Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menggali dana nganggur dari bawah..

Perkembangan bank di indonesia. adanya pakto merangsang dunia perbankan. mereka bersaing menjaring nasabah. giat berpromosi sampai ke lapisan bawah. ada yang terlibat perang bunga.

15 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pakto ternyata merangsang dunia perbankan. Mereka bersaing seru menjaring nasabah, sampai ada yang salah kaprah ("perang bunga"). Ada yang berkutatdi kawasan padat pedagang kelontong, tak kurang yang turun ke kampung untuk membongkar dana nganggur dari bawah kasur. Mereka kini rajin berpromosi, hingga industri periklanan ketiban rezeki. Perbankan kita sudah berusia 165 tahun. Tapi Pandangan orang awam terhadap bank masih seperti di "zaman gubernemen": angker. Bangunannya yang biasanya besar-jangkung dan kukuh terkesan angkuh. Minimal dingin. Dikawal ketat siang-malam oleh polsus yang selalu bermata curiga, "gudang uang" itu senantiasa membuat rakyat biasa berusaha menjauhinya. Daripada disangka mau merampok? Penampilan para ambtenar bank sendiri seperti ingin mengambil jarak. Minimal berkemeja lengan panjang dan berdasi, mereka datang ke kantor dengan rasa penting diri -- dan tegur sapa dan air muka pun diusahakan agar terkesan resmi. Melihat yang acap keluar-masuk ke sana pun biasanya terdiri dari kaum yang berbusana lengkap berikut tas dalam jinjingan, si awam pun cenderung menyangka mereka "terlarang" datang ke sana. Maka kalau mereka memiliki uang berlebih, orang-orang sederhana itu memilih menyimpannya di bawah tilam. Bunga yang dijanjikan bank tak cukup berperan untuk mengikis kebiasaan turun-temurun itu. Sikap ini tampaknya warisan sejarah. Lembaga bank memang warisan kolonial. Karena itu, kalau nenek moyang kita menjauhi bank bukan saja karena bunga uang dianggap riba, tetapi juga sebagai bagian dari sikap antipenjajahan. Tentu, sudah saatnya sekarang mengubah sikap -- kendati bagi kalangan awam, terutama di pedalaman, tak cukup mudah. Pengubahan sikap pertama-tama harus dimulai di lingkungan perbankan sendiri. Bank pertama di negeri kita didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1824 dengan nama Nederlandche Handels Maatchappij (NMH), dengan pemerintah Belanda sebagai salah satu pemegang saham utama. Pendiriannya dimaksudkan untuk mengisi kekosongan akibat likuidasi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang, kendati telah menguasai Indonesia hampir selama dua abad (1602-1799), jatuh bangkrut. Bank kedua adalah pewaris Bank Indonesia kini, De Javasche Bank, yang didirikan pada 1827. Bank ketiga, sebuah bank swasta, didirikan 33 tahun setelah pendirian "Factorij" -- sebutan yang lebih populer untuk NHM -- adalah NV Escompto Bank. Bank ini kini dikenal sebagai Bank Dagang Negara (BDN). Kemudian berdiri National Handels Bank sebagai bank dagang ketiga yang beroperasi di Indonesia. Koperasi simpan-pinjam yang didirikan di kalangan petani pada 1895 di Purwokerto digabungkan oleh pemerintah Belanda dengan nama Algemene Volks Credit Bank (AVB) pada 39 tahun kemudian (1934). Sebelum penutupan abad ke-19, pemerintah Belanda membuka sebuah bank tabungan, -- bekerja sama dengan jawatan pos, Post Spaarbank, 1898, diikuti oleh pendirian rumah gadai negara pada 1901. Menurut Pusat Data Business Indonesia (PDBI), bahkan pada awal abad ke-10 dan sebelum kemerdekaan Indonesia, terdapat sejumlah bank asing yang beroperasi di Jakarta dan Surabaya. The Hongkong & Shanghai Bank, The Chartered Bank, Bank of China, (OCBC) dari Singapura, Great Eastem Banking Corp., dan Bank of Taiwan, lalu dua bank Jepang, Mitsui dan Yokohama Specie Bank. Di antara beberapa bank swasta lokal termasuk NV Banksverening Oei Tiong Ham, yang dimiliki cukong terkenal dari Semarang, Oei Tior Ham. Lainnya didirikan oleh pengusaha dan politisi ternama, misalnya Bank Nasional Indonesia di Surabaya, 1928, yang dikelola oleh Dr. Sutomo, Drs. Samsi dan Ir. Anwari. Serta Bank Abuan Saudagar di Bukittinggi (1932), dan Bank Bumi di Jakarta. Tidak satu pun dari bank-bank swasta sebelum perang ini mampu bertahan hingga masa kemerdekaan. Namun, belakangan kita menemukan lima bank swasta yang berdiri sebelum 17 Agustus 1945. Mereka berhasil mempertahankan keberadaannya kendati dengan pemiliknya yang baru. Yaitu Bank Tabungan Himpunan Saudara 1906 di Bandung, PT Bank Kesawan di Medan (pelanjut NV Handels Mij Chung Hwa Shangyeh), PT Bank Jakarta yang meneruskan NV Bank Batavia (diambilalih Probosutedjo pada 1973). Lalu Bank Nasional di Bukittinggi, yang berdiri pada 1934 sebagai bank tabungan. Yang kelima adalah pelanjut bank tabungan Belanda, yang memakai singkatan yang sama, NISP, tapi kini dipanjangkan dengan Nilai Inti Sari Pinjaman. Dalam masa perang kemerdekaan 1945-1949, kita menyaksikan lahirnya bank milik negara yang pertama, Bank Negara Indonesia (BNI), 5 Juli 1946. Sektor swasta membuka Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) setahun lebih awal, 5 Oktober 1945, di Medan. Bank terkemuka lainnya, Bank Perniagaan Indonesia (BPI) lahir pada tahun 1948. Setelah Konperensi Meja Bundar, pemerintah tetap mentolerir kehadiran bank-bank asing di Indonesia walaupun dengan pembatasan tertentu, tapi segera terseret konflik yang timbul akibat tantangan yang kian meningkat terhadap dominasi ekonomi Belanda di negeri ini. Pemerintah mula-mula mengkonsolidasikan sebuah biro untuk pendanaan jangka panjang ke dalam sebuah bank milik negara yang diberi nama Bank Industri Indonesia (BIN). BIN ditugaskan untuk menunjang pengembangan beberapa pabrik milik negara. Kemudian pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank pada 1953 dengan membeli saham-sahamnya 120% di atas harga nominal dalam mata uang Belanda. Sementara itu, di bawah perjanjian KMB, Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI, yang merupakan kelanjutan dari AVB) dialihkan secara damai menjadi lembaga keuangan milik pemerintah Indonesia. Pada paruh pertama 1950-an, kita dapat mengatakan bahwa pemerintah RI telah memiliki tiga bank ditambah bank sentral, sementara Belanda tetap mempertahankan pengaruh utamanya melalui tiga bank besar. NHM, NHB, dan Escompto. Maka persaingan tak terelakkan. Persaingan berhenti dengan seketika saat pemerintah di bawah tekanan berat kampanye pembebasan Irian Barat terpaksa mengambilalih tiga bank besar tersebut. Praktis berlangsug pada tahun-tahun panas pemberontakan PRRI/Permesta (1957-1958), pemerintah mendirikan tiga bentuk badan hukum baru sebagai pelanjut tiga bank milik Belanda itu. NHM dialihkan menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Eksim), NHM menjadi Bank Bumi Daya (BBD), dan Escompto menjadi Bank Dagang Negara (BDN). Dalam masa Orde Lama, semua bank itu disatukan ke dalam Bank Negara Indonesia, kecuali BDN karena dirutnya juga menjadi Menteri waktu itu. Sedang BIN mendapat nama baru, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Sementara itu, dalam sektor swasta pemerintah mengeluarkan izin bank baru yang mencerminkan situasi dan kondisi struktur kekuasaan. Tercatat sebuah Kabinet PNI pernah memberikan izin forex pertama kepada bank milik PNI yang merupakan bank pertama yang lahir setelah perang kemerdekaan (1952), yakni Bank Umum Nasional (BUN). Izin sejenis kedua diberikan kepada BDNI, 1 Desember 1955. Yang ketiga diterima oleh Bank Persatuan Dagang Indonesia (kini Bank Bali), 1 Juni 1956. Dalam 15 tahun liberalisme dan etatisme, izin-izin bank dikeluarkan di bawah pengaruh politik yang berat. Namun dari catatan yang ada dapat dilihat bahwa hanya 24 bank yang didirikan antara 1951 dan 1960 yang mampu bertahan hingga kini. Dari dekade 1961 1971, 29 bank berhasil mempertahankan kehadirannya. Tahun 1971 dipakai sebagai patok-duga karena itulah tahun ketika tiga bank swasta bergabung ke dalam Pan Indonesian Bank (Panin Bank) pada 17 Agustus 1971. Izin bank sebelum pemerintah menutup pintu bagi pendirian bank-bank baru diberikan kepada Bank Dagang Bali, 24 Agustus 1970. Perhitungan terakhir sebelum Deregulasi 27 Oktober (Pakto), jumlah keseluruhan bank swasta nasional tercatat 66 buah, termasuk dua bank tabungan. Ketika sejarah Indonesia bergerak menuju etatisme, sebagian besar bank asing yang beroperasi di Jakarta sejak zaman kolonial, mengakhiri kegiatannya dengan sukarela. Bank of Ghina menutup kantornya yang berdekatan dengan gedung tua Balai Kota kendati pemerintah Indonesia waktu itu menjalin hubungan politik yang baik dengan RRC. Chartered bank dinasiolisasikan dan bergabung dengan Bank Bumi Daya. Kemudian datang Orde Banu. Setelah G30S/PKI, 1965, pemerintah menerapkan politik pintu terbuka bagi modal asing, termasuk bank asing. Dalam masa tiga tahun sejak dibukanya kegiatan perbankan bagi bank asing, empat bank Amerika, serta dua dari Hongkong dan Muangthai, telah memperoleh izin mengoperasikan sepenuhnya cabang-cabangnya di Jakarta. Namun suatu warisan sejarah yang unik telah menambah jumlah bank asing menjadi 11 buah berkenaan dengan kenyataan bahwa sebuah bank patungan, Bank Perdania, yang didirikan pada 1950-an, telah dimasukkan sebagai bank asing. Bank ini adalah patungan antara Bank Daiwa (Jepang) dan pengusaha lokal (putra mantan Menteri Keuangan dari Masyumi, Mr. Yusuf Wibisono) dan juga termasuk sebuah bank lokal PT Bank NISP. Setelah menutup sektor perbankan bagi bank-bank asing, pemerintah mendorong usaha patungan bank asing dengan partner nasional untuk mendirikan bank-bank dagang, yang resminya dikenal sebagai lembaga keuangan non-bank (LKNB). Kembali bank-bank milik negara membuktikan kemampuannya dan segera Bank Indonesia memiliki anak perusahaan (Ficorinvest), diikuti oleh enam bank milik negara kecuali Bank Tabungan Negara. Hanya tiga LKNB yang mempunyai mitra lokal, misalnya PT Multicor dengan Bank Central Asia, PT MIFC dengan Panin dan Pakarta Yoga, serta PT IFI yang belakangan juga telah diminta oleh Bapindo. Dasawarsa 1970-an adalah dekade merger dan pengambilalihan perusahaan serta pencaplokan bank-bank yang ada oleh para pendatang baru dari kelompok bisnis non-bank. Izin bank jadinya diperlakukan sebagai komodi tas yang dengan mudah diperdagangkan di antara pemilik pertama yang nyaris bangkrut dan pendatang kemudian yang ingin menjajal bisnis perbankan. Jumlah transaksinya jutaan, dan belakangan bahkan milyaran rupiah. Penggabungan ini akhirnya mengurangi jumlah bank swasta nasional, dari sekitar 120 pada akhir 1960-an menjadi hanya 66 buah pada 1988. Ketika Pakto memberi kesempatan kembali bagi sektor perbankan Indonesia, tercatat ada 10 bank swasta forex dan 54 yang non-forex ditambah dua bank tabungan (PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional). Biasanya orang lebih terpaku pada sistem perbankan pertama, kendati ada sistem yang kedua. Di Negeri ini, yang disebut yang pertama terdiri dari sebuah bank sentral, lima bank dagang milik negara, sebuah bank pembangunan negara, sebuah bank tabungan yang beralih menjadi bank hipotek, 27 bank pembangunan daerah (BPD) di propinsi-propinsi, 11 bank asing, dan 66 bank swasta nasional (10 forex 56 non-forex). Melengkapi sistem yang pertama, sistem perbankan yang kedua bertujuan melayani wilayah pedesaan dan berada di bawah pengawasan BRI. Jenis yang kedua ini meliputi 168 bank pasar, serta sekitar 3.550 bank desa dan 2.063 lumbung desa. Deregulasi bidang perbankan, yang mulai berlaku pada 1 Juni 1983, ternyata mempunyai daya gugah. Peran bank sentral menjadi terkurangi, dan masing-masing bank, pemerintah maupun swasta, diberi hak menentukan suku bunga deposito dan pinjamannya sendiri. Seperti anak-anak yang tadinya hanya dikurung dan tiba-tiba diperbolehkan bergaul dengan bocah-bocah tetangga, bank-bank mulanya tampak kikuk dan malu-malu. "Seperti perawan pingitan yang dilepas menonton layar tancap," seorang pakar berkomentar. Sambil menetapkan suku bunganya sendiri, dalam pasar yang menjadi kian kompetitif bank-bank mulai beriklan lebih sering -- tadinya paling-paling setahun sekali, ketika mengumumkan neraca rugi-labanya. Brosur dan leaflet dibuat lebih menarik. Para "tuan bank" dan anak buahnya mulai melonggarkan dasi, karena leher mulai berkeringat akibat lebih sering cuap-cuap. Sekarang, kalau mungkin, setiap orang yang lalu di depan gedungnya diminta mampir untuk diminta menyimpan uang nganggurnya. Dalam upaya menghimpun dana -- untuk membiayai pembangunan yang menjadi jurus wajib -- bank-bank berlomba menerbitkan berbagai jenis tabungan. Tentu bukan hendak menyaingi Tabanas milik bank pemerintah, bermacam bentuk produk tadi bermaksud memberikan beragam pilihan kepada masyarakat, sehingga dalih tidak menabung diperkecil. Berbagai keuntungan dan kemudahan ditawarkan, baik dari segi frekuensi pengambilan maupun Volumenya dan sistem bunganya. Dengan demikian diharapkan tidak seorang calon nasabah pun lepas dari jaring yang ditebarkan. Kegiatan promosi bank-bank sangat terasa gencar ketika Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 dikeluarkan. Disingkat Pakto, ini sebuah paket kebijaksanaan di sektor keuangan dan lembaga keuangan. Intinya memberi keleluasaan lebih lanjut kepada Deregulasi Juni 1983. Dampaknya langsung terasa dalam beberapa bulan. Untuk menjaring lebih banyak penanam uang, promosi kian ditingkatkan. Beberapa bank yang tadinya tak menetapkan anggaran promosi, kini mengupah perusahaan periklanan untuk berkampanye. Sebuah bank swasta baru, namun sudah meraih kepercayaan masyarakat, mengeduk uang kasnya sebesar Rp 2 milyar untuk anggaran promosi tahun 1989 ini. Jumlah yang menggiurkan para agen iklan. Bank-bank memang sedang berubah tabiat. Dari sikap menanti nasabah dan pengguna jasa, kini dengan mengobral senyuman manis turun ke bawah menadahkan celengan. Bank-bank membuka bagian pemasaran, dan merekrut kalau perlu membajak -- para ahlinya. Dalam persaingan yang kian menajam, "perang bunga" tak terelakkan dan diperagakan di media cetak. Perang ini terutama terjadi di deposito berjangka. Itulah ekses dari "persaingan bebas". Sehingga Gubernur Bank Sentral, Adrianus Mooy, terpaksa angkat bicara. Perang bunga, menurut Mooy, hanya akan merepotkan bank-bank sendiri. Malah juga merecoki ekonomi nasional pada umumnya, karena akan melambungkan pula suku bunga kredit. "Siapa berani pinjam uang kalau bunganya sudah begitu tinggi, karena untungnya menjadi sangat tipis," ujar seorang pengusaha. Ekses lebih lanjut, kurang licinnya roda pembangunan -- yang nota bene berlawanan dengan tujuan Pakto. Ulah yang salah tingkah ini pada gilirannya memukul balik lembaga bank sendiri. Bukankah usaha perbankan mengandalkan kepercayaan masyarakat? Yang sedang dikipas sekarang memang kepercayaan para pemilik uang yang mulai digebrak dengan promosi tadi. Masih dalam rangka membangkitkan kepercayaan publik, banyak bank bagai berlomba membangun gedung yang megah. "Orang tentu akan ragu menaruh uangnya di bank tertentu bila gedungnya saja tak memenuhi syarat," ucap Drs. Abdul Gani, ketua umum Persatuan Bank-bank Swasta Nasional (Perbanas). Agar gedung megah tak membuat gentar calon nasabah "Tidak berdasi" -- yang lugu, karena pendidikan yang pas-pasan -- banyak bank kini rajin turun ke bawah. Sambil menjelaskan kepada masyarakat awam bahwa gedung mewah juga siap ramah menerima setiap calon nasabah, para penerjun langsung itu dapat mengumpulkan dana dari tengah masyarakat. Tabungan di luar Tabanas itu tampil beragam, dalam bentuk maupun kemasan. Kita ketahui, dengan Tabanas si penabung hanya dapat mengambil uang tabungan dua kali sebulan. Tapi produk-produk tabungan kreasi bank-bank swasta bisa diambil sampai enam kali dalam satu bulan. Lagipula, bunganya dihitung setiap bulan -- bukan pada tiap tahun seperti Tabanas. Cukup menarik, bukan? Cara ini tak usah telek-melek menyaingi Tabanas milik Bank pemerintah. Karena pasar yang dituju tabungan "kreasi baru" itu berbeda dengan sasaran yang diincar Tabanas. Ingat, Tabanas lebih ditujukan para murid sekolah dan anggota Pramuka: sambil menarik tabungan kecil tapi pasarnya amat luas, para yunior itu dibudayakan menabung dari sisihan uang jajannya. Kembali pada tabungan non-Tabanas, tabungan pertamanya lebih besar dari yang berlaku pada "sangan"- nya. Begitu juga dengan saldo terakhirnya. Bagi kalangan awam, yang paling mendesak dijelaskan adalah manfaat dan halalnya menabung. Bahwa yang disimpan di bawah kasur bukan saja tidak produktif tapi juga tidak aman minimal akan digrogoti tikus. Ditabung di bank, uangnya tidak cuma aman tapi juga menguntungkan, yakni berupa bunga yang bukan riba. Mengapa bukan riba? "Karena uangnya diusahakan untuk kegiatan yang produktif," seorang bankir mengemukakan alasan. Ya pula. Jarangnya para bankir keluar sarang selama ini turut berperan pada kurangnya kesadaran menabung di kalangan masyarakat. Robert Thornton, country head Citibank di Jakarta, menyatakan bahwa baru satu persen masyarakat Indonesia yang mamanfaatkan jasa perbankan. Ini terbilang keterlaluan bagi sebuah bangsa yang sudah membuat kapal terbang sendiri. Toh dari segi prospek, bisnis perbankan di Indonesia cukup menjanjikan -- bagi yang rajin melakukan terobosan. Peluangnya masih banyak, kok. Pakto -- yang ingin merangsang bisnis bank -- ternyata disambut baik kalangan perbankan. Drs. Abdulgani, Ketua Perbanas yang juga presdir Bank Duta, memandang kebijaksanaan pemerintah di sektor moneter dan lembaga keuangan itu sebagai bersifat free entry. Yakni, memberi kesempatan kepada bank swasta dan asing (bank campuran) untuk menambah jumlah bank dan kantor cabangnya. Ini akan mengubah komposisi peranan sehingga kian berimbang antara bank-bank pemerintah, swasta nasional, dan asing (termasuk bank campuran). Tiga kelompuk bank ini, menurut Abdulgani, akan berposisi kuat di tujuh kota besar, yang segi keuangan dan kegiatan usahanya berpotensi terbesar. Ketujuh kota besar, dan wilayah di sekitarnya, itu mencakupi 80%-90% kegiatan ekonomi dan keuangan di Indonesia. Peranan yang berimbang ini ditunjukkan oleh pemberian kebebasan kepada badan-badan usaha milik negara (BUMN), kecuali Pertamina, untuk menempatkan dananya di bank-bank swasta nasional. Sifat free entry -- yang bisa ditafsirkan: siapa punya uang boleh dirikan bank -- sempat dikhawatirkan akan membuat bank-bank tumbuh dengan tak terkendali. Namun Pakto telah memasang rambu-rambu berupa: capital adequacy (modal yang cukup), legal lending limit (batas peminjaman yang diizinkan), dan tingkat kesehatan bank. Di samping itu, seperti dikatakan oleh Prijatna Atmaja, presdir Panin Bank, Pakto juga mendorong peningkatan profesionalisme bank. Prijatna menilai, dengan dibukanya kesempatan pendirian bank baru, dan diizinkannya bank asing beroperasi di beberapa kota besar, akan meningkatkan persaingan yang berkonotasi positif. "Berarti akan mendorong bank-bank lebih efisien, inovatif dan profesional dalam merebut pangsa pasar," ujarnya. Ada pula keuntungan makro. Yaitu: mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, menciptakan lapangan kerja baru, tentu lahir pula dampak negatifnya, berupa pembajakan tenaga terampil. Dalam persaingan yang makin meningkat, margin keuntungan kian menipis, sedang para nasabah dan pemakai jasa bank ingin lebih banyak kemudahan dan kenyamanan layanan. Toh mendirikan bank tak segampang mengucapkannya. Deregulasi dalam ucapan dan tindakan rada berbeda. Tenaga terampil bank masih langka. Lulusan perguruan tinggi dan akademi perbankan dan keuangan belum tentu siap pakai, mereka masih harus diberi latihan khusus lagi. Bahkan ada sejumlah bank yang mendirikan bagian pendidikan sendiri, agar karyawannya semakin terampil. Upaya ini jelas mahal, dan sialnya, justru kian disasar pembajakan. Citibank dengan sekolahnya dikenal sebagai penghasil praktisi bank yang andal. "Dari segi materi, Citibank rugi besar," ujar Robert Thornton. Ini, tentu, karena hasil didikannya suka dibajak bank lain. Tapi secara moral, ia bisa mengatakan bahwa hampir di semua bank terdapat bekas karyawannya. Di pucuk pimpinan lagi apalagi konon ada semacam kesepakatan antara Citibank dan pemerintah Indonesia, saat pemberian izin operasi bank tersebut, bahwa mereka akan membantu mengalihkan teknologi bidang simpan-pinjam uang di negeri ini. Dalam keadaan demikian, sekolah tinggi llmu Keuangan dan Perbankan Perbanas, yang cukup favorit, saja dinilai belum menghasilkan tenaga siap pakai. Inilah yang turut mendorong sejumlah tokoh bank terkenal (Abdulgani/Bank Duta, Robby Djohan/Bank Niaga, Tanri Abeng/PT Multi Bintang, dan beberapa lainnya) memprakarsai pendirian sekolah tinggi sejenis yang berpelengkapan lengkap dan modern, serta bergengsi. Ruang kuliahnya yang ber-AC akan diperlengkapi pula dengan perangkat audio-visual, laboratorium bahasa, serta ruang praktek ilmu perbankan dan ilmu keuangan pada umumnya. Kampus yang sedang dirampungkan di Kalibata, Jakarta Timur, acap ditunggui Abdulgani saban Sabtu. Berbicara tentang tingkat kemajuan ekonomi suatu negara, menurut para pakar keuangan, harus dilihat dulu perbandingan jumlah uang kartal (tunai) dan giral yang beredar. Di Indonesia, perbandingan jumlah, uang giral dan kartal 55:45. Peningkatan jumlah uang tunai itu dapat lewat tabungan di bank-bank. Agar para pemilik uang terbujuk menabung, citra dan kepercayaan masyarakat kepada bank harus ditingkatkan, kemudahan dan rasa aman menyimpan uang di bank diberikan, di samping menjelaskan kepada masyarakat tentang manfaat menabung uang di bank. Untuk meningkatkan uang giral, citranya di mata masyarakat harus dikembalikan lebih dahulu. Citra jenis uang yang mengandalkan kepercayaan ini memang sempat jelek, karena sering beredarnya cek kosong (tanpa dana). Namun kini semakin banyak saja perusahaan besar yang memberi gaji kepada karyawannya dengan jumlah relatif besar. Agar para pegawainya terjamin keamanannya, gaji mereka dibayar melalui rekening koran yang sengaja dibuka atas nama karyawan yang bersangkutan sendiri. Maka jumlah dana giro pun kian meningkat. Peningkatan jumlah dana dalam giro sangat menguntungkan bank. Jenis dana ini memang paling murah, karena jasa giro lebih kecil dibandingkan dengan jasa deposito, misalnya. Yang menjadi masalah, dana berupa giro tak dapat dipastikan pencairannya. Bisa dana tersebut mengendap lama, tapi mungkin pula segera dicairkan, sehingga bank tidak memperoleh kepastian tentang masa pengendapannya. Persaingan juga cukup seru di sini. Beberapa bank malah mulai terang-terangan menawarkan jasa giro yang besarnya amat menggiurkan, mendekati jasa deposito. Kenyataan ini mendorong pakar ekonomi terkenal Dr. Anwar Nasution mengimbau Bank Indonesia, sebagai bank sentral, agar tidak cuma menonton. Tapi, kalau perlu, "menginjak kaki" para pelaku kompetisi yang tak sehat itu. Ada beberapa bank, yang (dengan diam-diam) memberi jasa giro yang cukup tinggil melakukannya dengan semacam persyaratan. Caranya, nasabah yang bersangkutan didekati dan diberitahukan bahwa bila dana gironya dibiarkan mengendap cukup lama akan diberikan jasa giro yang tinggi. Atau diimbau agar memindahkan saja dana yang sering diendapkan ke deposito berjangka -- yang lebih mudah diukur dan diatur jasanya. Ada pula yang melakukan peningkatan dana giro dengan memaksimalkan produk rekening koran. Chase Bank, seperti yang diakui oleh Aswin dari Chase, membuat rekening koran bank tersebut lebih menarik: membayarkan tagihan listrik dan telepon serta pajak para nasabahnya. Itulah pengganti jasa giro yang relatif lebih menguntungkan sang nasabah. Chase bahkan memberi layanan akses bank melalui telepon meski terbatas pada dana milik nasabah itu sendiri, seperti memindahkan jasa depositonya ke rekening korannya. Atau, bila ada dana menganggur dalam giro si nasabah yang ingin dipindahkan ke deposito berjangka, ia dapat melakukannya melalui telepon. "Cukup menarik," Aswin mengakui. Bank yang melakukan kegiatan seperti ini disebut retail bank "Sejumlah bank justru menjadi besar karena layanan macam begini," ujar seorang pengamat perbankan. Meski volume pekerjaan menjadi lebih banyak, sedang penghimpunan dana tak begitu besar, tak kurang dari Bank Central Asia (BCA) bergiat di bidang itu. "Ujung tombak kami adalah kegiatan retail ini," kata Abdullah Ali, presdir BCA. Sebab itu, meski sudah berkantor pusat di kawasan elite di pusat kota Jakarta, yaitu Jalan Sudirman, kantor cabangnya di Jalan Asemka, Jakarta Barat, tetap menjadi tumpuan BCA. Pakto ternyata cukup mendukung kegiatan retail bank. Dengan keleluasaan membuka kantor cabang dan kas pembantu, jaringan menjadi diperluas. BCA, contohnya. Banyaknya cabang bank itu di Jakarta saja membuat lalu lintas giro di bank tersebut sangat banyak. "Sebagai retail bank yang cukup luas kegiatannya, bila kami kesulitan masyarakat ikut merasakan," kata Abdullah Ali. Maksudnya kesulitan likuiditas, namun hal itu belum pernah dialami BCA. Pilihan bentuk kegiatan sesuatu bank memang harus melihat situasi, kondisi, dan lokasinya -- seperti yang diakui Abdullah Ali. Nurachman Soekasah, dirut Bank Agung Asia (BM), hampir sependapat dengan rekannya dari BCA itu. BM, yang berlokasi di pusat perdagangan kelontong, dengan tempat parkir yang kurang memadai, mengakui keterbatasannya dalam menjaring nasabah. Di markasnya di Jalan Pintu Besar Selatan, BM menciptakan produk-produk yang bersesuaian dengan kondisinya dan lingkungannya: para pedagang di sekitar Glodok. Di sana bank tersebut menawarkan sejumlah kemudahan untuk para penabungnya, termasuk uang tabungannya dapat diambil enam kali dalam sebulan. Di beberapa kawasan perumahan dan pusat perdagangan, BM mengoperasikan pula sejumlah unit mobil kas dan melayani para nasabah di halaman rumah atau kantor mereka sendiri. Nurachman bahkan akan memperluas jaringan mobil unitnya ke kawasan pinggir kota untuk menjaring dana yang menganggur dan belum terjamah. Bank yang sejak November 1988 bergabung dengan BM Group dan Summa group itu kian berkembang. Sebagai retail bank, kata Nurachman, BM tak terguncang ketika pajak terhadap deposito diberlakukan -- terbukti hanya beberapa gelintir nasabah saja yang menarik kembali dana mereka. "Yang buru-buru menarik dananya 'kan mereka yang besar jumlah depositonya," ujar Nurachman. Nasabah BM umumnya dari kalangan menengah ke bawah. Cabang-cabangnya yang di luar kota juga menjanjikan prospek baik. BM akan menghimpun dana giro dari para pedagang suku cadang kendaraan bermotor dan distributor Astra. Summa Group memang dekat dengan Astra. Edward Soerya Djaya, presdir Summa Internasional, yang bergerak di bidang perbankan, keuangan, konsultan dan manajemen, dalam waktu dekat ini akan berpartner dengan sebuah bank asing untuk mendirikan bank campuran. "Bank mana itu, saya sendiri tidak tahu," ujarnya diplomatis. Sebelum resmi berdiri, boss Astra itu tampaknya tidak ingin menyebut nama bank dimaksud. Mengapa mereka ingin terjun di bidang keuangan dan perbankan? Menurut Edward, bidang ini merupakan kunci sukses di bidang perekonomian, dan dengan jalan itu mereka ingin menyumbang kemajuan Indonesia. "Bidang keuangan dan perbankan adalah key factor bidang-bidang lainnya," ujarnya penuh keyakinan. Bank Tamara juga retail bank, di samping consumer bank, seperti diakui direktur eksekutifnya, Hendrik Suhardiman. Juga mengutamakan pelayanan kepada para nasabahnya, bank ini sudah sejak delapan tahun lalu membuka Tabungan Kencana yang dananya bisa ditarik delapan kali dalam sebulan. Sasaran yang diarahkan golongan menengah, dengan setoran terkecil Rp 100.000. Toh para penabung jarang memanfaatkan kemudahan itu, paling-paling mereka mengambil dua kali dalam sebulan. Bunga tabungan yang dihitung berdasarkan saldo harian tampaknya berperan terhadap pengendapan dana. Di Tamara, keamanan tabungan lebih terjamin. "Karena yang mengambil uangnya si penabung sendiri," kata Hendrik. Penabung umumnya para ibu rumah tangga, yang agaknya merasa sayang menyimpan uang di rumah. Untuk keperluan belanja rumah, mereka dapat mengambilnya sepekan sekali. Rekening koran lebih banyak dimanfaatkan oleh para pedagang. Setelah Pakto, Tamara tergiur pula memperkuat dana melalui giro. Jasa giro yang tadinya tidak diberikan, kini mulai ditawarkan kepada beberapa nasabah yang suka mengendapkan dana. Toh Hendrik tak ingin memupuk dana melalui giro. Kalau hal itu dilakukan juga kini adalah karena "mengikuti" sejumlah bank yang dengan mencolok memberikan jasa giro kepada nasabahnya. Setelah deregulasi, menurut Hendrik, sudah sepantasnya bank-bank berpromosi untuk memupuk dana. "Dunia perbankan Indonesia menjanjikan peluang yang lumayan banyaknya," kata sang direktur, satu-satunya bank di Indonesia yang berbentuk koperasi adalah Bukopin (Bank Umum Koperasi Indonesia). Memakai nama bank umum, karena bank ini memang melayani secara umum dunia perbankan. Hanya lembaganya yang berbentuk koperasi. Awalnya Bukopin didirikan untuk membantu permodalan koperasi, karena sejak dulu bank enggan memperhatikan kepentingan koperasi. Anggapan bahwa koperasi adalah tempat berkumpulnya orang-orang lemah itulah yang mungkin merupakan keengganan bank melirik koperasi. Drs. Muhammad Nazif, MBA, direktur utama Bukopin, pun menyadari bahwa manfaat Bukopin, sebagai satu-satunya bank yang berbentuk koperasi, lebih baik diberikan pada anggota koperasi. Prioritas utama Bukopin adalah KUD (Koperasi Unit Desa). Sebagai bank umum, Bukopin yang sangat memperhatikan pengusaha lemah, baik yang bergabung atau pun tidak dalam koperasi, lebih menuju pada retail bank. Nazif melihat masalahnya dari berapa banyak corporate yang ada di Indonesia. Masih lebih banyak pengusaha-pengusaha kecil yang perlu mendapat perhatian untuk perkembangan usaha mereka. Jaringan corporate itu pun masih perlu dilihat. "Padahal para pedagang itulah yang menggerakkan ekonomi. Mereka menghasilkan nilai tambah sendiri," ujar Nazif. Bukopin yang menurut Nazif ingin membuka cabang sampai ke pelosok ternyata masih terhambat dengan situasi bahwa uang sangat jauh dari kegiatan ekonomi. Karena itu fungsi bank di desa-desa masih digantikan oleh para tengkulak yang sudah barang tentu lebih memperhatikan kepentingan pribadi daripada kepentingan "nasabahnya". Tindak kekerasan pun dilakukan bila "nasabahnya" tak dapat mengembalikan pinjaman. Yang perlu dilakukan sekarang adalah justru mengambil alih kegiatan para tengkulak oleh bank-bank atau lembaga keuangan lainnya -- yang akan sangat memberi kemudahan pada para petani yang tak punya jaminan, karena jaminan satu-satunya adalah tanaman yang digarapnya. Karena itu, para pengijon membeli hasil garapan petani sebelum tanaman tersebut menghasilkan. Dana si petani akhirnya merupakan suatu kerja bakti untuk mengerjakan garapannya, karena tanaman yang dikerjakannya itu hasilnya sudah milik orang lain. Bagi Nazif, situasi seperti itulah yang harus mendapat perhatian. Bukopin memang bermaksud ke sana, tetapi waktunya belum bisa. "Sebaiknya bank pemerintah yang mengawali kerja ini," katanya. Dan tentang situasi tersebut, Nazif mengajak kita melihat film-film western yang selalu memperlihatkan bank dan kantor pos pada penampilan sebuah perkampungan. Artinya dua lembaga tersebut sangat diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Bukopin, yang mendapat izin sebagai bank umum, pada dasarnya beroperasi sebagaimana layaknya bank-bank umum lainnya. Citra yang timbul dalam masyarakat ketika melihat namanya adalah bahwa bank ini sangat erat dengan koperasi. Maksudnya, yang bisa mendapat bantuan dana dan menjadi nasabahnya adalah koperasi-koperasi yang ada. Padahal, sebagai bank umum, Bukopin ternyata lebih banyak memberikan bantuan dana dan punya nasabah yang non-koperasi. "Hanya bentuknya saja yang koperasi," Nazif menegaskan. Dengan bentuk koperasi itulah maka keputusan tertinggi tetap pada RAT (Rapat Anggota Tahunan). Tentang perang bunga, yang dilakukan beberapa bank, tak membuat Bukopin bergeming. Nazif pun melihat situasi itu sebagai "membocorkan perahu sendiri", yang sangat boleh jadi akan menenggelamkan perahu bersama penumpangnya. Nazif lebih mementingkan efisiensi dalam kondisi kompetisi ini. Dengan efisiensi menurut Nazif akan bisa menghasilkan revenue yang lebih besar. Sehingga tak perlu terjerumus dalam perang bunga. Masalah yang perlu mendapat perhatian di Indonesia saat ini sebenarnya ialah bahwa dana yang diperlukan sebagian masyarakat kecil adalah yang jumlahnya lebih kecil daripada Kredit Candak Kulak. Kebutuhan dana kecil itulah yang banyak diberikan oleh para tengkulak, dan mencekik leher petani. Kalau kredit-kredit sejenis itu bisa diberikan dan mendapat berbagai kemudahan untuk mendapatkannya, maka perbankan Indonesia akan menemui bentuknya. Peran ini lebih besar harus dipegang bank pemerintah. Di negara maju, peran bank swastalah yang lebih besar. Nazif mengharap agar bank bisa melihat saat-saat penting di pedesaan: waktu panen, waktu tanam dan lain sebagainya. Pada saat itulah fungsi bank diperlukan. Sehingga fungsinya sebagai jembatan antara petani dan pasar menjadi lebih jelas. Unibank terbilang bank yang mendapat momentum bagus dari Pakto. "Sudah lama diharapkan kalangan perbankan. Lama sekali kita dibiarkan menunggu sejak deregulasi perbankan dan keuangan dimulai pada 1983," ujar Hikmat Kartadjoemena dan Eddy Handoko, keduanya direktur consumer dan retail bank itu. Soalnya, Unibank -- sebutan United City Bank agar mudah diucapkan oleh lidah Melayu -- baru tiga minggu sebelumnya mengkampanyekan image barunya. Citra barunya itu tidak cuma lewat logo baru (garis-garis melingkar berkesinambungan yang membentuk bola dunia) tetapi juga manajemen baru yang dipimpin oleh G.H. Mantik, mantan Gubernur Sulawesi Utara. Bank ini sebelumnya memang sempat babak belur. Didirikan di Semarang pada 1954 dengan nama Bank Gadjah Mada (BGM), tapi kemudian berkantor puat di Jakarta, pada 1963 sempat termasuk "lima besar" bank swasta. Sayang dua tahun berikutnya merugi, hingga berganti nama menjadi Bank Dagang Rahardja, lalu merger dengan Bank Permata Sari (1974) dan berganti nama lagi dengan United City Bank (UCB). Pada 1986, dengan persetujuan BI, saham UCB yang tadinya milik James Semaun (Oen Yin Choy) diambilalih Sukanto Tanoto (grup Raja Garuda Mas). Ia juga membentuk manajemen baru: Zairyanto (mantan direktur Bank Tani Nasional), Hikmat Kartadjoemena (mantan kepala perwakilan Chemical Bank), Eddy Handoko (mantan wakil presiden Citibank), dan Hans Tedjasaputra (mantan wakil presiden American Express). Didukung BI dengan kredit likuiditas, menurut data Perbanas 31 Desember 1986, bank ini termasuk "10 besar" bank swasta nasional dari segi modal maupun "10 besar" bank swasta non-devisa dari segi aktiva. Per 31 Desember 1988, Unibank meraih laba sebelum pajak sebesar Rp 953.491.000. Menurut para direktur bank tersebut, Pakto sempat membuat persaingan menjadi keras sehingga menimbulkan "perang bunga". Tapi Unibank, yang menjadikan retail consumer sebagai sasaran strategi utamanya, lebih percaya pada pelayanan yang bagus. "Untuk pelayanan yang 'enak dan gampang', para nasabah biasanya tak segan 'membayar' lebih," ujar mereka. Kini Unibank menempati gedung baru lima tingkat (sekitar 2600 meter persegi) di kawasan Olimo (Hayam Wuruk), Jakarta Barat. Apakah karena deregulasi atau bukan, penyempurnaan manajemen banyak dilakukan oleh berbagai bank akhir-akhir ini. Overseas Express Bank merupakan satu contoh. Pembenahan ini telah mereka lakukan sejak 1986, ketika Bank Indonesia turun campur tangan berkenaan dijadikannya OEB sebagai bank devisa. Beberapa tenaga profesional disuntikkan dari luar, termasuk Suryadi Surianingrat -- kini wakil presdir OEB -- yang direkrut dari sebuah bank asing. Menurut Suryadi, sejak pembenahan itu OEB menetapkan rencana kerja perusahaan dalam jangka panjang dan jangka pendek. Untuk memupuk dana, direksi OEB sepakat go public. Caranya, dengan melego saham-sahamnya ke pasar modal atas saham BI yang diinjeksikan sebesar 50% pada 1986 itu. "Tahun 1989 ini sebenarnya sudah bisa realisasi go public, tapi OEB masih melihat iklim yang baik dulu," papar Suryadi. Di samping melaksanakan tujuan utama itu, OEB juga mempersiapkan berbagai kegiatan usaha lain yang akan direalisasikan secara bertahap. Antara lain, merchant bank lembaga keuangan bukan bank, leasing, asuransi, bahkan venture capital. Venture capital ini memang kegiatan baru yang banyak menarik perhatian para pemilik modal. Bidang usaha itu belum bisa dilakukan karena berbagai regulasi perbankan yang membatasinya. Dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik, OEB melakukan survai dan riset di kalangan masyarakat untuk mengetahui persepsi mereka terhadap bank. Dari penelitian itu terbukti, suku bunga yang lebih tinggi sedikit tidak menjadi masalah bagi para nasabah untuk setia bertahan pada sesuatu bank. Tampaknya yang lebih penting bagi mereka adalah pelayanan. "Bahkan tempat parkir mendapat perhatian ketiga," ungkap Suryadi. Sambil memperhatikan tempat parkir, Direksi OEB mengutamakan pula likuiditas banknya. "Bank yang berhasil adalah bank yang liquid," ia menegaskan. Promosi dianggap penting, "bila perlu door to door." Namun dalam mengeluarkan produk baru, OEB sangat berhati-hati, meski beberapa di antaranya sudah disiapkan. Bank ini ingin lebih mempertajam sasaran produk yang akan dikeluarkan. "Setiap bank punya main objective, dan ini menentukan strateginya," kata Suryadi lagi. Bank Bali juga berbenah diri D. Ramli, presdir bank tersebut, mengungkapkan bank yang dipimpinnya tadinya bernama Bank Persatuan Dagang Indonesia, yang berdiri sejak 1956. Namun banyaknya embel-embel "persatuan dagang" yang dipakai orang, membuat para relasinya acap kebingungan, khususnya para rekan bisnis di luar negeri. Tahun 1972 mulai dipikirkan perubahan namanya, dan Direksi sepakat memilih nama Bali. Di samping singkat, bukankah Bali sangat-ternama di mancanegara? "Lucunya, pembukaan cabang di Bali sendiri baru akan kami lakukan," kata Ramli. Ramli mengaku tidak hendak terperangkap beragam trick sejumlah bank, yang untuk memupuk dana mengiming-imingkan undian berhadiah. Ramli lebih percaya pada tindakan wajar. Ia juga tak menawarkan bunga yang dianggap kompetitif. Presdir Bank Bali ini setuju dengan ucapan Gubernur Bank Sentral bahwa bank-bank yang memberikan bunga terlalu tinggi patut dicurigai. Bank Bali kini lebih mengutamakan pendekatan kepada masyarakat. Deposito di bank ini juga terbilang kecil nilainya, di bawah Rp 25 juta. Mereka meningkatkan kegiatannya di sektor retail, dan mengutamakan pelayanan. Hal yang banyak memberi kemudahan bagi nasabahnya adalah dihubungkannya seluruh cabangnya di Jakarta secara on line. Penerbitan kartu kredit Master Card juga untuk meningkatkan pelayanan sebagai cunsumer bank, yang sekaligus dapat menaikkan citra. Seiring kian besarnya prospek credit card semakin banyak pula bank yang mengeluarkannya. Pertama kali Bank Duta, dengan kartu kredit VISA. BCA, di samping menawarkan kartu kredit VISA dan Master Card, juga menerbitkan sendiri kartu kredit lokal. Bagi nasabah yang mendepositokan minimal Rp 10 juta dalam setahun, Bank Duta memberikan kartu kredit VISA sebagai bonusnya. Bonus mereka lainnya berupa overdran, rekening koran yang bebas biaya administrasi, dan hak memakai safe deposit box selama satu tahun. Kartu yang membuat orang tak usah mengantungi uang kontan itu sekarang perlu pengamanan. Tapi beberapa bankir, seperti Abdulgani dari Bank Duta, menganggap penyelewengan penggunaan kartu kredit masih kecil. "Masih aman," ucapnya. Seperti pembukaan cek kosong, penyelewengan kartu kredit merupakan perbuatan pribadi yang menyalahgunakan alat penukar bukan uang tunai. Kartu kredit memang memudahkan pemegangnya, dan juga lebih aman. Juga dapat dipakai menarik uang kontan dari berbagai automatic teller machine (ATM) yang mulai digunakan sejumlah bank. Yang pertama kali membuka layanan ATM adalah Citibank. Dulu, penempatan ATM di luar lokasi bank yang bersangkutan harus ada izin. Namun setelah Pakto, cukup memberitahukan saja kepada instansi yang berwenang. Sekarang prospeknya memang belum tampak, tapi cepat atau lambat akan merupakan keharusan dalam abad elektronik ini. Menurut Robert Thornton, ketika ATM pertama kali diperkenalkan di Amerika, di antara 10 orang yang ditawari hanya seorang yang mau menggunakannya. Kini, dengan mengantungi kartu kredit dan memakai perangkat ATM, perjalanan dan perbelanjaan menjadi dipermudah dan diperaman. Di Indonesia, BCA adalah bank pertama yang memasang ATM-nya di beberapa pusat perbelanjaan -- tempat yang paling perlu dan patut untuk perangkat ini. Bank Bali, yang mulai mengincar, lebih mengutamakan tempat-tempat umum -- kalau di kantornya 'kan hanya ramai pada jam kerja. Sedang di bank-bank, menurut Ramli dari Bank Bali, "Lebih baik memperpanjang jam layanan." Chase Bank di sini tampaknya belum berminat memasang ATM. Meski sudah memikirkannya, kata Aswin dari Chase, "Penggunaannya belum mendesak." Banyak bank terlihat lebih mengarah kepada consumer bank, dengan melayani permintaan kredit pemilikan rumah atau kendaraan bermotor. Di dalam kelompok ini termasuk Panin Bank. Karena, menurut Prijatna Atmaja dari Panin, risiko kredit pemilikan rumah sangat kecil. "Setiap orang ingin punya rumah sendiri, yang biasanya sudah menyiapkan diri untuk itu. Lagi pula, nilai rumah dan bangunan tidak pernah turun," papar Prijatna. "Ini menguntungkan kedua pihak, nasabah dan bank." Karena strategi ini, Panin lebih mengarahkan pembukaan cabang atau kas pembantu di kawasan perumahan baru. Memberi kemudahan kepada nasabah menguntungkan kedua pihak. Citibank, consumer bank yang tangguh, lebih memilih consumer dan corporate skala besar. Corporate menengah tidak ditangani oleh bank asing ini. Dari perbincangan dengan pelbagai bank, yang swasta nasional maupun asing, Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto) bukan saja disambut baik oleh mereka tetapi juga telah menyegarkan iklim perbankan di negeri ini. Bagi Abdulgani dari Bank Duta, Pakto telah merombak secara menyeluruh sistem dan struktur keuangan dan perbankan di Indonesia. Dengan meletakkan sejumlah dasar dan landasan yang lebih kukuh, suatu sistem keuangan dan perbankan yang lebih kuat, sehat dan dinamis, tinggal menunggu waktu. Waktu memang diperlukan untuk proses penyesuaian dan penyempurnaan. Bagaimanapun, setelah Pakto, sebagian besar bank telah mencapai kemajuan yang berarti. Berbagai bank yang memperkenalkan beragam produknya untuk pemupukan dana memang masih memerlukan promosi yang lebih ersasaran. Karena setiap produk punya sifat khasnya sendiri, yang harus lebih dimasyarakatkan dan dijelaskan. Tapi tidak setiap produk semata-mata untuk meningkatkan pendapatan, mungkin lebih sebagai kegiatan promosi untuk mencapai sasaran yang lebih besar. Di samping itu, ada bank -- sesuai dengan citra dan lingkungan tempatnya berlokasi -- yang cocok untuk produk Anu, tapi ini bisa tidak sesuai bagi bank yang lain. Inovasi tampaknya harus berpadanan dengan karakter bank yang bersankutan. Maka tepat awas-awas yang diberikan Abdulgani, yang berada di pucuk Perbanas itu, agar dalam mengembangkan produknya bank-bank jangan hanya mengikuti arus -- bisa-bisa hasilnya tidak ekonomis. "Uang sekolah" untuk suatu keberhasilan biasanya memang teramat mahal, tapi jangan sampai mengarah kepada suatu tindakan bunuh diri. Bagi Indonesia yang dengan segala dan cara bertekad meneruskan pembangunan negeri, peranan dan dukungan sektor perbankan teramat penting untuk diperjudikan begitu saja. Bisnis perbankan di negeri ini bukan sekadar sarana pencetakan keuntungan bagi bankir yang bersangkutan, tapi juga salah satu tiang penopang keberhasilan kita untuk lepas landas di bidang ekonomi tepat pada waktu yang direncanakan. Maka peran perbankan dan lembaga keuangan lainnya sungguh strategis. Dan tak kurang patriotis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus