DENGAN ijazah MBA (Master of Business Administration) di tangan, memang akan lebih banyak pintu peluang terbuka. Dan itu tak hanya di Amerika sana. Di Indonesia pun tampak kecenderungan gelar MBA lebih diunggulkan daripada gelar Drs. "Mereka lebih terlatih untuk menghadapi situasi bisnis sesungguhnya," kata seorang pengusaha besar, "dan karena itu mereka lebih cepat dan tak ragu-ragu mengambil keputusan." Tetapi, itu tidak berarti mereka tak pernah melakukan kesalahan-seperti kata Robert Buzzel dari Harvard di atas. Kecepatan mengambil keputusan memang merupakan salah satu kualifikasi yang dituntut dari seorang manajer. "Terutama dalam situasi seperti sekarang seorang manajer harus cepat bereaksi," kata Tanri Abeng, seorang MBA yang telah berhasil mengemudikan perusahaannya melalui masa sulit dan persaingan yang ketat. Pendidikan MBA, seperti diyakini banyak orang, memberikan keterampilan komplet bagi seorang manajer. Keandalan MBA sebagai syarat mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan memperoleh promosi jabatan, merupakan salah satu penyebab munculnya beberapa fasilitas pendidikan MBA di Indonesia selama tiga tahun terakhir ini. Institut Manajemen Prasetiya Mulya (IMPM) yang didirikan tahun 1982 adalah yang pertama menawarkan program MPA. Kemudian tampil Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) pada 1984. Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM), yang sebenarnya telah merintis sejak 1968, baru 1985 ini melaksanakan program MBA-nya. Khusus di bidang keuangan dan perbankan, mulai 1985 ini pula Bank Duta bekerja sama dengan Golden Gate University menawarkan program MBA in banking and finance. IPMI yang pertama kali berhasil mewisuda MBA-nya pada Agustus yang lalu. Bulan November dan Desember ini secara berturut-turut IPMI, IMPM dan IPPM mewisuda MBA-MBA baru. Kebutuhan mendesak akan tenaga manajer terampil Indonesia saat ini terutama dipacu oleh laju pembangunan nasional yang sudah mencapai tahap yang sangat kompleks. Dari tiga repelita yang telah diselesaikan, pertumbuhan ekonomi nasional tampak menonjol. Pertumbuhan pesat itu ternyata menghadapi masalah dan tantangan yang juga kompleks. Ancaman akibat resesi, merosotnya harga minyak, cepatnya pertambahan penduduk, sempitnya lapangan kerja, kualitas tenaga kerja yang rendah terpacu dengan perkembangan teknologi dan proses industrialisasi. "Tidak ada negara yang underdeveloped," kata Peter F. Drucker, seorang guru manajemen, "yang ada adalah negara undermanaged." Kalau Drucker benar, maka itulah yang dibutuhkan Indonesia secara akut: manajer yang terampil dan mumpuni. Tetapi, berapa manajer yang kita butuhkan? Cresap McCormick, seorang pengamat ekonomi, memperkirakan bahwa kebutuhan akan tenaga manajer sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. IPPM memperkirakan adanya 173 000 manajer di Indonesia pada 1971. Berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi 7% waktu itu, diperkirakan kebutuhan manajer sebanyak 259.500 pada 1976, dan 389.250 orang pada 1981. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah pada saat inipun, berdasarkan proyeksi itu, diperkirakan tambahan kebutuhan tenaga manajer sekitar 30.000 orang setahun. Dari mana kebutuhan itu dapat dipenuhi? Perguruan tinggi di seluruh Indonesia saja setiap tahun hanya menghasilkan 10.000 sarjana. Tak heran bila banyak sekali manajer-bukan-sarjana di Indonesia. Padahal yang namanya fakultas ekonomi hampir selalu ada pada setiap perguruan tinggi. Dan dari fakultas ekonomilah paling banyak dijagakan kemampuan mengisi kebutuhan manajer. Upaya memenuhi kebutuhan tenaga manajer yang berjumlah besar telah ditanggapi secara nyata oleh beberapa lembaga. IPPM (sebelumnya lebih dikenal dengan nama LPPM) telah sejak 1968 melaksanakan sekolah bisnis dalam program pendidikan manajemen jangka panjang Perguruan Tinggi Manajemen. Program-dua tahun ini hanya menghasilkan 32 alumni, dan kemudian dihentikan pada 1971. Kurangnya partisipasi dunia usaha ketika mengakibatkan IPPM "banting setir" ke penyelenggaraan kursus-kursus jangka pendek. Pada 1977 IPPM memulai lagi program embrional MBA yang didadar dalam program 10 bulan Wijawiyata Manajemen. Program itu menghasilkan 287 orang dalam 13 angkatan. Kuliah dilakukan dalam bahasa Indonesia. Siswanto Sudomo, Ph.D., Direktur IPMI, menunjukkan adanya satu "kesalahan" konsep dalam pendidikan bisnis di Indonesia. Business education di sini kebanyakan merupakan bagian dari fakultas ekonomi. Dulu disebut jurusan ekonomi perusahaan, sekarang dinamai jurusan manajemen. Dan di sinilah letak masalahnya," kata Siswanto. Masalah itu mulai tampak nyata oleh Siswanto ketika ia sebagai dosen Universitas Gajah Mada memperoleh grant dari Pemerintah Prancis bersama 3 sarjana Indonesia lainnya dan 2 sarjana Prancis melakukan studi tentang pendidikan manajemen di Indonesia. "Sebagai orang perguruan tinggi saya baru sadar dan terkejut ketika mewawancarai para tokoh bisnis yang merekrut manajer. Rata-rata mereka memang menganggap bahwa lulusan fakultas ekonomi tidak siap pakai dalam kondisi bisnis sebenarnya," tutur Siswanto. Risetnya itu lalu menyimpulkan bahwa pendidikan bisnis tidaklah sama dengan pendidikan ekonomi. "Pendidikan bisnis itu adalah pendidikan multidisipliner yang tidak hanya bergantung pada input ekonomi belaka. Kelemahan pendidikan ekonomi dalam menghasilkan manajer adalah tak adanya input tentang lingkungan bisnis, teknologi, hukum, politik dan sosial," kata Siswanto. Kelemahan yang lain dalam pendidikan ekonomi, menurut Siswanto adalah karena pengajaran manajemen pada undergraduate. "Mahasiswa-mahasiswa undergraduate yang tidak mempunyai keterampilan teknis langsung diajari manajemen. Mereka belajar manajemen dalam ke-vakuman," kata Siswanto. Siswanto agaknya memang sedang langkah kanan. Dalam obsesinya tentang pendidikan bisnis itu ia bertemu dengan Menteri Koperasi Bustanil Arifin yang dengan serta merta memberikan dukungan penuh untuk mewujudkan gagasan pendirian sebuah sekolah bisnis yang profesional. Lahirlah IPMI. Keterlibatan menteri juga menampakkan jejaknya pada pendirian IMPM. Ketika para cukong-cukong besar mengikuti P-4, Menteri Tenaga Kerja Soedomo mengimbau agar para pengusaha juga memikirkan masalah pendidikan bagi manajer terampil. Gayungpun bersambut. Sudono Salim, William Soeryadjaya, Ciputradan kawan-kawan lalu mendirikan Yayasan Prasetiya Mulya Kwik Kian Gie dan Panglay ujung tombak yang kemudian melahirkan IMPM, lembaga pendidikan manajemen yang selain menyelenggarakan program MBA, juga menyelenggarakan serangkaian kursus jangka pendek bagi para manajer dan eksekutif. Semua institut yang menyelenggarakan program MBA menyaratkan pesertanya memiliki jazah sarjana atau sarjana muda ditambah beberapa tahun pengalaman kerja. Secara khusus dapat pula diterima seorang manajer tanpa pendidikan tinggi, asalkan ia menunjukkan track record yang meyakinkan dalam bisnis. Sekalipun harus membayar mahal, ternyata tidak semua, pelamar dapat diterima dalam program MBA. Peserta program MBA disaring secara ketat. "Karena pada dasarnya kami tidak mencetak manajer," kata Drs. Leo Utama, Direktur IMPM," maka kami harus menyaring mereka yang benar-benar memiliki potensi dan kepribadian. Saya yakin, manajer itu tidak dicetak atau dilahirkan, melainkan ditempa dengan pengalaman." Di IPMI proses penyaringan itu menjadi lebih ketat, karena di institut ini dipakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Mereka yang tak punya kemampuan komprehensif maupun ekspresif dalam bahasa Inggris tentu saja tak bakalan diterima. IPMI memang satu-satunya yang memakai bahasa Inggris dalam programnya. "Karena, bagaimanapun, bahasa bisnis itu adalah bahasa Ingris," kata Siswanto Sudomo menyebut alasannya." Para manajer Indonesia juga harus berkomunikasi dengan dunia luar. Kita ingin memberi fasilitas kepada para peserta program kita agar nantinya tidak bengong kalau harus melakukan negosiasi dengan orang asing. Akan sulit bagi seorang manajer yang kurang paham bahasa Inggris untuk mengkonsentrasikan pikiran menangkap substance yang dibicarakan. Lalu, ketika gilirannya berbicara, ia pun akan kesulitan mengungkapkan diri. Tetapi, bahasa Inggris juga bisa menghambat peserta. Leo Utama dari IMPM menyebut bahwa bisa saja peserta menjadi pasif dalam diskusi karena hambatan ini. "Kita justru harus membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa bisnis yang baik di Indonesia," kata Leo. Kalau pesertanya diseleksi secara ketat, tentulah para pengajarnya disaring lebih ketat lagi. "Kalau yang melamar seratus, paling banyak yang bisa diterima hanya tiga," kata Ir. J. Sadiman, Direktur IPPM. "Itupun belum tentu baik hasilnya." Menurutnya, selain IQ yang tinggi, mereka harus punya kepribadian yang kuat dan potensi kemampuan yang baik. Kecuali pada IPMI, memang tidak semua pengajar program MBA adalah MBA. IMPM, misalnya, hanya punya 5 MBA dari 24 staf pengajarnya. Akibatnya, staf pengajar IPMI masih sangat sedikit pada saat ini, sekalipun perimbangannya dengan jumlah mahasiswa masih baik. "Saya percaya bahwa MBA hanya bisa dididik oleh para MBA," kata Siswanto dari IPMI. Mutu tenaga pengajar dan jumlahnya merupakan kendali mutu MBA yang dihasilkan. Di Harvard Business School, mekah-nya pendidikan bisnis di dunia, terdapat 170 tenaga pengajar. Setiap tahun Harvard menerima 700-800 mahasiswa program MBA. di INSEAD Fontainebleau, Prancis, terdapat 50 tenaga pengajar untuk 250 mahasiswa. Sedang di IMEDE, Swiss, terdapat 15 tenaga pengajar untuk 60 mahasiswa. Di Indonesia, pada program-program MBA telah dicapai rasio 1 pengajar untuk 5-6 mahasiswa. IPMI dan IMPM merekrut staf pengajarnya kebanyakan dari para praktisi yang telah berpengalaman. Leo Utama, Direktur IMPM, dulu adalah direktur dari sebuah pabrik farmasi besar. Hadi Satyagraha, pengajar pada IPMI. telah mempunyai kedudukan direktur pada sebuah perusahaan dagang yang besar sebelum bergabung dengan IPMI. Itu berarti bahwa setidak-tidaknya institut-institut pendidikan bisnis ini mampu memberikan gaji yang kompetitis. Tanpa gaji yang memadai, tentu akan sulit bagi institut untuk memperoleh dan mempertahankan staf terbaik. Kiblat adalah hal yang juga tampak jelas dalam pendidikan bisnis program MBA di Indonesia. Banyak orang mengatakan bahwa pendidikan ekonomi di Indonesia kini adalah warisan Belanda. "Di Belanda sendiri kini orang telah membedakan pendidikan bisnis dari pendidikan ekonomi," kata Drs. Kwik Kian Gie, pendiri dan ketua dewan direktur IMPM. "Karena itu misalnya di Universitas Erasmus Rotterdam, selain ada fakultas ekonomi juga ada sekolah bisnis." IMPM memang punya kecenderunqan berkiblat ke Eropa modern. Pada awal desain kurikulumnya, IMPM mendapat bantuan dari Erasmus Universiteit. Selain beberapa profesor dari Erasmus, didatangkan pula beberapa profesor dari Amerika Serikat, antara lain dari Lowell, Arizona State dan Texas A & M University. Para pengajarnya pun telah menghadiri berbagai seminar dan kursus, termasuk di Harvard, untuk meningkatkan keterampilan mengajar pada program MBA. IPMI dari sejak awal keberangkatannya sudah jelas berkiblat ke Harvard Business School. Seluruh tenaga pengajar IPMI - selain juga telah meninjau fasilitas pendidikan bisnis di Swiss, Spanyol, Inggris dan Prancis - memperoleh familiarisasi di Harvard. Harvard pun terus menerus mengirimkan bantuan teknis, termasuk tenaga pengajar, ke IPMI. Sedangkan IPPM, memang sejak semula berusaha konsisten dengan pendidikan manajemen dan bisnis khas Indonesia. "Memang banyak mazhab dalam pendidikan manajemen dan bisnis khas Indonesia. Kami di IPPM menggunakan bauran", kata J. Sadiman. "Sebaiknya kita jangan mengagungkan suatu metoda dan memegangnya sebagai kebenaran mutlak". Bauran yang dimaksud-kannya itu adalah mencuplik yang terbaik. Sadiman menambahkan: "Bauran itu ditujukan agar lulusan kami mempunyai sistem nilai dan etika bisnis yang baik. Kami ingin mencapai tingkat excellent bukan sekadar good." Untuk mendapatkan bauran itu, IPPM mengirimkan staf pengajarnya ke seluruh penjuru dunia untuk mendalami pendidikan manajemen dan bisnis. Saat ini saja ada 18 orang staf IPPM yang mengikuti program gelar di luar negeri. Kiblat itu dengan sendirinya mempengaruhi metoda pengajaran dan pengembangan kurikulumnya. IPMI dan IPPM menggunakan sistem blok, yaitu program penuh selama jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan program MBA. Keduanya memerlukan waktu setahun. Itu berarti bahwa setiap peserta harus lepas dan dibebaskan dari pekerjaannya selama jangka waktu setahun. "Dengan cara ini para peserta dapat menyelesaikan programnya secara terpadu," kata J. Sadiman. Sedangkan Siswanto Sudomo menganggap bahwa program yang tidak berlangsung utuh justru akan merugikan mahasiswa. "Untuk mengembangkan keterampilan manajemen, terjadi efek snowballing dalam periode belajar itu," kata Siswanto. "Kita tak ingin ketinggalan momentum itu dengan memutusnya dan membaginya dalam beberapa potongan program." Tetapi, memang tidak semua eksekutif dapat minta cuti setahun penuh untuk "mengisi baterai". Karena IMPM menawarkan program MBA yang dibagi dalam enam modul: modul dasar, modul keuangan, modul sumber daya manusia, modul pemasaran, modul produksi/operasi dan diakhiri dengan modul pucuk pelingkup. Tiap modul rata-rata berlangsung selama delapan minggu. Cara ini memberi keluwesan kepada mereka yang tidak ingin mengambil gelar. Peserta boleh saja mengambil satu atau dua modul yang diperlukannya. Tetapi, bila ia dapat menyelesaikan keenam modul dalam waktu kurang dari empat tahun, maka ia berhak memperoleh gelar MBA. "Menurut hemat kami," kata Leo Utama, "sistem modul justru agar para peserta dapat mengendapkan apa yang diberinya, dan mempraktekkannya dalam situasi kerja sebelum ia mengikuti modul yang lain." Benang merah yang tampak nyata pada ketiga institut itu adalah digunakannya kasus sebagai metoda pengajaran. Kebanyakan kasus dibeli dari Harvard Business School, sekalipun beberapa institut telah mulai menabung pembuatan kasus dalam negeri. "Sulitnya," kata Sadiman, "banyak perusahaan kita yang keberatan bila kasusnya ditampilkan untuk djadikan bahan bahasan." Intensitasnya saja yang berbeda. Leo Utama mengatakan bahwa tiap modul di IMPM bisa membahas sekitar 60 kasus. Di IPMI, lebih dari 600 kasus diselesaikan dalam program setahun. IPPM, sekalipun tidak menyebut angka, tetapi J. Sadiman menyebut: "Pokoknya kitaj ejali mereka dengan keterampilan sampai merekajenuh dan mengeluh." Keterampilan yang dimaksud adalah berpikir secara analitis. Dari ribuan kasus itu, mahasiswa dapat belajar memahami berbagai kesalahan maupun kiat yang bisa membuat suatu usaha gagal atau berhasil. Kasus itu tentu saja tidak disampaikan dalam bentuk lecturing, tetapi didiskusikan bersama. Staf pengajar yang hadir dalam diskusi hanya menjadi fasilitator saja untuk melancarkan jalannya diskusi. "Metode partisipatif sangatlah penting dalam program MBA," kata Hadi Satyagraha dari IPMI. "Karena kasus itu adalah deskripsi dari suatu situasi bisnis yang sesungguhnya. Jadi, kita membawa realitas ke dalamnya. Lalu kita bersama-sama belajar memecahkan masalahnya. Dan ini merupakan cara mengembangkan keterampilan dalam menganalisis masalah dan membuat keputusan." Hadijuga menyebut bahwa dengan cara "membanjiri" mahasiswa dengan kasus, di harapkan akan terjadi perubahan attitude. "Orang Indonesia ini kan terkenal tukang lempar persoalan. Kalau punya masalah, dilempar ke orang lain. Dan cara ini sudah diakui para peserta kami yang terdahulu. Attitude mereka telah berubah. Sekarang mereka selalu lapar untuk menganalisis masalah dan membuat keputusan. Itu juga sudah jadi ciri yang dikenal sebaga khas Harvard. Orang lulusan Harvard selalu bilang: let me solve your problems, tambah Hadi. J. Sadiman mengatakan bahwa pelajaran dalam bentuk ceramah, pada program MBA, hanyalah sekitar 30-40%. "Kami ini kan bukan guru," kata Leo Utama mewakili para pengajar IMPM lainnya. Institut-institut ini juga mempunyai program mendatangkan pembicara tamu, yaitu para captain of industry, untuk mengemukakan pengalamannya dan mendiskusikan beberapa skenario kemungkinan. Mengikuti program MBA memang bukan soal sepele. IPMI, misalnya, hanya memberi empat minggu libur dalam program setahun. Tiap hari, lima hari dalam seminggu, mahasiswa, harus hadir dari pukul 08.00 hingga 22.00. Makan dan mandi, semuanya dilakukan di kampus. IMPM dan IPPM membuat program sehari penuh, dari 08.00 hingga 16.00. Tetapi peserta masih harus menyelesaikan reading assignment yang banyak di rumah. "Kalau mereka tidak membaca dan tidak mempersiapkan diri, besoknya di kelas mereka tak mampu mengikuti diskusi," kata Leo Utama. Tak heran kalau selama mengikuti program MBA ini banyak peserta yang tak sempat berlibur bersama keluarga, bahkan tak sempat menonton televisi. Beberapa perusahaan memang telah percaya mengirimkan manajer kunci untuk mengikuti program MBA di berbagai institut. Mereka tentu menginginkan peningkatan keterampilan manajernya. "Tetapi, ada satu fallacy yang sering terjadi." kata J. Sadiman mengingatkan. "Banyak manajer yang setelah kembali dari satu program diharapkan dapat langsung mengubah suatu sistem dalam perusahaan. Itu tidak realistis. Eksekutif puncaknya harus berubah dulu, barulah sistemnya bisa diperbarui." kata Sadiman. Program MBA pun bukan sesuatu yang murah. Rata-rata di atas Rp 10 juta. Tentu lebih murah dibanding biaya di Amerika. Tanpa ongkos pesawat dan ongkos hidup, program MBA selama tiga tahun di Carnegie-Mellon ditawarkan dengan harga AS$ 28.000. Program MBA dua tahun di Wharton School, salah satu yang populer di AS, ongkosnya AS$ 40.000. Memperoleh gelar MBA seringkali harus berarti menjual rumah, mengambil pinjaman, bergantung pada istri yang bekerja, atau mengikat diri pada perusahaan yang mensponsori. "Bila Anda hanya butuh tiga huruf MBA di belakang nama Anda, itu adalah alasan terburuk untuk mengikuti program MBA," kata seorang mahasiswa di IPMI yang masih mampu tertawa sekalipun matanya sembab karena kurang tidur. Lalu, untuk apa? Sasaran tepat bagi mereka yang mengikuti program MBA haruslah: peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta perubahan sikap dalam menghadapi bisnis. (BW/HW)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini