Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syukur, buku kian banyak, dan tak...

Suplemen tentang perkembangan penerbitan. ada 200 penerbit yang tergabung dalam ikapi, tapi pasarannya masih terbatas. bank masih ragu-ragu membuka kredit bagi penerbit. (pwr)

5 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA Anda seorang penerbit Indonesia, tentunya Anda tergabung dalam Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia), organisasi penerbit yang muncul pada 1950, dan telah mengalami pasang surut. Ikapi semula hanya punya beberapa anggota. Tapi pada 1966 tercatat ada 450 penerbit tergabung di dalamnya. Dan 1973, herannya, banyak penerbit rontok, tinggal 80-an. Mulai pertengahan 1970-an dunia penerbitan ramai lagi, dan tahun ini tercatat ada sekitar 200 penerbit tergabung dalam Ikapi. Gambaran pasang surutnya Ikapi mencerminkan dunia jual beli buku di Indonesia memang belum menyenangkan. Seandainya Anda penerbit, tentu tahu pasar buku ternyata tak seluas pasar media elektronik, misalnya. Menurut sensus 1980 dari BPS, 150 juta penduduk Indonesia bisa menyerap 32,8 juta radio, dan sekitar 5 juta pesawat televisi. Tapi buku? Tak ada gambaran. Eduard Kimman, ahli komunikasi massa Belanda yang menyusun disertasi tentang bisnis penerbitan Indonesia, menyimpulkan bahwa belum tentu ada satu buku dalam satu rumah tangga Indonesia yang memiliki radio dan televisi. Terbatasnya pasar masih ditambahlagi tidak jelasnya lokasi pasar. Ini menyebabkan kesulitan untuk menentukan pola distribusi. Karena itu, menurut H. Firdaus Urnar, Direktur Utama Penerbitan Mutiara yang juga menjadi Wakil Ketua Ikapi, umumnya penerbit Indonesia masih belum tahu persis bagaimana memasarkan bukunya. Tapi jangan keburu meninggalkan cita-cita. PT Gunung Agung atau PT Gramedia mungkin bisa ditiru. Dua penerbit itu, juga Indira, mempunyai jaringan pemasaran sendiri, yakni toko buku mereka sendiri. Menurut Kepala Divisi Penerbitan Buku PT Gramedia, Adisubrata, buku Gramedia yang tersalurkan lewat toko buku sendiri sekitar 25% dari oplah tiap juduL Bahkan toko buku Indira, menurut Wahyudi, direkturnya, memasarkan 40% dari oplah buku Indira. Tapi Anda jangan keburu mendirikan toko buku. Pada zaman ini, sebuah usaha tanpa manajemen yang baik bakal susah berkembang - sudah banyak saingan. Tengok-tengok dululah, adakah mampu menemukan orang yang tepat, atau adakah kemampuan mengelola dua usaha yang berbeda sekaligus: penerbitan dan toko buku. Kegamangan pengelolaan ini, menurut H. Firdaus Umar, menyebabkan tak banyak penerbit membuka toko. Masih aa satu soal lagi: membuka toko tentu perlu modal. Jangan terlalu berharap bisa mendapat kredit dari bank atas nama penerbit. Di mata para bankir, penerbitan buku tidak jelas harga dan jenisnya. De jure, memang masuk usaha kelompok perdagangan. Tapi de factnya, barang dagangannya, yakni buku, ternyata susah dinilai. Ini menyebabkan bank ragu-ragu membuka kredit bagi penerbit. "Buku belum bisa dijadikan jaminan bank," kata Wakil Ketua Ikapi. 'IKertas putih yang masih menumpuk di gudang, bagi pihak bank, malah lebih berharga daripada bukunya." Repot, memang. Tapi, sebelum pusing dengan persoalan pemasaran itu, penerbit lebih dulu dihadapkan pada masalah buku jenis apa yang baik diterbitkan. Soalnya, bukuada 1.001 jenisnya. Daribuku komik, buku tuntunan salat, buku pelajaran sekolah, novel, sampai buku masak-memasak. Juga jadi pikiran, tentu, mau menerbitkan tulisan penulis pribumi, atau mau membeli hak cipta dari penerbit asing. Persoalan ini muncul karena penerbit bukan sejenis pedagang kelontong (bukan berarti ini merendahkan para kelontongwan) yang bisa menjual apa saja. Samar-samar, para penerbit seperti menginginkan cap sendiri. Masagung, misalnya, pendin PT Gunung Agung itu, lebih condong mencetak buku riwayat hidup para tokoh masyarakat. Ada alasannya, pihak Gunung Agung menganggap buku-buku seperti anak Desa (biografi Presiden Soeharto)/ Bung Karno (riwayat hidup Presiden Soekarno), atau biografi Bung Hatta, "buku-buku yang akan dibutuhkan untuk keperluan penelitian dan penulisan sejarah." Bobot, sekaligus kemungkin an larisnya buku, jadi pertimbangan. Bung Kamol misalnya, tercatat sudah dicetak lebih dari 150.000. Mungkin Anda akan bertanya: Adakah ciri khas itu ditetapkan lebih dahulu, atau kemudian? Atau, hal itu hadir dengan sendirinya? Ini sulit dijawab. PT Gunung Agung memang terus menerbitkan biografi-biografi (dari sekitar 400 judul buku Gunung Agung sebagi an besar seri biografi). Ada yang laris, ada yang tidak. PT Indira memusatkan perhatiannya pada penerbitan komik anak-anak (dan terutama terjemahan). Penerbit yang berangkat dari usaha impor buku ini kini namanya seperti tak terpisahkan dengan komik petualangan Tintin. PT Gramedia, meski terima hoki pertama lewat novel pop, salah satu penerbit besar Indonesia itu lebih dikenal dengan buku-buku bacaan anakanaknya, terutama yang terjemahan. Tapi, kini penerbit ini pun