Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah membuka ruang kewargaan keseharian (everyday citizenship) bagi penghayat kepercayaan (selanjutnya penghayat). Implementasi UU tersebut telah menciptakan lingkungan kondusif untuk akses ragam layanan hak bagi penghayat dan simpul-simpul inklusi sosial yang memperluas penerimaan sosial. Pemajuan kebudayaan adalah mobilisasi jejaring sosial budaya, yang membuka jalan menuju kewargaan utuh bagi penghayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun yang sama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97 Tahun 2016 menegaskan hak konstitusionalitas penghayat. Seakan berkelindan, implementasi UU Pemajuan Kebudayaan menfasilitasi efektivitas implementasi Putusan MK Nomor 97 Tahun 2016, yang penafsirannya sering mengancam perlindungan hak penghayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mobilisasi Legal Politik dan Sosial Budaya.
Kedua produk hukum di atas disambut secara antusias oleh penghayat, pemerintah, dan bahkan organisasi masyarakat sipil (OMS). Ketiga komponen tersebut bersinergi mengembangkan kolaborasi lintas sektor, giat dalam mobilisasi legal politik dan sosial budaya, untuk percepatan layanan hak bagi penghayat.
Setelah Putusan MK Nomor 97 Tahun 2016, penghayat tidak segera memperoleh layanan dasar. Kemendagri butuh beberapa waktu untuk bernegosiasi dengan tekanan publik, yang akhirnya mengeluarkan KTP kepercayaan. Warga penghayat pun butuh waktu untuk meyakinkan diri terkait komitmen negara, dan pada akhirnya (sebagian) mereka menggunakan haknya, memilih KTP Kepercayaan.
Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 terkait layanan pendidikan kepercayaan harus diperalati rangkaian kebijakan lanjutan dan advokasi jejaring sosial budaya untuk efektivitas impelemntasinya. Saat ini, ia telah dijalankan di berbagai sekolah, sekalipun belum di banyak sekolah. Berbagai kendala struktural dan kultural laten menyertai upaya implementasinya.
Hak konstitusional memang tidak pernah otomatis diperolah oleh warga. Ia litigious, atau membutuhkan mobilisasi legal politik dan sosial budaya. Tanpa itu, hak konstitusional akan membeku, dan tak akan memanifes.
Tim Koordinasi untuk Percepatan Layanan
Pada tahun 2021, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Dit. KMA), Dirjen Kebudayaan, menginisiasi pengembangan kolaborasi lintas Kementerian/Lembaga untuk percepatan layanan hak penghayat (dan masyarakat adat). Dengan dukungan Kemenko PMK, Tim Koordinasi (Tikor), yang terdiri dari 25 Kementerian/Lembaga berhasil dibentuk.
Dalam kerangka mobilisasi legal politik dan sosial budaya, OMS juga membentuk Forum Komunikasi (Forkom) untuk advokasi hak penghayat (dan masyarakat adat). Mereka terdiri dari LSM, komisi nasional, Kampus, lembaga penelitian, termasuk organisasi kepercayaan. 30 lebih lembaga berjejaring dalam Forkom, membangun komitmen advokasi dan berkolaborasi dengan Tikor.
Kerangka kolaborasi lintas sektor (Tikor dan Forkom) efektif menfasilitasi percepatan layanan hak. Penghayat tentu saja masih menghadapi kendala layanan hak. Namun, berdasarkan pada beberapa kasus, segera penghayat melaporkan kendala layanan seperti sumpah jabatan, lowongan kerja PNS, TNI/Polri kepada Dit. KMA, Tikor atau bahkan Forkom, kendala mereka dapat diatasi dengan efektif.
Tantangan ke Depan
Efektivitas Tikor dan Forkom bergantung pada ragam faktor. Selama sesuai aturan/nomenklatur, Tikor menjanjikan efektivitas kerjanya. Masalahnya, aturan/nomenklatur yang ada berhadapan dengan kompleksitas situasi sosiologis penghayat. Di kalangan penghayat, ada yang dengan KTP Kepercayaan, ada dengan KTP agama, dan sekaligus anggota masyarakat adat.
Kaitannya dengan situasi tersebut, terdapat pertanyaan yang selalu mengemuka bahkan oleh pihak pemerintah: kenapa jumlah penghayat yang menggunakan KTP Kepercayaan masih kurang dibanding dengan yang diprediksikan? Seringkali, pertanyaan tersebut mengesankan bahwa jumlah tersebut terlalu kecil untuk mendapatkan perhatian khusus. Jika situasi penghayat saat ini dipahami, pertanyaan yang tepat seharusnya adalah “kenapa banyak penghayat tidak menggunakan KTP Kepercayaan?” Jawaban singkatnya adalah memilih KTP Kepercayaan potensial berdampak pada kendala layanan hak.
Pembedaan kepercayaan dari agama, sebagaimana diatur dalam KTP, cukup problematis. Kepercayaan adalah bagian dari kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB). Kandungan kepercayaan serupa, jika tidak sama, dengan kandungan agama seperti ajaran, pelaksanaan ajaran, tempat ibadah, dan seterusnya. Ia bisa dibedakan dari agama, tetapi seperti halnya agama, kepercayaan adalah bagian hak sipil dan politik yang melekat, yang wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi (kebebasannya) oleh negara, setara dengan agama.
Putusan MK Nomor 97 Tahun 2016 menegaskan prinsip KBB di atas, tetapi beberapa aturan masih menegaskan “agama yang diakui” (bertentangan dengan KBB), menyebutkan agama tanpa menyebutkan kepercayaan (mengeksklusi kepercayaan), dan menyebutkan “aliran kepercayaan” untuk diawasi (melanggengkan stigma negatif terhadap penghayat). Aturan-aturan tersebut tidak hanya membedakan kepercayaan dari agama, tetapi juga mendiskriminisanya.
Aturan-aturan di atas berdampak pada layanan pendidikan kepercayaan. Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 hanya mengatur layanan pendidikan kepercayaan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan kepercayaan dibedakan dari pendidikan agama yang wajib diajarkan hingga jenjang perguruan tinggi. Program Studi S1 Pendidikan Kepercayaan telah dibentuk dan beroperasi di Universitas 17 Agustus (Untag), Semarang, tetapi mahasiswa penghayat di PT lain tetap berhadapan dengan aturan yang mewajibkan pendidikan agama.
Pada tahun 2022, RUU Sisdiknas diharapkan mengatasi masalah di atas. Alih-alih mengakomodasi pendidikan kepercayaan, RUU Sisdiknas justru meniadakannya. Sekalipun tidak disahkan, fakta tersebut memunculkan trauma penghayat bahwa negara melalui aparatnya mengancam pemenuhan hak penghayat, dan memantik pertimbangan rasional bahwa memilih KTP Kepercayaan potensial menghilangkan layanan hak.
Penutup
Strategi percepatan layanan hak penghayat, di antara bentuk implementasi UU Pemajuan Kebudayaan, perlu dikuatkan dan dikembangkan. Ia adalah model pengelolaan negara berbasis demokrasi substantif. Di antara pengembagan yang diperlukan adalah mobilisasi legal yang memungkinkan perbaikan aturan/nomenklatur. Aturan perundang-undangan tidak boleh diperlakukan secara statis, tetapi seperti UU Pemajuan Kebudayaan perlu dikembangkan merespons situasi sosiologis warga, seperti penghayat.
*Penulis: Samsul Maarif, Ketua Program MA di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gajah Mada