SEKITAR lima tahun lagi Amerika Serikat akan memiliki teleskop radio parabola terbesar di dunia - berdiameter 8100 km. Jika kelak terpasang, maka seluruh wilayah Amerika Serikat akan terpayungi oleh teleskop raksasa itu. Padahal, tujuan penggunaannya adalah untuk mengintip kegiatan bintang dan planet di Bima Sakti. Suatu kegiatan yang, barangkali, diremehkan manfaatnya oleh kebanyakan orang awam. Dan itulah yang menjadi dilema para astronom. Mereka memerlukan teleskop raksasa tadi untuk menyibak rahasia di Bima Sakti. Sementara itu, harus dicari alasan yang tepat untuk mendapatkan dana dan tempat bagi teleskop tersebut. Suatu hal yang agak muskil memang. Tapi, untung, kemajuan teknologi elektronik, terutama di bidang komputer, memungkinkan pembuatan sekumpulan teleskop radio kecil yang berfungsi seperti sebuah teleskop besar. Keuntungan pemecahan teleskop besar menjadi beberapa teleskop kecil ini cukup banyak. Selain menghemat biaya dan tempat, sistem ini juga menjadi lebih canggih terhadap berbagai gangguan. Misalnya, gangguan pemancar TV atau radio, dan gangguan yang disebabkan oleh alam, misalnya cuaca. Tapi, dengan terpisahnya letak teleskop-teleskop kecil tadi, jenis gangguan lokalnya berbeda pula. Pada penggabungan sinyal antarteleskop kecil akan terjadi penguatan sinyal asli dan pelemahan sinyal gangguan. Bahwa teknik ini tidak digunakan sebelumnya hanyalah karena ada beberapa kelemahan yang baru dapat diatasi sekarang. Misalnya, perbedaan lokasi menyebabkan sinyal yang berasal dari teleskop-teleskop kecil itu sampai di pusat pengamatan dengan waktu berbeda. Hanya dengan penggunaan superkomputer yang mampu bekerja dengan kecepatan satu trilyun langkah setiap detik dan pemanfaatan jam atom, masalah ini bisa diatasi. Dengan ide dasar seperti itulah Lembaga Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat (National Academy of Sciences = NAS) membangun teleskop radio astronomi terbesar di dunia. Terdiri dari sepuluh teleskop radio parabola berdiameter 25 m yang tersebar di berbagai pelosok AS, hingga membentuk radius lebih dari 8.000 km. Pembangunannya sudah dimulai tahun lalu dan diharapkan selesai pada 1990-an dengan biaya lebih dari Rp 70 milyar. Sistem ini dikenal dengan nama Very Long Baseline Array (VLBA). Pembangunan teleskop raksasa ini bukanlah semata-mata karena selera Amerika yang gemar berbesar-besar. Alasannya: makin besar radius suatu teleskop radio, makin peka kemampuannya menangkap sinyal. Karena sinyal radio yang akan ditangkap berasal dari sekitar 400 milyar benda angkasa di Bima Sakti - yang jaraknya jutaan, bahkan milyaran km itu - maka ukuran teleskop yang diperlukan relatif besar. Selain itu, panjang gelombang sinyal radio yang hendak dideteksi menentukan pula ukuran teleskop yang dipakai. Sebab, untuk dapat memantulkan atau membiaskan gelombang, ukuran teleskop harus relatif lebih besar dari panjang gelombang sinyal yang diintip. Semakin besar ukuran teleskop dibanding panjang gelombang sinyal, semakin canggih teleskop itu. Memang untuk menangkap cahaya, yang mempunyai panjang gelombang dalam orde Angstrom alias satu persepuluh milyar meter, teleskop berdiameter 15 cm saja sudah memadai. Kalau cuma untuk mengintip (cahaya) bintang. Tapi para astronom merasa data yang didapat dengan teropong cahaya ini kurang memadai. Mereka menginginkan juga pengetahuan tentang sinyal radio apa yang dipancarkan benda angkasa itu. Sehingga diperlukan radio teleskop yang dapat menangkap sinyal dengan panjang gelombang meter (atau milyaran kali lebih panjang dari gelombang cahaya tampak). Dan itulah sebab utama lahirnya kebutuhan teleskop raksasa tersebut. Teleskop radio dengan panjang gelombang meter memang lebih memungkinkan para astronom mengenal Bima Sakti. Misalnya, kabut bintang, menurut Prof.Dr. Bambang Hidayat, mempunyai banyak daerah relatif dingin yang menjadi sumber pancaran gelombang radio ini. Berkat penggunaan teleskop jenis inilah para ahli dapat mendeteksi adanya molekul CO, CO2 dan air di sana. Padahal, sebelumnya daerah tersebut disangka terlalu dingin bagi terbentuknya molekul. Bagaimanapun, dengan semakin banyaknya media yang digunakan untuk mengamati ini, tentu lebih banyak kesimpulan dan kepastian yang didapat. Wajar kalau Indonesia, dengan bantuan badan internasional, berniat pula membangun teleskop radio sepanjang 2 km dengan radius 50 m di Bonjol, Sumatera Barat. Sistem teleskop terpancar yang pertama kali dibuat adalah sistem Very Large Array, yang dipasang di padang pasir New Mexico, AS. VLA terdiri atas 27 teleskop berdiameter 25 m dan berbobot 235 ton. Sebagai sistem ia setara dengan sebuah teleskop berdiameter 33 km. Jadi, jauh lebih kecil daripada sistem VLBA. Tapi, bukan berarti VLBA akan merupakan sistem terbesar ketika selesai dibangun pada 1990-an nanti. "Sudah ada yang memikirkan penyambungan ke sistem orbit", kata Dr.Peter Napier, pejabat National Radio Astronomy Observatory yang turut merancang VLBA ini. "Kemungkinan ini sedang dijajaki NASA dan Rusia", tambahnya. Ide dasarnya adalah menghubungkan rangkaian teleskop di bumi dengan teleskop yang mengorbit di angkasa. Artinya, diameter sistem ini tak akan terbatas lagi pada diameter bumi yang cuma 12.740 km itu, tapi ukurannya sudah Jagat raya. Bambang Harymurti Bahan: New York Times Service
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini