BORBA IDYOT. "Perjuangan belum selesai." "Perjuangan baru dimulai." Kata-kata yang sering saya dengar selama saya di Soviet itu menyiratkan bahwa tak satu lembaga pun, baik itu partai, atau pemerintah daerah, atau pemerintah pusat, yang kini dianggap bisa membuat keputusan final. Lebih dari apa pun, kata-kata itu -- yang optimistis dan sekaligus tak jelas maksudnya -- mempengaruhi suasana di Moskow. Suatu hari saya dengar direktur sebuah acara televisi, Dobryi Vecher, Moskva (Selamat Pagi, Mokow), baru saja dipecat gara-gara menayangkan berita yang dianggap "tak sesuai dengan kenyataan". Saya tanyakan kepada Natalia Ivanova, redaksi puisi dari majalah bulanan Druzbha Norodov (Persahabatan Rakyat), bagaimana nasib si direktur selanjutnya. "Oh, ya, percayalah," katanya sambil tertawa. "Perjuangan justru baru dimulai. Para karyawan akan melakukan apa pun agar pemecatan itu diubah. Akhir Februari yang lalu, saya dengar direktur itu sudah berada kembali di kursinya. Contoh lain bahwa tak lagi ada kediktatoran partai maupun lembaga pemerintah adalah soal karya-karya Solzhenitsyn. Di awal Desember tahun lalu bos urusan ideologi dari PKUS (Partai Komunis Uni Soviet), Vadim Medvedev, mengumumkan bahwa buku-buku Solzhenitsyn tak akan diterbitkan di Soviet. Seminggu kemudian sebuah pertemuan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh penting diselenggarakan di Moskow. Pertemuan itu untuk memperingati 70 tahun pengarang "Kepulauan Gulag" yang memenangkan Nobel itu. Pemimpin Redaksi Nouyi Mir's Sergei Zalygin, dalam pertemuan itu mengatakan, ia tetap ingin mempublikasikan karya Solzhenits. Julian Semyonov, pengarang cerita dektektif dan presiden Persatuan Penulis Kriminalitas Internasionl yang sekarang memimpin sebuah majalah sastra baru, juga berniat sama. Dan tak lama kemudian, sebuah tulisan Solzhenitsyn terbit. Yakni surat pengarang itu yang ditujukan kepada Kongres Para Penulis Soviet yang ke-4,1967. Surat yang menuntut dihapuskannya sensor dan memprotes perlakuan yang menyengsarakan dirinya. Sesudah itu, apakah karya-karya pengarang yang sekarang berdiam di Vermont, Amerika Serikat, itu akan diterbitkan menjadi diskusi hangat tiap hari. Pada 29 Desember, Dewan Menteri Uni Soviet mengeluarkan pengumuman tentang harga tertinggi bagi koperasi -- yang pengelolaannya bebas dari campur tangan pemerintah -- dan rumah makan. Selain ihu, dikeluarkan juga pengumuman dilarangnya koperasi mengadakan kegiatan seperti "memproduksi karya ilmu pengetahuan sastra dan seni," dan "membuat film dan film video", mengadakan ceramah-ceramah, dan membuka "pengobatan" tertentu. Pengaturan kembali lembaga koperasi yang bebas dari campur tangan birokrasi ekonomi merupakan contoh sukses besar dari perestroika. Saya tanyakan soal pengumuman Dewan Menteri itu kepada Nikolai Shmelev, salah seorang ekonom dan penulis cerita pendek terkenal. Soal harga patokan tertinggi, kata dia, adalah sesuatu yang beralasan. Sebab, selama ini rumah-rumah makan menentukan harga seenaknya. Tapi soal pelarangan-pelarangan itu, kata dia, adalah "pernyataan yang serius, tapi tak berarti itu merupakan kata terakhir". Sebab, keputusan itu masih harus mendapatkan pengesahan dan lembaga legislatif yang baru akan mengadakan pemilihan anggota Maret ini (26 Maret yang lalu -- Red.). "Dan saya yakin soal itu akan menjadi perdebatan ramai." Ternyata perdebatan itu tak menunggu sampai parlemen baru terbentuk. Sebuah artikel yang ditulis oleh Vladimir Meleshkin -- ketua koperasi urusan produksi dan perdagangan -- muncul di Moscow News. Ia memperingatkan, bila pemerintah terus mencampuri urusan koperasi, mereka justru akan membawa kebangkrutan koperasi-koperasi. Sebuah artikel lain yang juga cukup keras menyusul di harian itu juga. Artikel itu ditulis oleh Alexei Klishin dan Nuriman Sharafetdinov, dua tenaga riset di Institut Hukum dan Negara, yang secara blak-blakan mengecam keputusan Dewan Menteri. Kini, tulis mereka, "tak seorang pun bisa menjamin bahwa dalam dua bulan mendatang tak akan ada lagi larangan-larangan bagi koperasi." Perubahan lain yang terlihat setelah tumbuhnya kebebasan dan berkurangnya rasa takut -- hal yang dulu membuat mandeknya masyarakat Soviet -- adalah lahirnya advokatura, persatuan pengacara, yang independen. Dulu peran seorang pengacara, khususnya dalam perkara politik, umumnya untuk membantu jaksa membawa terdakwa ke "pengadilan". Praduga tak bersalah dianggap sebagai "konsep borjuis", dan seorang pengacara paling jauh hanya bisa mengimbau agar hukuman terdakwa diperingan. Di zaman Khrushchev, sistem itu sudah disetop, seperti juga hal-hal lain dalam pengadilan yang diciptakan di zaman Stalin. Toh hak pengacara untuk membela kliennya tetap sangat dibatasi oleh kekuasaan jaksa penuntut umum dan para hakim, yang dikontrol oleh partai dan para birokrat. Barulah belakangan ini sejumlah cendekiawan mengimbau dibentuknya persatuan pengacara yang bebas dari kontrol pemerintah. Imbauan ini didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan para "profesional hukum" -- yakni mereka yang tergabung dalam persatuan ahli hukum yang diperbantukan kepada Menteri Kehakiman -- yang direstui oleh Kongres Partai ke-19 Juli tahun lalu, tapi yang dikecam oleh Menteri Kehakiman sebagai pertemuan liar. Lebih dari itu, Menteri melakukan sabotase terhadap pertemuan yang akan membicarakan berdirinya persatuan pengacara independen. Caranya, kepada 162 grup pengacara yang hendak datang, ia kabarkan bahwa pertemuan ditunda, dan pesanan kamar hotel untuk mereka dibatalkan. Tapi 22 grup sempat membuat pertemuan sendiri dan secara bulat memutuskan pembentukan persatuan yang dimaksud. Kongres pertama dari persatuan pengacara independen ini direncanakan Desember 1988. Saya tiba di Moskow tepat ketika Boris Kravtsov Menteri Kehakiman, memberikan tanggapan baru atas persatuan pengacara itu. Persatuan pengacara independen, katanya, baik-baik saja bila organisasi itu berada di bawah departemennya. Seorang ahli hukum utama menanggapi Kravtsov dengan menulis artikel di Ogonek. Taktik Menteri itu tulisnya, adalah sebuah tipuan yang tolol. Lalu dalam harian resmi pemerintah, Pravda, edisi 19 Desember, dimuat surat terbuka dari 7 profesor dan penulis yang menolak "cara yang sembrono" dari Menteri Kehakiman. Koresponden harian Izuestia, Yuri Feofanov, mengatakan kepada saya bahwa usulan Menteri Kehakiman itu adalah "kepalsuan pengadilan". Dan kata seorang pengacara. "Kami tak akan menerima usulan itu." Benar, mereka tak menyetujui usul itu. Pada 25 Februari yang lalu, 200 pengacara berkumpul di Moskow untuk membentuk Persatuan Pengacara Soviet, meskipun hal ini tak disetujui oleh Menteri Kehakiman, dan meski sejumlah pengacara "konservatif" (dalam pertemuan itu mereka disebut kaum "penjilat" dan "pengacau") tetap menginginkan persatuan ini berada di bawah Departemen Kehakiman. Dalam pertemuan itu antara lain dibicarakan hak pengacara untuk mendampingi kliennya sejak mereka ditangkap, jaminan adanya pengadilan yang independen, dan persamaan hak antara jaksa dan pembela. Yang ditunggu kini, apa lagi kalau bukan upaya Menteri Kehakiman untuk menyabot persatuan pengacara yang baru dibentuk itu. Untuk semua itu, kepada saya selalu dikatakan bahwa yang dipertaruhkan adalah masa depan Uni Soviet. Upaya pembaruan sekarang adalah kesempatan terakhir bagi Soviet untuk beranjak dan kemiskinan dan keterbelakangan, warisan dan rezim yang korup dan menindas. Tapi terus terang, siapa melawan siapa adalah hal yang sangat kompleks. Umumnya Barat menganggap bahwa di satu pihak Gorbachev dan para pengikutnya, di pihak lain adalah musuh-musuh mereka -- Gorbachev vs. kelompok "konservatif". Tapi sinyalemen itu meleset. Benar, dalam beberapa tahun belakangan ini, Gorbachev berjuang melawan para penentangnya di Politbiro dan Komite Sentral PKUS. Dan ia masih tetap musuh mereka dalam dua lembaga itu. Tapi, menurut hampir semua orang yang saya ajak bicara, posisi Gorbachev kini lebih kuat daripada sebelumnya. Meski perestroika-nya tak mendapat dukungan mayoritas dari 400 anggota Komite Sentral, Gorbachev kini memegang kendali di Politbiro. Ini berarti, menurut Shemelev, ekonom yang menulis cerita pendek itu, Gorbachev tak perlu cemas kehilangan kekuasaannya di hari-hari mendatang. Tapi itu tak berarti bahwa Gorbachev lalu bisa begitu bebas menggelindingkan rencana-rencana pembaruannya. Tak juga bisa dikatakan bahwa para pendukungnya datang dari kelompok monolitik. Ada tiga kelompok yang bisa dilihat dalam masyarakat Soviet sekarang. Di satu pihak adalah para pejabat partai dan para birokrat, yang menyetujui secara umum gagasan pembaruan, tapi dalam hal-hal tertentu mereka menentangnya. Di sisi yang lain, adalah mereka yang mendesak adanya perubahan radikal, dan mereka merasa bahwa penundaan, kompromi, atau penarikan mundur adalah tanggung jawab pihak "antipembaruan". Pihak ini disebut "sayap kanan". Ketiga adalah mereka yang berdiri di tengah, yang merasa bahwa perubahan yang radikal hanya akan membuat posisi lawan bertambah kuat. Dan menurut Alexander Bovin, salah seorang kolomnis utama harian Izuestia, Gorbachev berada di "sisi kiri dari kelompok tengah". Lalu apa kritik dan ketakutan kelompok "radikal"? Kebanyakan mereka -- antara lain Boris Kurashvili dan Garvril Popov, editor di bulanan resmi Voprosy Ekonomiki (Masalah Ekonomi) -- seperti juga Sakharov, terkejut oleh undang-undang baru pemilu yang disahkan Desember lalu itu. Adalah berlebihan untuk mengatakan bahwa undang-undang baru memungkinkan partai "memanipulasi pemilu". Tapi adalah benar bahwa sepertiga dari 2.250 anggota Kongres Rakyat, "organisasi massa", dan 450 anggota tetap badan legislatif, langsung dipilih dan dikontrol oleh Kongres Rakyat, tanpa lewat pemilihan umum. Itu mengkhianati prinsip pemilu yang langsung dan terbuka. Memang itu bukan masalah yang gampang disebut sebagai "manipulasi", tapi bukan juga yang diharapkan oleh rakyat Soviet langkah yang meragukan ke arah demokrasi yang lebih jelas. Ada dua hal lagi dari undang-undang baru itu, yang minta perhatian. Pertama soal Sekjen Partai yang sekaligus sebagai Ketua Parlemen. Ini menyalahi prinsip -- diusulkan sendiri oleh Gorbachev -- pemisahan kekuasaan. Dan kedua adalah pemilihan calon daerah yang dilakukan secara tertutup oleh "komisi pemilu". Bila calon adalah mereka yang propembaruan, tak jadi soal. Tapi bila calon-calon terdiri dari yang pro dan yang anti, tampaknya komisi cenderung memilih yang antipembaruan. Prosedur pemilu yang tidak praktis menimbulkan marah tak saja bagi kelompok "radikal", tapi juga golongan "moderat". Sementara itu, beberapa calon yang ditentukan oleh partai dan "organisasi massa" adalah mereka yang memang disebut perestroishchiki, orang-orang yang propembaruan, yang lain tidak. Soalnya, partai cabang dan organisasi massa didominasi oleh orang-orang yang menurut Gorbachev termasuk yang layak disingkirkan. Dan karena pemilihan calon dilakukan secara tertutup, sejumlah tokoh masyarakat yang penting tak sempat dipilih. Seperti Andrei Sakharov, yang ditolak pencalonannya oleh Akademi Ilmu Pengetahuan. Semua ini mengakibatkan kemarahan tertuju tak saja kepada aparat pemilu, tapi juga kepada Gorbachev sendiri.BBU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini