Seorang murid dikeluarkan karena cuma anak penjual es. Orangtuanya menggugat kepala sekolah. KADANG kala, nasib tak memihak si lemah dan miskin. Inilah yang terjadi atas diri Juniati. Gadis manis berusia 16 tahun ini kebetulan dilahirkan oleh orangtua yang cuma bisa berjualan bakso dan es sebagai sumber nafkahnya. Mereka cuma mengandalkan gerobak dorongnya di emperan Kebun Binatang Surabaya, yang sewaktu-waktu bisa digusur petugas kebersihan. Penampilan Juniati juga sedikit terganggu oleh pengecilan tulang di kaki kanannya. Akibatnya, jalannya sedikit timpang. Namun, ia mengaku masih bisa berlari, asal pelan-pelan. Mestinya, ia sekarang bisa terus bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN) Surabaya. Semua persyaratan juga sudah beres. Uang pendaftaran Rp 124.000 pun telah dilunasi. Orangtua Juniati terpaksa menggadaikan barang- barangnya untuk membayar biaya itu. Juniati juga sudah dua hari masuk sekolah dan mengikuti penataran P4. Juga tak ada larangan bagi orang sedikit timpang seperti dia untuk terus bersekolah di SMEA itu. Otak Juniati juga bukan sekadar pas-pasan. Selama tiga tahun bersekolah di SMP, ia selalu mendapat beasiswa karena prestasi belajarnya yang sangat baik. "Selama di SMP, saya tak banyak mengeluarkan biaya untuk sekolah. Ada yayasan yang menanggungnya," kata Indun, ibu Juniati. Dari prestasinya selama di SMP ini, Juniati bisa meraih nilai ebtanas murni (NEM) 40,97. Angka ini jauh di atas batas minimum penerimaan di SMEAN Surabaya yang cuma 38. Tes IQ juga membuktikan bahwa ia cerdas. Skornya 115. Pokoknya, semua beres. Namun, kenyataan berbicara lain. Cukup dua hari ia merasakan bangku sekolah itu. Juniati mesti angkat kaki. Indun tiba-tiba mendapat surat dari kepala sekolah, Nursjam. Sekolah tersebut ingin membicarakan "informasi tentang penerimaan murid baru pada putri Saudara," demikian tulis Nursjam dalam surat itu. Ternyata, tak ada pembicaraan apa-apa. Menurut Indun, kepala sekolah cuma mengatakan bahwa Juniati harus segera dibawa pulang. "Bangku sudah diisi murid lain," tutur Indun, menirukan ucapan Nursjam. Tak bisa berbuat apa-apa, Indun kontan menangis. Juniati, yang saat itu sedang mengikuti penataran P4, lantas segera dipanggil. Saat itu juga ia diminta pulang bersama ibunya. Ketika Indun mencoba menanyakan ihwal dikeluarkannya putrinya ke guru bimbingan dan penyuluhan, jawaban yang diterima malah lebih menyakitkan hati. "Juniati cuma anak seorang penjual es," kata guru itu. Tanpa banyak basa-basi lagi, uang pendaftaran mereka dikembalikan oleh petugas tata usaha. Bahkan uang itu di serahkan di pagar sekolah. "Saya malu sekali pada teman-teman. Saya disuruh keluar begitu saja dan tak kembali-kembali lagi," kata Juniati. Indun dan Singgih, ayah Juniati, kemudian berupaya untuk memperjuangkan nasib putrinya. Namun, usaha mereka ke Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tak membuahkan hasil apa-apa. Dalam suasana mondar-mandir begini, pasangan Indun-Singgih masih harus pula mencari sekolah pengganti untuk anaknya. Untungnya, ada bantuan dari bekas sekolah Juniati, SMP Santo Yosef, sehingga Juniati bisa diterima di SMA St. Louis II. "Cuma, penataran P4-nya mesti diulang tahun depan," kata Indun. Berhentikah mereka? Ternyata tidak. Urusan ini bakal jadi panjang, sebab Indun dan Singgih merasa perlakuan itu sudah keterlaluan. Mereka mengajukan gugatan lewat Lembaga Bantuan Hukum Kosgoro. Berkas gugatan itu sudah dimasukkan ke Pengadilan Negeri Surabaya, 2 September lalu. "Dasarnya, karena kepala sekolah itu sama sekali tak punya alasan untuk mengeluarkan Juniati," kata Soewandhi, S.H., satu dari tiga pengacara yang akan menangani urusan ini. Nursjam, menurut tim LBH ini, belum pernah mengeluarkan surat resmi secuil pun untuk mengeluarkan Juniati dari sekolahnya. Lebih jauh ia menguraikan, semua persyaratan Juniati untuk masuk SMEA itu sudah terpenuhi. Bahkan ia sudah mendapat seragam sekolah, semua atribut, dan juga buku-buku P4. Juga tak pernah ada peraturan bahwa sekolah itu tak menerima murid cacat. Untuk itu, tim pengacara LBH Kosgoro ini akan mengajukan gugatan sebesar Rp 100.075.000. Seratus juta rupiah untuk rasa kecewa dan malu yang harus ditanggung keluarga itu, sementara Rp 75.000 sisanya untuk menutup kerugian nafkah. Untuk mondar-mandir mengurus perkara ini Indun dan Singgih sempat lima hari tak berjualan. Nursjam, sang kepala sekolah, sempat dua kali diminta datang untuk membicarakan soal ini. Namun, dengan alasan sibuk ia tak pernah muncul. Baru setelah datang surat panggilan ketiga yang dilengkapi dengan berkas gugatan, ia menyempatkan diri datang ke kantor LBH. Nursjam menawarkan perdamaian. "Ia bersedia membayar Rp 100.000 asal perkara ini tak diungkit-ungkit lagi," kata Henry Rusdijanto, S.H., seorang pengacara yang lain. Yang menarik, Nursjam bahkan bersedia membuat pernyataan tertulis di atas segel bahwa ia bersedia berdamai dan menyerahkan uang Rp 100.000. "Dengan sendirinya surat pernyataan itu bisa jadi bukti bahwa ia memang bersalah," tutur Henry lagi. Tentu saja Indun dan Singgih tak menerima tawaran itu. Mereka merasa bahwa perlakuan Nursjam itu sudah amat keterlaluan. Mereka sangat malu diperlakukan dengan cara yang amat menghina seperti itu. Apalagi tawaran damai itu cuma Rp 100.000. "Buat ongkos mondar-mandirnya saja tak cukup," tutur Indun. Dan untuk soal ini, Nursjam masih menutup mulutnya. Ketika ditemui TEMPO, ia tak bersedia berbicara apa-apa, kecuali menyangkal. "Saya tidak tahu-menahu tentang keluarnya Juniati," katanya pendek. Yopie Hidayat dan Laporan Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini