Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maju bersama meraih peluang ...

Deperdag/bpen bersama bkpm dan ditjen pariwisata mempelopori program promosi tti (trade,tourism and investment).untuk meraih peluang pasar ekspor non- migas di as dan negara lain.perusahaan2 pendukung.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJU BERSAMA MERAIH PELUANG EKSPOR NON-MIGAS INDONESIA DI AMERIKA MEMADUKAN UPAYA MERAIH PELUANG EKSPOR NON-MIGAS DI AMERIKA SERIKAT Melalui Program Promosi TTI Pengusaha Besar dan Kuat memperoleh peluang guna membantu dan mengikutsertakan Pengusaha Kecil dan Menengah yang dinamis untuk maju bersama, mengembangkan Pangsa Pasar Ekspor Indonesia ADA sebuah negara berpenduduk 250 juta, kaya (pendapatan nasionalnya US$ 4,864 miliar, sedang pendapatan per kapitanya US$ 20 ribu), serta setahunnya mengimpor barang senilai US$ 500 miliar. Dan kalau Anda seorang pengusaha, apa yang terpikir? Bila 30 juta penduduknya setiap tahun berpergian ke luar negeri, apa pula yang lantas Anda bayangkan7 Dan bila modal dari negara itu banyak bertebaran di berbagai penjuru dunia -- lantaran mahalnya biaya tenaga kerja, maka banyak sudah bidang- bidang investasi yang tak mungkin lagi digulirkan di negara itu lalu apa yang mengusik Anda? Tak bisa lain, Anda pasti mengendus peluang. Ya, peluang! Betapa tidak? Data-data menunjukkan, bahwa negara itu pastilah pasar yang luar biasa gemuknya. Dan sumber arus wisatawan yang mengalir amat deras. Sekaligus mata air investasi yang amat besar nilainya bagi Indonesia. Negara itu adalah Amerika Serikat. Berebut Peluang Namun, untuk meraih peluang yang Anda endus tadi tak cukup hanya dengan menghitung angka-angka. Sebab, tak cuma Indonesia yang mengendus dan berupaya meraih peluang itu. Nyaris semua negara berebut peluang yang ada, dan datang membawa penawaran dengan keunggulan dan daya tarik masing-masing. Negara pengekspor harus datang dengan keunggulan kualitas produk, ketepatan waktu suplai dan kontinuitas suplai. Tiga hal ini -- yang tengah kita upayakan terus menerus untuk mencapai titik optimal -- dan tak dapat ditawar-tawar lagi jika memang hendak memasuki pasar Amerika Serikat. Sebagai negara tujuan wisata, Indonesia harus merebak promosi yang efektif dan seringkali mahal ke segala penjuru Amerika Serikat. Tentu dengan pikatan daya tarik panorama alam, budaya, dan kekhasan hidup manusianya -- unsur-unsur kuat yang juga kita miliki, dan kita tawarkan kepada pelancong dari Amerika Serikat. Bagi negara-negara yang berharap dialiri investasi dari negeri kaya itu, tak tanggung-tanggung rayuannya, bahkan ada yang menjanjikan fasilitas bebas pajak (juga pernah kita tawarkan), kemudahan perizinan dan layanan birokrasi -- yang sekarang ditawarkan Indonesia. Kecuali itu, tentu saja, masing- masing negara mempromosikan potensinya masing-masing. Program Promosi TTl Ringkasnya, persaingan meraih peluang di Amerika Serikat untuk meningkatkan ekspor non-migas Indonesia, dan persaingan meraih investasi dan wisatawan dari Amerika Serikat, amatlah sengit serta rumit perjuangannya. Maka tidak ada pilihan lain. Sebagai langkah awal untuk memenangkan persaingan itu diperlukan promosi terencana, terpadu, dan berkesinambungan. Itulah yang kini tengah dan akan terus dilakukan melalui Promosi Trade, Tourism and Investment (TTI) yang dipelopori oleh Departemen Perdagangan/BPEN bersama BKPM dan Ditjen. Pariwisata. Program yang menurut rencana akan dilaksanakan di 12 kota di Amerika Serikat mulai September 1990 sampai Februari 1992 menggelar beberapa bentuk kegiatan. Grand Solo Exhibition, misalnya, adalah inti kegiatan yang diharapkan dapat menyajikan potensi bisnis Indonesia secara utuh kepada masyarakat Amerika Serikat. Tidak terkecuali seminar dan business meeting, partisipasi dalam pameran dagang, special campaign, promosi komoditi oleh berbagai asosiasi, in-store promotion, pameran dan promosi penjualan di department store. Yang juga tidak dapat dikesampingkan adalah catalog show, serta penyebaran brosur-brosur produk ekspor peluang investasi dan berbagai obyek wisata. "Dengan memanfaatkan momentum berlangsungnya Pameran Kebudayan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS)," kata Menteri Muda Perdagangan Dr. J. Soedradjad Djiwandono, "diperkirakan gaung program Promosi TTI akan lebih efektif menjangkau publik dan pengusaha Amerika Serikat." Melibatkan Pengusaha Kuat Program promosi terpadu pertama yang pernah dibuat Pemerintah Indonesia ini tentu saja menguras sangat banyak dana. "Pemerintah tak cukup punya anggaran untuk melaksanakannya. Akan tetapi, mengingat demikian pentingnya Program TTI, saya berpikir, mengapa para pengusaha kuat tidak dilibatkan?" tutur Djiwandono. Maka para pengusaha kuatpun diundang guna menggunakan haknya untuk ikut berpartisipasi mendukung program yang akan melahirkan eksportir-eksportir baru, terutama dari kalangan pengusaha dinamis berskala menengah maupun kecil. Para pengusaha kuat yang menyadari haknya membantu pengusaha kecil dan menengah itu adalah karena kenyataan bahwa laba yang ditangguknya adalah juga berkat sehatnya iklim usaha yang dikembangkan Pemerintah dan masyarakat. Maka dampak menetes itu sekaligus guna mencerminkan rasa tanggung jawab pengusaha kuat untuk mendorong kemajuan pengusaha kecil dan menengah. Tugas tersebut memang bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah saja. (Baca: Hak Untuk Maju, Membantu Dan Dibantu Buat Semua Pengusaha Indonesia). "Kendati menghabiskan anggaran cukup besar, dan harus menerobos persaingan sengit di pasar global, Promosi TTI -- dalam jangka panjang -- akan sangat membantu meningkatkan ekspor non-migas, arus wisatawan dan investasi Amerika Serikat di Indonesia," ujar Djiwandono. "Dalam semua kegiatan TTI yang saya ikuti langsung," cerita Dj iwandono, "banyak pengusaha Amerika Serikat yang tak tahu letak Indonesia. Apalagi tentang produk-produk Indonesia dan keunggulannya. Bagaimana pula mereka bisa tertarik menanam modalnya, jika kandungan alam kita tak pernah mengusik naluri bisnis mereka?" Menmud Perdagangan yakin, setelah publik dan pengusaha Amerika Serikat mengenal produk, potensi wisata dan peluang investasi di Indonesia antara lain melalui Program Promosi TTI, "Akan lebih banyak wisatawan, misi dagang dan investasi yang berdatangan di Indonesia," katanya dengan mantap. Keyakinan itu tidaklah tanpa alasan. Meski lamban, pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Amerika menunjukkan kecenderungan meningkat. "Program Promosi TTI inilah yang diharapkan mampu menggenjot pertumbuhan ekspor nonmigas kita," lontar Drs. Rudy Lengkong, Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), yang menggantikan Ir. Arifin Lumbangaol. Nilai Ekspor Non-Migas Indonesia Pada tahun l984 nilai ekspor non-migas kita ke Amerika Serikat baru mencapai US$ 1,2 miliar. Lima tahun kemudian sudah menanjak sampai US$ 2 miliar. Tahun silam bahkan sudah naik sampai US$ 2,3 miliar. "Kendati laju kenaikan itu lambat, peluang meningkatkan nilai ekspor masih terbuka luas," ujar Rudy. "Pasar bagi produk Indonesia -- terutama produk non-kuota dan produk spesifik Indonesia -- masih longgar," sambungnya. Menurut Rudy Lengkong, mantan Konsul Jendral Rl di New York, walaupun nilai ekspor non-migas kita mengalami pasang naik, "Pangsa pasar produk kita sebenarnya bahkan belum mencapai satu persen saja dari keseluruhan impor Amerika Serikat." Dari segi pertumbuhan, komoditi yang menjadi primadona adalah tekstil dan garment. Pada tahun 1986 nilai ekspornya ke Amerika Serikat baru mencapai US$ 312,55 juta. Selama empat tahun berikutnya -- sampai 1990 -- nilai ekspor komoditi ini melonjak terus: dari US$ 390,92 juta, kemudian naik menjadi US$ 460,07 juta, lalu menanjak luar biasa sampai US$ 624,20 juta, dan tahun silam naik lagi menjadi US$ 688,69 juta. TQC dan Kualitas Produk "Siapapun tidak akan dapat menyangkal bahwa yang terlebih dulu harus dijamin untuk merebut pasar adalah kualitas produk. Pemasaran akan dapat lebih mudah berhasil, bila yang ditawarkan adalah produk unggul," kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Laksamana (Purn) Sudomo. Tokoh yang semasa menjabat Menteri Tenaga Kerja sudah mulai menggugah masyarakat Indonesia untuk menyadari dan menerapkan fungsi kendali mutu terpadu atau TQC (total quality control), menjelaskan "Syarat pertama yang diperlukan untuk menerobos pasar di negara lain adalah mutu produk kita harus benar-benar dapat diandalkan dan sesuai dengan contoh (sample) yang ditunjukkan kepada calon pembeli." Menurut Sunjoto Tanudjaja, Presiden Direktur PT Great River Garment Industries, "Perkembangan peraihan devisa dari komoditi tekstil dan garment semata-mata karena kualitas produk kita memang unggul. Dan kontinyuitas suplai ke sana sudah cukup baik," katanya. Perusahaan pemegang lisensi 11 merek terkenal di dunia, antara lain Arrow, Triumph dan Calvin Klein ini setahunnya memproduksi 13 juta potong pakaian dari pabriknya di areal seluas 6,7 hektar di kawasan Cibinong. Empat puluh persen dari nilai total penjualan tahunan hasil tangan-tangan trampil 10 ribu karyawannya, diraup dari pasar mancanegara. Adapun total omset (dari pasar domestik dan ekspor) meningkat dari hanya Rp 50,6 miliar pada tahun 1989, menjadi Rp 64,7 miliar pada tahun 1990 -- pertumbuhan 28 persen. Komoditi yang nilai ekspornya ke Amerika Serikat juga mengalami pertumbuhan yang menggembirakan adalah furniture. Meski nilai yang diraihnya tak sedahsyat nilai yang diraup komoditi tekstil dan garment, pertumbuhannya beberapa tahun terakhir menjanjikan prospek cerah. Cuma menggaet devisa US$ 2,60 juta pada tahun 1986, di tahun kemudian komoditi furniture mampu meraup US$ 34,74 juta, dan mencapai US$ 54,39 juta tahun silam. "Kualitas bahan baku, desain dan mutu akhir produk furniture Indonesia menyebabkan permintaan pada komoditi ini makin besar," ungkap Dra. Koestarinah Soenarpo, Sekretaris Eksekutif Organizing Committee Program Promosi TTI. "Furniture kita sudah makin luas digunakan di rumah tangga Amerika," sambungnya. Walaupun ada upaya membuat bahan baku tiruan rotan, oleh beberapa negara pesaing -- akibat dilarangnya ekspor rotan mentah Indonesia. "Namun produk kita tetap dicari. Yang masih perlu dilakukan adalah menyebarluaskan pasar ke berbagai negara bagian di Amerika Serikat," ujar Rudy Lengkong menambahkan. Menggalang Kebersamaan Akan halnya kayu lapis (plywood), nilai ekspornya ke AS meningkat dari US$ 317,70 juta pada 1989 menjadi US$ 381,17 juta pada tahun berikutnya. Penetrasi aktif kalangan eksportir kayu lapis kita dan bertumbangannya pabrik-pabrik kayu lapis di beberapa negara setelah larangan ekspor kayu gelondongan Indonesia, makin mencerahkan pasa Amerika Serikat bagi produk kita. "Dengan larangan itu, Pemerintah sebenarnya sudah bergandeng tangan dengan pihak swasta untuk meningkatkan daya mampu produk Indonesia dalam bersaing di pasar internasional," ungkap Joso A.G., Direktur Industri PT Barim Pacific Timber Group. "Jika Pemerintah sudah menunjukkan itikad untuk menggalang kebersamaan dengan pihak swasta, mengapa sesama swasta kita tak segera merapatkau barisan untuk maju bersama meraih pasar yang lebih besar?" sambungnya bersemangat. Meningkatnya nilai ekspor udang kita ke Amerika Serikat hampir 100 persen pada tahun 1990 (US$ 80,70 juta) dibanding tahun sebelumnya (hanya US$ 47,43 juta), menunjukkan kian hebatnya pengusaha kita menjaga mutu komoditi, mengingat sangat ketatnya standar mutu yang ditetapkan Food and Drug Administration (Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan -- FDA). Itulah sebabnya, dulu, udang yang kita ekspor sering ditolak. Komoditi Tradisional lndonesia Adalah komoditi tradisional Indonesia yang justru menyedihkan, antara lain kopi. Dalam kurun waktu 1986-1989, pertumbuhan nilai ekspor ke Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan menurun. Tahun 1986 nilai ekspornya masih US$ 176,08 juta, tetapi tiga tahun kemudian menurun drastis, menjadi US$ 97,04 juta. "Ini akibat persaingan ketat dengan kopi Brazilia," papar Rudy Lengkong. "Panen mereka pada tahun itu, bagus sekali. Sehingga harga merekapun lebih bersaing." Namun, pada tahun 1990 nilai ekspor komoditi ini mulai membaik kembali. Kendati belum mampu mencapai posisi pada tahun 1986. Mulai membaiknya nilai ekspor kopi, agaknya, antara lain berkat keberanian para eksportir kopi kita menggelar berbagai promosi. Itulah yang dilakukan pula oleh PT Sari Incofood, penghasil kopi Indocafe. Sebelum turut mendukung Program TTI, perusahaan ini -- bersama Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) -- telah beberapa kali mengadakan misi dagang dan berpameran di Amerika Serikat. Indocafe percaya, bahwa melalui program promosi terpadu seperti TTI, pengusaha Indonesia dapat mengetahui sendiri peluang di pasar internasional, serta melakukan dialog langsung dengan calon mitra usaha. Ini amat berguna untuk memperluas pasar dan jaringan bisnis, maupun mengembangkan investasi. Membaiknya nilai ekspor kopi, ternyata ditopang pula oleh keberanian para eksportir melakukan inovasi produk. Indocafe misalnya, menghasilkan kopi instant, agar selain mampu memperoleh pengakuan internasional bagi kopi terbaik Indonesia dan memenuhi permintaan ekspor, juga mampu merebut pangsa pasar yang lebih besar. Tekad untuk hanya menghasilkan produk terbaik, menurut Laksamana Sukardi, sudah seharusnya dimiliki oleh setiap pengusaha yang hendak memasuki ajang persaingan sengit di pasar global. "Bahkan", kata Managing Director Lippobank ini, "tekad itu tidak hanya harus dipupuk dan ditularkan pada pengusaha lain, tetapi juga mesti diwujudkan secara nyata," tutur pria yang ramah ini. "Kita tidak cukup hanya mampu menghasilkan produk terbaik. Melainkan juga mesti berani dan mampu memenangkan persaingan untuk menguasai jaringan pemasarannya. Di sektor ini kita lemah sekali," ujarnya. Laksamana menuding praktek monopoli dan proteksi yang berlebihan sebagai biang terjadinya kelemahan itu. Dengan tetap berjalannya monopoli dan proteksi yang berlebihan, "Pengusaha dan pedagang kita hanya mampu bersaing di pasar domestik," katanya tajam. "Begitu memasuki pasar dunia, dan harus bersaing tanpa pelindung di pasar yang keras, semuanya jadi seperti ayam sayur," paparnya terkekeh. Mencontoh Jepang la menyarankan kalangan industri dan para pedagang kita untuk mencontoh Jepang. "Bersaing ketat di dalam negeri, tetapi begitu memasuki pasar dunia berjalan seiring, dukung mendukung, untuk menciptakan pasar baru dan meluaskan pangsa yang sudah ada, sekaligus menguasai jaringan pasarnya," beber Laksamana. Itu sebabnya ia sangat mendukung upaya bersama untuk merebut peluang pasar ekspor seperti yang menjadi sasaran Promosi TTI ini. Dan dukungan Laksamana bukan semata secara moril, tetapi juga dibuktikannya dengan memberi kesempatan kepada nasabahnya untuk memanfaatkan kredit ekspor Lippobank. "Berkat kredit ekspor berbunga 12 persen, Lippobank, berhasil melahirkan beberapa eksportir batu bahkan ada yang tergolong pengusaha menengah," ujarnya bangga. One-stop investment, suatu divisi Lippobank yang melayani para investor, memberi saran-saran dan informasi tentang Indonesia. "Divisi ini perannya seperti agen Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)," jelas Laksamana. Amerika Serikat: Posisi Keempat Investasi Amerika Serikat di Indonesia punya sejarah panjang. Bahkan adalah perusahaan dari negara itu yang pertama-tama menanam modalnya di Indonesia setelah Pemerintah membuka kesempatan penanaman modal asing pada tahun 1970. Kendati merupakan pembuka jalan bagi investor asing lainnya di Indonesia, nilai investasi non-migas Amerika Serikat ternyata bukanlah yang terbesar. Sampai tahun 1990 jumlah proyek investasinya hanya l26 buah bernilai US$ 2,4 miliar. "Realisasi itu menempatkan Amerika Serikat pada posisi keempat setelah Jepang, Hongkong, dan Taiwan," ungkap Ir. Sanyoto Sastrowardoyo Ketua BKPM. Menurut Sanyoto, investor Amerika Serikat mempunyai ciri tertentu yang harus diperhatikan jika ingin menarik modal mereka kemari. Antara lain mereka membutuhkan waktu sampai dua tahun untuk mempelajari rencana proyek. "Investor Amerika Serikat tidak seperti investor Jepang, Hongkong, atau Taiwan yang memerlukan waktu hanya tiga sampai enam bulan untuk keperluan yang sama." Waktu dua tahun itu pun hanya diperlukan untuk mempelajari kelayakan proyek, belum lagi tahap pembangunannya. "Dalam waktu selama itu, repotnya, perkembangan pasar bisa berubah. Rencana proyek yang semula feasible, kemudian malah bisa tidak layak diusahakan," papar Sanyoto. Itulah sebabnya perkembangan jumlah dan nilai investasi Amerika Serikat di bidang non-migas agak lamban," ujarnya. Maka, tidak mengherankan kalau mereka lebih banyak yang berminat menanam modalnya dalam sektor pertambangan, sektor yang menghasilkan produk-produk dengan harga yang tidak fluktuatif dan dapat diusahakan dalam jangka panjang. Dengan program promosi terpadu TTI, harap Sanyoto, "investor Amerika akan semakin mengenal potensi Indonesia. Sekaligus mendapat informasi tentang keunggulan dan kemudahannya bila berusaha di sini." Kestabilan politik dan keamanan juga diperhatikan oleh investor AS. "Dari segi ini, Indonesia sangat menarik bagi investor Amerika," katanya. "Tinggal bagaimana birokrasi perizinan. Terbiasa hidup dalam kultur liberal, investor Amerika tidak tertarik kepada birokrasi perizinan yang berbelit-belit dan makan waktu," tuturnya. Dengan adanya deregulasi yang dicanangkan Pemerintah, kini proses perizinan dapat diselesaikan dalam dua minggu". Sesingkat itu, BKPM bahkan sudah dapat mengeluarkan Surat Persetujuan Tetap (SPT). "Artinya investor langsung mulai dapat beroperasi," Sanyoto menjelaskan. Sebagai sumber wisatawan dunia, Amerika memiliki potensi luar biasa. "Negaranya luas, penduduknya banyak, ekonominya kuat, pendapatan per kapitanya tinggi, dan arus penduduknya yang bepergian ke luar negeri besar," papar Dlrektur Jendral Pariwisata Joop Ave. Dari 30 juta penduduk Amerika Serikat yang bepergian ke luar negeri pada tahun 1989, sekitar 11 juta yang melakukan perjalanan jarak jauh (long haul travel) menjadi sasaran Indonesia untuk merebut pangsa pasar. Namun, pada tahun 1990 wisatawan Amerika yang berkunjung ke Indonesia baru berjumlah 106.266 orang atau hanya 0,97 persen dari wisatawannya yang melakukan long haul travel. Joop Ave yakin, jika potensi wisata Indonesia yang sesungguhnya sesuai untuk katakter wisatawan Amerika Serikat -- sudah dikenal lebih luas di sana, "Arus kunjungan dari negara itu bakal meningkat. Peranan mengenalkan Indonesia itulah yang diharapkan dapat dilakukan oleh program TTI," tuturnya. Agaknya Indonesia memang masih belum banyak dikenal di Amerika Serikat. Promosi pariwisata yang selama ini dilakukan, belum mampu mencapai semua negara bagian yang begitu luas. Kenyataan itu ternyata mendorong Tirto Utomo SH, Chairman PT Aqua Golden Missisipi, penghasil air minum Aqua, untuk membuka "Restoran Indonesia" di kota New York. Di restoran yang menelan investasi US$ 2 juta, di daerah bergengsi di dekat markas besar PBB itu, "tamu akan mendapatkan suasana Indonesia. Seluruh rancang desain, interior, dan apapun di dalam restoran adalah berciri lndonesia," ujar Tirto Utomo dengan bangga. "Saya berharap restoran itu mampu berperan sebagai wajah Indonesia di Amerika Serikat. Setelah merasakan suasana dan masakan Indonesia, siapa tahu berlanjut dengan kunjungan ke Indonesia," katanya serius. Sekecil apapun peran itu, "Yang penting para pengusaha kuat punya kepedulian terhadap langkah bersama untuk meraih pasar, investasi dan wisatawan dari sana," ujar Menmud Djiwandono. "Dan langkah pertama untuk meraih itu, memang hatus dimulai dengan terlebih dulu memperkenalkan Indonesia," sambungnya. Peluang bagi Pengusaha Kecil dan Menengah yang dinamis. Dengan sumberdaya yang dimilikinya, akses ke pasar global lebih mudah diraih pengusaha besar atau konglomerat. Mereka bisa\ berlari cepat sehingga semakin jauh meninggalkan pengusaha kecil dan menengah. Kesenjangan yang semakin besar ini akhirnya dapat menimbulkan kecemburuan sosial bahkan hal-hal yang bersifat SARA. Apa yang bisa dilakukan oleh pengusaha besar bukan sekadar bantuan dana namun juga informasi dan kiat untuk meraih pangsa pasar di mancanegara. Karena itu upaa-upaya semacam Pariwara ini sudah sepatutnya terus digalakkan dalam rangka meningkatkan komunikasi di antara semua pihak terkait. Bagi pengusaha kecil dan menengah tentu sulit, bahkan mustahil melakukan promosi secara sendiri-sendiri ke pasar mancanegara, yang memerlukan biaya yang besar dan mahal. Karena itu peluang emas yang terbuka dengan adanya Program TTI ini harus dimanfaatkan maksimal dengan ikut serta dalam rombongan promosi TTI ke Amerika Serikat. Untuk dapat memperoleh peluang emas itu, maka kontak bisnis dan pengetahuan mengenai pemasaran di pasar global harus diperkuat. Begitu pula kemampuan untuk menjaga kualitas produk serta menjaga kesinambungan barang-barang yang diekspor harus dapat dipertanggungjawabkan. Agar produk-produk yang dipromosikan nampak lebih menarik dan menggugah, maka paket promosi semacam leaflet company profile hingga kemasan produk sebaiknya direkayasa dengan baik dan memikat. Untuk kesemua itu, Deperdag/BPEN dengan kerjasama pengusaha besar telah siap untuk membantu. Dengan upaya bersama untuk mengembangkan kegiatan bisnis yang profesional maka pengusaha kecil dan menengah yang dinamis, dapat merebut peluang emas ini dengan sukses dan maju bersama dengan para pengusaha kuat . . . 1992: Pasaran Bersama Eropa "Tahun depan, segera setelah menyelesaikan program di Amerika Serikat, Promosi TTI akan melangkah ke Eropa," kata Menmud Perdagangan dalam pertemuan bersama korps diplomatik yang khusus diselenggarakan oleh Matari Inc. awal Agustus lalu. "Salah satu sasaran penting adalah kehadiran Indonesia di World Expo di Seville, Spanyol, bersamaan dengan perayaan 500 tahun ditemukannya Benua Amerika oleh Columbus." Kita akan mengatakan bahwa Columbus yang sesungguhnya mencari Kepulauan Indonesia tersasar dan menemukan Benua Amerika. Ini adalah fakta sejarah yang amat unik yang dapat dikaitkan dengan program promosi TTI kita nanti. (MT, MGA) TABEL ---------------------------------------------- . Program Promosi TTI 1990-1992 ---------------------------------------------- . Seiring dengan Program Kebudayaan Indonesia . di Amerika Serikat (KIAS) dilangsungkan . Program Promosi Trade, Tourism and . Investment (TTI), di tempat-tempat sebagai . berikut: ---------------------------------------------- September 1990 Juni 1991 Washington Chicago New York St. Louis New Orleans Oklahoma City Minneapolis Dallas September 1991 Februari 1992 Cleveland Seattle Atlanta San Francisco Baltimore Los Angeles Stanford Phoenix ----------------------------------------------- ... Presiden Soeharto: KEHIDUPAN KEBANGSAAN MEMANG TIDAK BOLEH KITA PANDANG SEBAGAI SUATU PROSES YANG SUDAH SELESAI. KESADARAN KEBANGSAAN JUGA TIDAKLAH HANYA MENCAKUP BIDANG POLITIK, TETAPI JUGA HARUS MERESAPI KEHIDUPAN BIDANG EKONOMI DAN SOSIAL. KESADARAN kebangsaan harus dibangkitkan, dipelihara dan dikembangkan terus menerus. Sehingga setiap warga negara dan setiap golongan dapat merasa nyaman dan terlindung, serta memperoleh peluang dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan kreativitasnya masing-masing dalam membangun masa depannya sendiri, dan ikut bersama-sama membangun masa depan bangsanya. Dengan nasionalisme yang sehat dan bertanggung jawab, seluruh bangsa Indonesia harus terus menyatukan diri. Bukan saja dalam semangat dan tekad, tetapi juga dalam segala usaha dan daya upaya untuk menghadapi masa depan. Sebagai bangsa yang majemuk, kekuatan kita bukan terletak pada masing-masing unsurnya, tetapi dalam persatuan dan kesatuan semua unsur yang ada. Adalah keliru jika dalam tubuh kita sebagai bangsa masih saja ada sikap membeda-bedakan diri karena alasan-alasan yang sempit, seperti asal usul keturunan, kesukuan, status sosial, agama dan sebagainya. Undang-undang Dasar kita menjamin persamaan kedudukan warga negara kita di dalam hukum dan pemerintahan. Tiap-tiap warga itu berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Undang-undang Dasar kita menegaskan bahwa yang menjadi warga negara itu adalah bangsa Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan berdasarkan undang-undang sebagai warga negara. KITA menyadari bahwa gerak maju ekonomi kita menghadapi masalah. Khususnya, yang menyangkut perbedaan kemajuan yang berhasil dicapai oleh kalangan-kalangan masyarakat kita dari kesempatan-kesempatan yang terbuka dalam gerak pembangunan sekarang ini. Perbedaan kemajuan tadi dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial. Kita harus menangani masalah ini secara hati-hati, penuh kebijaksanaan dan dengan rasa tanggung jawab yang besar. Apabila kita tidak waspada, masalah ini dapat dieksploitasi secara sadar atau tidak sadar, sehingga meluncur ke arah pertentangan asal usul dan rasial. Sejak semula kita telah menyadari masalah ini, sehingga dari tahap-tahap awal pembangunan kita telah melaksanakan Trilogi Pembangunan dan menempuh Delapan Jalur Pemerataan. Langkah-langkah pemerataan dalam arti luas telah kita lakukan. Langkah-langkah ini harus kita lanjutkan, kita tingkatkan dan kita perluas di masa-masa yang akan datang. Langkah- langkah pemerataan itu antara lain meliputi penyediaan dana- dana melalui berbagai jenis program Inpres, penyebaran proyek- proyek pembangunan di semua daerah, pengalihan saham dari perusahaan besar dan yang sehat kepada koperasi, kemitraan usaha antara Bapak Angkat dan Anak Angkat, dan penyediaan kredit usaha kecil oleh perbankan. Dewasa ini Pemerintah sedang menyiapkan undang-undang mengenai perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah. Jakarta, 16 Agustus 1991 Cuplikan dari Pidato Kenegaraan di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat RI ... Program Komunikasi TTI ini adalah untuk menyebarluaskan pemerataan kesempatan meraih peluang ekspor non-migas bagi semua pengusaha Indonesia, khususnya pengusaha Menengah dan Kecil. Perusahaan-perusahaan yang telah menggunakan HAK mereka guna ikut berpartisipasi dalam upaya tersebut melalui penerbitan Pariwara ini adalah: PT Astra International, Barito Pacific Timber Group, Cipta Cakra Murdaya, Aqua Golden Mississippi, Great River Garment, Lippo Bank, Mantrust (Dieng Djaya), Sari Incofood (Indocafe), dan Tjahja Sakti Motor (BMW). "SEJALAN dengan Trilogi Pembangunan, maka Pemerintah bukan saja berjuang guna menciptakan dan meningkatkan peluang-peluang bisnis dalam era pembangunan ini, melainkan memperjuangkan juga pemerataan kesempatan untuk meraih peluang-peluang bisnis bagi perusahaan-perusahaan Indonesia berskala menengah dan kecil. PROGRAM PROMOSI TTI Program Promosi TTI (Trade, Tourism and Investment) merupakan program terpadu yang memayungi kegiatan promosi bagi perusahaan-perusahaan Indonesia agar mampu membuat terobosan penetrasi pasar, menarik penanam modal, dan meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Departemen Perdagangan/BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) bersama BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan Direktorat Jenderal Pariwisata di akhir tahun 1990 telah meluncurkan program promosi TTI di Amerika Serikat. Untuk itu, perusahaan-perusahaan Indonesia, lebih-lebih perusahaan- perusahaan berskala menengah dan kecil, diajak untuk ikut maju bersama meraih peluang ekspor non-migas di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Amerika Serikat dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta, tahun lalu mengimpor sekitar US.$ 500 Miliar dari seluruh dunia. Sedangkan nilai ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat, belum sampai mencapai satu persen dari seluruh nilai impor Amerika Serikat. Maka dapat dibayangkan betapa besar kesempatan yang terbuka bagi pengusaha-pengusaha Indonesia untuk dapat meraih peluang dari pasar Amerika Serikat yang luar biasa itu! GOTONG ROYONG Dengan semangat gotong-royong yang telah menjadi ciri khas kehidupan masyarakat Indonesia, terobosan-terobosan besar lebih lanjut akan dapat dilakukan dalam meningkatkan ekspor non-migas kita. Dan bukan itu saja! ... Menteri Muda Perdagangan Republik Indonesia, DR. J. Soedradjad Djiwandono: HAK UNTUK MAJU, MEMBANTU DAN DIBANTU BUAT SEMUA PENGUSAHA INDONESIA Dengan dukungan dan kerjasama kelompok-kelompok perusahaan berskala besar, Departemen Perdagangan/BPEN mengajak perusahaan-perusahaan Indonesia berskala menengah dan kecil, untuk ikut maju bersama meraih peluang ekspor non migas di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Akan dapat kita tingkatkan pula pemerataan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan Indonesia berskala menengah dan kecil untuk ikut maju bersama. Untuk ikut meraih peluang ekspor nonmigas ke Amerika. Dan untuk ikut menikmati keberhasilan\ pembangunan Indonesia. Sisi lain dari kesemua ini adalah timbul dan tumbuhnya kesempatan bagi kelompok-kelompok perusahaan berskala besar guna mengembangkan program tanggung-jawab sosial mereka. Program kegiatan yang mencerminkan kepedulian kelompok-kelompok perusahaan besar terhadap masalah kesenjangan sosial. Ini dapat ditunjukkan dengan kepedulian terhadap perjuangan Departemen Perdagangan/BPEN dalam upaya meratakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan Indonesia berskala menengah dan kecil. Untuk maju bersama. Unruk meraih peluang ekspor non-migas di Amerika Serikat dan negara-negara lain. KESENJANGAN SOSIAL Pemerintah mengundang kelompok-kelompok perusahaan berskala besar untuk menggunakan HAK mereka ikut serta berpartisipasi dalam upaya gotong royong menyebarluaskan pemerataan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan berskala menengah dan kecil untuk maju bersama. Untuk meraih peluang ekspor non-migas di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Melalui partisipasi dalam upaya gotong royong ini, maka akan terbukalah peluang-peluang menarik bagi kelompok-kelompok perusahaan berskala besar guna merealisasikan kepedulian mereka terhadap kemajuan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil dalam semangat kemitraan usaha. Melalui partisipasi dalam upaya gotong royong ini, terbukalah kesempatan yang amat menarik guna menjawab sekian banyak tudingan negatif yang ditujukan ke apa yang kini dikenal sebagai "Konglomerat" itu. Bukankah sebenarnya yang besar dan maju itu merupakan sesuatu yang patut dibanggakan dan disyukuri karena dapat berperan sebagai panutan dan pembimbing bagi yang menengah, kecil, dan lemah? Dan dengan demikian dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan sosial. Asas kekeluargaan dan kebersamaan Demokrasi Ekonomi kita mengamanatkan demikian. Dan kita semua berkepentingan untuk mewujudkannya. HASIL YANG DICAPAI DAN TINDAK LANJUTNYA Panitia Pelaksana Promosi TTI hingga saat ini baru memperoleh dukungan dari tujuh perusahaan atau kelompok perusahaan berskala besar yang membeli hak penyebutan diri sebagai "Official Sponsor" Program Promosi TTI, yaitu Argo Pantes, PT Astra International, Bank Central Asia, Bank Dagang Negara, Barito Pacific Timber Group, Dharmala Group, dan Sinar Mas Group. Dengan sejumlah dana yang sangat terbatas itu, Panitia Pelaksana Promosi TTI hersama Kedutaan Besar Rl di Amerika Serikat dan The American lndonesian Chamber of Commerce, mempersiapkan dan menyelenggarakan serangkaian kegiatan Promosi TTI dengan hasil yang cukup memuaskan. Mulai tanggal 23 September hingga 3 Oktober 1991, Menteri Muda Perdagangan untuk ketiga kalinya akan memimpin rombongan pengusaha Indonesia ke Amerika Serikat. Pada bulan Februari 1992, untuk keempat kalinya akan memimpin rombongan Promosi TTI untuk meningkatkan peluang ekspor non-migas Indonesia. Kata orang bijak, perjalanan seribu mil dimulai dengan ayunan langkah pertama. Dan langkah-langkah pertama kita, telah dlayunkan pula! Apa yang dapat dan harus kita lakukan sekarang? Bila perjalanan Promosi TTI di akhir bulan September ini terlalu sempit untuk mempersiapkan partisipasi Anda, catatlah Promosi TTI di bulan Februari 1992 nanti. Kepada para pengusaha Indonesia yang berusaha dalam skala besar, menengah, ataupun kecil, Departemen Perdagangan/BPEN mengajak Anda semua untuk maju bersama! Untuk menggunakan hak membantu dan dibantu, untuk membangun Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. ... PERUSAHAAN BESAR PERLUKAN STRATEGI KEHUMASAN UNTUK IKUT MENGATASI KESENJANGAN SOSIAL "Tantangan yang harus diatasi untuk mampu memasarkan TTI di luar negeri adalah kemampuan untuk memasarkannya terlebih dulu di lndonesia. Pada saat itulah baru disadari betapa pentingnya strategi kehumasan untuk berkomunikasi dengan berbagai khalayak sasaran," demikian penjelasan Matari Inc. yang diminta membantu pelaksanaan TTI. Untuk mengetahui latar belakang dan kiat TTI selanjutnya, berikut adalah wawancara Tim Pariwara dengan Ken T. Sudarto dan Wisaksono Noeradi. Tanya (T): Bagaimana asal muasalnya keterlibatan Matari Inc. dengan TTI? Jawab (J): Awal tahun 1990 Menteri Muda Perdagangan melalui Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) mengundang pendapat Matari Inc. mengenai kemungkinannya membantu upaya pencarian dana (fund raising) US$ 350 ribu sebagai "matching fund" American Indonesian Chamber of Commerce (di New York) bersama Kedutaan Besar Rl di Amerika Serikat untuk mengumpulkan dana dari perusahaan-perusahaan di sana. Dana diperlukan untuk membiayai kegiatan TTI yang akan diluncurkan bersama Grand Opening "Festival of Indonesia" atau Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada tanggal 16 September 1990. Dalam menghadapi masalah nasional ini, Matari Inc. merasa perlu untuk "think big," dan menyampaikan gagasan yang dilengkapi pelaksanaan promosinya, untuk mengumpulkan dana US$ 3,5 juta! Sekalipun gagasan ini merupakan kejutan bagi BPEN, namun Matari Inc. melalui usulan berbagai tindak strategis berhasil meyakinkan dan membuktikan bahwa gagasan tersebut memang feasible. Dana yang ditargetkan itu kini memang belum seluruhnya tercapai, tetapi yang terkumpul telah memungkinkan Panitia Penyelenggara TTI dengan bantuan Matari Inc. (dalam hal ini Sudarto & Noeradi, Konselor Kehumasan dan Komunikasi Korporat) melaksanakan semua kegiatan TTI hingga Oktober 1991. T: Menurut pengamatan dan berdasar pengalaman membantu melaksanakan kampanye TTI, apa tantangan yang dihadapi? J: Harus disadari bahwa khalayak sasaran TTI yang utama di Indonesia adalah 1) media massa, 2) pengusaha berskala besar (konglomerat), dan 3) pengusaha berskala menengah maupun kecil. Dukungan media massa diperlukan untuk memperoleh publikasi secara intensif dan berkesinambungan. Tantangan yang dihadapi adalah kemampuan untuk mempertahankan sekaligus meningkatkan minat dan simpati tokoh-tokoh media massa terhadap TTI. Dukungan para pengusaha besar diperlukan untuk memperoleh pengertian dan peran sertanya. Tantangan yang dihadapi adalah kemampuan untuk mengatasi sikap masa bodoh (apathy) dan kecurigaan para pengusaha berskala besar bahwa TTI adalah "todongan" bentuk baru. Dalam hubungan ini, patut kita ingat bahwa para pengusaha berskala besar memang selalu menjadi bulan-bulanan berbagai jenis sumbangan yang menimbulkan kejengkelan. Dukungan para pengusaha berskala menengah maupun kecil diperlukan karena TTI adalah untuk kepentingannya, yaitu dengan bantuan BPEN meraih peluang ekspor non-migas. Tantangan yang dihadapi adalah kemampuan mengatasi sikap tidak peduli dan rasa tidak percaya para pengusaha berskala menengah maupun kecil terhadap manfaat TTI baginya. T: Apa kiranya yang menyebabkan keragu-raguan para pengusaha berskala besar untuk menyambut ajakan dan uluran tangan TTI? J: Berlainan dengan rekan-rekannya di negara-negara lain, para pengusaha berskala besar Indonesia pada umumnya belum mempunyai program komunikasi jangka panjang secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan bagi perusahaannya. Hal ini adalah karena program komunikasi korporat kehumasan belum dianggap perlu, apalagi dianggap strategis dan penting! Selain itu, petugas yang menangani kehumasan sering tidak lebih tinggi dari manajer tingkat menengah yang dengan sendirinya tidak diberi wewenng mengambil keputusan, ataupun tidak memiliki akses langsung dengan pimpinan puncak perusahaan. Segala jenis bantuan berupa sumbangan maupun sponsorship, dilakukan tanpa mengaitkannya dengan strategi komunikasi korporat. Bantuan atau "partisipasi" itu bersifat sporadis, tidak terencana, amat reaktif, sekadar menghindari kejaran permintaan sumbangan, atau untuk menyenangkan seseorang yang secara langsung menentukan hitam putihnya kelangsungan bisnisnya. Selama menganggap bahwa bantuan adalah suatu gangguan (nuisance) atau pajak sosial, dan bukan peluang untuk dapat dimanfaatkan bagi program komunikasi korporat, maka para pengusaha berskala besar dengan sendirinya tidak akan pernah dapat berperan sebagai mitra Pemerintah untuk secara efektif ikut mengatasi kesenjangan sosial. T: Apakah penerapan strategi kehumasan yang terpadu untuk Indonesia maupun untuk Amerika Serikat juga perlu dikoordinasikan demi kelancaran TTI? J: Strategi kehumasan TTI terdiri dari dua sisi. Satu sisi ditujukan ke Indonesia (karena memerlukan dukungan dan partisipasi masyarakat), dan sisi lain ditujukan ke Amerika Serikat (sebagai negara yang menjadi sasaran TTI). Sudah barang tentu demi kelancaran dan keberhasilan promosi, kedua sisi strategi itu harus dipadukan. Keduanya harus saling mendukung, tidak berjalan sendiri-sendiri. Ibaratnya untuk mencuci tangan kiri, diperlukan tangan kanan. Bila tidak dapat dijangkau tangan kiri, maka tangan kananlah yang ditugasi. Demikian sebaliknya. Demi efisiensi, seyogyanya hanya satu konsultan yang ditugasi untuk menyusun usulan strategi kehumasan dan periklanan untuk Indonesia maupun untuk negara sasaran. Konsultan yang ditugasi tentu akan melakukan kerjasama transriasional bila lingkup tugasnya melampaui batas-batas negaranya. Dengan demikian pemrakarsa atau penyelenggara tidak perlu dibebani tugas untuk melaksanakan koordinasi perumusan strategi kehumasan dari dua (atau lebih) konsultan yang usulan kegiatannya belum tentu saling mendukung. Panitia Penyelenggara TTI sudah dua kali menyelesaikan kegiatannya di Amerika Serikat, pada akhir September ini akan melaksanakan kegiatannya yang ketiga, dan di bulan Februari 1992 kegiatan yang keempat. Kegiatan selanjutnya tergantung kepada tanggapan perusahaan-perusahaan besar, menengah maupun kecil di Indonesia menyambut ajakan Menteri Muda Perdagangan, yaitu "maju bersama meraih peluang ekspor nonmigas Indonesia!" ... PERKEMAHAN BERTUJUAN UNTUK MEMBANTU DAN MENGEMBANGKAN POTENSI PENGUSAHA KECIL DAN MENENGAH INDONESIA Pengusaha kecil menengah bagaikan tunas menunggu mekar. Perlu upaya bersama untuk membuatnya tumbuh dan berkembang. Bagi PT Astra International, bekerjasama dengan industri kecil atau menengah sebagai bagian dari komunitas industri adalah suatu keharusan. "Kita tidak mungkin membangun pabrik untuk seluruh komponen. Karena itu secara strategis Astra harus ikut serta membangun komunitas industri ini. Bahan baku yang tersedia untuk membangun komunitas industri ini adalah the available small-medium enterprises di Indonesia," begitu ujar Palgunadi T. Setyawan, Vice President Corporate Public Affairs PT Astra International di majalah periklanan dan kehumasan Cakram. Tentu, banyak perusahaan kecil dan menengah yang tidak cukup siap untuk menjadi mitra sejajar perusahaan kelas kakap semacam Astra itu. "Karena itu kami melakukan pembinaan industri kecil. Bukan karena belas kasihan. Tapi kami laksanakan hal itu untuk survival kami di masa depan," tuturnya. Apa yang dilakukan Astra itu menurut Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBl) merupakan suatu hal yang umum terjadi di negeri. Bagi perusahaan besar jauh lebih menguntungkan menerima pasok dari perusahaan-perusahaan menengah dan kecil daripada harus mengerjakan sendiri. Pabrik utama umumnya hanya memproduksi 25 persen dari total komponen. Sisanya dikerjakan oleh industri kecil dan menengah. Korea, Taiwan dan Jepang merupakan contoh bagaimana perekonomian negara ditunjang oleh perusahaan-perusahaan semacam itu. SMALL BUSINESS ACT Beda halnya di Indonesia, di mana pengusaha kecil menengah masih sering jalan di tempat. Kenyataan semacam ini pula yang nampaknya melahirkan sentimen publik dan melahirkan issue tentang kesenjangan sosial. "Hal ini terjadi karena masih sulitnya pengusaha kecil dan menengah memperoleh kesempatan," ujar Christianto. Pemerataan kesempatan berusaha kepada pengusaha kecil- menengah, kepada pendatang baru, serta dibukanya entry barrier, tentunya dapat mendorong mereka lebih berprestasi. Di sinilah pentingnya undang-undang yang disebut Small Business Act itu. Di mana perlindungan hukum yang fair diberikan kepada pengusaha kecil dan menengah untuk bisa ikut berkiprah dalam kegiatan bisnis di Indonesia. Masalahnya, institusi yang membantu pengembangan pengusaha kecil-menengah inl memang belum terwujud. Meskipun Pemerintah nampaknya sudah siap melangkah ke sana. "Pemerintah sedang menyiapkan undang-undang mengenai perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah," ujar Presiden Soeharto dalam sambutan kenegaraan 16 Agustus lalu. Di Amerika Serikat, lembaga yang mengurus perusahaan kecil-menengah ini langsung di bawah Presiden, setingkat dengan menteri. Di Jepang berada di bawah koordinasi MITI. "Lembaga semacam ini harus betul-betul kuat dan punya gigi. Paling tidak, harus bisa setingkat Menteri Muda" ujar Christianto. PERUSAHAAN KECIL-MENENGAH ANDALAN (PERKEMAHAN) PDBI sejak tahun lalu sudah aktif memikirkan masalah ini. Didukung oleh 16 perusahaan besar yang menyadari pentingnya mengembangkan perusahaan kecil-menengah andalan di Indonesia, maka lahirlah lembaga Perusahaan Kecil-Menengah Andalan, disingkat PERKEMAHAN. Di sini AJB Bumiputera, Asuransi Ramayana, Astra Group, Bank International Indonesia, Barito Pacific Timber Group, Bimantara Group, Dharma Manunggal Group, Harian Bisnis Indonesia, Lippo Group, Matari Inc., MBM Tempo, Modern Group, Multipolar, Panin Bank, Sampoerna Group, Unibank Group, dan Ustraindo Group, menjadi founding members yang mendukung upaya memantapkan jaringan informasi dan pengembangan Pengusaha Kecil-Menengah (PKM) di Indonesia. PERKEMAHAN telah mulai menyusun data bank mengenai PKM, mengadakan seminar dan lokakarya serta melakukan studi perbandingan ke beberapa negara. "Kita bahkan telah memilih tiga pengusaha kecil-menengah teladan, dan mengikutsertakan mereka ke Kongres Pengusaha Kecil-Menengah Sedunia yang ke 17 di Seoul, September 1990," tutur Djukardi Odang, chairman PERKEMAHAN. Dengan upaya semacam ini diharapkan PERKEMAHAN bisa membantu memberikan masukan dalam penyusunan undang-undang perlindungan PKM maupun dalam pembentukan lembaga untuk pelaksanaannya. "Sehingga begitu undang-undang itu selesai, bisa langsung efektif tanpa harus menunggu juklak atau lembaganya," tambahnya. Menmud Perindustrian Tunky Ariwibowo yang ditemui pengurus PERKEMAHAN menunjang upaya ini. Ia menegaskan usaha seperti ini sudah sepatutnya dijalankan oleh pihak swasta. "Seperti halnya pengusaha besar dan menengah, para pengusaha kecil juga harus diberikan kesempatan yang sama untuk bisa berkembang dan menjadi besar", demikian Menmud Perindustrian. Upaya-upaya ini nampaknya semakin penting dalam upaya pemerataan kesempatan berusaha, sekaligus untuk meredam kesenjangan sosial. Karena dengan semakin banyaknya pengusaha kecil- menengah yang mampu menjadi tulang punggung pembangunan, maka pengusaha-pengusaha besar atau konglomerat bisa berkembang di atas pondasi yang kokoh. Hal semacam itulah yang nampaknya mendorong Sinar Mas Group ikut aktif dalam menunjang upaya-upaya pengembangan pengusaha kecil dan menengah di Indonesia. Aktif sebagai anggota Lembaga PERKEMAHAN dan sekaligus menjadi official sponsor program promosi TTI di Amerika Serikat, pilihan semacam ini nampaknya merupakan bagian dari suatu strategi jangka panjang dari Bank International (BII), anak perusahaan Sinar Mas Group. "Kita menyadari perlunya mempersempit kesenjangan sosial. Namun karena kekuatan kita terbatas, maka kita harus melakukannya bersama-sama agar bisa memberikan dampak yang lebih besar," ujar Indra Widjaja, Presiden Direktur BII. Mereka juga siap untuk mendirikan lembaga modal ventura dan anjak-piutang. "Perusahaan anjak-piutang bisa membantu pengusaha kecil- menengah untuk lebih berkonsentrasi dalam sektor produksi dan pemasaran, tidak perlu repot menagih piutang dan melakukan urusan administrasinya. Piutang itu bahkan bisa dijadikan jaminan untuk meminjam uang ke bank," tambah Indra lagi. Sedang mengenai modal ventura, Christianto menunjuk pada suksesnya para pendiri majalah Tempo, yang memperoleh modal kerja dari pemilik modal untuk mendirikan majalahnya. "Jadi ide yang betul-betul bisa dijual sesungguhnya sudah berupa modal yang bisa digabung dengan pemilik modal," ujar Christianto, yang dulu ikut mendirikan Tempo. Sementara upaa untuk mengembangkan PKM terus dilakukan, maka kita berharap undang-undang tentang perlindungan PKM bisa segera dicanangkan. Dengan lengkap, dan meliputi segala aspek dan kegiatan pengusaha kecil dan menengah. Agar tunas-tunas pengusaha kecil-menengah bisa terus tumbuh dan berkembang. Mengharumkan Nusantara tercinta! ... BARITO PACIFIC TIMBER GROUP KELESTARIAN HUTAN UNTUK KELESTARIAN EKSPOR Hutan adalah kekayaan alam yang mampu menghasilkan devisa kedua terbesar setelah inyak dan gas bumi. Dengan menjaga kelestariannya, panen minyak hijau ini bisa diIakukan secara berkesinambungan. PT Barito Pacific Timber Group harus punya kepedulian terhadap kelestarian hutan jika ingin terus menjaga kelestarian hasil ekspornya. Saat ini kelompok usaha perkayuan ini mengekspor hasil hutan yang telah diolah tak kurang dari US$ 600 juta, atau sekitar Rp 1,2 triliun per tahun. Angka yang masih akan terus meningkat lagi di masa mendatang ini tentunya akan mencapai titik puncak dan kemudian menurun jika kelestarian hutan terancam. "Itulah sebabnya mengapa kami ikut dalam upaya penghutanan kembali melalui Hutan Tanaman Industri atau HTI," ujar Joso A.G., Direktur Industri PT Barito Pacific Timber roup (BPTG) baru-baru ini. Dalam membangun HTI ini nampaknya BPTG tidak main-main. Meskipun menurut Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, seperti dikutip oleh Kompas tanggal 24 Agustus, masih belum banyak investor yang tertarik untuk melakukan investasi di HTI. "Masalahnya, selain memerlukan dana yang besar, masih banyak peng usaha yang belum memahami pentingnya pengembangan HTI ini," ujarnya. KELESTARIAN HUTAN BAGI KELESTARIAN INDUSTRI BPTG sendiri mengambil langkah sebaliknya. Kelompok ini mengembangkan HTI dengan luas 300 ribu hektar di Sumatera Selatan. Ini berarti sekitar tujuh kali luas Singapura! Proyek besar ini memang bukan upaya main-main. Sebelumnya BPTG telah menyiapkan tenaga-tenaga profesional yang berpengalaman dalam industri pengolahan hasil hutan. Tenaga tenaga yang berpengalaman di lapangan itu banyak yang dikirim ke luar negeri untuk mempelajari masalah teknis dan manajemen di bidang industri pengolahan kayu terpadu. Pentingnya upaya untuk mengelola hutan dengan manajemen yang lestari memang harus ditunjang dengan ilmu pengetahuan mengenai masalah kehutanan. Ini sangat penting dalam menyediakan pasok hutan untuk jangka panjang. Industri perkayuan di luar negeri kini mengalami kesulitan karena hutan mereka dulu, sekarang sudah habis ditebang. Karena itu BPTG selalu berusaha menjaga kelestarian hutan dengan berpedoman pada ketentuan Sistem Tebang Pilih Indonesia. Misalnya, bagaimana melakukan inventarisasi hutan secara cermat, menyusun master plan untuk beberapa tahun mendatang. Untuk bisa melakukan penghijauan yang optimal juga telah dilakukan penelitian tentang hutan tropis bersama Divisi Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kehutanan, Universitas Pattimura di Ambon. Menjaga kelestarian hutan memang menjadi agenda penting bagi BPTG. Menurut Joso, yang lama berkecimpung dalam kegiatan operasi di hutan, BPTG selalu berusaha melakukan penanaman kembali tanah kosong seperti bekas jalan dan tempat penimbunan kayu sementara. Yang juga penting untuk dilakukan adalah membina peladang berpindah agar mereka mau menjadi petani menetap. "Upaya-upaya ini kami salurkan melalui Program Pembangunan Desa, sehingga masyarakat peladang berpindah itu mau tinggal menetap," ujarnya pula. MENINGKATKAN NILAI TAMBAH Memulai usahanya dengan konsesi Hak Pengusahaan Hutan atau HPH seluas 40 ribu ha di Kalimantan Selatan, di tepi aliran Sungai Barito -- sehingga diperoleh nama Barito Pacific -- BPTG kini sudah tumbuh dan menjadi pemilik konsesi HPH terbesar di Indonesia. Jika dulu mereka masih mengekspor kayu gelondongan ke Jepang, Taiwan dan Korea Selatan, kini mereka telah memiliki industri pengolahan kayu terpadu. "Dengan cara semacam ini hasil ekspor kita memberikan nilai tambah yang lebih besar," ujar seorang pengamat industri perkayuan. Ekspor kayu Indonesia memang menjadi primadonna ekspor nonmigas. Besarnya devisa yang diserap oleh ekspor hasil olahan kayu ini hanya dikalahkan oleh ekspor minyak dan gas bumi. Dengan sekitar 5 juta hektar hutan konsesi, kapasitas tahunan BPTG kurang lebih sebesar 1,7 juta M3 produk kayu lapis dan 200 ribu M3 dalam bentuk sawn timber, moulding dan kayu olahan lainnya. Kapasitas produksl ini berarti 20 persen dari total produksi kayu olahan di Indonesia. Dengan dukungan yang kuat dari Asosiasi Panel Kayu Lapis, saat ini Indonesia telah berhasil menguasai 80 persen dari pasar kayu lapis di dunia. Banyak industri kayu lapis di Taiwan, Korea dan Jepang harus menutup pabriknya karena tak mampu bersaing dengan pasok kayu lapis dari Indonesia. Ini memperlihatkan bahwa industri pengolahan perkayuan terpadu telah terbukti menjadi asset penting untuk bersaing di pasar mancanegara dan menghasilkan devisa bagi negara. MENUMBUHKAN PEREKONOMIAN Dl TEMPAT TERPENCIL Selain devisa, industri perkayuan ini juga menciptakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat. Industri pengolahan kayu terpadu yang tumbuh di daerah-daerah ini ternyata juga ikut mendenyutkan perekonomian masyarakat setempat. Sebelum BPTG berkiprah di Pulau Mangole, misalnya, pulau itu hanya satu dari sekian banyak pulau yang sunyi di Kepulauan Maluku. Namun sejak BPTG beroperasi dalam pengelolaan hutan dan industri pengolahan kayu terpadu, pulau sunyi yang terpencil di gugusan kepulauan Maluku Utara itu kini berubah dengan drastis. Kota kecil Falabisahaya di Pulau Mangole telah tumbuh menjadi kota yang penuh aktivitas. Ribuan karyawan nampak sibuk bekerja untuk menghasilkan devisa bagi negara. Penerangan listrik yang bagi banyak daerah di Indonesia Timur masih merupakan barang mewah, menyala benderang di Pulau Mangole. Begitu pula deretan bank dan pasar yang ramai memperlihatkan bahwa kota kecil itu telah tumbuh beriringan dengan berkembangnya usaha kehutanan dan industri pengolahan kayu terpadu di pulau yang terpencil itu. Hal yang scrupa juga bisa kita saksikan di Sindangoli, Halmahera. Bahkan kegiatan operasi BPTG di daerah-daerah semacam itu mampu meningkatkan pendapatan pajak Pemerintah Daerah, yakni Pajak Bumi dan Bangunan. Maka, masuk akal kalau disebutkan bahwa menyebarnya industri ke Indonesia Bagian Timur yang memang memiliki persoalan rendahnya pendapatan asli daerah, sangat mendukung program pengembangan daerah-daerah terkebelakang. Usaha padat karya untuk menghasilkan devisa bagi negara ini ternyata juga ikut ber- jasa menumbuhkan perkembangan ekonomi di daerah terpencil di Indonesia Bagian Timur. Menjadi salah satu yang terbesar dalam industri perkayuan tidak membuat BPTG berniat untuk melakukan segala-galanya. "Kami juga ikut memberikan kesempatan berusaha bagi sekian banyak pemasok untuk kegiatan operasi kami," tutur Joso dengan mantap. Ia juga mencontohkan bagaimana perdagangan di kemahkemah operasi kayu BPTG tumbuh dengan cepat. Masyarakat di pedalaman pun akhirnya memperoleh kesempatan untuk dapat memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya dengan harga yang relatif lebih murah dibanding sewaktu daerah itu hanya merupakan tempat yang sepi dan kekurangan sarana transportasi maupun komunikasi. TUMBUH MAJU DAN BERKEMBANG BERSAMA Ikut mengenyam perkembangan yang membanggakan dalam era pembangunan ini tidak menjadikan BPTG terlena dalam kegiatan usahanya. Seperti sosok pohon besar di hutan, BPTG juga harus membawakan perannya sebagai pengayom komunitasnya. Itulah sebabnya BPTG juga merasa tergugah untuk ikut serta mendukung usaha-usaha Pemerintah dalam menunjang kesejahteraan sosial dan pemerataan kesempatan untuk ikut tumbuh maju bersama bagi masyarakat luas Indonesia. Sejak awal BPTG berkehendak hanya terjun pada industri hulu. "Sebaiknya industri hilir dikembangkan bersama-sama secara terkait dengan pengusaha lain," kata Joso. Misalnya dengan melakukan usaha patungan dengan berbagai perusahaan lain. Dengan demikian program keterkaitan usaha yang dianjurkan Pemerintah sekaligus dapat dilakukan. UPAYA BERSAMA MERAIH PELUANG EKSPOR NON MIGAS BPTG juga merasa tergugah untuk Ikut berpartisipasi pada upaya Menteri Muda Perdagangan dan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) melalui Program Trade, Tourism and Investment (TTI) membantu pengusaha menengah dan kecil untuk meraih peluang ekspor non-migas di pasar Amerika dan negara-negara lain. "Dengan senang hati kami mendukung usaha semacam ini, karena dengan menyatukan upaya bersama semacam ini dampak yang ditimbulkan akan jauh lebih besar," ujar Joso kepada tim Pariwara ini. Mungkin itulah yang menyebabkan BTPG merupakan salah satu pendukung yang pertama dari Program TTI dengan menjadi " Official Sponsor" dari upaya promosi perdagangan, pariwisata dan investasi di mancanegara. Suatu upaya agar pengusaha menengah dan kecil Indonesia dapat juga menjangkau pasar internasional dan kemudian meneguk manfaat untuk tumbuh dan berkembang bersama. "Karena itu sudah sepatutnya bila semua kelompok pengusaha besar menggunakan hak mereka untuk ikut berpartisipasi dalam mendukung upaya Menteri Muda Perdagangan ini," ujarnya, "Sebab bukankah keadaan di mana hanya sekelompok perusahaan besar yang berkembang dan maju dengan cepat sendiri akan menimbulkan kesenjangan sosial bila tidak diringi dengan ikut majunya banyak perusahaan menengah dan kecil?". Sesuai dengan filosofi BPTG yang selalu ditekankan oleh Prajogo Pangestu pendiri dan boss, untuk meningkatkan devisa melalui produk-produk yang memiliki nilai tambah, serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekaligus menguasai manajemen pengelolaan hutan terpadu, BPTG menyambut gembira himbauan Menteri Muda Perdagangan untuk berpartisipasi dalam upaya membantu perusahaan kecil dan menengah meraih peluang ekspor non-migas. "Persaingan ekspor di pasar global kian berat untuk ditembus," ujar Joso. Karena itu sangat diperlukan upaya bersama yang terkordinasi untuk mencapai hasil yang optimal. Mengembangkan usaha kehutanan adalah bagai peladang yang wajib menanam tanaman yang ingin dipanennya. Hanya dengan menjaga kelestarian hutan, maka ladang yang hijau bisa terus dipanen untuk jangka yang panjang secara berkesinambungan. Dan tanggung jawab semacam ini sudah sepatutnya dipikul oleh BPTG yang selalu ingin tumbuh dan berkembang, memacu sustainable development growth bersama masyarakat dan komunitas industri yang seirama dengan kegiatannya. Dan itulah bagian dari sumbangan yang ingin diberikan kepada bangsa dan negara. ... PT MANTRUST BERSAMA MASYARAKAT NELAYAN DAN PETANI MENINGKATKAN EKSPOR IKAN TUNA KALENG DAN JAMUR CHAMPIGNON BERKUALITAS TINGGI KE MANCANEGARA Berusaha adalah hak setiap manusia. Namun ikut menebar benih kemakmuran sambil menangguk devisa ekspor adalah suatu upaya yang patut untuk disyukuri. Untuk mendongkrak ekspor nonmigas perlu kerja keras, kreativitas dan keuletan. Hal itu ditekankan sekali oleh Tegoeh Soetantyo, Direktur Utama PT Management Trust (Mantrust). "Hal itu mutlak harus dilakukan karena kita punya banyak konkuren di pasar luar negeri," ujar ayah dua orang anak yang masih nampak enerjik di usia tujuh puluhan itu. Ia sangat menyadari adanya persaingan yang keras di pasar luar negeri. Di Amerika Serikat, misalnya untuk ekspor ikan tuna kaleng, pemeriksaan Food and Drug Administration (FDA) sangat ketat. "Namun kita sendiri bisa membuktikan bahwa kita bisa mengekspor dengan lancar," ujarnya. Di tahun lalu nilai ekspor ikan tuna yang dilakukan PT Mantrust sudah senilai US$ 120 juta. "Bahkan di tahun 1992 kita merencanakan sudah bisa mengekspor sekitar lima sampai enam juta case," sambungnya. Ikan tuna kaleng ini antara lain diekspor dengan merek "Chicken of the Sea". Melonjaknya nilai ekspor untuk komoditi non-migas tentu sangat menggembirakan. Di tahun 1982, ekspor nonmigas Indonesia hanya senilai US$ 3,9 miliar, sedang 80 persen pendapatan dari keseluruhan total ekspor berasal dari sektor migas. Di tahun 1990, ekspor nonmigas melonjak menjadi US$ 14,6 miliar, yang berarti 58 persen dari keseluruhan perolehan devisa. Persentase ini tidak perlu diragukan lagi pasti akan menjadi lebih besar jika tidak terjadi windfall akibat naiknya harga minyak bumi secara tiba-tiba di semester kedua tahun 1990. Untuk terus menggenjot volume ekspor ternyata masih banyak kendala menghadang. Seperti belum tercapainya persetujuan Uruguay Round, persetujuan mendasar dalam General Agreementon Tariffs and Trade (GATT) pun masih panjang perjalanannya. Di sisi lain, proteksionalisme juga mulal mewarnai perdagangan internasional. Semuanya ini menjadikan berdagang di pasar global betul-betul suatu hal yang menuntut kerja keras, kreativitas dan keuletan. Untuk merebut pasar ekspor, T. Soetantyo menugaskan Jim Wiryawan selaku Direktur Ekspor dan Marketing PT Mantrust di Jakarta. MENINGKATKAN KUALITAS EKSPOR. Jika berniat masuk ke pasar internasional maka karakteristik pasar perlu dipahami dengan baik. Setelah itu, kualitas produk dan harga menjadi sangat penting untuk memenangkan persaingan. Kualitas menjadi sangat penting untuk menumbuhkan citra negara asal produk. "Kalau salah satu dari produk yang dikirim dari Indonesia diafkir di luar negeri, bukan hanya pabrik yang mengekspor yang masuk daftar hitam, tetapi semua produk yang sejenis dari Indonesia," ujar T. Soetantyo. Ia mencontohkan apa yang terjadi pada ekspor kodok dan udang yang pernah mengalami kesulitan karena hal seperti itu. Karena itu Pemerintah diharapkan bersikap keras dalam menjaga kualitas komoditi ekspor ini. "Lebih keras lebih baik. Karena kita, harus bersaing dengan negara-negara lain. Misalnya dengan RRC, kita bisa lawan karena kualitas kita lebih baik dan memenuhi persyaratan FDA yang sangat ketat," tambah Direktur Utama perusahaan yang senang "turba" melakukan inspeksi langsung ke bawah itu. Memahami pasar juga menjadi sangat penting dengan munculnya blok-blok perdagangan, kuota, hingga gerakan konsumen dan lingkungan hidup. Salah satu kiat PT Mantrust untuk mengamankan pasok penjualan ikan tuna di Amerika Serikat adalah dengan mengakuisisi Van Camp, sebuah pabrik pengalengan ikan. Dengan cara seperti itu, PT Mantrust sudah bisa menjadi nomor dua dalam menjual ikan tuna di AS. Bahkan PT Mantrust merasa yakin bisa menyerap seluruh hasil ikan yang ditangkap di Indonesia. Walau dalam kenyataannya ternyata masih banyak ikan tuna beku yang diekspor ke Thailand. Ini ternyata ikut menjadikan Thailand sebagai contoh sukses dalam mengekspor ikan seperti yang ditulis oleh Dr. Douglas Lamont dalam bukunya Winning Worldwide: Strategies for Dominating Global Markets. MENINGKATKAN UPAYA BERSAMA Kenyataan semacam ini tentu sangat memprihatinkan mengingat Indonesia memiliki kawasan laut yang lebih luas dibanding Thailand. Karena itu sebaiknya Pemerintah mengatur agar ikan yang ditangkap di perairan Indonesia diproses di Indonesia dan kemudian banu diekspor. "Karena dengan mengekspor ikan yang dikalengkan akan memberi nilai tambah yang lebih besar," ujar seorang pengamat industri perikanan di sela-sela seminar Dr. Douglas Lamont. Untuk sepenuhnya bisa menguasai pasar internasional nampaknya diperlukan suatu upaya bersama. "Apa yang dilakukan oleh Asosiasi Kayu Lapis merupakan contoh baik yang bisa menjaga harga berdasarkan kuota penjualan ke luar negeri," ujar T. Soetantyo yang juga sibuk mengembangkan ekspor agrikultur itu. Meski pun begitu ia juga menekankan untuk tetap bersikap hati- hati agar tidak dicap sebagai monopoli di luar negeri, karena ini juga bisa membuat repot. Memang, adanya gerakan dan tuntutan dari serikat buruh, konsumen dan NGO (Non-Governmental Organization), nampaknya menjadi salah satu agenda yang harus dipertimbangkan oleh eksportir Indonesia. Tuntutan semacam ini nampaknya akan terus bergaung seiring dengan berkembangnya isu-isu lingkungan hidup, hak asasi, serikat buruh untuk suatu komoditi tertentu, maupun hal-hal lain yang bersifat politis. "Hal-hal semacam ini memang harus diantisipasi dengan baik," ujar T. Soetantyo. Misalnya saja Gerakan Hijau di Amerika Serikat bisa mendorong konsumen untuk melarang membeli produk yang ini atau yang itu. "Mereka pernah datang ke tempat kita, untunglah produk kita dianggap baik sehingga kita justru memperoleh sertifikat dari mereka," tambah tokoh pengusaha senior yang senang berada di alam sejuk pedesaan itu. MENEBAR BENIH KEMAKMURAN Kecintaannya terhadap masyarakat dan lingkungan kehidupan di pedesaan nampaknya telah mendorongnya untuk ikut menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat banyak. Ia menolak tawaran untuk mengelola onderneming besar namun lebih meningkatkan upayanya untuk membangun suatu Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang melibatkan banyak petani plasma. Salah satu usahanya yang melibatkan masyarakat untuk mengembangkan komoditi ekspor bisa dilihat di Dataran Tinggi Dieng. Saat ini tak kurang dari 1500 KK ikut serta sebagai petani plasma. Bersama-sama dengan perkebunan inti, mereka bisa menghasilkan 80 ton jamur champignon setiap harinya. "Kami menargetkan produksi jamur dari perkebunan inti maupun plasma menjadi 200 ton per hari," ujar Hindarto Setiono, General Manager PT Dieng Djaya yang mengelola kegiatan agribisnis PT Mantrust di Dieng. Saat ini saja ekspor jamur yang dilakukan ke mancanegara telah menghasilkan devisa sebesar US$ 120 juta setahun. Angka ini tentu akan melonjak drastis jika target untuk meningkatkan produksi itu dapat dicapai. "Kami yakin target itu bisa dicapai karena teknologi maupun sarana yang kami miliki sangat mendukung," ujar alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu. Padahal berkebun jamur bukanlah gampang. Perlu rumah-rumah khusus yang terjaga suhu, kebersihan, maupun kadar kelembaban udaranya. Jika suhu atau kelembaban udara tidak sesuai maka akan muncul bercak-bercak pada jamur, yang berarti jamur itu tak bisa dipasarkan. Kebersihan juga sangat penting untuk menjaga kualitas jamur agar bisa bersaing di pasar internasional. Ini menjadikan setiap petani plasma maupun karyawan PT Dieng Djaya harus betul-betul disiplin. Hasilnya, jamur dari Dieng ini bisa ditemukan dalam merek tersohor "Green Giant" dan beberapa merek lainnya untuk pasar Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. "Mendidik karyawan dan petani plasma agar bisa disiplin merupakan tugas berat yang harus kami lakukan," kenang Ir. Hendro Harijogi Poedjono yang menjadi Kepala Unit PIR di Telaga Merdada. Maklum, sebagai petani atau buruh tani biasa di desa, masyarakat umumnya belum terbiasa dengan disiplin maupun keharusan menjaga kebersihan yang ketat. "Petani di desa kan biasanya lebih santai, asyik bekerja sambil merokok," ujar Hendro. Padahal itu tak lagi bisa mereka lakukan. Bahkan pada malam hari, jika suhu turun drastis, mereka harus mengubah aliran udara di shed, tempat mereka mengembangkan jamur. Tak heran dalam memilih peserta PIR biasanya hanya sekitar 50 persen saja yang betul-betul bisa bertahan untuk hidup dan bekerja dengan penuh disiplin. Mereka yang akhirnya betah sebagai petani plasma jamur ternyata mampu untuk mengembangkan irama kehidupan yang penuh kedisiplinan. "Ini membuktikan bahwa orang Indonesia ternyata bisa juga hidup disiplin dan menjaga kebersihan," ujar Hindarto. JAMINAN PT DIENG DJAYA Petani plasma ini atas jaminan PT Dieng Djaya memperoleh pinjaman dari bank untuk sebuah rumah ukuran T36 dan dua buah shed. Mereka memperoleh bibit dari perusahaan yang harganya diperhitungkan pada waktu menjual jamur ke pabrik. Dalam waktu tujuh tahun atau bisa juga lebih cepat jika produksinya baik, maka rumah maupun kedua shed itu menjadi milik petani. Hasil produksinya bisa tetap dijual ke pabrik PT Dieng Djaya. "Dengan demikian petani bisa juga sekaligus menjadi tauke," ujar Tegoeh Soetantyo sambil tertawa. Yang juga menggembirakan Tegoeh Soetantyo adalah kenyataan bahwa PIR Jamur ini dikelola oleh insinyur-insinyur muda Indonesia. "Kami tidak membeda-bedakan mereka," ujar Hindarto Setiono. "Mereka yang memang berprestasi akan memperoleh kesempatan untuk memperoleh promosi," tutur mantan pencampur saus dan cengkeh di sebuah perusahaan rokok kretek yang sejak satu dasawarsa yang lalu bergabung dengan PT Dieng Djaya. Bersama masyarakat PIR Jamur, PT Dieng Djaya ikut mendenyutkan kehidupan di dataran tinggi yang dingin itu. Antena TV nampak bermunculan di antara permukiman petani PIR, mereka juga bisa memperoleh layanan kesehatan yang disediakan oleh perusahaan. Sedang bagi anak-anak petani juga disediakan kendaraan untuk ke sekolah. Hikmah lain dari hadirnya industri jamur itu juga dirasakan oleh masyarakat luas di sekitarnya yang mayoritas petani kentang dan kubis. Hasil limbah industri jamur itu kemudian menjadi kompos yang dimanfaatkan oleh petani di sekitarnya. "Kompos ini sangat membantu petani, karena tanah mereka sudah mengalami erosi yang gawat," ujar Hindiarto sambil menunjuk lereng-lereng curam di Dataran Tinggi Dieng yang dijadikan kebun kentang dan kubis. 200 TON JAMUR PER HARI Melihat produksi jamur yang kini dihasilkan dan target untuk meningkatkan produksi jamur hingga 200 ton per hari, usaha yang telah dimulai sejak 1971 memang betul-betul memperlihatkan tekad untuk bekerja keras. Padahal fasilitas jalan ke Dieng saat itu sangat buruk. "Bahkan jip tak kuat menanjak sampai di Dieng Plateau," kenang Tegoeh Soetantyo, yang masa itu harus berjalan kaki ke sana. Tak heran kalau pada masa awalnya usaha ini masih terus merugi. Tapi ia tak pernah mau menyerah. Karena ia punya keyakinan, seperti yang dikatakannya di suatu siang yang sejuk di Dieng. "Dalam kegiatan agribisnis ini kita hanya mengikuti apa yang dianjurkan Pemerintah dan Presiden bahwa kita harus membantu yang lemah. Kita melihat dalam bidang pertanian dan perikanan itu masih banyak yang lemah. Itu sebabnya kita mengikutsertakan petani plasma. Dan kita bisa membuktikan bahwa petani plasma dengan bimbingan yang baik, hasilnya tidak jelek. Bahkan bisa dibilang bagus." Tegoeh Soetantyo memang punya keyakinan yang teguh. Dan ia telah membuktikannya. Untuk ikut menebarkan benih kemakmuran bagi masyarakat yang lebih luas. PT CIPTA CAKRA MURDAYA IKUT BERPERAN SERTA DALAM MENINGKATKAN DEVISA DAN MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA Tak hanya sekadar berdagang dan memperoleh untung. PT Cipta Cakra Murdaya masih berniat meningkatkan devisa bagi negara dan sekaligus menciptakan lapangan kerja. Saat memulai usahanya dengan mendirikan PT Kentjana Sakti di tahun 1969, Murdaya Widyawimarta Poo memulai usahanya sebagai pemasok peralatan elektrik bagi PLN. Diikuti dengan kegiatan perdagangan umum untuk produk penyejuk ruangan, komputer, alat- alat telekomunikasi dan elektronik, saat ini PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) telah menjadi suatu kelompok usaha yang boleh dlbilang besar. Dalam kelompok ini bergabung beberapa nama terkemuka di bidangnya. Seperti PT Berca Indonesia, PT Balfour Beatty Sakti, PT Asea Brown Boveri Sakti, PT Alltrak, PT Sarana Aircon Utama (Carrier), hingga PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI). UPAYA MENINGKATKAN DEVISA Kelompok CCM juga aktif berkiprah di bidang manufaktur dengan memproduksi tiang-tiang beton, KWH-meter, furniture dan plywood manufacture, hingga sepatu olahraga. Sebagian dari kegiatan manufaktur ini ditujukan ke pasar ekspor. Seperti KWH-meter yang diproduksi oleh PT Mecoindo dan PT FujiDarma, mengekspor produksinya ke mancanegara. Selain untuk perolehan devisa, CCM juga ikut mengembangkan industri pengolahan kayu terpadu yang menyerap 300 karyawan di Tarakan, Kalimantan Timur. "Kami memang ingin meningkatkan upaya ekspor ini," ujar Dra. Siti Hartati Tjakra Murdaya, Chairwoman CCM. Karena mereka menyadari bahwa meskipun sukses dalam kegiatan perdagangan dan konstruksi, nampaknya masih terasa ada yang kurang. "Kami merasa pentingnya upaya untuk ikut membantu memasukkan devisa bagi negara, sekaligus untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas", ujar ibu dari dua pasang putra dan putri yang sedang beranjak besar itu. Dan itu nampaknya dilakukan dengan tekad yang boleh dibilang agak nekad. Waktu CCM akan masuk dalam industri sepatu, mereka serupa masuk ke hutan yang masih perawan. "Kami masih tidak tahu apa-apa tentang industri itu. Namun kami tertarik untuk mengembangkannya karena industri ini bersifat padat karya, sehingga bisa menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang," ujar Hartati Murdaya, yang juga menjabat sebagi Presiden Direktur PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) dan PT Nagasakti Paramashoes Industry (NASA). Ia nekad mengontak pimpinan perusahaan sepatu terkenal Nike Inc. di Amerika Serikat, yang bahkan tidak tahu di mana Indonesia terletak. Terpaksalah ia memberikan penjelasan panjang lebar dan menegaskan tekadnya untuk memasuki industri sepatu ini. "Kami akan menyiapkan modal dan tenaga kerja, Anda cukup memberikan bantuan teknis dan menyerap produksi kami. Kalau pun produksi yang kami buat tidak memenuhi syarat atau gagal, biar risiko itu kami yang menanggung. Anda tak perlu menanggung risiko untuk mendirikan industri ini," begitu kurang lebih tantangan yang diajukan oleh Hartati kepada pimpinan Nike di AS. Setelah berunding sekitar dua bulan akhirnya mereka setuju, dan menyarankan untuk melihat industri sepatu yang memproduksi sepatu Nike di Korea Selatan. PT HASI akhirnya memperoleh technical assistance dari Bu Yeung Chemical Industry, suatu perusahaan sepatu terkemuka dari Pusan, Korea Selatan. MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA Di tahun 1988, pabrik yang berdiri di lahan seluas 8,6 hektar di Desa Pasir Jaya, Tanggerang, itu mulai didirikan. Ketika semua peralatan dan bangunan mulai nampak wujudnya, masalah pertama yang harus dipikirkan adalah mencari buruh untuk membuat sepatu. Saat itu bagian personalia pabrik-pabrik di sekitarnya sudah wanti-wanti agar PT HASI tidak membajak buruh mereka. "Akhirnya kami mencari tenaga buruh dari daerah melalui saluran agama Islam, Kristen dan Budha," kenang Hartati. Ia sengaja memintabantuan pemuka agama karena ia percaya mereka yang mempunyai kepercayaan terhadap agamanya tentunya mempunyai akhlak yang baik. Anak-anak muda yang berasal dari daerah itu mempunyai pendidikan yang beraneka rupa mulai dari tamatan SD hingga tamatan SMA. "Namun sebagian besar adalah tamatan SMA," ujar Then Ngim Fu, MBA, Direktur Pengelola PT HASI. Mereka dididik mulai dari nol untuk bisa membuat sepatu Nike yang berkualitas tinggi. Tentu saja ini bukan suatu pekerjaan yang mudah. PT HASI harus membayar "uang sekolah" terlebih dahulu dengan mengirim banyak karyawannya ke Korea Selatan untuk belajar membuat sepatu bermutu. Bahkan setelah mulai berproduksi, beberapa tenaga teknis Korea ditempatkan di Indonesia untuk membantu mendidik anak-anak muda yang sebelumnya belum pernah bekerja di bidang industri. Hasilnya ternyata cukup mencengangkan. Dari tidak tahu apa- apa, pada bulan pertama berproduksi PT HASI telah mampu membuat sepatu Nike yang termasuk kategori mid-end: Setahun kemudian bahkan mereka telah membuat Air Cross Trainer, suatu seri sepatu Nike dalam kelompok "Air" yang sangat terkenal kecanggihannya. Sepatu yang di Amerika Serikat diiklankan oleh pemain basket terbaik AS, Michael "Air" Jordan, itu termasuk kategori high-end dalam jajaran sepatu Nike. "Padahal Thailand memerlukan waktu 12 tahun sebelum mampu memproduksi sepatu jenis ini," tutur Hartati tanpa menyembunyikan rasa bangganya. Namun untuk mengejar volume produksi, pada tahun pertama PT HASI juga memproduksi "Journal" yang sesungguhnya termasuk kategori low-end. "Dengan kombinasi semacam itu, kami kini mampu hanya memproduksi sepatu Nike untuk kategori mid-end dan high-end yang memberikan nilai tambah lebih besar," tambahnya. Investasi untuk sumberdaya manusia, agar mampu memproduksi sepatu yang berkualitas, nampaknya sangat dihayati oleh manajemen PT HASI. Tak kurang dari 4500 dan 5200 karyawan hekerja di kedua perusahaan sepatu CCM itu. Produktivitas karyawan saat ini memang masih rendah dibanding pekerja di Korea. "Di sini sehari setiap karyawan baru mampu membuat satu setengah sampai dua setengah pasang sepatu," ujar Direktur Pengelola PT HASI itu. Sementara pekerja di Korea bisa membuat empat sepatu. Namun ia yakin bahwa produktivitas itu perlahan-lahan akan meningkat. Saat ini dengan tujuh line PT HASI mampu memproduksi 280 ribu pasang sepatu Nike per bulan. Sedang PT NASA yang juga belum memanfaatkan seluruh kapasits terpasangnya, memproduksi 200 ribu pasang sepatu per bulan. Dalam setahun kedua perusahaan itu menghasilkan devisa sebesar US$ 66 juta. "Target kami, agar kedua perusahaan ini mampu memproduksi satu juta pasang sepatu per bulan," ujar Murdaya Widyawimarta Poo, Presiden Komisaris PT HASI. Ini berarti mereka harus memproduksi 12 juta pasang sepatu per tahun. Nike sendiri di pasar global saat ini menjual sekitar 70 juta pasang sepatu setahun. MENCIPTAKAN KESEJAHTERAAN Untuk mencapai target penjualan di dalam mau pun di luar negeri, dilakukan upaya efisiensi dalam pengadaan dan penggunaan material serta meningkatkan produktivitas karyawan. Upaya inl terlihat antara lain melalui pemanfaatan limbah. Potongan-potongan bahan pembuat sepatu yang tak terpakai dikumpulkan kembali dan menjadi bahan bakar untuk menghasilkan uap panas yang diperlukan untuk kegiatan produksi. Ini berarti menjaga kebersihan pabrik, sekaligus menekan biaya produksi. "Kami memang tak ingin menekan biaya produksi dengan menekan upah buruh," ujar Murdaya. la yakin karyawan baru bisa bekerja dengan baik jika kebutuhan fisik minimum mereka sudah terpenuhi dengan baik. Itu sebabnya perusahaan membuat fasilitas untuk kesejahteraan karyawan. Karyawan makan siang bersama di ruang makan berkapasitas seribu orang dan meminum air mineral. Poliklinik dengan dokter yang bertugas sepanjang hari dan ambulans yang selalu siap jika terjadi kecelakaan, bahkan Bank. Yang terakhir ini mendidik karyawan agar belajar menabung dan sekaligus memahami intitusi keuangan modern. "Kami pun memberi gaji di atas upah minimum yang ditentukan oleh Pemerintah," ujar pendiri kelompok usaha CCM itu. Rupanya hal itu cukup manjur. Ketika bulan lalu beberapa pabrik di sekitar PT HASI buruh-buruhnya bergolak dan mogok bekerja, bumh-buruh di pabrik pembuat sepatu Nike itu ternyata tetap tenang bekerja. "Meskipun mereka juga diajak untuk ikut solidaritas melakukan pemogokan," ujar Then Ngim Fu. Suatu bukti bahwa karyawan yang menerima hak-hak mereka tak akan mudah terpancing untuk menimbulkan gejolak. Diberi nama Visakha, sebagai pemeluk agama Budha yang patuh, Hartati Tjakra Murdaya memang mempunyai filosofi yang menekankan pentingnya harmoni. Pentingnya memelihara keseimbangan ini yang kemudian melahirkan tekadnya untuk tidak mengambil terlalu banyak atau terlalu sedikit. "Kita di sini beruntung mempunyai pemimpin seperti Ibu Murdaya yang selalu memperhatikan kesejahteraan karyawannya," ujar Direktur Pengelola PT HASI itu bersemangat. Hartati sendiri yakin dengan semakin terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat, maka kesenjangan sosial bisa dikurangi. Dengan semakin banyak kesempatan bekerja, kemungkinan untuk menciptakan lapisan menengah yang lebih besar akan lebih terbuka. "Karena karir karyawan pasti akan terus berkembang dan membentuk lapisan menengah yang lebih baik tingkat kehidupannya," ujar ibu yang mandiri dan gesit melakukan negosiasi di mancanegara itu. Dari sisi menggenjot produk ekspor, ia merasa birokrasi yang ada saat ini sudah mulai ikut menunjang sektor swasta, meski tetap harus ditingkatkan lagi. "Industri-industri padat karya yang berorientasi ekspor seharusnya diperkuat asosiasinya agar mampu lebih efektif lagi melakukan negosiasi bisnis di mancanegara," harapnya. Ia mencontohkan bagaimana produsen, asosiasi bisnis dan pemerintah di Jepang bisa bekerjasama dengan sinkron dan saling mendukung untuk mempertahankan produk ekspor mereka di pasar global. Ini menjadi penting karena pasar ekspor kini semakin sulit untuk ditembus dengan adanya gejala proteksionisme yang ditimbulkan baik karena tuntutan serikat buruh, NGO (Non Governmental Organization), maupun sebab-sebab lainnya. KOMUNIKASI Komunikasi untuk menjelaskan kenapa produk negara-negara berkembang yang umumnya masih bersifat low-tech sebaiknya diterima di negara-negara maju, harus dijalankan dengan lebih intensif. Contohnya sepatu. Untuk membuat sepatu dengan kualitas highend, tak kurang dari 150 langkah yang harus dilewati. Suatu pekerjaan yang betul-betul padat karya dan sangat cocok bagi orang-orang Indonesia yang memiliki ketrampilan alami dalam pekerjaan tangan. Sebaliknya, kalau dibuat di Amerika yang tenaga buruhnya mahal, maka sepatu itu harganya akan sangat mahal, sehingga akhirnya akan memberatkan konsumen di Amerika juga. Jadi dengan membiarkan barang-barang hasil produksi negara berkembang masuk ke pasar-pasar negara maju, maka konsumen mereka juga yang akan diuntungkan. "Karena itu program Pemerintah untuk mendorong upaya ekspor akhirnya akan berhasil, karena upaya itu sesungguhnya memang didukung oleh realitas yang betul-betul logik," ujar Hartati. Dan itu pula sebabnya kenapa PT Cipta Cakra Murdaya sepenuhnya committed ikut mendukung upaya Menteri Muda Perdagangan dalam menggalakkan program promosi Trade, Tourism and Investment (TTI). Berusaha dan memetik keuntungan memang hak kita semua. Namun ikut memberikan kesempatan berusaha dan maju bersama bagi masyarakat yang lebih luas merupakan kebahagiaan tersendiri. PT Cipta Cakra Murdaya berbesar hati bisa ikut berpartisipasi membantu mengembangkan berbagai upaya untuk menunjang sektor non migas dengan melibatkan lebih banyak lagi pengusaha menengah dan kecil Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus