Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siapa di Balik Pagar Laut Tangerang dan Apa Tujuannya?

Penelusuran Tempo terhadap pembuat pagar laut Tangerang. Terhubung ke orang dekat Aguan dan ada sertifikat HGB di atas laut.

19 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Munzir Fadly

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pagar laut di pesisir Tangerang sepanjang lebih dari 30 kilometer bersebelahan dengan area PSN PIK Tropical Coastand.

  • Tempo menelusuri pembuat pagar laut yang berujung pada perusahaan besar di Jakarta Utara.

  • Investigasi juga menemukan telah terbit HGB di atas laut.

DARI ketinggian 120 meter, laut di Desa Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, terlihat berpola seperti tambak ikan. Ada yang berbentuk kotak, ada yang seperti trapesium. Dari jarak dekat, rupanya area itu bukan tambak, melainkan bidang di laut yang dipatoki batang-batang bambu sehingga menyerupai kaveling-kaveling.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Batang-batang bambu terpancang 2 kilometer dari bibir pantai Kronjo. Tapi, di wilayah lain, jaraknya dari pesisir hanya ratusan meter. Membentang sepanjang 30,16 kilometer, patok-patok bambu berjejer menyerupai pagar dari Desa Muncung di barat Tangerang hingga Tanjung Burung di timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir saban malam Makdis Adhari melihat truk mengangkut tumpukan bambu bahan baku “pagar laut” melintasi jalan beton di depan rumahnya. Kediaman Makdis berjarak 200 meter dari tempat penampungan bambu di ujung Desa Kronjo. “Pekerja menancapkan bambu pada pagi hari,” kata Makdis pada Selasa, 14 Januari 2025.

Lokasi pagar laut di Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, yang jika dilihat dari udara menyerupai tambak, 14 Januari 2025. Tempo/M Taufan Rengganis

Suatu hari pada September 2024, Makdis bertanya kepada seorang nelayan yang tengah sibuk mengangkut bambu ke laut. Ia mencari tahu siapa orang yang memerintahkan penancapan bambu-bambu itu. Makdis mendapat cerita dari seorang nelayan bahwa laut di desa lain juga dipagari.   

Alih-alih mendapat jawaban, Makdis malah ditawari pekerjaan. Dia langsung menolaknya karena patok-patok bambu itu menghalangi lalu lintas kapal nelayan. Ia sendiri nelayan yang memiliki beberapa kapal. Belakangan, Makdis mendengar upah pembuat pagar Rp 125 ribu per hari.

Wana, warga Desa Ketapang, juga penasaran terhadap otak di balik pagar laut. Lima bulan lalu, laut tempat dia mencari rajungan dipagari oleh nelayan dari Karang Serang, desa sebelah. Wana mencoba mengorek informasi dari warga Karang Serang itu, tapi tak berhasil mendapatkan nama mandornya. Dia sempat bersitegang dengan para pematok dan meminta mereka menghentikan pekerjaannya. Tak lama, aparat desa datang dan menyuruh pekerja melanjutkan pematokan.

Wana dan nelayan lain kemudian mengadukan persoalan itu kepada ketua nelayan Desa Ketapang, Atam. Atam menuturkan, ia kemudian meminta Wana dan kawan-kawan tak menyulut konflik. Tapi ia mendorong agar ada musyawarah bersama perangkat desa. “Kami ingin tahu proyek apa,” ujar Atam pada Jumat, 17 Januari 2025.

Peta Pagar laut dengan sertifikat HGB keluaran BPN. Sumber: Greenpeace Indonesia

Pertemuan nelayan dengan perangkat desa kemudian digelar di Ketapang. Kepala Desa Ketapang Khotibul Umam turut hadir. Di hadapan nelayan, Umam mengatakan tak bisa menghentikan pemagaran karena pagar itu bagian dari proyek strategis nasional (PSN).

Pada Maret 2024, Presiden Joko Widodo menetapkan kawasan seluas 1.836 hektare di pesisir utara Tangerang sebagai PSN. Dinamai Pantai Indah Kapuk Tropical Coastland, proyek tersebut digarap perusahaan kongsi Agung Sedayu Group dan Salim Group. Batas paling timur proyek ini di Tanjung Burung bersebelahan dengan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang juga dikembangkan Agung Sedayu.

Umam belum merespons permintaan wawancara hingga Jumat, 17 Januari 2025. Ia juga tak berada di kantor ataupun rumahnya di Kampung Pecinan, Desa Ketapang. Azis, pegawai Desa Ketapang, mengatakan Khotibul Umam tak ke kantor hari itu karena baru saja menjalani operasi mata. 

