Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi Tanaman Ramah Gambut

Stabilisasi pasar penting untuk menjamin budidaya tanaman ramah gambut. Purun bisa menjadi andalan.

27 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerap tergenang, terutama saat musim hujan, kawasan hutan gambut sering dianggap lahan tak berguna (wasteland). Anggapan seperti ini kerap menjadi celah untuk mengubah kealamian lahan gambut untuk ditanam komoditas ekstraktif. Lahan gambut dikeringkan guna persiapan sebagai kawasan perkebunan monokultur tanaman kering, yang tak jarang menyebabkan bencana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kadang tak disadari, potensi alami gambut untuk kehidupan masyarakat lokal terbilang besar. Salah satunya tanaman yang termasuk paludikultur. “Tanaman paludikultur bisa menghasilkan biomassa tanpa memberi efek buruk terhadap gambut,” kata Agiel Prakoso selaku peneliti dari Pantau Gambut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanaman paludikultur adalah komoditas ramah gambut sehingga tak mengganggu kealamian lahan. “Tapi, masalah pengelolaan paludikultur masih terkendala beberapa hal, di antaranya olahan produk komoditas,” ujar Agiel.

Kendala lainnya adalah kestabilan pasar untuk menjamin serapan penjualan produk tanaman paludikultur dan keterbatasan akses teknologi pengolahan. Seandainya akses pasar dan teknologi itu tersedia, masyarakat lokal tak hanya mendapat keuntungan ekonomi. Manfaat lainnya adalah mempertahankan kelestarian gambut. “Masyarakat yang menanam jenis paludikultur juga turut serta menjaga dan memulihkan ekosistem gambut,” kata Agiel.

Kredit Foto: Ibrahim/Pantau Gambut

Purun termasuk salah satu tumbuhan yang bisa dikembangkan untuk paludikultur. Purun telah dimanfaatkan turun-temurun untuk menyambung kebutuhan ekonomi masyarakat Pedamaran, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Data yang dihimpun Pantau Gambut menunjukkan hampir keseluruhan warga perempuan di Pedamaran terampil menganyam purun. Di Ogan Komering Ilir, purun biasanya digunakan untuk membuat tikar, karena terkait permintaan pasar. Adapun produk lainnya, antara lain sandal atau tas dibuat untuk memenuhi permintaan yang kebanyakan berasal dari luar Ogan Komering Ilir.

Saking terkenalnya Pedamaran sebagai penghasil anyaman purun, daerah itu dijuluki Kota Tikar. Kerajinan tikar telah dipasarkan sampai ke Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung. Kerajinan purun yang diproduksi warga Pedamaran rata-rata masih dalam lingkup usaha keluarga. Melestarikan purun, bagi masyarakat lokal, sama artinya menjaga kelestarian gambut.

Sampai sekarang kebutuhan bahan baku untuk tikar masih bergantung ketersediaan alami purun.

Menurut amatan Pantau Gambut, sampai saat ini belum ditemukan kelompok usaha yang khusus menanam purun. Daya tawar perajin purun di Ogan Komering Ilir pun masih cenderung rendah karena harga ditentukan oleh tengkulak.

Para perajin juga membutuhkan pelatihan untuk memperkaya variasi produk purun. Warga Desa Menang Raya yang tergabung dalam Kelompok Mawar –beranggotakan 21 orang— pernah mendapat pelatihan dari Badan Restorasi Gambut. Pelatihan itu bukan hanya untuk variasi produksi, tapi juga pemasaran.

Rantai pasar untuk komoditas lahan gambut yang cenderung tidak stabil perlu dibenahi agar masyarakat lokal bisa menerima keuntungan. Hal itu penting supaya minat masyarakat lokal tak beralih ke bisnis komoditas kelapa sawit atau jenis tanaman lainnya yang tidak ramah gambut. Peluang bisnis paludikultur perlu terhubung dengan kecocokan usaha yang mendatangkan manfaat ekonomi untuk menjamin kesejahteraan masyarakat lokal.

Demi menunjang ekosistem bisnis yang konsisten perlu adanya platform yang menjembatani bisnis komoditas ramah gambut dari usaha masyarakat lokal dengan jaringan pemasaran. Itu bertujuan pula untuk akses kapasitas yang lebih luas. Selain mendapat nilai tambah bagi produk, komoditas seperti ini juga dapat memberi keuntungan bagi usaha lokal.

Peneliti Pantau Gambut Clorinda Kurnia Wibowo mengatakan platform pemusatan bisnis bisa menjadi jalan masuk bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mempromosikan produk dagangan dari masyarakat lokal. “Itu bertujuan mendapatkan kolaborator yang menambah nilai produknya, baik dari segi finansial maupun pengembangan kapasitas,” katanya.

Clorinda menjelaskan program yang mempercepat pertumbuhan bisnis itu bisa selaras dengan kelestarian lingkungan. Maka, kolaborasi yang tumbuh melalui fitur akan menunjang pemanfaatan lahan gambut secara produktif pun tetap lestari. “Gambut tidak lagi dikenal sebagai lahan yang sia-sia,” ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus