Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahan Basah Jakarta, Ketika Karya Seni dan Sejarah Bertemu di Museum Bahari

Pameran Membangun di Lahan Basah yang berlangsung di Museum Bahari menampilkan sejarah Jakarta melalui karya empat seniman. Pameran ini mengajak pengunjung memahami asal usul tanah Jakarta dan pembangunannya dari masa ke masa, disajikan lewat seni interaktif.

7 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta, Mis'ari (ketiga kanan), bersama perwakilan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), kurator koleksi museum dan narasumber dalam acara pembukaan pameran kontemporer "Membangun di Lahan Basah", di Museum Bahari, Jakarta, pada Jumat, 6 Desember 2024. TEMPO/Abdul Karim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL – Rifandi S. Nugroho memasuki Ruang Tanjung Priok di Museum Bahari. sebuah ruangan dengan luas sekitar 20x10 meter, lokasi inti pameran bertajuk “Membangun di Lahan Basah: Dari Gudang Barat hingga Museum Bahari 1652-1977” yang berlangsung sejak 7 Desember 2024 hingga 22 Juni 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang Tanjung Priok dibagi menjadi empat bagian. Pertama segmen “di Permukaan Laut”, kedua segmen “Rempah-Rempah dan Infrastruktur Hidrokolonial”, ketiga “Gudang dan Kota di Lahan Basah”, dan terakhir “Menjadi Museum Bahari”.

Museum Bahari, inisiator pameran, menggandeng empat seniman menampilkan karyanya di berbagai media untuk merepresentasikan perkembangan Jakarta dari era kerajaan, masuknya kolonial yang membangun Batavia, hingga pasca-kemerdekaan ketika bangunan yang awalnya sebagai gudang rempah-rempah ditetapkan sebagai museum di era Gubernur DKI Ali Sadikin pada 1977.

Sebagai kurator pameran, Rifandi menjelaskan karya dan artinya di setiap segmen. Dimulai dari segmen pertama yang menjadi cikal-bakal penamaan “lahan basah” untuk tajuk pameran ini. Di salah satu dinding terpampang peta besar menggambarkan bioklimatologi sebuah kawasan yang sekarang masuk wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Kawasan ini dipengaruhi materi aluvial dari Gunung Gede-Pangrango.

“Aluvial itu membawa lumpur, dan akhirnya membentuk tanah di kawasan (Jabodetabek). Ditambah adanya 13 anak sungai mengalir dari Pangarngo terus ke utara, sehingga akhirnya membentuk teluk Jakarta seperti bentuknya saat ini. Salah satunya Kali Ciliwung yang sekarang membelah Jakarta,” tuturnya pada Jumat, 6 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta, Mis'ari (ketiga kanan), bersama perwakilan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), kurator koleksi museum, Direkturnarasumber dalam acara pembukaan pameran kontemporer "Membangun di Lahan Basah", di Museum Bahari, Jakarta, pada Jumat, 6 Desember 2024. TEMPO/Abdul Karim

Rifandi mengajak kita membayangkan kondisi Jakarta bagian utara dulu merupakan tanah yang becek dan basah. Namun tetap dipilih oleh VOC ketika datang ke Sunda Kelapa, sehingga mulai dibangun kastil, sebelum akhirnya berkembang menjadi benteng dan kota.

Setelah dibangun peradaban, ternyata penduduk dari Belanda tidak mau datang ke Batavia. Gubernur Jendeal Jan Pieterszoon Coen akhirnya menyewa pelukis dari Belanda untuk menggambarkan suasana Batavia yang indah, berlatar belakang pegunungan. “Uniknya, para pelukis itu sebenarnya tidak pernah datang ke sini (Batavia), jadi mereka hanya membayangkan, dan jadilah pemandangan dari tengah laut ke arah Kota Batavia yang permai itu,” tutur Rifandi sambil memperlihatkan beberapa karya lukisan tersebut.

Di segmen ini, ilustrator Yasmin Tri Aryani memperkaya penggambaran masa lampau melalui ilustrasi yang terpampang di sebuah layar televisi besar. “Yasmin menceritakan pembentukan kawasan ini dipengaruhi berbagai faktor, selain karena gunung berapi juga dipengaruhi angin muson, dan inilah penyebab Jakarta berada di lahan basah,” kata Rifandi.

Selanjutnya di segmen kedua: “Rempah-Rempah dan Infrastruktur Hidrokolonial”, terdapat karya seniman visual, Hauritsa, berupa ilustrasi produksi rempah yang digemari bangsa Eropa saat itu: lada, pala, dan cengkeh. Namun Hauritsa dengan cerdas menyentil kondisi yang tetap bertahan selama berabad-abad di Indonesia melalui poster iklan menampilkan produk jadi yang diekspor dari negara barat, padahal bahan mentah rempah-rempah itu diambil dari negara ini. “Kondisinya masih terjadi sampai sekarang, bukan?” ucap Rifandi sambil tertawa.

Segmen ini juga memperlihatkan kerja keras Belanda membangun Batavia di tengah tantangan alam. Karena berada di lahan basah, alhasil kota ini kerap dilanda banjir. Penyebabnya ternyata kesalahan bangsa kolonial itu yang memaksa membangun kanal berbentuk lurus, mengubah bentuk asli sungai yang melengkung sesuai proses sedimentasi secara alami. Perubahan peta sungai tersebut terpampang di atas beberapa lembar kain yang terjuntai di salah satu ruang pamer.

"Bisa dilihat pada peta di awal 1628 masih melengkung, tapi kemudian pada 1764 ada Kanal Ciliwung yang bentuknya lurus. Konon, itu yang menyebabkan banjir," ucap Rifandi. "Jadi tampaknya Belanda saat itu tidak terlalu mengerti kondisi alam tropis di sini. Anginnya kencang hujannya kencang, sungainya deras, salah penanangan malah kebanjiran."

Pada segmen berikutnya, “gudang dan kota di lahan basah”, barulah terlihat bagaimana para insinyur Belanda beradaptasi melalui pembuatan fondasi struktur bangunan. Prosesi pendirian bangunan ini direkonstruksi ulang oleh tim arsitektur dari Universitas Indonesia berdasarkan buku yang disusun oleh Pusat Data Arsitektur (PDA) berjudul "Westzijdsche Pakhuizen Batavia 1652-1977, Dari Gudang Barat hingga Museum Bahari" setebal 254 halaman yang terbit pada Juli 2024.

Di segmen ini turut menampilkan karya Arief 'Arman' Rahman, seniman cukil kayu. Ia membuat instalasi sebuah meja makan dikelilingi lembar kain bergambar para pekerja atau tukang di era kolonial. Sedangkan di segmen terakhir menampilkan perkembangan hingga masa kini sejak Museum Bahari diresmikan oleh Ali Sadikin. Seniman video, Bagasworo, mempertontonkan karya dokumenter tentang interaksi antara MusuemBahari dengan masyarakat yang tinggal di sekitar bangunan itu.

Kepala Unit Pengelola Museum Kebaharian, Mis’ari, menuturkan pelibatan para seniman  di museum telah berlangsung sejak 2021. "Agar museum atau pameran tidak sekadar menghadirkan artefak atau informasi sejarah, tapi ada respons dari seniman dalam bentuk karya seni, " ujarnya.

Pelibatan seniman, menurut Mis’ari, untuk menarik minat masyarakat mau datang ke museum. "Apalagi anak muda sekarang kan senang karya instalasi.Apalagi bisa untuk swafoto. Kalau sekadar keterangan tulisan,  bisa jadi nggak akan dilirik. "

Ia juga bersyukur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberi dukungan penuh terhadap setiap inovasi museum. "Kami jadi termotivasi untuk berbuat sesuatu, agar nggak ketinggalan dengan tempat hiburan seperti mal dan sebagainya. Kita harus membuat masyarakat gemar ke museum, " kata dia.

Selain para seniman, Mis’ari juga membuka tangan kepada berbagai komunitas, salah satunya Indonesian Heritage Creative Hub (IHCH) sebagai pendukung pengembangan program publik di Museum Bahari. Ketua IHCH Nova Farida Lestari Wazir menjelaskan sudah beberapa kali mereka bekerja sama menggelar acara, antara lain Festival Bahari Indonesia Jepang atau Bahari Matsuri setiap Oktober, dan Festival Cerita Kota.

 

“Kami berfokus agar peran museum masa kini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Salah satu yang membanggakan, kami dan Museum Bahari membuat program Museum for Local Economic Development and Social Changes atau dikenal sebagai MLEDSC dan belum lama ini kami pulang dari Athena mendapat penghargaan karena program ini,” tutur Nova.

Menurut dia, Museum Bahari punya potensi besar terkait keberadaan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Perhatian Kepala UP Museum Bahari Mis’ari, menurut Nova sudah bagus karena melibatkan warga saat ada kegiatan, maupun membuka tangan ketika warga membutuhkan bantuan museum. “Kini pekerjaan rumah berikutnya adalah terus mengajak masyarakat berdiskusi dan dikumpulkan lagi ceritanya, karena dari hasil riset Dinas Kebudayaan DKI ternyata warga Penjaringan (lokasi museum ini) merupakan komunitas masyarakat tertua di Jakarta ini,” ucapnya. Karena itu IHCH akan terus mendukung Museum Bahari termasuk sosialisasi pameran tentang lahan basah ini.

Adapun Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Restu Gunawan memberi apresiasi dengan tema yang ditonjolkan pada pameran kali ini, terlebih melibatkan para seniman. “Saya kira ini bagus, memberikan perspektif baru bagi teman-teman seniman seni rupa, khususnya untuk merespons situasi masa lalu menjadi karya yang kontekstual dengan hari ini, sehinga jadi pengingat bahwa Jakarta di usia 500 tahun nanti menjadi momentum penting dalam mengarahkan pembangunan sebagai kota global,” ucapnya.

Sebagai informasi, pameran “Membangun di Lahan Basah: Dari Gudang Barat hingga Museum Bahari 1652-1977” diresmikan oleh Mis’ari bersama para kolaborator acara dengan membunyikan sirene kapal kuno pada Jumat, 6 Desember 2024. Sedangkan mulai dibuka untuk publik pada 7 Desember 2024 sesuai waktu buka museum, Selasa hingga Ahad. Pameran berlangsung selama tujuah bulan hingga 22 Juni 2025. (*)

Sandy Prastanto

Sandy Prastanto

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus