Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tempo menelusuri pembuatan pagar laut Tangerang dan aktor di baliknya.
Para nelayan sudah melaporkannya pada 2023, tapi pemerintah tak menggubrisnya.
Di area pagar laut bahkan telah terbit sertifikat hak guna bangunan di atas perairan.
ADA pagar tapi tak ada yang tahu siapa pembuatnya. Di pesisir utara Tangerang tiba-tiba saja muncul pagar bambu sepanjang lebih dari 30 kilometer. Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak tahu siapa yang membuatnya. Pemerintah daerah Banten juga baru kaget ketika foto dan video “pagar laut” itu beredar di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekagetan dan ketidaktahuan itu tidak masuk akal. Para nelayan Tangerang sudah melaporkan patok-patok bambu itu pada 2023 ketika panjang pagar masih 400 meter, termasuk melaporkan siapa pembuatnya. Laporan nelayan tak digubris, sementara pagar bambu makin panjang saja hingga viral di media sosial selama pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mendudukkan persoalan pagar laut itu, rapat redaksi Tempo menugasi tim desk Politik menelusurinya. Sebenarnya kami punya liputan khusus yang sudah disiapkan cukup lama, yakni Outlook Ekonomi 2025. Ini edisi khusus yang terbit di akhir atau awal tahun untuk memprediksi ekonomi di tahun baru. Tema kali ini menguji target pemerintahan Prabowo Subianto yang memasang angka pertumbuhan ekonomi 8 persen tahun ini.
Namun urusan pagar laut lebih menarik. Setidaknya, lima dari 13 kriteria berita Tempo terpenuhi oleh isu ini: aktual, ada magnitude, ada tokohnya, mengandung misteri, dan meruapkan skandal. Bagaimana bisa pemerintah dan aparat hukum tidak tahu ada pagar laut sepanjang jarak Bogor-Cawang? Maka kami memutuskan menjadikan pagar laut topik laporan utama pekan ini.
Dari diskusi-diskusi yang alot dan suplai hasil penelusuran tim, ilustrator Kendra Paramita menyodorkan tiga ide gambar sampul. Gambar pertama seseorang yang berenang di laut di antara patok bambu. Gambar ini terinspirasi sampul album Nirvana, Nevermind, pada 1991 yang menggambarkan bayi telanjang sedang berenang. Ide ini lucu tapi kurang pas menggambarkan temuan lapangan.
Rancangan sampul Pagar Makan Lautan
Gambar kedua, seseorang berjas dan berdasi sedang menyerok laut. Ini ide umum untuk topik-topik pengerukan sumber daya alam. Tim memang menemukan ada pengkavelingan laut Tangerang yang izinnya telah terbit. Temuan absurd lain dari liputan ini: bagaimana bisa ada sertifikat hak guna bangunan untuk area di atas laut?
Gambar ketiga lebih pas: seseorang sedang meniti patok bambu sambil memperagakan jurus bangau terbang. Orang yang bisa berdiri dengan satu kaki di atas permukaan bambu yang sempit tentu seorang ahli kungfu atau memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Saking mumpuninya orang itu, mata aparatur negara pun sampai tak bisa melihat bambu yang diinjaknya.
Redaksi sepakat memilih gambar ini sebagai sampul karena mewakili temuan-temuan lapangan tim desk Politik yang meliput pagar laut. Mereka menemui para nelayan dengan satu tujuan: menemukan aktor di belakang pembuat pagar bambu.
Sejak awal tim tak percaya pembuat pagar laut itu nelayan anggota Jaringan Rakyat Pantura, organisasi nelayan yang tiba-tiba muncul begitu isu pagar laut populer. Ada yang memperkirakan pembuatan pagar bambu sepanjang 30 kilometer setidaknya butuh biaya Rp 12 miliar. Tak masuk akal nelayan mau secara swadaya mematok laut dengan tujuan mencegah abrasi.
Temuan tim Politik memang jauh dari tujuan mulia itu. Tim peliput pagar laut menemukan sekelompok orang yang secara sistematis membuat pagar laut itu. Mereka terhubung dengan pejabat dan orang dekat pemilik korporasi besar di laut utara Jakarta. Erwan Hermawan, dengan penyuntingan oleh Anton Septian, menyajikan sebuah cerita mendalam yang membuat siapa pun yang membacanya geleng kepala. Di Tangerang, negara benar-benar kalah oleh mereka yang punya modal.
Dari diskusi di dewan redaksi, kami memberi judul liputan pagar laut ini “Pagar Makan Lautan”. Tentu saja ini juga pelesetan dari peribahasa terkenal “pagar makan tanaman”: betapa patok bambu bisa mencaplok lautan yang seharusnya milik negara, tapi hendak dikuasai oleh segelintir orang dengan mengakali hukum dan lemahnya pertahanan aparat negara pada godaan korupsi. ●