahun kemudian saya mendengar dari seorang pembantu Beel, Dr. Theo Bot, yang kebetulan bersama-sama bertugas di Wina sebagai duta besar, betapa marahnya Beel pada saya. Menurut Theo, Beel pernah berkata, "Anak Agung menikam saya dari belakang." Karena "pukulan" saya itu, Pemerintah Belanda yakin bahwa Beel tidak dapat dimanfaatkan lagi. Belanda segera mengirim Dr. H.J. Van Roijen -- diplomat kawakan -- ke Jakarta. Dia mendapat instruksi mendekati Komisi Tiga Negara untuk memulai kembali perundingan dengan republik. Maka, pada bulan April, di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara, perundingan dimulai kembali. Belanda diwakili Van Roijen, Republik Indonesia oleh Mr. oh. Roem. Mei 1949 ditandatanganilah pernyataan bersama Van Roijen-Roem yang terkenal itu. Pokok peryataan ini adalah kesanggupan Belanda mengembalikan fungsi Pemerintah Republik di wilayah kekuasaannya dan bersedia membebaskan Soekarno-Hatta serta pemimpin republik lainnya. Selain itu, Belanda bersedia mengosongkan Yogyakarta , dan sekitarnya. Sebaliknya, Soekarno-Hatta bersedia turut dalam KMB. Bahkan diputuskan juga bahwa BFO diakui secara resmi sebagai mitra dalam segala perundingan mengenai pemecahan masalah di Indonesia. Beel, yang tidak menerima pernyataan Roijen-Roem, tiba-tiba meletakkan jabatan. Sementara itu, Soekarno-Hatta dan lain lain kembali ke Yogyakarta awal Juli 1949. KMB dimulai di Den Haag 23 Agustus 1949. Ditutup 2 November 1949. Jalannya sidang sangat alot. Pemerintah Republik dan BFO senantiasa memperlihatkan pendirian yang sama dalam berbagai diskusi vital. Terutama ketika masalah perwujudan "Uni Belanda-Indonesia" yang didambakan Belanda, berlangsung berlarut-larut. Belanda menginginkan Uni sebagai lembaga yang mempunyai wewenang tertentu dengan Ratu Belanda sebagai kepalanya. Sebaliknya, pihak Indonesia hanya mau menerima Uni sebagai lambang kerja sama kedua negara, tanpa suatu wewenang. Dan oleh karena itu tidak perlu mempunyai lembaga pemerintahan. Akhirnya, gagasan Uni ini diterima sebagai lambang kerja sama saja. Tiap-tiap negara memiliki kedudukan sederajat, merdeka, dan berdaulat. Pada 29 Oktober, boleh dikatakan bahwa semua cara telah disetujui. Rencana undang-undang dasar pun selesai disusun dan dapat diparaf wakil-wakil republik dan negara bagian di Hotel Kurhaus di Scheveningen, tak jauh dari Den Haag. Hanya satu soal yang belum dibicarakan, yakni Irian Barat atau Nieuw Guinea. Panitia Pusat (Steering Committee) KMB menerima masalah Irian Barat sebagai mata acara terakhir. Saya tidak berfirasat akan timbul kesulitan. Dulu, di Denpasar, Van Mook pernah berkata bahwa Irian Barat tidak akan dipisahkan dari wilayah Republik Indonesia Serikat. Namun, dalam KMB, delegasi Belanda dengan seribu alasan tidak akan menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat. Pada 30 Oktober, Bung Hatta, Prof. Soepomo, dan Mr. Karim Pringgodigdo -- juga anggota Steering Committee -- meminta saya supaya bertindak sebagai juru bicara. Sehari penuh diadakan diskusi dan perdebatan sengit di dalam Steering Committee. Pihak Belanda tetap ngotot, dan perdebatan terpaksa diteruskan esok harinya, 31 Oktober 1949. Suasana malah bertambah tegang. Dari kedua belah pihak sudah timbul emosi. Saya melakukan konsultasi dengan mengadakan rapat paripurna BFO. Rapat memutuskan bahwa delegasi NIT tetap berpegang untuk mempertahankan Irian Barat. Saya sampaikan keputusan itu kepada delegasi republik di Steering Committee. Siang hari, 31 Oktober 1949, suasana menjadi lebih tegang. Ucapan-ucapan pun makin tajam. Kemungkinan deadlock bertambah jelas. Dan apabila terjadi, berarti KMB gagal. Untunglah, pada saat kritis itu, Bung Hatta mendekati saya. Beliau menyarankan apakah tidak sebaiknya