Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desa Masalili di Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, merupakan salah satu kampung tenun yang memiliki kekayaan wastra. Hampir semua perempuan di desa ini mampu menenun. Adalah Sitti Erni, satu dari sekitar 400 perempuan di Desa Masalili yang piawai menenun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan 47 tahun itu belajar menenun secara autodidak. Kuncinya, rajin memperhatikan ibunya ketika menata helai demi helai benang untuk dipintal pada alat tenun berbahan kayu, yang dalam bahasa Muna disebut katai. Berkat kemampuan menenun, Sitti punya uang jajan tambahan. Saban bulan, dia bersama kelompoknya mampu menghasilkan 30 hingga 40 lembar kain dengan motif sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sitti menjelaskan ciri khas tenun Masalili. Dari sisi warna, tenun Masalili berwarna terang, seperti merah, kuning, oranye, ungu, dan hitam. Motifnya terinspirasi dari budaya masyarakat Muna. Motif pokandua misalkan, terinspirasi dari permainan tradisional anak lempar batu dan motif leko yang bentuknya seperti keris khas Kabupaten Muna.
Ada pula motif kamooru berupa garis-garis yang diterapkan pada kain sarung. Masyarakat Muna percaya ketika menenun motif kamooru harus dalam kondisi tenang dan hati yang bersih. Motif benteng kamali bermakna pertahanan hidup, serta motif polanggu yang mencerminkan kehidupan manusia yang terkadang naik dan turun.
Ciri khas lainnya dari tenun Masalili adalah penggunaan pewarna alami. Para penenun menggunakan kunyit untuk menghasilkan warna kuning, daun mangga untuk hijau muda, dan daun jati untuk warna merah. Metode yang diterapkan juga berbeda karena ada yang mempertahankan tradisi menenun dengan katai, dan ada pula yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Harga selembar tenun Masalili ditentukan dari jenis benang, apakah serat alami atau benang sintetis; metode pewarnaan; jenis motif; teknik menenun; dan lama pembuatannya. Jika menenun secara manual, menurut Sitti, pengerjaannya memakan waktu seminggu sampai sepuluh hari, tergantung tingkat kerumitannya. Apabila menggunakan ATBM mampu memproduksi enam lembar kain dalam waktu singkat. "Harganya sekitar Rp 300 ribu sampai jutaan rupiah," katanya.
Seusai produksi, tidak semua penenun menjual tenun Masalili ke distributor. Ada sebagian yang disimpan untuk ditunjukkan saat pameran. Juga ada yang bekerja sama dengan perancang busana kenamaan, sehingga karya tenunnya dapat naik kelas. Sejumlah nama desainer yang menggunakan tenun Masalili dalam karyanya, antara lain Itang Yunasz, Denny Wirawan, Didiet Maulana, dan Defrico Audy. "Mereka sering memesan kain perpaduan motif lama dan baru supaya bisa diterima pasar yang lebih luas," ujar Sitti.
Para penenun kain Masalili tidak berjuang sendiri. Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara turut mempromosikan dan memperluas jangkauan pasar tenun tradisional ini. Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara, Belli Tombili mengatakan, tenun Masalili memiliki kekuatan pada keaslian dan nilai filosofinya. "Nilai-nilai inilah yang membuat tenun Masalili harus kita lestarikan, terlebih tren mode masa kini cenderung pada bahan alami yang ramah lingkungan," kata Belli.
Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara gencar mempromosikan berbagai kegiatan seperti Indonesia Fashion Week, Cita Tenun Indonesia, Sultra Tenun Karnaval yang akan berlangsung pada 7 Desember 2024, pameran yang difasilitasi Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda), dan event internasional lainnya. Yang tak kalah penting, menurut Belli, adalah cerita di balik tenun Masalili. Itu sebabnya, penting bagi para perajin untuk dapat menyampaikan makna setiap kain agar tetap eksklusif dan bernilai tinggi. Belli optomistis masa depan tenun Masalili akan semakin cerah, secerah nuansa yang terpancar pada kainnya.