tampaknya mulai banyak menerbitkan buku seri sosial politik dan pendidikan. Buku buku yang jadi ciri tiap tiap penerbit itulah, biasanya, yang merljadl tulang punggung mereka. Tentu saja, ciri khas itu ada yang tajam ada yang tidak. Pustaka Salman Bandung, sangat mengkhususkan diri pada penerbitan buku-buku pilihan tentang Islam. Dan, pilihan penerbit itu lebih khusus agaknya dibandingkan misalnya dengan buku-buku terbitan Bulan Bintang, Jakarta, dan Al Ma'arif, Bandung - meski sama-sama mengkhususkan buku tentang Islam. Lalu beberapa penerbit - PT Bhratara, PT Bina Ilmu, PT Binacipta - mengkhususkan pada buku ilmu pengetahuan. Sementara itu, Penerbit Sinar Harapan tampaknya masih "mencari-cari". Baik novel, kumpulan puisi, buku biografi, buku ilmu pengetahuan terbitan penerbit yang satu lingkungan dengan harian Sinar Harapan itu sama sama kuat. Bagaimana mencari naskah? Ini memang masalah yang memusingkan hampir semua penerbit. Ternyata, penulis buku di Indonesia tak banyak, karena berbagai sebab. Antara lain, mereka yang mampu hanya sedikit punya waktu. Itulah mengapa banyak buku terjemahan terbit. Dan menerjemahkan buku untuk diterbitkan, punya persoalan sendiri pula. Benar, Indonesia tak terikat pada Konvensi Bern - persetujuan perlindungan hak cipta internasional. Tapi kini penerbit Indonesia tak senang diejek sebagai pembajak. Kini, sebagian kita membayar hak cipta kepada penerbit asli di luar negeri. Bagi para penerbit sendiri, ada manfaatnya pula. Misalnya, menghindarkan satu buku diterjemahkan dan diterbitkan oleh dua atau lebih penerbit Indonesia. Cuma, mencari penerjemah tak gampang. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) yang "memakelari" penerbitan buku-buku ilmu sosial - yayasan ini cuma menyediakan naskah, soal menerbltkan ditawarkan ke penerbit lain - terjemahan maupun bukan, pun ternyata pusing mencari penerjemah. Padahal, yayasan ini menggarap jenis buku yang sudah tertentu. Dan, tentunya, orang-orang yayasan mengenal baik para ahli ilmu sosial Indonesia. Logikanya, mereka gampang menemukan penerjemah, nyatanya, kok, tidak. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana susahnya penerbit lain mencari penerjemah yang memenuhi syarat: memahami isi buku, dan sekaligus terampil menerjemahkan. Ada contoh pemecahan. Yakni dari PT Pustaka Tira, yang banyak menerjemahkan buku-buku Time-Life. Willie Koen, editor kepala penerbit ini, memecahkan persoalan itu dengan memperkuat tim editor. Dengan begitu, persyaratan buat penerjemah bisa lebih ringan. Begitu terbit, segera pula muncul persoalan bagaimana cara mempromosikan buku. Iklan di media massa, mungkin cara paling efektif. Darmadji, penanggung jawab Toko Buku Gramedia yang di Pusat Perdagangan Senen, punya pengalaman. Begitu iklan sebuah buku muncul di media massa, biasanya yang menanyakan dan membeli buku di toko bukunya ramai. Sialnya, munculnya iklan dan beredarnya buku sering tidak klop. Buku yang baru saja diiklankan di sebuah surat kabar belum tentu sehari kemudian sudah ada di toko-toko buku - ini terutama terjadi di luar Jakarta. Bahkan di lusat Buku di Lantai IV Pusat Perdagangan Senen, Jakarta, yang konon diadakan sebagai pusat bursa buku dengan motto "begitu buku terbit begitu ada di Pusat Buku", buku baru sering terlambat munculnya. HAL-hal seperti itu yang membuat SH. Firdaus dari Penerbit Mutiara sedikit bingung. "Kami tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi masalah utama penerbitan Indonesia sebenarnya," katanya. Soal pemasaran buku, atau minat baca yang kurang, atau daya beli yang rendah. Dan semua masalah itu masih akan ditambah hal baru yang, ditanggung, bakal menambah puyeng. Yakni, pajak baru. Konon buku setidaknya akan kena pajak dua kali. Pertama, ketika di percetakan. Kedua, di toko buku. Ini berarti, gampangnya, harga buku harus naik. Wahyudi, dari PT Indira, pagipagi sudah memperkirakan, pemasaran buku nanti bakal lebih seret daripada sekarang. Artinya, pembajakan buku boleh jadi akan semakin mencabul. Apa boleh buat, terlalu banyak "musuh" penerbit, agaknya. Tapi, bayangkan dunia tanpa buku. Bagaimana gagasan-gagasan bisa tersebar, bagaimana membagi pengalaman batin, bagaimana berbincang-bincang dengan para tokoh abad-abad silam, bagaimana bertualang di seluruh dunia tanpa beranjak dan dalam waktu yang telah disingkat. Dan semuanya itu sudah dimulai sejak buku masih terbuat dari lempung, 5. 500 tahun yang lalu, di Zaman Babilon. Bambang Bujono, Indrayati, Zaun Uchrowi KISAH-KISAH SUFI Oleh. Idnes Shah Penerblt Pustaka Frdaus, Jakarta, 1984, 149 halaman KISAH-kisah sufi memiliki wit (ketangkasan pikiran), susunan, dan daya pikat yang sebanding dengan cerita terbaik dalam kebudayaan mana pun. Telah berabad-abad lamanya para guru sufi mengajarkan kisah-kisah ini, yang dianggap memiliki kekuatan untuk meningkatkan persepsi yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Idries Shah telah menjelajahi tiga benua bertahun-tahun lamanya untuk mengumpulkan dan membandingkan versi lisan kisah-kisah yang menggagumkan ini. SAAT-SAAT KRITIS DALAM KEHIDUPAN RASULULLAH Oleh Abdul Wahab Hamudah Penerbit. Pustaka firdaus. Jakarta 1984, 105 halaman Harga. Rp 1.400 JUDUL buku ini menarik. Saat-saat kritis dalam kehidupan Nabi, andaipun cukup diketahui, tak banyak disadari. Buku ini mencatat semua kejadian yang lazimnya hanya terselip dalam riwayat hidup Rasulullah yang panjang itu. Mencakup keadaan-keadaan genting pada saat penerimaan wahyu pertama dan dakwah pertama, saat hijrah, berbagai perang, gencatan senjata, dan penyelesaian para tawanan. Juga usaha penyatuan berbagai kabilah, termasuk "perkawinan politik" Nabi dengan wanita-wanita tertentu, saat-saat gawat dalam kehidupan rumah tangga besar Nabi sendri, dan akhirnya keagungan pribadi seorang Rasul Allah. Syukur-Syukur Tergugah MENULIS profil suatu masyarakat tidak mudah. Dibutuhkan penelitian yang mendalam serta analisa yang cermat. Itu tentu memerlukan waktu yang panjang dan dana yang besar. Siapa yang bersedia melakukannya? Jangankan penelitian mengenai profil pembaca buku di Indonesia, pendataan mengenai buku-buku yang diterbitkan selama setahun di Indonesia pun belum ada pihak yang sanggup melakukannya secara lengkap. Akibatnya, belum pernah tersedia satu daftar terbitan buku Indonesia yang lengkap untuk satu periode, apalagi terklasifikasikan menurut jenis buku. Demikian pula data mengenai toko buku yang ada di Indonesia, baik jumlah, kategori, jumlah pengunjungnya, profil pengunjungnya, tak satu pihak pun yang memiliki. Miskinnya data perbukuan di Indonesia menggambarkan bahwa penegasan mengenai pentingnya arti buku bagi kehidupan setiap orang yang sering dilontarkan oleh berbagai pihak barulah sampai pada tingkat ucapan. Tapi, karena kedudukan saya selaku Ketua Himpunan Masyarakat Pecinta Buku (Himapbu), yang hingga saat ini sayangnya masih merupakan satusatunya organisasi serupa yang ada di Indonesia, maka wajar bila saya diharapkan sedikit banyak bisa menggambarkan profil masyarakat pecinta bukudi Indonesia. Meskipun umur kegiatan Himapbu sudah lebih dari empat tahun, dan seribu satu macam usaha telah diikhtiarkan, hingga saat ini jumlah anggotanya hanya berkisar 6.000 orang. Jumlah itu pun tersebar di lebih dari 200 kota di seluruh pelosok Indonesia. Bayangkan, betapa sulit menyusun profil mereka, karena keadaan yang mereka hadapi sering kali sangat berbeda satu sama lain. Apa yang akan saya gambarkan berikut ini hanyalah sekadar rabaan umum yang, terus terang saja, saya tak berani mempertanggungjawabkan kebenarannya secara penuh. Pengelompokan Jumlah pecinta buku di Indonesia saya perkirakan 2,5 juta orang. Mereka dapat dikelompokkan menurut beberapa cara: - Berdasarkan jenis buku yang diminatinya, 70% pecinta buku-buku fiksi, dan 30% pecinta buku-buku nonfiksi. - Berdasarkan usia, 50% berumur antara 4 dan 15 tahun, 20% antara 17 dan 23 tahun, dan 30% lebih dari 23 tahun. - Berdasarkan jenis kelamin, 60% wanita dan 40% pria. - Berdasarkan domisili, 70% tinggal di kota-kota besar, selebihnya, 30%, tersebar di kota-kota kecil yang jumlahnya lebih dari 200. - Berdasarkan tingkat pendapatan, 60% dari keluarga yang berpenghasilan di atas Rp 200.000 sebulan, dan 40% di bawah Rp 200.000. Jumlah pecinta buku saya hitung berdasarkan rata-rata oplah lebih kurans 5.000 eksemplar per judul, kemudiar jumlah judul buku yang diterbitkan per tahun sekitar 2.500, dan satu orang saya perkirakan membeli lima judul buk per tahun (di luar buku Inpres). Besa harapan saya, angka-angka itu melese dan ternyata jauh lebih besar dari yanc saya perkirakan. Pertimbangan membeli buku Pertimbangan membeli suatu buk adalah: - 70% dari mereka karena tertarik kepada nama penulis buku, - 50% tertarik kepada jildul buku, - 50% setelah mengetahui gambaran isi buku, - 70% karena pertimbangan harga, - 30% karena percaya dengan nama penerbit, - 40% karena tertarik kepada penampilan buku: desain sampul, kertas, dan mutu grafis. - 80%, terutama untuk pilihan buku-buku nonfiksi, karena rekomendasi - entah dari guru, pimpinan, resensi, dan lain-lain. Berdasarkan klasifikasi itu, tampaknya, usaha menjual buku dengan melakukan kontak langsung kepada pembeli merupakan suatu cara yang efektif. Unsur rekomendasi sepertinya memilih arti yang penting sebagai dorongan untuk membeli suatu buku. Maka, usaha mendekati opinion leader untuk memberikan rekomendasi atas suatu judul buku telah mulai banyak ditempuh para penerbit. Selain itu, kombinasi antara penulis buku yang cukup dikenal masyarakat dan harga buku yang relatif murah (perlu keberanian penerbit untuk mencetak buku dalam oplah di atas ratarata) masih merupakan unsur penentu kelarisan penjualan suatu buku. Usaha yang dilakukan beberapa penerbit akhir-akhir ini, meningkatkan mutu penampilan bukunya dengan menggunakan kertas isi buku mewah, merupakan kebijaksanaan yang kurang tepat. Sebab, harga buku jadi