pihak Indonesia memperlihatkan sikap bersedia kompromi. Menurut beliau, biarlah masalah Irian Barat kita serahkan kepada Komisi Tiga Negara (untuk mendapatkan kompromi pemecahannya), asalkan Merle Cochran Duta Besar Amerika Serikat -- yang mengambil prakarsa. Bung Hatta mengatakan bahwa semua pokok acara sudah disepakati, kecuali masalah Irian Barat. Berarti, penyerahan kedaulatan sudah di ambang pintu dan Republik Indonesia Serikat yang merdeka berdaulat akan segera menjadi kenyataan. Bila terjadi deadlock karena soal Irian Barat dan KMB gagal, penyerahan kedaulatan pun akan menjadi tidak menentu. Akhirnya saya menuruti nasihat Bung Hatta. Maka, delegasi republik dan BFO menyampaikan permintaan kepada Merle Cochran, selaku anggota Komisi Tiga Negara, bertindak sebagai penengah. Pihak Belanda pun menyetujuinya. Pukul satu pagi (01.00) dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari wakil-wakil delegasi dan dipimpin Merle Cochran. Belanda diwakili Mr. Blom. Indonesia oleh Prof. Dr. Soepomo. Sedang BFO oleh saya sendiri. Setelah dua jam rapat, panitia kecil berhasil merumuskan naskah yang harus disetujui Steering Committee. Pokok rumusannya ialah "Irian Barat merupakan daerah sengketa" tanpa disinggung siapa yang menguasai hak kedaulatannya. Pada 1 November 1949 Steering Committee mengadakan rapat untuk memeriksa semua naskah yang telah disetujui. Esoknya, 2 November, KMB ditutup dengan upacara di gedung Kesatria (Ridderzaal) di kompleks parlemen Belanda. Tibalah saatnya bagi Indonesia untuk mengadakan persiapan penyerahan kedaulatan dan pembentukan pemerintah Republik Indonesia Serikat. Dibentuklah Panitia Persiapan Nasional (PPN) yang diketuai Mr. Roem -- saya wakilnya. Dan pada 17 Desember 1949 dilangsungkan pemilihan presiden dan wakil presiden. Soekarno menjadi presiden, Hatta wakilnya. Setelah pelantikan, Soekarno menunjuk Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan Hamid, dan saya sendiri sebagai pembentuk kabinet. Pada 20 Desember 1949 terbentuklah Kabinet Hatta. Saya diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Serikat. Dengan ini, sebelum fajar menyingsing tahun 1950, Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat, terwujud. Tetapi mayoritas rakyat menghendaki penghapusan sistem federal dan ingin menggantinya dengan sistem unitarisme. Di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, timbul gerakan dan unjuk rasa menuntut kembalinya unitarisme. Rakyat juga mendesak supaya negara-negara bagian dalam sistem Republik Indonesia Serikat dihapuskan. Sebagai seorang demokrat saya menghormati suara rakyat. Saya memang mempunyai pandangan pragmatis dalam hal federalisme, tetapi itu harus dinilai sebagai suatu sistem pemerintahan belaka. Bukan sebagai senjata politik untuk memecahbelah. Saya tidak keberatan pada keinginan rakyat. Saya sarankan kepada Perdana Menteri Hatta agar segera merumuskan undang-undang untuk mengatur proses pergantian sistem federalisme menjadi unitarisme, dan penghapusan negara-negara bagian. Undang-undang itu disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu, beberapa negara bagian seperti Jawa Timur atau Jawa Barat mengambil prakarsa membubarkan diri. Segala persiapan selesai. Pada 17 Agustus 1950 -- ketika upacara peringatan lima tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Istana Gambir -- Presiden Soekarno mengumumkan bahwa Republik Indonesia Serikat bubar, diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak lama kemudian Kabinet Hatta mengundurkan diri, diganti Natsir. Saya pun meletakkan jabatan sebagai menteri dalam negeri. November 195U saya diangkat menjadi duta besar untuk Kerajaan Belgia dan Luksemburg merangkap Portugal. berkedudukan di Brussel. Baru pada Agustus 1953 saya pindah ke Paris hingga April 1955. Dijebloskan ke Penjara Sepulang dari Paris, saya menjabat Kepala Direktorat Amerika di Kementerian Luar Negeri, di bawah Mr. Sunario selaku menteri luar negeri. Sedang perdana menterinya adalah Ali Sastroamidjojo. Agustus 1955 Kabinet Ali tumbang, beberapa saat setelah usainya Konperensi Asia Afrika di Bandung. Beliau digantikan Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi. Saya ditunjuk menjadi menteri luar negeri. Saya dicalonkan oleh Fraksi Demokrat -- kelompok anggota parlemen dari luar Jawa dan wakil-wakil partai kecil, bukan oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Padahal, sejak 1950 saya menjadi anggota resmi partai ini. Saya sadar, jabatan itu merupakan tanggung jawab berat bagi saya. Apalagi sengketa Irian Barat antara RI dan Belanda sedang sangat tegang. Presiden Soekarno mengipas perasaan anti-Belanda, terutama setelah perundingan Indonesia-Belanda pada Agustus 1954 yang gagal. Perundingan itu dimaksudkan untuk memperoleh penyelesaian masalah Irian Barat. Delegasi Indonesia dibawah pimpinan Menteri Sunario terpaksa pulang dengan hasil yang tidak disetujui kabinet. Saya sarankan untuk mengambil tindakan radikal dan ekstrem. Saya usulkan untuk membatalkan secara sepihak Piagam Uni (Uni Statuut) dan semua perjanjian lain yang ditandatangani dalam KMB di Den Haag. Perdana Menteri setuju. Kami sepakat membicarakannya dalam rapat kabinet. Tahap pertama mengenai penyelesaian itu diserahkan kepada saya. Mula-mula saya panggil Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta, Graal van Bijland. Saya katakan hasrat Kabinet Harahap untuk menormalisasi hubungan. Kita ingin menawarkan perundingan. dengan harapan masalah ekonomi-keuangan dan Irian Barat akan bisa dibicarakan secara mendalam. Perundingan berjalan alot dan memakan waktu lama, Desember 1955 sampai awal Februari 195. Menteri Luar Negeri Belanda, Luns, memperlihatkan sikap kaku, angkuh, dan provokatif. Januari 1956 dicapai permufakatan penyelesaian di bidang ekonomi dan keuangan. Tetapi penyelesaian masalah Irian Barat mengalami kemacetan total. Pertemuan terakhir, 11 Februari 1956, setelah deadlock, saya mengucapkan pidato penutupan. Saya katakan, "Kegagalan Konperensi Jenewa ini karena delegasi Belanda tidak menerima usul arbitrase (yang dirumuskan oleh delegasi Indonesia) dan tidak dapat dipecahkannya masalah Irian Barat." Saya segera bertolak ke Jakarta, melaporkan jalannya konperensi. Dalam rapat kabinet saya usulkan membatalkan secara sepihak semua perjanjian KMB yangditandatangani 2 November 1949. Kabinet setuju. Presiden Soekarno sangat antusias menerima keputusan kabinet. "Saya dari dahulu sudah menyarankan kepada kabinet-kabinet terdahulu untuk membatalkan saja semua perjanjian KMB secara sepihak. Akan tetapi, mereka tidak memenuhi imbauan saya. Baru sekarang cita-cita saya terpenuhi. Haraplah Saudara dengan segera mengajukan undang-undang kepada parlemen yang berisi pembatalan perjanjian itu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar." katanya. Ternyata, reaksi media massa di luar negeri umumnya positif dan netral. Kuasa-kuasa asing bungkam, tidak memberi reaksi, termasuk Amerika Serikat dan Australia. Justru di dalam negeri terjadi heboh. Tidak disangka-sangka, partai oposisi seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Murba bersikap mengejek dan sinis lewat media massa. Bahkan melakukan walk out ketika sidang pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembatalan KMB dibahas. Keadaan menjadi gawat ketika partai-partai Islam, partai Katolik dan Kristen, PSI dan Fraksi Demokrat, mendukung kabinet. Seorang anggota Fraksi PNI bernama Muis bahkan mengajukan interpelasi dengan harapan akan berlanjut dengan mosi tidak percaya. Namun mosi itu ditolak parlemen. Dengan tergesa-gesa saya menyampaikan Rancangan Undang-Undang Pembatalan Perjanjian KMB yang telah diterima parlernen melalui voting itu kepada Presiden untuk ditandatangani. Tetapi sebuah kejutan terjadi. Presiden Soekarno menolak. Menurut beliau, keputusan parlemen itu tidak sah, karena Fraksi PNI, PKI, dan Murba melakukan walk out. Tentunya Wakil Presiden, Drs. Moh. Hatta, mengikuti perkembangan dramatis itu. Beliau menyampaikan surat tajam kepada Presiden agar bersedia menandatangani rancangan undang-undang tersebut. Ketua Mahkamah Agung pun telah menyampaikan surat yang berisi pendapat bahwa bahwa prosedur penerimaan rencana undang-undang pembatalan oleh parlemen adalah sah. Sayang, Presiden Soekarno menganggap sepi nasihat Moh. Hatta. Kelak, sesudah Kabinet Burhanuddin mengundurkan diri dan digantikan Kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo Kedua dari PNI -- beliau bersedia menandatangani. Tentunya, Rancangan Undang-Undang Pembatalan Perjanjian KMB yang diajukan Ali tidak banyak berbeda dengan yang diajukan Kabinet Burhanuddin. Itu terjadi Mei 1956. Sejak Kahinet Ali Sastroamidjojo Kedua terbentuk pada 26 Maret 1956 sampai munculnya Orde Baru, saya bergulat dengan percobaan-percohaan dahsyat. Sepuluh tahun badai topan melintasi jalan hidup saya. Sesudah saya meletakkan jabatan sebagai menteri luar negeri, saya bertugas kembali sebagai pegawai tinggi Kementerian Luar Negeri. Suatu hari, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri yang baru, Dr. Subandrio, memberitahukan bahwa kabinet mengangkat saya sebagai duta besar untuk Kerajaan Swedia. Saya sudah menerima surat perintah berangkat, sedang Kementerian Luar Negeri menyiapkan surat pengangkatan. Kemudian Subandrio memanggil saya. Dia memberi tahu bahwa Presiden Soekarno tidak bersedia menandatangani surat pengangkatan saya. Inilah pertentangan pertama saya dengan Presiden Soekarno, yang akan disusul dengan konfrontasi yang lebih serius. Lebih-lebih sesudah Bung Karno membubarkan Konstituante dan memberlakukan Dekrit Presiden. Selama itu, saya menjadi kolomnis di majalah Star Weekly untuk membuka mata masyarakat mengenai hahaya Demokrasi Terpimpin dan bahaya komunis, san1pai majalah ini dilarang terbit pada 1961. Pada 20 Desember 1960, ayah saya -- Ide Anak Agung Ngurah Agung -- bekas raja Gianyar, meninggal. Sebagai pewaris utamanya, saya wajib mengadakan Palebon pembakaran jenazah. Upacara itu baru terlaksana pada 18 Agustus 1961, lebih dari setengah tahun kemudian, dengan melibatkan ribuan orang dan dilangsungkan dalam rentetan berjenis-jenis upacara adat dan agama. Jauh sebelumnya, saya mengundang Presiden Soekarno agar hadir. Tetapi dia tidak datang. Tokoh-tokoh yang hadir adalah Bung Sjahrir, Bung Hatta, Pak Roem, Mr. Sumanang, dan lain-lain. Usai upacara saya kembali ke Jakarta. Pukul 03.00 dinihari, 16 Januari 1962, saya mendengar beberapa orang memasuki halaman rumah. Segera saya menyongsong. Saya sangat terkejut melihat dua orang berseragam polisi militer, disertai seorang perwira, berdiri di depan pintu. Mereka menyampaikan pemberitahuan bahwa mereka mendapat perintah untuk menangkap saya. Mereka memperlihatkan surat keputusan yang ditandatangani oleh Jenderal Nasution. Tidak ada jalan lain kecuali menuruti perintah itu. Ketika saya keluar menuju jip yang diparkir di muka rumah, saya melihat rumah saya telah dikepung beberapa polisi militer. Saya dibawa ke guest house yang disediakan polisi militer di Jalan Hayam Wuruk. Apa yang dapat saya perbuat saat itu, selain merenungi nasib. Saya tidak tahu mengapa saya ditahan. Apakah karena saya terlalu vokal mengkritik rezim Soekarno? Seandainya memang begitu, saya