Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan Pakar BPIP Soroti Kemenangan Kelapa Sawit Indonesia di WTO atas Uni Eropa

WTO memutuskan Uni Eropa diskriminatif terhadap kelapa sawit Indonesia. Keputusan ini memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tekanan dagang UE, terutama terkait kebijakan larangan ekspor nikel.

21 Januari 2025 | 15.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP ), Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri, Darmansjah Djumala. Dok. BPIP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang memenangkan gugatan Indonesia atas kebijakan diskriminatif Uni Eropa (UE) terkait kelapa sawit menunjukkan bahwa Indonesia tidak tunduk pada tekanan politik. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa WTO menjalankan aturan hukum dalam menyelesaikan sengketa dagang. "Keputusan ini menjadi preseden baik bagi Indonesia jika menghadapi sengketa dagang lainnya di masa depan," kata Doktor Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri.

Pada 17 Januari 2024, WTO memutuskan bahwa kebijakan UE yang membatasi penggunaan minyak sawit untuk biofuel merupakan praktik diskriminasi. Kebijakan ini merugikan Indonesia sebagai salah satu eksportir kelapa sawit terbesar dunia.

Menurut Djumala, UE selama ini menuduh kelapa sawit Indonesia tidak memenuhi standar kesehatan dan lingkungan. Namun, ia menilai tuduhan tersebut lebih bermotif politik dagang. UE telah menggunakan rapeseed dan bunga matahari sebagai bahan baku biofuel sejak 2003, namun biaya produksinya jauh lebih mahal dibandingkan kelapa sawit. Untuk melindungi petani rapeseed dan bunga matahari, UE membatasi penggunaan kelapa sawit sebagai biofuel.

Menurut Djumala, tuduhan UE tersebut bukan semata karena alasan kesehatan dan lingkungan hidup. Tapi lebih serius dari itu, kebijakan UE itu lebih bermotifkan politik perdagangan.

Djumala, yang juga pernah menjabat Duta Besar untuk Austria dan PBB di Wina, lebih jauh mengungkapkan bahwa pada dasarnya di setiap lembaga dunia berlaku apa yang disebut “anarki struktural”, yaitu keadaan di mana sistem internasional bergerak dalam situasi anarki, yang kuat akan mengambil manfaat lebih banyak dari yang lemah, karena ketiadaan penataan dalam pendistribusian kekuasaan antar-negara.

Di awal pembentukan WTO pada 1995, kekhawatiran seperti itu sempat mengemuka. Namun seiring berjalannya waktu, WTO mampu menunjukkan konsistensinya pada pilar “rule-based approach” dalam penyelesaian sengketa dagang. Jika WTO konsisten berpegang pada semangat rule-based seperti itu, maka negara berkembang tak perlu khawatir terhadap tekanan politik negara maju dalam menyelesaikan sengketa dagang, sekalipun mereka menggunakan pretext non-ekonomi seperti dalih kesehatan dan lingkungan hidup.

Djumala mengingatkan, pendekatan rule-based seperti ini bisa juga diperjuangkan dalam menghadapi gugatan UE terhadap kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. "Dengan mempelajari aturan WTO secara seksama, Indonesia dapat melawan tekanan politik UE. Keputusan WTO yang konsisten pada aturan hukum menunjukkan bahwa negara berkembang memiliki peluang menang jika bertahan pada prinsip hukum," ujar Djumala. (*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sandy Prastanto

Sandy Prastanto

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus