Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mala Radikal

Mala radikal berpandangan yang jahat hanya ada di luar kita. Ia menutup kemungkinan yang jahat bisa di dalam kita.

22 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seseorang bisa bungkam ketika berada dalam rezim yang ia inginkan, lalu berteriak setelah rezim itu selesai.

  • Mereka yang berperilaku seperti itu gagal mengambil sikap etis padahal mereka tahu apa yang baik dan buruk.

  • Namun demarkasi baik-buruk, dalam mala radikal, menyempurnakan bias dalam pikiran manusia.

SUATU hari saya bertemu dengan kawan lama: seorang mantan aktivis. Belakangan ini ia gemar memuntahkan kekesalan dan dengan judes merapal kutukan terhadap mantan presiden junjungannya. Dulu ia pejabat di bawah presiden yang ia maki-maki itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepadanya saya bertanya: mengapa baru marah-marah sekarang? Dulu, sewaktu hukuman mati dilakukan secara murahan, Anda ada di mana? Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi dikerdilkan, ketika para aktivis prodemokrasi dikriminalisasi, dan berbagai undang-undang jahat disahkan, kenapa Anda diam saja? Bahkan, sewaktu rencana tiga periode jabatan presiden digaungkan, kamu bergeming dan menganggapnya bukan masalah. Kok, baru sekarang berteriak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya tidak bilang ia hipokrit, tapi jelas ia gagal mengambil sikap.
 
Kegagalan mengambil sikap sering kali terjadi karena orang terjebak dalam ide totalitas. Mereka menggunakan standar abstrak universal, yang akibatnya mengabaikan apa yang konkret dan partikular. Mereka mempercayai premis bahwa karena “secara keseluruhan” rezim idolanya baik, dengan itu pengalaman buruk yang kecil menjadi kasuistik semata. 

Dengan sikap seperti itu, fragmen pengalaman penindasan konkret dari yang lain menjadi tidak penting, dianggap kecil, remeh, dan diabaikan. Akibatnya, betapapun kenyataan telah menyodorkan realitas brutal kekuasaan, mereka enggan mengambil sikap etis. Baru setelah rezim itu tak lagi menjadi bagian dari dirinya, ia memiliki “keleluasaan” untuk menarik jarak dan mengambil sikap.
 
Emansipasi zaman kini tidak bisa lagi disandarkan pada prinsip totalitas-universal abstrak. Emansipasi hendaknya juga bertumpu pada bagaimana menciptakan bentuk-bentuk subyektivitas baru melalui penolakan terhadap pelbagai pengendalian dan pemaksaan identitas. Menurut Michel Foucault, ide emansipasi universal cenderung mengabaikan pluralitas pengalaman, perjuangan, dan perlawanan. Katanya, “Freedom is the practice of critique-of refusing what we are and we are told we must be.”

Foucault skeptis terhadap klaim-klaim emansipasi besar yang hebat. Sejarah kita secara terang benderang telah membuktikan bagaimana perubahan-perubahan besar tatkala berganti musim justru melahirkan tiran-tiran baru.

Filsafat kontemporer memperkenalkan ide “mala radikal”: yang jahat bukan terletak pada pelanggaran hukum moral individu, melainkan pada pembalikan hukum moral itu sendiri, yakni tatkala isi yang partikular diangkat menjadi prinsip-prinsip “kebaikan” umum dan dipancang sebagai alat ukur. 

Kata Slavoj Žižek, mala radikal bukan pelanggaran terhadap norma, melainkan kenikmatan yang kita peroleh dari pelanggaran atau kepatuhan terhadap norma tersebut. Definisi ini cocok dengan argumen para diktator yang menyerukan segalanya demi “kebaikan yang lebih besar”. Sementara itu, ukuran mana yang baik dan mana yang buruk ditentukan secara monopolistik oleh dirinya sendiri. 

Begitu orang menetapkan standar total akan yang baik, saat itu juga mala radikal dimulai. Sebab, dari situ dengan segera ia tergoda membangun ukuran baik-buruk dengan menetapkan yang baik adalah dirinya dan yang lain adalah si buruk. Deduksi mala radikal adalah sistem seleksi dan evaluasi rasional yang sebenarnya bersifat totalitarian. 
 
Dalam soal ini, Žižek sebenarnya mengambil mentah-mentah kritik Zygmunt Bauman terhadap modernitas. Bauman berpandangan, sekali Anda menetapkan suatu standar baik-buruk dalam politik, saat itu Anda memancang tatanan dengan obsesi terhadap kepastian. Sekali Anda jatuh dalam obsesi kepastian, saat itu bencana dimulai.

Menurut Bauman, membangun dan menjaga keteraturan (order) artinya merangkul kawan dan memerangi musuh. Dengan kata lain, melenyapkan ambivalensi. “In the political realm, purging ambivalence means segregating or deporting strangers, sanctioning some local powers and delegalizing the unsanctioned ones, filling the ‘gaps in the law’,” katanya lagi.
 
Mala radikal berpangkal dari obsesi akan keutuhan tatanan dan otoritas moral untuk mengintegrasikan dan mentotalisasi mereka yang asing dan berbeda agar kawan dan lawan bisa dikategorisasikan secara rasional. Untuk itu, yang ketiga, atau yang ambivalen, harus dianggap musuh atau identitas yang mesti dilenyapkan karena merisaukan rasionalitas dan kepastian. Bauman melihat gejala ini sebagai anak kandung modernitas seperti Žižek yang melihat mala radikal berpangkal pada gagasan hukum moral Immanuel Kant

Kant gagal menyadari bagaimana subyek moral dikonstruksi oleh kekuatan ideologis yang mendahului keputusan etis mereka. Sebagaimana terjadi dalam justifikasi kekerasan ideologis Nazi ketika pelaku mengklaim mematuhi kewajiban “lebih tinggi” tanpa mempertanyakan moralitas tindakan mereka.
 
Mala radikal berpandangan bahwa yang jahat hanya mungkin ada di luar kita. Ia menutup kemungkinan bahwa yang jahat bisa jadi ada bersama atau di dalam kita. 

Karena itu, sudah waktunya ide perubahan masa kini didasarkan pada teori yang bukan hanya mengklaim bisa mengkritik dan mengubah dunia buruk di luar, tapi menyediakan fasilitas untuk mengkritik dan mengubah secara privat ke dalam.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Robertus Robet

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus