Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pramono Anung sementara unggul dalam pilkada Jakarta dengan meraup lebih dari separuh suara pemilih.
Ridwan Kamil yang dijagokan Jokowi dan Prabowo Subianto keok.
Warga Jakarta menolak cawe-cawe dan tangan kotor kekuasaan mengarahkan pemilu.
KEMENANGAN Pramono Anung-Rano Karno dalam pemilihan kepala daerah Jakarta menunjukkan fakta bahwa publik tak mudah dimanipulasi penguasa yang hendak merusak demokrasi. Survei pemilih setelah mereka keluar dari bilik suara (exit poll) pada 27 November 2024 dan hitungan nyata Komisi Pemilihan Umum Daerah menunjukkan calon gubernur Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mendapatkan 50,07 persen suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika tak ada rekayasa dan tak berubah hingga akhir penghitungan KPU Daerah Jakarta pada 15 Desember 2024, perolehan suara Pramono itu cukup mengantarkannya menjadi Gubernur Jakarta ke-18 untuk periode 2024-2029. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Khusus Jakarta menyatakan gubernur dan wakil gubernur terpilih jika memperoleh lebih dari 50 persen suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, kemenangan Pramono punya catatan lain: tingkat partisipasi warga Jakarta dalam pemilihan kepala daerah tahun ini hanya 58 persen, paling rendah dibanding semua pemilihan Gubernur Jakarta. Partisipasi ini bahkan lebih rendah dibanding pemilihan presiden 2024 sebesar 70 persen.
Belum ada data sahih tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih, tapi para analis politik menilai publik muak terhadap cara-cara kotor aliansi penguasa memenangkan calon-calon yang mereka ciptakan. Setelah mantan presiden Joko Widodo memaksakan duet Ridwan Kamil-Suswono, lalu mengkampanyekannya, Presiden Prabowo Subianto turut mempromosikannya. Akibatnya, alih-alih melawan penyalahgunaan kekuasaan itu, para pemilik suara apatis terhadap proses politik.
Prabowo bertanggung jawab atas tingginya angka golput itu. Ia merendahkan diri dengan menyetarakan posisinya dengan Jokowi. Pendahulu Prabowo itu menutup mata pada etika dan hukum yang melarang pejabat negara berpihak dalam pemilu. Di akhir pemerintahannya, Jokowi merekayasa hukum untuk merusak demokrasi demi melanggengkan kekuasaan melalui dinasti politik. Prabowo sedang melanjutkan tabiat buruk itu.
Pelanggaran etika dan hukum secara telanjang itu direstui pula oleh Badan Pengawas Pemilu. Menurut mereka, kampanye Prabowo tak melanggar aturan karena dibuat pada hari Minggu dan disampaikan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Prabowo lupa bahwa publik tak bisa membedakan ia sebagai presiden, sebagai orang Bojong Koneng, dan ketua partai.
Kewarasan sebagian publik Jakarta patut diapresiasi. Mereka yang datang ke tempat pemungutan suara tak termakan logika sesat Bawaslu, Jokowi, serta Prabowo dan antek-anteknya. Dari data exit poll terlihat para pemilih partai anggota Koalisi Indonesia Maju, yang menyokong Ridwan-Suswono, mendistribusikan suaranya kepada Pramono-Rano dan calon independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana.
Hasil pilkada Jakarta ini juga mengkonfirmasi temuan para peneliti tentang maraknya penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, serta patronase dan klientelisme. Salah satunya adalah tentang kaitan pendapatan dan pendidikan dengan rasionalitas pemilih. Penduduk dengan pendidikan tinggi dan independen secara ekonomi lebih rasional dalam membuat pilihan politik. Mereka tak membebek penguasa, takluk pada politik uang, atau menyerah pada guyuran bantuan sosial.
Menurut Badan Pusat Statistik, pendidikan orang Jakarta pada 2023 rata-rata setara dengan sekolah menengah atas dan pendapatan per kapita pada 2022 Rp 299,7 juta. Sementara itu, pendidikan penduduk Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur setara dengan sekolah menengah pertama dengan pendapatan kurang dari Rp 60 juta. Di tiga provinsi ini, calon-calon gubernur yang dikampanyekan Jokowi dan Prabowo menang telak.
Demokrasi memang membutuhkan kebebasan politik dan independensi ekonomi, demikian pernyataan Mohammad Hatta dalam “Demokrasi Kita”. Tapi tak terpenuhinya prasyarat independensi ekonomi bukan pembenaran bagi penguasa untuk “menekuk” demokrasi.
Di majalah Pandji Masjarakat yang terbit pada 1960, Hatta mengkritik demokrasi parlementer yang dirusak Presiden Sukarno. Gontok-gontokan di parlemen membuat Sukarno membubarkan lembaga perwakilan itu dan mengganti demokrasi parlementer dengan demokrasi terpimpin.
Di Jakarta, demokrasi yang sehat seperti dibayangkan Hatta 64 tahun lalu itu barangkali telah terwujud. Namun, di tingkat nasional, perjalanan kita masih panjang.