Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan ketimpangan atau gap literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih tinggi. Saat ini indeks literasi keuangan di Indonesia pada 2022 sebesar 49,68 persen dan indeks inklusi keuangannya adalah 85,10 persen. "Masih ada ketimpangan antara literasi dan inklusi sekitar 35 persen," kata Deputi Direktur Perencanaan, Pengembangan, Evaluasi Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Yulianta, dalam Dialog Industri Financial Series: Mendorong Literasi dan Inklusi Keuangan, yang disiarkan YouTube Tempodotco, Kamis, 11 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingkat literasi keuangan pada 2022 tingkat perkotaan mencapai 50,52 persen dan pedesaan mencapai 48,43 persen. Sedangkan untuk inklusi keuangan 89,73 persen di perkotaan dan 82,69 di pedesaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun berdasarkan gender, indeks literasi keuangan pada laki-laki mencapai 49,05 persen dan perempuan mencapai 50,33 persen. Sedangkan indeks inklusi keuangan pada laki-laki mencapai 86,28 persen dan perempuan mencapai 83,88 persen.
Menurut Yulianta, gap ini menunjukan orang sudah menggunakan dan memanfaatkan produk keuangan, tetapi belum paham tentang produk yang digunakan. Karena itulah, OJK selalu mendorong untuk melakukan peningkatan literasi keuangan ini. "Tujuannya agar gap ini makin kecil,” ujarnya.
Semakin kecil ketimpangan literasi dan inklusi, maka orang akan semakin paham dengan produk keuangan. “Sehingga kemungkinan menjadi korban penyalahgunaan itu kecil karena sudah terliterasi," kata Yulianta.
Dia menjelaskan literasi keuangan adalah kondisi dimana masyarakat memiliki kecerdasan keuangan, sehingga bisa meningkatkan kualitas pengambilan keputusan untuk mencapai kesejahteraan. Ada lima indikator dalam literasi keuangan. Pertama, pengetahuan. Kedua, keterampilan. Ketiga, keyakinan atau kepercayaan terhadap produk keuangan, keempat, perilaku dan kelima, sikap. "Lima faktor inilah yang diukur," ucapnya.
Adapun, inklusi keuangan adalah kondisi masyarakat yang pernah mengakses produk dan atau layanan jasa keuanga di lembaga keuangan formal. "Jadi tolak ukur inklusi keuangan berdasarkan penggunaan bukan kepemilikan akun," kata Yulianta.
Ekonom CORE Indonesia Etikah Karyani, mengapresiasi kenaikan indeks literasi keuangan dari 30 persen pada 2018 menjadi 38 persen pada 2019 dan 49 persen di 2022. "Tapi gap masih sama sekitar 30-40 persen menjadi pekerjaan rumah OJK untuk menurunkan ketimpangan ini,” ujarnya.
Ketimpangan literasi dan inklusi keuangan, kata dia, karena transaksi keuangan digital tidak dibarengi dengan pemahaman risiko keamanan data pribadi. "Sehingga, ketika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup, mereka bisa terpapar risiko keuangan lebih besar," tutur Etikah.
Direktur Bank BCA Santoso, mengatakan literasi adalah keniscayaan yang harus dijaga karena ujungnya untuk pelindungan konsumen. "Kami meyakini kalau literasi kuat, customer menjadi memahami produknya akan menghasilkan sustainability pertumbuhan lembaga keuangan dan juga kekuatan kepada negara," kata dia.
BCA memberikan edukasi dan menggunakan media sosial agar masyarakat tidak terkena penipuan cybercrime. "Kami juga langsung visit, bertatap muka ke sekolah universitas dan ekosistem-ekosistem untuk mengedukasi literasi inklusi, istilahnya BCA mengajar, karena tidak cukup dengan sosial media," ujarnya.
Ketimpangan karena transaksi keuangan digital tidak dibarengi dengan pemahaman risiko keamanan data pribadi.
Adapun General Manager of Retail Solution Division BNI Mesah Roni Ginting, nasabah banyak menggunakan transaksi digital pasca pandemi. Tantangannya, kata dia, adalah bagaimana mengedukasi nasabah agar literasi keuangannya lebih bagus untuk menghindari segala risiko.
"BNI memperkuat beberapa prosesnya untuk mencegah adanya risiko yang terjadi di masyarakat yang menggunakan sistem digital," kata Mesah.
Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan, Deni Ridwan, mengatakan tujuan negara adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. "Tujuan tersebut mustahil tercapai, jika literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah,” ujarnya.
Untuk itu, kata dia, masyarakat harus sadar literasi atau cerdas secara finansial memahami perencanaan keuangan. “Sehingga dapat mengambil keputusan keuangan untuk bisa mencapai tujuan keuangannya," ucap Deni.
Melalui akses atau inklusi yang tinggi bagi masyarakat akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga sistem keuangan. "Dan harapannya dapat mengurangi kemiskinan," tutur Deni.