merasa tidak risau. Ini adalah konsekuensi sikap dan tindakan saya. Namun, sesungguhnya saya tidak tahu mengapa. Tanpa diduga, saya bertemu Bung Sjahrir di sana. Saya tanya mengapa sepagi itu Bung Sjahrir berada di guest house. Beliau menjawab dengan tertawa, "Dalam keadaan yang sama dengan kamu." Mendengar jawaban itu, lenyaplah keresahan saya. Sekarang saya sadar bahwa penangkapan saya didasarkan atas suatu alasan politik. Karena senasib, kami tertawa dan bercakap-cakap dengan sangat bergairah. Ini tentu didengar penghuni kamar lainnya. Tiba-tiba muncul Pak Roem. "Selamat pagi," sapanya. Lalu menyusul Pak Prawoto -- Ketua Umum Masyumi. "Nampaknya kita senasib, ya?" ujar Pak Prawoto seraya mendekat. Kami mengangguk. Giliran berikutnya adalah Pak Yunan Nasution, Sekretaris Jenderal Masyumi. Terakhir Saudara Subadio Sastrosatomo, salah satu pemimpin Partai Sosialis Indonesia. Dari kejutan ini, saya menarik kesimpulan bahwa rezim Soekarno telah menangkap pemimpin tertinggi Partai Masyumi dan PSI yang keduanya dibubarkan pada 1960. Mengapa saya dimasukkan ke dalam kelompok terhormat ini, baru saya ketahui setelah kami dipindahkan ke Jalan Banyumas seminggu kemudian. Dalam pemeriksaan saya dituduh menyelenggarakan rapat rahasia dengan pemuka-pemuka Masyumi dan PSI di Puri Agung Gianyar selama upacara Palebon berlangsung. Saya menolak tuduhan itu sekeras-kerasnya. Tidak logis bila saya berhasrat mengadakan rapat rahasia di Gianyar pada saat pembakaran jenazah berlangsung. Lebih-lebih, waktu itu ribuan orang hadir menyaksikan. Namun, argumentasi saya tidak digubris. Pertengahan Maret 1962, saya dan para tahanan di Jalan Banyumas dipindahkan ke Madiun. Oktober 1965, di tengah pengkhianatan G30S-PKI, saya dipindahkan ke tahanan militer di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta. Pada 16 Mei 1966, saya menerima surat pembebasan. Begitu juga tahanan-tahanan politik lainnya. Pada 24 November 1967, setelah rezim Soekarno jatuh, saya direhabilitasi ke dalam jabatan semula dan diangkat kembali menjadi pegawai tinggi Kementerian Luar Negeri, terhitung mulai 1 April 1961 -- berlaku surut. Kemudian, Menteri Luar Negeri Adam Malik menugasi saya ke Honolulu untuk bertugas pada Lembaga Proyek Lanjutan (Institute of Advanced Project). Saya menjadi senior specialist di East West Center untuk mengadakan penelitian mengenai pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Pada 1968 saya meneruskan perjalanan ke Den Haag untuk mengadakan riset tambahan mengenai Irian Barat. Sekembali ke Jakarta pada 1969, hasilnya siap dicetak sebagai buku yang membicarakan sejarah politik luar negeri Republik Indonesia dalam dua dasawarsa (1945-1965). Bahkan sebuah penerbit Belanda menerbitkannya pada 1973 dengan judul Twenty Years Indonesian Foreign Policy. Pada masa-masa berikutnya, sampai hari ini, saya terus menulis. Pada 27 Desember 1985 terbit Dari Negara Indonesia Timur Menuju ke Republik Indonesia Serikat. Menyusul tulisan-tulisan lainnya. Belakangan, 17 April 1989, terbit Bali pada Abad XIX. Dalam bulan Mei 1980 saya mendapat gelar doktor dalam ilmu sejarah dari Universitas Kerajaan di Utrecht. Tesis saya mengupas perjanjian Renville dengan segala aspek politiknya. Dan baru-baru ini saya menerima Anugerah Adam Malik untuk bidang penulisan historiografi dan diplomatik. Anugerah yang diserahkan September 1989 di Gedung Sekretariat ASEAN itu juga diberikan kepada W.S. Rendra, S.K. Trimurti, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Ibu Sud. Moga-moga saya dilimpahi restu Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan minat saya di bidang penelitian dan penulisan mengenai perkembangan sejarah tanah air kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini