Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong penerbitan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (RPP Mangrove). Saat ini RPP tersebut sudah dilakukan harmonisasi antar kementerian dan lembaga, tinggal menunggu penandatanganan oleh Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita harapkan tahun ini RPP sudah keluar. Harapannya presiden segera bisa menandatangani,” kata Wakil Menteri KLHK Alue Dohong usai menghadiri rangkaian acara memperingati Hari Mangrove Sedunia dengan tema “Mangrove for Future” yang diselenggarakan BRGM di Grand Ballroom Kempinski, Jumat 26 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alue menuturkan, penerbitan RPP itu nantinya dapat menjadi basis regulasi di dalam pengelolaan perlindungan ekosistem mangrove yang sifatnya terintegrasi, terkoordinasi dari lintas sektor baik badan, kementerian, pusat dan daerah. “Sehingga orkestrasi perlindungan pengelolaan mangrove kita bisa lebih baik ke depan, dalam rangka peningkatan nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan,” ujar dia.
Sambutan Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Hartono saat Pembukaan acara yang bertajuk "Mangrove for Future" di Hotel Kempinski, Jakarta, 26 Juli 2024. TEMPO/Aryus P Soekarno
Alue pun meminta dukungan dari pemerintah daerah selaku pemangku wilayah untuk melakukan penataan kembali ekosistem mangrove ke dalam sebuah kerangka perencanaan yang lebih terpadu, sistematis, dan terintegrasi. “Kami juga meminta kepada stakeholders di sektor privat untuk dapat berkontribusi secara aktif dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan,” ujar dia.
Kontribusi itu, lanjut Alue, dapat melalui skema partnership dengan masyarakat pengelola mangrove, maupun dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. “Kami juga mendorong generasi muda untuk aktif mengambil peran mulai dari sekarang sehingga di masa mendatang bisa memperoleh warisan mangrove yang pengelolaannya lebih tertata.”
Kepala BRGM Hartono menuturkan, terbitnya RPP diharapkan dapat mengatur pengelolaan mangrove dari sisi lingkungan hidup sehingga dapat mengisi kekosongan payung hukum dari ketentuan perundangan yang sudah ada. Sebelumnya, regulasi yang mengatur terkait perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove belum lengkap.
Ekosistem mangrove yang bersifat multi-sektor dan multistakeholder selama ini dikelola dengan mengacu pada beberapa ketentuan perundangan yang sudah ada, yakni: UU No 41/1999 tentang Kehutanan; UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah; UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang; UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Masing-masing regulasi itu mengatur pengelolaan mangrove sesuai dengan status lahannya yakni kawasan hutan dan areal penggunaan lain (APL). Namun, sesungguhnya perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove seharusnya diatur dalam ketentuan yang merupakan turunan dari UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tutur dia.
Adapun di dalam RPP Mangrove mencakup beberapa hal, di antaranya: penataan dan penetapan fungsi ekosistem mangrove berbasis kesatuan lanskap; Mangrove (KLM) baik di dalam, maupun di luar kawasan hutan; pemanfaatan, perlindungan, dan pengawasan ekosistem mangrove; kriteria baku kerusakan dan pemulihan ekosistem mangrove; regulasi pengelolaan mangrove yang bersifat lintas sektor; optimalisasi peran stakeholders, termasuk kelompok masyarakat, NGO, dan sektor privat.
Dialog publik saat acara yang bertajuk "Mangrove for Future" di Hotel Kempinski, Jakarta, Jum`at 26 Juli 2024. Foto: TEMPO/Aryus P Soekarno
Dengan terbitnya RPP Mangrove utamanya kami berharap salah satu permasalahan besar yang kami hadapi di lapangan dapat terselesaikan,” tutur Hartono. Masalah tersebut terkait perlindungan terhadap ekosistem mangrove utuh yang berada di luar kawasan hutan yang digunakan APL.
Menurut dia, berdasarkan Peta Mangrove Nasional Tahun 2023, terdapat kurang lebih 739.792 ha mangrove eksisting yang berstatus APL dan jika tidak ada regulasi yang melindungi, maka mangrove ini terancam dikonversi.
Wakil Kepala Bidang Pengembangan Reputasi Kampus Berkelanjutan (BPKB) IPB University Rina Mardiana mengatakan, kepastian agraria harus diclearkan. “Persoalannya pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) kita belum clear,” kata dia kepada Tempo.
Menurut dia, jika berbicara penetapan batas kawasan hutan, hal itu masih dalam percepatan, tanah batas kawasan hutan. “Itu dari sisi kawasan hutannya. Dari sisi PTSL, itu juga belum selesai di seluruh Indonesia”
Jika melihat peta sebaran mangrove di Indonesia, lokasi di kawasan hutan yang digunakan untuk APL kerap beririsan dengan tanah masyarakat adat. “Kalau kami mengecek lokasi mangrove yang bagus itu di APL. Biasanya APL karena statusnya, sertifikat, hak kepemilikan, dari pemerintah yang cenderung memberikan konsesi misalnya untuk pembangunan.”
Menurut dia hal inilah yang harus diluruskan. “Harusnya kalau APL itu fungsinya untuk hutan, mangrove, kenapa tidak konservasi,” ucapnya. Fungsi konservasi menurut dia tidak harus dalam kawasan hutan, dimana saja bisa, seperti di APL dan tanah milik masyarakat adat.
Berbicara teritorisasi maka menurutnya ada di dua kementerian yakni KLHK dan Kementerian Agraria/ Badan Pertanahan Nasional. “Dua-duanya setiap persilahan harus jelas, ini yang jadi pekerjaan rumah bersama. Agraria tata ruang, yang mana kawasan hutan beda lagi.”
Menurut dia, permasalahan agraria harus segera dikelola karena merupakan sumber konflik. Di negara lain tidak ada konflik agraria karena ada kepastian. “Di kita belum,” ucapnya. Dia pun berharap dalam RPP Mangrove terdapat pemberdayaan agraria.
“Dalam RPP itu harusnya kementerian berkolaborasi di antaranya KLHK, ATR/BPN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sementara untuk prosecution bisa melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait teritorial karena ada perencanaan ruang di PUPR,” tutur dia.
BRGM menggelar rangkaian acara “Mangrove for Future” pada Jumat-Sabtu, 26-27 Juli 2024 di Jakarta. Kegiatan itu untuk mewujudkan rehabilitasi mangrove yang bersinergi dan berkelanjutan.
“Mangrove for Future” berisikan dialog antar lembaga dan pendapat para ahli terkait pelaksanaan rehabilitasi mangrove yang ada di Indonesia. Pada kesempatan ini, para ahli dari berbagai sektor membahas isu hangat terkait rehabilitasi mangrove yang kini berjalan di Indonesia, serta memberikan masukan agar rehabilitasi mangrove berjalan secara optimal.
Para ahli itu di antaranya dari KLHK, KKP, ATR/BPN, IPB University, BRIN. Terdapat juga dari kalangan usaha yaitu PT Indika Energy Tbk, PT Pertamina Hulu Rokan, PT Inalum, Dompet Dhuafa, dan Global Affair Canada (GAC). Sedangkan dari masyarakat dan pelaku UMKM terdapat e-Fishery, Zee Batik Semarang, KTH Penghijauan Maju Bersama, POKDAKAN Salo Sumbala Sejahtera, Kelompok Perempuan Tani Hutan Mangrove Kawasan Pesisir Papua Barat, Pemuda Perintis Perbaikan Ekosistem Mangrove Kalimantan Barat, Nelayan dan Aktivis Mangrove di Bangka Belitung. Terdapat juga sesi yang diisi oleh para jurnalis yang membahas terkait isu-isu lingkungan.