Surat Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi Banten perihal Informasi Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Laut. Istimewa

Perangkat desa dan pejabat di daerah menggelengkan kepala setiap kali ditanyai ihwal orang di balik pemancangan pagar laut. Penelusuran di lapangan mengerucut pada dua laki-laki yang dipanggil sebagai Tyson dan Memet. Sejumlah narasumber menyebutkan mereka bekerja di bawah pengawasan Ali Hanafia Lijaya, orang dekat Sugianto Kusuma alias Aguan, bos Agung Sedayu Group. Sewaktu Tempo mewawancarai Aguan pada akhir November 2024 di kantornya di kawasan PIK, Ali Hanafia turut hadir. 

Menurut para narasumber, termasuk petugas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Tyson bekerja bukan hanya di Ketapang, juga di desa lain. Dalam memasang batang-batang bambu, Tyson membagi pekerjaan kepada dua kelompok nelayan. Misalnya, ia menyuruh regu pertama memagari laut sepanjang 400 meter di Desa Patramanggala, Kecamatan Kemiri, dengan upah Rp 16 juta. Adapun kelompok kedua mematok laut sepanjang 500 meter di Desa Muncung, Kecamatan Kronjo, yang berjarak kurang dari 10 kilometer dari Patramanggala, dengan bayaran Rp 30 juta. 

Kepala Bidang Pengelolaan Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tangerang Lili Ariyanti pada Oktober 2024 menuturkan, Tyson adalah mandor pemagaran laut. Dinas Kelautan sempat berkomunikasi dengan laki-laki yang belum diketahui nama aslinya itu agar datang ke kantor Dinas Kelautan untuk dimintai penjelasan. Namun Tyson tak pernah datang.  

Surat permohonan informasi batas administrasi wilayah dari Law Firm Septian Wicaksono and Partners. Istimewa

Ali Hanafia belum merespons ketika dikonfirmasi di nomor telepon yang biasa ia pakai berkomunikasi dengan Tempo hingga Sabtu, 18 Januari 2025. Sugianto Kusuma alias Aguan juga belum merespons pertanyaan yang dikirim Tempo pada Sabtu, 18 Januari 2025. Tyson mengangkat panggilan telepon, tapi langsung menutupnya begitu mengetahui penelepon adalah wartawan Tempo. Kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, enggan menjawab pertanyaan yang dikirim ke nomor telepon selulernya. “Kami tolak wawancara aja,” ucapnya pada Jumat, 17 Januari 2025. 

Namun pada Ahad, 12 Januari 2025, Muannas mengatakan Agung Sedayu tak berkepentingan dengan pembangunan pagar laut karena berada di luar wilayah Pantai Indah Kapuk ataupun PSN. “Sudah ada nelayan yang mengaku,” kata Muannas.  

Sehari sebelumnya, pada 11 Januari 2025, tiba-tiba sekelompok orang yang mengaku nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura menyatakan merekalah pemancang pagar laut sepanjang 30 kilometer lebih tersebut. Tujuannya, untuk memecah ombak dan mencegah abrasi. “Dibangun masyarakat secara swadaya,” ujar Koordinator Jaringan, Sandi Martapraja. 

•••


PAGAR laut di utara Tangerang sebenarnya mulai dipasang pada 2023. Analisis citra satelit oleh Greenpeace Indonesia memperlihatkan pagar sudah berdiri pada Desember 2023 di Desa Kohod. Jauh sebelumnya, pada Mei 2023, nelayan di Desa Jenggot, Mekar Baru, menyampaikan bahwa mereka tak bisa melaut karena terhalang pagar di perairan Desa Muncung. Waktu itu panjang patok masih 400 meter. 

Dinas Kelautan dan Perikanan Banten baru merespons masalah pagar laut setelah ada aduan dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Ranting Kecamatan Mauk pada 14 Agustus 2024. Petugas Dinas Kelautan kemudian turun ke lapangan dan menemukan bahwa pemagaran tersebut belum memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan bahwa setiap kegiatan di laut wajib memiliki PKKPRL dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Nelayan menunjukkan pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, 11 Januari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Meskipun sudah jelas melanggar aturan, pemagaran tak langsung dihentikan. Pemasangan patok justru makin panjang. Khalayak baru riuh membicarakannya setelah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten Eli Susiyanti mengatakan panjang pagar laut telah mencapai 30,16 kilometer dalam sebuah diskusi di kantor Dinas Kelautan pada Selasa, 7 Januari 2025.

Kementerian Kelautan dan Perikanan baru bergerak dua hari kemudian. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho Saksono mengatakan pagar laut disegel atas instruksi dari Presiden Prabowo Subianto. “Negara tidak boleh kalah,” katanya. Pada Sabtu, 18 Januari 2025, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dibantu sejumlah nelayan mulai membongkar patok-patok tersebut.

Dua narasumber di Kementerian Kelautan menuturkan, banyak pihak terlibat dalam pemagaran laut di utara Tangerang, termasuk perangkat desa. Informasi ini dibenarkan ketua rukun tetangga di Desa Kronjo, Gofur. Sebulan sebelum pagar dipasang, ia mendapat pemberitahuan dari seorang perangkat Desa Kronjo agar truk pengangkut bambu tak dihadang penduduk.

Aliran sungai di Kronjo, yang terkena pengurukan di Kabupaten Tangerang, Banten, 15 Januari 2025. Tempo/M Taufan Rengganis

Kepala Desa Kronjo Nurjaman menyatakan tak mengetahui kegiatan tersebut. Ia mengaku baru mengetahui adanya pagar laut ketika Ombudsman RI bersama Kementerian Kelautan turun ke lokasi pada Rabu, 15 Januari 2025. “Saya di kantor terus,” ujar Nurjaman pada Kamis, 16 Januari 2025. 

Di Kronjo, jarak tempat penampungan bambu sebelum ditancapkan di laut ke kantor Satuan Kepolisian Perairan dan Udara (Satpolairud) Kepolisian Resor Kota Tangerang sekitar 2 kilometer. Namun Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Banten Komisaris Besar Didik Hariyanto irit bicara ketika ditanyai tentang kemungkinan Satpolairud mengetahui pemasangan pagar laut. “KKP yang menangani,” ujarnya pada Kamis, 16 Januari 2025. 

•••

SELAIN untuk membatasi nelayan melaut, tujuan pemasangan pagar laut bisa dilacak dari peta bidang tanah di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Laut di Desa Kohod, dari bibir pantai hingga patok-patok terpancang, telah memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB), lengkap dengan koordinat dan nomor sertifikat. Tak dikuasai hanya oleh satu pihak, luas lahan yang mendapatkan sertifikat berbeda-beda.

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang Yayat Ahadiat Awaludin menjelaskan, sertifikat HGB yang terbit di Desa Kohod luasnya mencapai 300 hektare. Atas perintah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid, Yayat tengah mencatat siapa pemilik sertifikat lahan di atas laut. “Sertifikat terbit Agustus 2023 setelah peraturan daerah disahkan,” kata Yayat pada Kamis, 16 Januari 2025. 

Peraturan daerah yang dimaksud Yayat adalah Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Banten Tahun 2023-2043 yang terbit pada Maret 2023. Yayat mengatakan sertifikat HGB di Kohod sesuai dengan rencana tata ruang. “Areanya masuk pola ruang permukiman dan karenanya berwarna kuning,” ujar Yayat. 

Berbeda dengan Yayat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten Eli Susiyanti dalam suratnya kepada kantor pengcara Septian Wicaksono Partners, yang mengajukan permohonan sertifikat tanah di Kohod, menyatakan area itu berada di zona perikanan budi daya, perikanan tangkap, serta wilayah kerja minyak dan gas bumi. Dia juga merujuk pada Perda RTRW Banten 2023-2043. 

Kantor pengacara Septian Wicaksono mengurus lahan di Kohod sejak 2023. Pada 21 Juli 2023, kantor pengacara itu bersurat kepada Dinas Kelautan dan Perikanan meminta rekomendasi pemanfaatan bidang tanah dengan dasar girik atau letter C. Eli menolak permohonan itu karena bertentangan dengan perda. 

Setelah penolakan, beredar surat palsu berkop Dinas Kelautan. Isi surat tersebut menyatakan area yang dimohonkan Septian Wicaksono bukan di zona perikanan budi daya, perikanan tangkap, serta wilayah kerja minyak dan gas bumi. Kepada Tempo, Eli mengatakan surat tersebut palsu, tapi dia enggan menjelaskan secara detail kemungkinan pelakunya.

Meski ditolak Dinas Kelautan dan Perikanan, Kantor Pertanahan Tangerang pada Agustus 2023 menerbitkan sertifikat walaupun lokasinya berada di laut. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 melarang sertifikat lahan di atas laut diterbitkan. Sejak ada Undang-Undang Cipta Kerja, pemanfaatan ruang laut harus berdasarkan izin PKKPRL. “Sampai sekarang belum ada PKKPRL di area pagar laut,” tutur Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto. 

Sukses di Desa Kohod, kantor pengacara Septian Wicaksono berkirim surat pada 25 Oktober 2024 kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan. Isinya memohon informasi batas administrasi wilayah.

Dalam suratnya, Septian Wicaksono melampirkan tanah girik lebih dari 1.500 hektare yang diklaim pernah dimanfaatkan warga di 16 desa. Karena abrasi air laut, kata kantor pengacara itu dalam suratnya, tanah tenggelam oleh air. Belakangan, bidang tanah itu kembali terlihat seluas 53 hektare. 

Pada waktu bersamaan, sebuah kantor konsultan di Bandung, Jawa Barat, PT Solusindo Teknik Indonesia, bersurat dengan isi hampir mirip dengan yang dikirimkan Septian. Isi surat PT Solusindo juga melampirkan peta bidang tanah dan surat permohonan pengecekan lokasi sekaligus identifikasi dari setiap desa kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang.

Surat ditembuskan kepada Kepala Kantor Jasa Surveyor Berlisensi Raden Lukman Fauzi Perkesit. Juga terlampir surat berkop tiap desa berisi nama-nama pemilik girik dan luas lahannya. Format, kalimat, dan huruf dalam surat 15 desa di Tangerang itu tampak mirip. 

Ketika disandingkan dengan citra satelit pagar laut, tanah 1.500 hektare bersisian dengan pagar bambu yang merentang dari Muncung hingga Tanjung Burung. Dua narasumber di pemerintahan mengatakan pagar dibuat menyerupai tambak ketika dipotret dari udara adalah modus yang umum. Tujuannya, untuk memudahkan legalisasi bidang-bidang itu. 

Sebagaimana Dinas Kelautan, Pelaksana Tugas Direktur Perencanaan Ruang Laut Suharyanto menolak permohonan Septian Wicaksono. Alasannya pemanfaatan ruang laut wajib memiliki PKKPRL. Suharyanto enggan menjelaskan lebih jauh alasan penolakan. 

Septian Wicaksono belum merespons pesan ataupun panggilan lewat telepon. Tempo mendatangi kantornya di Banjar Wijaya, Cipondoh, Tangerang, sebagaimana tertera dalam suratnya. Tapi alamat tersebut tak ditemukan. 

Adapun Direktur PT Solusindo Teknik Indonesia Riany Resmayasari mengatakan kliennya bernama Ardi. Menurut Riany, perusahaannya mewakili masyarakat untuk mengurus perizinan tanah girik yang sekarang diklaim sudah menjadi laut. “Jadi izin itu untuk nelayan agar bisa menggarap tanahnya lagi,” ucap Riany, Selasa, 14 Januari 2025. 

Kepala Kantor Jasa Surveyor Berlisensi Raden Lukman Fauzi Perkesit mengatakan tidak pernah menerima pekerjaan mengukur tanah dari 15 kepala desa di Tangerang. “Justru saya baru mendengar info ini,” ujarnya pada Rabu, 15 Januari 2025.  

Tempo menemui sejumlah penduduk yang namanya tercantum dalam surat pengajuan girik yang diteken kepala desa. Di Kohod, misalnya, salah seorang warga terkejut begitu mendengar bahwa ia memiliki tanah berhektare-hektare yang sekarang menjadi laut. Di rumahnya yang sederhana, pria 65 tahun ini mengatakan hanya memiliki tanah ratusan meter yang telah diberikan kepada anak-cucunya. 

Di Desa Ketapang juga sama. Dua penduduk menyatakan tak pernah memiliki tambak yang luasnya berhektare-hekatre. Apalagi tambak yang sekarang terendam air laut. Mereka mengatakan hanya menggarap tanah milik orang lain. Keduanya menduga nama mereka dicatut oleh kepala desa.

Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta mengaku tahu-menahu soal tanah girik yang kini menjadi laut. Ia menyebutkan Kepala Desa Kohod Arsin mengetahui mengenai hal tersebut. Arsin belum merespons panggilan Tempo. Ia juga tak berada di rumah ataupun kantor pada Jumat, 17 Januari 2025. 

Sekretaris Desa Ketapang Ahmad Kamal Irfan Zamzani mengatakan usulan mengurus tanah girik yang diklaim telah terendam laut datang dari kepala desa. Pemicunya, kata Ahmad, gembar-gembor Agung Sedayu Group yang hendak membeli lahan di Ketapang. Kepala desa khawatir banyak orang dari luar desa mengklaim tambak yang sudah menjadi laut. “Maka kami mendata mana warga yang merasa punya tanah di sana,” tuturnya. 

Kementerian Kelautan dan Perikanan membantah klaim bahwa tanah girik yang dimohonkan sertifikatnya dulu adalah tambak atau lahan lain sebelum diterjang abrasi. Berdasarkan citra satelit, lahan 1.500 hektare berupa tanah girik itu sejak 1990 adalah laut. “Tidak pernah ada bidang tanah,” kata Pelaksana Tugas Direktur Perencanaan Ruang Laut Suharyanto dalam suratnya kepada Septian Wicaksono.

Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, Iqbal Lazuari dari Bandung, Ayu Cipta dan Joniansyah Hardjono dari Tangerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Tanah Girik di Atas Laut

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus