Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, setidaknya 68 persen orang mengalami depresi selama masa pandemi Covid-19. Dari jumlah itu 76 persen di antaranya adalah kaum puan, termasuk akademisi perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para akademisi perempuan ini bahkan menghadapi tantangan karena “dipaksa” memiliki peran ganda. Mereka harus mampu berperan sebagai pekerja profesional sekaligus bertanggungjawab untuk urusan domestik rumah tangga. Akibatnya, produktivitas dan kualitas akademis – termasuk kesehatan— mereka menjadi terganggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai akademisi, perempuan dituntut untuk menjaga performa keilmuannya. Sebab kemajuan karier mereka didasarkan atas jumlah dan kualitas publikasi ilmiah, serta kemampuan memperoleh dana untuk proyek penelitian. Pada saat bersamaan, mereka harus mengambil porsi besar dalam mengurus keluarga selama pandemi.
Pandemi membuat pola kehidupan masyarakat berubah. Aktivitas yang biasa dikerjakan di luar rumah, terpaksa diselesaikan secara online dari rumah. Karena itu beban perempuan untuk mengurus suami dan anak-anak semakin bertambah. Sementara pasangan sering kali tidak mau ikut menanggung beban itu secara bersama-sama.
Direktur Kantor Hubungan Internasional Universitas Negeri Malang Evi Eliyanah mengatakan, selama pandemi, perempuan bekerja rata-rata tiga kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Misalnya saja saat mendampingi anak untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh. Perempuan dituntut mampu menjadi guru sekaligus ibu rumah tangga. Di sisi lain, mereka juga harus meniti karier sebagai akademisi yang dijalankan dari rumah.
“Terdapat pengaburan batas antara ruang domestik dan publik,” kata Evi. Akademisi perempuan semakin kesulitan untuk mengelola batas antara karier dan peran domestiknya di rumah. “Beban domestik ini dapat mengakibatkan menurunnya kesehatan mental dan membuat mereka rentan di saat pandemi.”
Dalam diskusi virtual KSIxChange ke-36, peneliti pendidikan dari Universitas Negeri Malang, Zulfa Sakhiyya, peran ganda ini juga menjadi masalah bagi perempuan yang bekerja sebagai dosen. Mereka semakin sulit untuk menyusun tulisan ilmiah berkualitas. “Sebanyak 63 persen responden kami mengaku, mereka tidak punya waktu untuk menulis riset dan publikasi,” katanya. Adapun diskusi virtual itu digelar oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerjasama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Kalaupun ada waktu, kata Zulfa, tenaga dan pikiran mereka tinggal sisa-sisa karena sebelumnya terkuras untuk mengurus rumah tangga. Akibatnya, karya akademik yang mereka hasilkan tidak akan optimal. “Padahal, kualitas publikasi ini menjadi kunci utama peningkatan kapasitas dosen,” ujar Zulfa.
Zulfa menegaskan, persoalan gender dalam dunia pendidikan tidak dapat dilihat dari satu perspektif saja. Perlu ada intervensi sosial melalui kerjasama lintas sektoral. Misalnya saja dalam bentuk kebijakan dari hasil kolaborasi antara pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Kolborasi ini untuk untuk memformulasikan kebijakan dan pendampingan sosial yang tepat sasaran,” katanya.
Pada tataran makro, kata Zulfa, diperlukan perlindungan hukum dan jaminan kerja bagi kaum puan. Pemerintah memang telah meluncurkan program “Merdeka Belajar – Kampus Merdeka” yang mendorong individu menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja. Namun kebijakan ini perlu disesuaikan dengan kebijakan lain. Misalnya, menetapkan Penilaian Angka Kredit (PAK) dengan sistem akreditasi nasional dan internasional. Para kepala program studi dapa memberi kepastian kompensasi waktu yang diperlukan bagi akademisi perempuan untuk menyelesaikan tugas administratif mereka.
Kebijakan yang mampu mengakomodasi beban ganda akademisi perempuan ini pada akhirnya tidak hanya mempersempit jurang ketimpangan tetapi juga mampu mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia. Solusi riil satu-satunya adalah rekomendasi klasik: kebijakan yang berpihak pada kesetaraan gender.