mahal dan mengurangi selera masyarakat untuk membelinya. Sumber keuangan Dari pecinta buku di Indonesia yang berjumlah 2,5 juta orang itu: - Hanya sekitar 4% yang membeli buku secara teratur setiap bulan. Mereka memang menyisihkan uangnya untuk membeli buku. Minimal mereka membeli satu judul buku dalam sebulan dan sekali dalam sebulan mengunjungi toko buku. - Kemudian, sekitar 40% mengunjungi toko buku minimal sekali dalam sebulan, tapi mereka belum tentu membeli - terkadang hanya ingin mengetahui kehadiran buku baru sambil menghitung-hitung uang yang tersisa di kantungnya. - Selebihnya membeli buku karena adanya kebutuhan-kebutuhan tertentu, antara lain untuk mengikuti pelajaran di sekolah dan mengikuti penataran. Pengaruh kepada perilaku pennbaca Sebenarnya, hal ini merupakan sasaran penelitian yang teramat menarik. Tapi, amat sayang, setahu saya belum ada pihak yang melaksanakannya. Dalam pengamatan saya, mungkin disebabkan latar belakang budaya serta nilai-nilal yang berkembang dalam masyarakat akibat berbagai kebijaksanaan pemerintah yang kiranya tak perlu saya uraikan secara terperinci, praktis saya belum melihat adanya pengaruh buku kepada peri laku pembacanya. PENGARUH buku-buku yang di baca masyarakat pecinta buku di _ Indonesia baru terbatas mencekam dan menggugah perasaan, serta memperkembangkan pemikiran. Selayaknya, perasaan yang tergugah, kemudian pemikiran yang berkembang, akhirnya akan mewarnai peri laku. Tapi, entah mengapa, gejala yang bisa kita lihat sehari-hari menunjukkan: apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan berbeda. Kemudian, apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan juga berbeda dengan apa yang ditindakkan. Penutup Uraian saya ini sifatnya hanya berusaha mengganggu perasaan dan pemikiran: betapa besar manfaatnya seandainya bisa dilakukan penelitian dan pendataan mengenai hal-hal yang saya kemukakan di atas. Berbagai kebijaksanaan untuk memajukan kehidupan perbukuan dapat dituangkan bila tersedia data yang lengkap dan akurat. Syukur-syukur bila pemerintah juga turut tergugah. Perhatian pemerintah selama ini terhadap kehidupan perbukuan saya akui cukup besar, lebih-lebih dalam enam tahun terakhir ini. Tapi, sayang, dana besar yang disediakan pemerintah selama ini sebagian besar untuk menutup pengadaan hardware. Sedangkan untuk kebutuhan penyelenggaraan software, dana yang disediakan amat terbatas. Selain itu, belum ada kebijaksanaan yang menyeluruh dan terpadu, sebagai usaha mengembangkan kehidupan perbukuan. Perhatian dan kebijaksanaan barulah menyentuh usaha memenuhi kebutuhan buku-buku sekolah. Bila kita sepakat bahwa buku merupakan sarana penting dalam menunjang kemajuan hidup setiap orang, kiranya hta tak perlu meletakkan semua harapan kepada turun tangannya pemerintah. Atau kita sendiri yang rugi. IBN KHALDUN, Sebuah Pengantar Oleh Ali Audah Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta, 1983, 132 halaman Harga: Rp 1.600 IBN Khaldun sangat dlkagumi oleh kalangan intelektual dewasa ini. Pikiran-pikirannya yang cemerlang dituangkan dalam buku pengantar sejarahnya yang terkenal, Muqoddimah Dalam buku ini, selain kita diperkenalkan kepada pribadi Ibn Khaldun, pemikir, sarjana dan ulama, serta diplomat dan politikus, kita diperkenalkan juga kepada isi Muqoddimah dengan beberapa sorotan khusus. KELUARGA JAWA Oleh: Hildred Geertz Penerbit: Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 188 halaman Harga Rp 2 500 KECUALI merupakan deskripsi yang cukup jelas dan baik mengenai fungsi sistem kekerabatan Jawa dalam kehidupan sehari-hari, buku ini juga memberi suatu gambaran yang jelas mengenai pembentukan dan perkembangan sikap mental dan orientasi nilai budaya orang Jawa pada umumnya di dalam proses sosialisasinya melalui adat istiadat pengasuhan anak dalam keluarga. Bahan deskripsi etnografi seperti itu tidak hanya penting sebagai bahan pengetahuan yang menarik, tetapi merupakan data yang penting bagi para ahli psikologi, ahli pendidikan, bahkan semua orang yang dalam pekerjaannya sehari-hari harus berinteraksi dengan orang yang berasal dari suku bangsa Jawa, seperti manajer perusahaan yang harus mengelola buruh Jawa dalam jumlah banyak. Buku ini merupakan cetakan kedua. ESEI Dari Anekdot Pak Selo, 1968 Goenawan Mohamad HARI itu, 16 tahun yang lalu, sebuah upacara promosi doktor berlangsung di aula Universitas Indonesia, di Jalan Salemba, Jakarta. Seperti biasa, khidmat Promovendus menghadapi sederet penguji, para guru besar tua yang mengenakan toga hitam. Dalam barisan angker itu adalah Prof Dr. Selo Sumardjan Sementara para hadirin yang memenuhi ruangan menyimak baik-baik tanya jawab di meja depan itu, Pak Selo tiba-tiba pada awal gilirannya menguji - berkata kepada promovendus, "Disertasi Saudara ini ilmiah sekali. Buktinya, saya tidak paham membacanya." Tentu saja, para hadirin tertawa berderal .... Saya kira, Pak Selo bukan menyindir karya calon doktor yang dihadapinya, yang akhirnya lulus dengan memuaskan itu. Lelucon Pak Selo agaknya sebuah sentilan kepada kecenderungan umum yang ada: kecenderungan untuk menghubungkan keilmiahan dengan sifat yang "tak mudah dipahami". Dan ini penting. Beberapa waktu yang lalu seorang teman mengeluh Ia baru saja membaca sebuah buku tentang ilmu komunikasi, yang ditulis seorang guru besar terkenal. "Buku itu benar-benar tidak komunikatif" serunya berang. Ia tak paham sepotong pun yang dikemukakan dalam buku itu. Setelah saya ikut membaca, saya bisa memaklumi kekesalan teman tadi. Buku itu memang, yah, "ilmiah". Bukan hal yang aneh karenanya ketika ada teman lain, seorang wartawan yang sedang menyelesaikan studinya di perguruan tinggi, ditolak skripsinya oleh sang pembimbing. Alasan sang pembimbing: bahasanya bahasa wartawan, bukan bahasa akademis. Teman itu garuk-garuk kepala. Menurut pahamnya, ia telah menulis dengan sistematis dan dengan mempergunakan terminologi yang ia rumuskan secara ketat. Tapi memang ia mengakui, seluruh skripsinya (yang punya banyak unsur sejarah) ia tulis dengan lancar dan gamblang, hidup pula. Mungkin, itulah kesalahannya. Haruskah sebuah uraian ilmiah tak mudah diikuti? Saya kira, memang ada banyak persoalan ilmu yang tak mudah diterangkan kepada orang awam Sejumlah tulisan yang diarahkan untuk khalayak ramai telah ditulis. Misalnya tentang teori relativitas Einstein, yang sampai hari ini saya tetap bodoh untuk bisa mengertinya secara persis. Tak usah setinggi Einstein: beberapa tulisan yang dibuat (antara lain oleh saya sendiri) mengenai teater, seni lukis, puisi, dan novel juga sering menimbulkan keluhan saking "sukar"-nya Hal itu bisa diterangkan, karena memang ada pelbagai jenis pembaca, tergantung dari tingkat informasinya. Orang yang tak pernah sama sekali menonton teater dan membaca pembahasan lakon pasti pusing membaca resensi Menunggu Godot, misalnya. Tapi kecenderungan untuk menghubungkan keilmiahan dengan sifat "tak mudah dipahami" bagaimanapun juga berbahaya. Ketika Daoed Joesoef masih menteri pendidikan dan kebudayaan, ia pernah menyatakan sebuah teori kenapa peradaban Mesir kuno yang mengagumkan itu akhirnya tidak berkembang, dan mati bersama mumi terakhir. Menurut Daoed Joesoef, hal itu karena para ahl Meir - yang sedikit jumlahnya, hanya para pendeta menyimpan ilmu mereka untuk lingkungan terbatas Mereka tak berbagi pengetahuan dengan orang banyak. Begitu mereka punah, habis pul khasanah yang mereka sembunyikan secara eksklusif itu. Teori itu bagi saya menarik. Ilmu yang hanya untuk kalangan terbatas akan hilang dan atau mandek. Ia akan kekurangan pendukung dan penyumbang, dari generasi ke generasi, dari kalangan ke kalangan. Karena itu, menggertak orang banyak dengan kesan bahwa ilmu itu harus "sukar", akan menghasilkan kultus yang akan menggaibkan ilmu. Tapi ke arah informasi ilmu yang lebih komunikatif, jernih, dan jelas memang memerlukan beberapa pra-syarat. Yang pertama mungkin: sika yakin akan pengetahuan itu sendiri. Orang tak usah cemas bila pengetahuannya tak dianggap angker hanya karena terasa mudah. Dalam pengalaman saya, baik sebagai murid maupun sebagai orangtua murid, dapat saya kemukakan bahwa memang ada penulis buku teks sekolah yang gemar membikin perkara yang gampang jadi sukar - mungkin karena takut disepelekan. Beberapa penulis karya ilmiah - terutama ilmu politik, ilmu komunikasi, dan kesusastraan Indonesia - juga cenderung memasang wajah "sulit", bukan karena analisanya yang baru dan orisinal, melainkan karena kalimatnya yang berpanjang-panjang dan peristilahannya yang ganjil. Padahal, kemahiran seorang dalam menguasai sebuah ilmu justru terlihat pada kemampuannya mengkomunikasikan segi pelik dari ilmunya itu. Saya pernah mendengarkan Prof Widjojo Nitisastro menjelaskan beberapa persoalan ilmu ekonomi kepada sejumlah para sarjana ilmu sosial dan politik. Tanpa nada mengajari, uraiannya mudah dicerna dan merangsang pencarian yang lebih lanjut. Menurut hemat saya, itu tanda bagi seorang yang telah matang dalam pengetahuannya. Di dalam deretan buku-buku Indonesia, seorang ahli yang bisa mengkomunikasikan pengetahuannya secara itu ternyata tak banyak. Toh, contoh bukannya tidak ada. Jika saya dapat memberi angka, maka nilai terbagus akan saya berikan kepada karya Drs. Wiraso, Matematika S.D. untuk Orang Tua Murid dan Guru (terbitan Indira). Nilai berikutnya pasti untuk buku G. Soeharto, Belajar Notasi Balok (terbitan Gramedia), dan angka berikutnya untuk uraian Tigor Nauli Surawidjaja dan Roy Heru Trisnamurti, Belajar Bahasa Komputer BASIC (juga terbitan Gramedia). Ketiga buku itu, di antara karya-karya pengantar yang sempat saya baca, merupakan hasil yang membuktikan bagaimana kita - dengan bahasa Indonesia yang dibilang "miskin" ini - dapat membuat soal-soal yang pelik jadi tak teramat sukar dimengerti orang lain. TENTU saja, tulisan ini bukan dimaksud untuk menganjurkan penulisan ilmiah populer semata-mata. Yang jadi pikiran saya ialah sedikitnya orang Indonesia yang terpelajar dapat menyusun dan menuangkan pikirannya ke dalam sebuah buku secara enak. Mungkin, di sinilah perlunya prasyarat lain: keterampilan menulis. Di Indonesia, keterampilan menulis memang telantar di sekolah-sekolah. Guru-guru terlampau banyak muridnya, hingga suatu beban tambahan yang luar biasa untuk memeriksa hasil latihan mengarang para murid itu satu per satu. Juga pelajaran mengarang masih terbatas pada urusan guru bahasa Indonesia, padahal praktis tiap mata pelajaran bisa mempunyai latihan mengarang tersendiri. Tak ada jeleknya, bahkan akan tampak hasilnya, bila seorang siswa misalnya dapat menuliskan satu topik tentang fisika, biologi, olah raga, atau agama setelah sekian jam belajar. Namun, tentu saja, hal seperti itu masih jauh dalam angan-angan. Untuk sementara, kita baru terbatas bersyukur bahwa kian banyak buku yang terbit, dan tak semuanya jelek. Dalam jumlah besar berupa terjemahan. Kenyataan bahwa beberapa karya ilmiah yang berat dapat juga akhirnya diterjemahkan, sudah menunjukkan bahwa Indonesia bukan Mesir purba. Kita sedang membongkar gudang perbendaharaan ilmu yang tadinya tak terjangkau. Kita punya alat dan kemampuan untuk itu - dan kita punya industri yang sedang tumbuh. Kelak, siapa tahu, kita akan merasakan buahnya. IKHWANUL MUSLIMUN Oleh. Ishak Mussa Al Husaini, catatan kaki oleh Syu'bah Asa Penerbit. Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 240 halaman. Harga. Rp.3.500 AGAK sulit organisasi modern yang bisa dibandingkan dengan Ikhwanul Muslimun - terutama sejarahnya. Bermula dari kelompok kecil yang gelisah dan bersemangat di Kairo, ia kemudian tumbuh pesat menjadi serikat yang kukuh dan kuat, menyebar hampir ke seluruh penjuru Timur Tengah, bahkan ke bagian dunia yang lain - paling tidak dalam hal gagasan. Ishak Mussa Al Husaini, menurut pengakuannya, berusaha menimbang Ikhwan secara adil melalui buku ini. Melalui Al Husaini kita beroleh gambaran akan sosok Ikhwan yang agak jelas. Gambaran itu menjadi penting, setelah terutama dalam dekade terakhir nama Ikhwan selalu dikaitkan dengan langkah kekerasan, menuju atau melawan kekuasaan. SAAT UNTUK BICARA, Anekdot-Anekdot Oleh Syaikh Sa'di Syirazi Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, 1984, 49 halaman Harga. Rp 900 BILA rasa sedih semakin dalam, dan derita mulai menyayat sukma, itulah saat untuk bicara. Sa'di mengamati drama kehidupan dengan simpati, pengertian, dan kedalaman. Diceritakannya hikayat raja-raja. dan orang miskin, sarjana dan orang awam, para dokter dan para pasien, guru dan para murid. Dikisahkannya semua itu tidak sekadar untuk menghibur, tetapi juga untuk mendidik. Ia tidak pernah membosankan kejenakaannya merupakan batu loncatan ke arah hikmah. Desain, Cita Rasa Siapa A.D. Pirous PERKEMBANGAN dunia pencetakan dan penerbitan buku di Indonesia dalam 15 tahun terakhir ini sangat menanjak. Dengan meningkatnya jumlah penerbitan dan peredaran buku di Indonesia apakah telah pula dapat diartikan meningkatnya mutu dunia buku di Indonesia, terutama bila dilihat dari sudut teknik pencetakan wajah dan rancangan grafisnya? Apakah ramainya ragam isi, yang terlihat dari aneka ragamnya judul buku, juga menampakkan penampilan desain buku yang semakin maju? Menyimak perkembangan desain buku tidak semudah menyimak judul bukunya. Perencanaan atau desain sebuah buku tidaklah berhenti semata kepada masalah rancangan kulit bukunya, tetapi akan mencakup secara menyeluruh hal-hal yang berhubungan dengan susunan tata letak, tata muka, pemilihan tipe huruf, jenis kertas, mutu foto atau gambar ilustrasi, ukuran, warna yang dipakai, dan hal-hal kecil lainnya yang menunjang wujud buku sebagai sebuah karya desain grafis. Masih dipertanyakan apakah perancangan sebuah buku yang diterbitkan hanya diolah berdasarkan cita rasa rutin seorang penerbit, atau pegawai percetakan, atau hasil sebuah pencapaian kreatif seorang perancang buku yang profesional? Dari pengamatan, masalah perancangan buku di Indonesia memperlihatkan kecenderungan kurang memperhatikan unsur-unsur desain, yang selayaknya tampil sejajar bersama banyaknya buku yang diterbitkan dan tersedianya fasilitas percetakan yang semakin baik. Buku-buku yang diterbitkan hanya berbeda satu dengan lainnya dari desain kulit dan bunyi judulnya saja. Sedangkan hal-hal lainnya hampir tidak dipikirkan: seakan terputus kesinambungan antara pemikiran desain kulit dan desain dalam buku itu sendiri. Rupanya, sementara ini diperkirakan bahwa pembeli buku di Indonesia masih sangat dipengaruhi bunyi judul dan nama pengarang. Sehingga sebuah novel buah tangan seorang pengarang unggul seperti Mochtar Lubis akan lebih kuat daya tariknya daripada sebuah desain kulit bukunya yang indah. Karena jumlah pengarang baru yang muncul jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pengarang terkenal, maka upaya berbagai penerbit membenahi secara sungguh-sungguh kulit buku dengan wajah menarik, memang terasa semakin ramai, kompetitif, dan simpang slur. Secara umum, perancangan kulit buku kini masih memberikan kesan asosiatif pengelompokan kepada kita, misalnya antara buku sastra dan buku pengetahuan. Sebagian desain grafisnya masih dapat membawakan dugaan kepada pembeli tentang isi buku yang terdapat di balik wajah desain kulitnya. Tetapi, sebagian besar kulit buku dalam rangkaian buku pengetahuan (ekonomi, sosial, teknik) yang mempergunakan pola abstrak (sering-sering geometris atau tipografis saja) terasa kehilangan kendali dan membingungkan. Demikian pula, banyak desain kulit novel diciptakan beberapa pelukis, yang sangat terbawa oleh gaya sapuan pribadi yang artistik dan kurang bertaut dengan isi cerita. Desain yang indah memang mempunyai daya pikat, tapi tidak mengarahkan isi buku kepada pembeli. Segi lain yang hampir tidak diperhatikan dengan baik adalah pemilihan dan pemakaian tipe huruf serta tata letaknya. Memang, identitas sebuah buku sangat menonjol dan jelas terlihat melalui wajah kulit bukunya, bukan dari tipe huruf yang dipakai atau dari cara menyusun tata letak atau tata muka halaman bukunya. Seperti diketahui, masalah tata letak, tipe huruf, dan lain-lain sebagai unsur grafis dalam merancang sebuah buku jauh lebih sukar, musykil, dan pada akhirnya juga menuju kepada suatu identitas sebuah penerbit, seperti apa yang dilakukan penerbit luar negeri: Pelican, Dover, Mentor, Meridian Bantam, Oxford, dan lain-lain. Pembeli buku di Indonesia masih belum mendapat kesempatan menikmati sebuah buku - selain dari isinya dari sosok bentuknya yang menawan. Mungkin juga para perancang buku belum perlu merencanakan sampai ke sana, karena para penerbit atau pencetak tidak merasakan kebutuhan itu. Penerbit dan pencetak idealis masih langka di Indonesia. Kecenderungan pemakaian tipe huruf di Indonesia (seperti Press Roman) bisa sangat bebas dan polos pemakaiannya, dari pemakaian untuk koran, buku, majalah, malah untuk brosur, undangan pengumuman, dan sebagainya. Di samping itu, ada pengaruh lain dalam pemakaian huruf - berangkat dari mode dan popularitas sesaat yang sedang digandrungi masyarakat. Seperti tipe huruf Helvetica, Universe, Rockwell Microgramma, Eurostile, dan akhir-akhir ini tipe American Typewriting. Hal ini turut membuat wajah desain grafis dalam pencetakan di Indonesia semakin aneka ragam, tapi 'ngambang. Salah satu sebab lain, barangkali, adalah tipe huruf bagi kita masih berupa barang pinjaman yang siap pakai saja. Kita tidak pernah merasa terlibat dalam dunia proses penciptaan dan penjelmaan huruf-huruf itu. Sehingga kita sukar merasakan atau menghargai kelembutan karakter huruf yang satu dibandingkan dengan lain. ALAM masyarakat kita tidak pernah hadir dan hidup seorang pe Drancang huruf (type designer) seperti di Eropa dan Amerika. Kita tidak akrab dengan tokoh Eric Gill yang mencipta Gill Sans Serif, Hermann Zapf yang melahirkan Optima dan Sistina, demikian pula Alessandro Butti dan Adrian Fruttiger yang menciptakan Microgramma dan Universe, tipe huruf yang populer dan banyak dipakai di Indonesia. Pertimbangan masih terbatasnya minat baca dan lemahnya daya beli masyarakat juga menyebabkan perancangan buku pun harus disesuaikan atau dimampatkan sampai ke batas yang dapat mengancam keindahan buku itu sendiri. Jenis kertas yang digunakan berkisar pada kertas HVO untuk cetakan murah, HVS untuk cetakan menengah, dan art paper untuk cetakan yang agak mewah. Penerbit jarang sekali menggunakan jenis kertas lain, mengingat sukar didapat dan juga harganya mungkin akan terlalu mahal. Namun, pada akhirnya, masalah hari kini dan hari depan dunia perancangan buku di Indonesia berada dalam kawasan kerja sama dan pengertian yang erat antara idealisme para penerbit dan pencetak serta profesionalisme para perancang grafis. Kepekaan terhadap desain, kepekaan terhadap huruf dan tata letak yang baik masih dapat mengangkat citra yang anggun dari sebuah hasil penerbitan, meskipun terpaksa masih mempergunakan jenis kertas murah. "Anak Sekolah" yang Berani MENYIASATI arah perbukuan di Indonesia tidaklah sederhana. Yang ada hanya sejumput data kasar: pengalaman di lapangan dan pengamatan secara kualitatif. Dari pendekatan yang serba terbatas ini, Indra Gunawan, Direktur Toko Buku Gramedia, mencoba meneropong kecenderungan perbukuan nasional dalam dua dasawarsa ini dan arah perkembangannya. Berikut ini petikan wawancaranya dengan TEMPO: Bagaimana pengamatan Anda mengenai perbukuan nasional dalam dua dasawarsa ini? Perkembangannya amat pesat. Jika kita menandai Orde Baru, 1965/1966 sebagai awal pengamatan, maka pada masaitu keadaannya agak fluktuatif. Pad akhir 1965 tercatat 500 anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Tetapi setelah subsidi kertas murah untuk penerbit buku dihapus, 1966 dan ditambah pula dengan tindakan devaluasi mata uang Rp. 1.000 menjadi Rp. 1, maka penerbitan buku di Indonesia mengalami kelesuan. Selanjutnya, periode 1966 sampai dengan 1973, keadaan yang berlarut itu menempatkan posisi penerbit Indonesia ke titik paling nadir. Yang tinggal hanya lebih kurang 100 penerbit saja Tapi, di luar dugaan, pada 1974 terjadi titik balik. Kegairahan penerbitan buku mulai tumbuh. Gejala "habis gelap terbitlah terang" ini agaknya lepas dari pengamatan survei LPPM/Ikapi. Dalam survei yang dipimpin Konsultan Gunther Cisek dari Jerman itu, dunia perbukuan Indonesia digambarkan agak mineur. Apakah garis besar hasil survei itu? Survei itu berlangsung di Jakarta. Tercatat, dari seluruh kegiatan perbukuan 60% didominasi Ibu Kota. Sementara itu, dari pihak konsumen buku hanya tercatat 20% responden yang menyatakan membeli buku yang mereka baca. Sisanya tidak memiliki daya beli. Mereka hanya meminjam dari teman atau perpustakaan untuk memperoleh bacaan. Ada kuesioner begini: jika Anda diberi Rp. 20.000, apa yang Anda lakukari dengan uang itu? Tak seorang pun responden yang cenderung membelanjakan uangnya untuk buku. Lalu faktor apa yang mendorong terjadinya titik balik itu? Paling tidak, menurut saya, ada dua halyang amat berpengaruh. Pertama, pada 1973 Pemerintah menggerakkan dunia penerbitan dengan proyek nasional, Inpres I no. 10/1973. Saat itu, Pemerintah memesan 125 judul buku bacaan anak-anak, masing-masing 25.000 eksemplar. Sejak itu, dari tahun ke tahun, pesanannya terus berlipat ganda. Misalnya, dengan Inpres no. 4/1982, pesanan mencapai 200 judul, masing-masing 150.000 eksemplar. Kedua, mereka yang selama ini relatif berhasil di bidang penerbitan media massa, seperti penerbit majalah dan koran, mulai terjun ke bidang penerbitan buku. Mereka umumnya telah mapan dalam profesinya. Mereka kebanyakan memiliki percetakan sendiri. Keterampilan grafikanya lebih unggul. Mereka dapat menyuguhkan desain dan tata muka yang lebih apik. Pendeknya, mereka punya editor yang baik, dan dapat menampilkan wajah dan isi yang memikat konsumen. Termasuk dalam kategori penerbit ini adalah Gaya Favorit Press, PT Grafiti Pers, PT Gramedia, Group Kartini, LP3ES, dan Penerbit Sinar Harapan. Ciri-ciri penerbit tersebut, mereka bak "anak sekolah" yang bersedia belajar dengan "uang sekolah" yang mahal. Juga mereka lebih berani melakukan investasi dan promosl dalam pemasarannya. Bagaimana trend masa depan - bagaimana menentukan buku yang digemari masyarakat? Agak sulit, karena belum pernah diriset. Mungkin lebih mudah mengenali subyek-subyek yang mereka minati. Anak-anak dan rema]a menyukai buku-buku serial: ada plot, bersifat petualangan, dan juga romantis. Kaum muda yang meningkat dewasa menggemari buku-buku yang sifatnya provokatif. Misalnya, Pergolakan Pemikiran Islam, A. Wahib, dan Catatan Hanan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie. Di samping itu, buku referensi dan buku yang mengombinasikan teori dan studi kasus di lapangan, misalnya In Search of Excellence, Teori Z dan Dolly, juga banyak digemari pembaca. Selanjutnya, buku-buku lokal, baik karya asli maupun terjemahan, akan menggeser buku-buku impor yang kian mahal - karena faktor bea masuk dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Tak kurang penting, pada masa mendatang akan terjadi tekanan-tekanan keras terhadap bentuk ekonomi bazaar, pasar tradisional yang perdagangannya terjadi secara tatap muka dan kecil-kecilan. Akibatnya, akan muncul bentuk baru yang lebih mampu menampung produksi massal. Apa pendapat Anda tentang potensi video dan "buku elektronik" (electronic books) - apakah jangka panjang bukan saingan buku? UNTUK masa 10 sampai 15 tahun inikebudayaan Guthenberg (grafika) tampaknya belum akan terguling di Indonesia. Potensi video sebagai media komunikasi dan hiburan, menurut saya, bukan saingan langsung dari buku. Jenis pembaca buku yang serius merupakan publik tersendiri. Saya tertarik pada klasifikasi atau tipologi pembaca oleh tokoh komunikasi massa, Eduard Kimman. Dia membagi pembaca ke dalam empat tipe: pembaca iseng (occasionalreaders) pembaca buku bergambar, komik, dan novel pop pembaca koran dan majalah serta pembaca reguler. Di antara keempat kelompok terjadi tarik-menarik ke dalam wilayah mereka. Kelompok "pembaca iseng", umumnya, mencari koran atau majalah untuk informasinya, sedangkan untuk hiburan mereka akan berpaling pada buku bergambar, komik, novel pop. Pada masa mendatang, jika penerbit Indonesia ingin menerbitkan buku informatif dalam jumlah massal dan laku, tampaknya mereka perlu menggarap wilayah kelompok "koran dan majalah". Sedangkan untuk buku hiburan, perlu digarap kelompok "pembaca buku bergambar", dan seterusnya. Atas dasar pengamatan ini, trend perbukuan menunjukkan perlunya para penerbit melakukan productpositioning, sehingga terlihat jelas segmen pasar mana yang digarap. Dengan demikian, mereka dapat memiliki identitas diri yang kuat, yang dapat memperkukuh kuda-kuda mereka dalam menghadapi pasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus