SAYA berada di kota ini, Paris, untuk mendapatkan visa ke Mali. Visa Etiopia saya sudah punya - diberikan kepada saya disertai ceramah, oleh seorang pejabat kedutaan besarnya, mengenai "sikap yang tepat terhadap Etiopia." Dan saya menatap tajam dan lama pada sepatu saya. Dibandingkan dengan para diplomat, para petugas asing yang mengurus bantuan benar-benar lebih sensitif dan gugup. Mereka berurusan dengan pemerintah yang sangat mudah tersinggung. Kehadiran wartawan merupakan berita buruk. Wartawan mungkin diperlukan, ya, dan terkadang bisa berbuat hal yang baik - tapi selebihnya, mereka tampaknya cuma bikin kacau. Mereka tidak bertanggung jawab. Tak mau mendengarkan. Tak mau belajar. Satu artikel goblok bisa menghancurkan jerih payah bertahun-tahun. Sebagai wartawan, ada hal-hal yang kita pelajari dari para petugas bantuan. Bila saya mendengar hal-hal ini, saya memandangi sepatu saya. Satu kuliah lagi tentang Etiopia saya terima dari seorang sopir taksi London, dan ini pun harus ditelan dengan kerendahan hati. Ceritanya mengenai korupsi yang disangka dilakukan pemerintah sana, dan terus merembet ke korupsi semua pemerintah di Dunia Ketiga. Tema kuliah itu pagi-pagi sudah bisa dilihat: betapa sia-sianya beramal. Coba pikir, katanya, kita - melakukan semua ini untuk mereka - lantas apa yang terjadi? Lebih baik tak pernah berbuat apa-apa sama sekali. * * * Sementara itu, kekeringan semakin luas tersebar - yang terkenal ialah yang di Etiopia dan Sudan, yang kurang dikenal terdapat di negara-negara Sahel, Daerah Pantai, Sub-Sahara. Etiopia terletak di ujung timur wilayah yang kekeringan, sedang Mali (bekas Sudan Prancis) di ujung baratnya. Tiket saya untuk Bamako, di Mali, lalu Addis Ababa. Dan kini saya berada di Montmartre, menunggu visa dan mempelajari perjalanan saya ke daerah kering. Hotel saya terletak beberapa ratus meter di atas daerah rawan, Pigalle. Ini negeri masturbasi, sarang klub malam, dan kios-kios. Kebanyakan cecunguk itu datangnya dari bagian dunia yang akan saya kunjungi, dan dalam waktu kurang lebih seminggu saya akan mengenal orang-orang ini. Para cecunguk itu suka memaksa, cekatan, dan hiperaktif. Di lapangan terbang Abijan, Pantai Gading, mereka erat sekali dengan polisi, sehingga sulit mengatakan mana yang polisi dan mana cecunguk. Di kafe yang saya datangi sekelompok anak tanggung duduk mengelilingi meja, mengisap ganja tanpa pesan minuman. Saya memesan bir dan membaca buku Emperor karangan Ryszard Kapuscinski, yang mengisahkan hari-hari terakhir Haile Selassie. Di malam sebelum hari-hari besar nasional, Kaisar Haile Selassie akan mendatangi kerumunan khalayak di Addis disertai bendaharanya. "Baginda Kaisar yang Maha Pemurah," kata si bendahara, "akan mengaut kepingan-kepingan tembaga dengan kedua tangannya dan melemparkannya kepada para pengemis dan gembel. Khalayak yang serakah itu menjadi gaduh, sehingga acara sedekah ini selalu berakhir dengan hujan pukulan tongkat polisi di kepala para gembel yang hiruk-pikuk dan saling rebut. Dengan bermuram durja Baginda meninggalkan mereka. Sering Baginda tak bisa mengosongkan separuh kantungnya." Si bendahara dan sopir taksi itu punya pendapat sama tentang amal: rakyat tak pantas menerimanya. Kita berbuat sesuatu dan - presto! - ternyata keliru. Bila bantuan dan sedekah yang dipersoalkan, kebencian dan kemarahan berada tidak jauh dari padanya. * * * Bila masalah penderitaan dunia menarik perhatian kita, dan kita memutuskan bertindak, ini membawa kita kepada bahaya: kita berharap obyek yang jadi perhatian kita secara gaib akan menuruti semua rencana kita - bantuan itu harus diterima dengan rasa terima kasih yang pantas, dunia harus seketika itu juga tak kelaparan dan sehat kembali, perang harus berhenti dan korupsi berakhir, kegundahan hati kita harus dilipur oleh rasa syukur berlimpahruah. Bila bukan itu yang terjadi, kita bertingkah seperti anak kecil - merajuk, atau murka. Baginda Kaisar memalingkan mukanya dari para gelandangan, bermuram durja: beliau mewakilkan kemurkaan-nya pada tongkat pentungan polisi. Sopir taksi menyimak berita tentang padi-padian yang busuk dan tak sampai ke alamat yang dituju: baiklah kalau begitu, katanya, biarlah kalian kelaparan dan jangan harap saya peduli. * * * Agali tiba dengan Land Cruisernya, dan kami mengucapkan selamat berpisah kepada rombongan. "Sampai ketemu semuanya di Timbuktu!" Semua kelelawar Bamako sedang menunggu saat-saat gembira di pepohonan. Percakapan mereka bagaikan tape yang merekam suara di pesta riuh. Tiga ekor di antaranya, yang saling menempel, akan merupakan payung yang bermanfaat tapi berisik. Pohon-pohon rimbun dan teduh, sedang jalanan basah. Biji mangga bergeletakan di selokan seperti tulang sotong. Kemudian arsitektur kolonial Prancis. Kesibukan malam tertumpah di atas Niger, sebuah sungai besar yang kosong, yang anehnya tak banyak dipergunakan. Tempat lelaki mandi dan wanita mencuci sudah ditinggalkan. Semua orang menuju ke rumah. Orang-orang berdatangan dari pedalaman, membawa sayuran yang sudah layu. Gubuk-gubuk pedagang di pinggir jalan penuh buah-buahan dan sayur-sayuran. Kini, ketika bulan terbit, saya akan melihat Afrika untuk pertama kali. Percakapan di antara orang-orang beserban di kursi belakang mobil mulai kendur, dan saya merasakan embusan udara dari hadapan. Lampu kendaraan memamerkan tepi jalan yang merah dan lembap, lalu tetumbuhan yang lebat. Kekeringan masih merupakan bayangan, suatu persoalan abstrak. Dengan penuh perhatian saya mengamati lampu minyak tanah di desa-desa, wajah-wajah yang tertimpa cahaya di sekeliling tungku, dan pemandangan malam itu sungguh mengandung masalah rekayasa sosial yang harus dipecahkan secara gaib. Masalahnya ialah kayu. Saya diberi tahu, Bamako dan gubuk-gubuknya yang makin bertambah mengkonsumsi semua kayu bakar yang ada sampai bermil-mil ke sekitarnya. Mestinya lebih banyak pohon yang ditanam dan makin berkurang kayu yang dipakai. Seandainya penduduk dibujuk menggunakan tungku besi yang kecil, yang hanya menggunakan sedikit kayu serta murah harganya, dan bukan tungku kayu, masalahnya mungkin bisa ditekan. Tapi lalu tak akan ada api unggun tempat orang duduk berkeliling di malam hari setelah bekerja berat .... * * * Seorang pejabat USAID (Badan Pembangunan Internasional AS) di Bamako gembira dengan hasil-hasil sekarang ini. Pengaruh Amerika, katanya, telah mengubah pemerintah, sehingga bila Mali sebelumnya berada di jalan menuju semacam sosialisme, kini sedang berusaha menuju ekonomi pasar bebas. Saya bertanya apakah ia bermaksud mengatakan bahwa bantuan yang diberikan itu mencerminkan adanya campur tangan semu pada politik dalam negeri di situ. Ia mengernyitkan alis. Dan segera membantah. Lalu kami menanyakan perumusan yang tepat: untuk apa bantuan itu. Dikatakannya, bantuan yang diberikan itu akan memungkinkan pemerintah "mengubah kebijaksanaannya dan tidak gagal". Saya pribadi menganggap ini definisi yang sangat baik tentang semacam campur tangan politik semu. Suasana paternalisme terasa sekali di Mali. Sebagian dari kelompok kami diberi tahu seorang asing bahwa satu-satunya masa depan bagi wilayah Afrika ini adalah sejenis neokolonialisme: datangkan kembali orang Prancis dan siapa saja yang berminat serahkan pengurusan negara kepada para ahli. Kami kemukakan buah pikiran itu kepada seorang pejabat Mali di Bank Dunia - dan jawabannya sangat bijaksana. "Ibu saya yang sudah tua," katanya, "pasti akan setuju dengan yang baru saja Anda katakan. Datangkan kembali orang-orang Prancis." Tapi ia kemudian mengatakan lagi, dalam pandangan siapa pun dari generasinya (ia kira-kira berusia 40) negeri ini kacau-balau justru karena Prancis. Patrick Marnham, dalam bukunya Fantastic Invasion, menguraikan contoh kebijaksanaan pemerintahan Prancis di Afrika Barat. Selama bencana kelaparan 1931, gubernur Niger, M. Blacher, memaksakan pemungutan pajak dan tak mau mendistribusikan cadangan pangan darurat. "Jangan harap," katanya kepada bawahannya, "saya akan berteriak-teriak adanya kelaparan di Niger." Bukan bencana kelaparan - karena ia tentu akan dimintai pertanggungjawabannya - yang ia laporkan, melainkan panen yang baik. "Akibat tindakannya itu, 26.000 orang diperkirakan mati lapar di Niger Barat saja, dan 29.000 lagi meninggalkan wilayah kekuasaan Gubernur Blacher. Keseluruhannya: sepersepuluh dari jumlah penduduk wilayahnya lepas dari tanggung jawabnya." Cara Prancis memungut pajak di zaman itu termasuk membakari desa, membuat penduduk jera, merampas hasil panen dan ternak, dan menahan anak-anak sebagai sandera. Banyak alas patung yang kosong di Bamako - dulunya patung-patung Blacher. Satu-satunya monumen kolonial yang masih berdiri ialah peringatan pasukan yang tewas dalam pertempuran paling keji di Eropa. Saya bertanya kepada seorang pejabat Bank Dunia apakah industri tidak memberi jawaban atas masalah kekeringan yang berulang kali. Ia menjawab: tak mungkin bagi Mali bersaing dengan Jepang dan Korea industri tak bisa diharapkan memainkan peran besar dalam perekonomiannya. Yang paling bisa diharapkan, katanya, ialah agar pada akhir abad ini negeri itu bisa swasembada. Itu sajalah. Di Markala, kami dihentikan para penjaga yang menanyakan tujuan kami. "Tomb'tou," jawab Agali. Mereka membiarkan kami pergi dan melambai-lambaikan tangan sampai kami melewati bendungan. Inilah dam yang dimaksudkan penduduk ketika mereka berkata, "Tak perlu lagi bendungan besar" - meski bendungan itu cukup baik dan mengairi daerah tanaman padi yang sangat luas. Yang brengsek justru aspek ekonomisnya. Seluruh proyek itu terlalu dibebani para birokrat. Sistemnya dirancang dan dibiayai sedemikian rupa sehingga hasilnya tidak efisien dan tidak produktif. Berlimpah-ruah bantuan disuapkan kepadanya. Orang membicarakan proyek itu dengan bersungut-sungut, seakan-akan Office du Niger, nama proyek itu, semacam penjara atau kantor polisi yang brengsek. * * * Sudah larut malam, tapi masih ada orang yang baru kembali dari ladangnya. Suasana daerah setempat berubah, dan tanah tampak berwarna biru keabu-abuan. Kami sedang menuju ke pojok Mauritania. Gerobak-gerobak keledai yang pulang jelas menunjukkan jauhnya jarak yang harus ditempuh para warga untuk bekerja. Dalam terang bulan, desa tampak bagai kumpulan benteng. Rumah-rumah dibuat dari lumpur, dengan atap menjorok. Tiap rumah punya ruang tambahan. Seorang petugas pengurus bantuan menceritakan, dalam ruangan itu kadang-kadang tersimpan padi yang cukup untuk persediaan tujuh tahun. Lumbung itu, katanya, "Dirahasiakan, seperti rekening di bank." Menyimpan hasil panen sudah merupakan adat lama, karena di Sahel orang sudah terbiasa pada siklus musim kering. Tujuh tahun panen baik, tujuh tahun paceklik, tujuh ekor sapi yang gemuk dan tujuh ekor sapi yang kurus - kedengarannya seperti mimpi sang Firaun. Ketika mobil terperosok ke dalam lubang, saya baru sadar betapa ganjilnya jalan yang kami lalui. Ada burung merpati tiduran dalam debu. Sebuah ban pecah, dan setir setang jadi semi. Pada waktu fajar kami membuat lompatan besar. Kami semua keluar dari mobil, dan para penumpang yang duduk di belakang mulai salat, di pasir. Kini cahaya cukup terang untuk melihat: apa yang semula saya kira tanah gersang ternyata ditumbuhi semaian kecil-kecil, semacam akasia. Semak-semak itu memunculkan tanaman baru, disirami hujan setempat yang tak banyak. Saya mengamati jalan setapak di lubang air terdekat. Sungguh ganjil: ada bekas telapak kaki. Kini suara-suara pagi mulai terdengar - dan aneh: suara-suara keledai, tapi binatangnya sendiri tak kelihatan. * * * Di Kota Lere, kami berhenti di perempatan pusat kota, tapi rasanya seperti kami parkir di kamar tidur. Perempatan itu penuh tenda, dan orang-orang mulai mengenakan pakaian. Begitu terbuka, sehingga saya kurang enak berada di sana. Anak-anak kurang makan, meski tampaknya bukan kurang gizi. Para penghuni tenda adalah kaum nomad yang berpindah ke Lere karena kehilangan ternak mereka akibat musim kering. Kini mereka menunggu distribusi pangan di kota kecil itu. Juga menunggu hujan. Para ahli menganggap bagian Sub-Sahara ini berpotensi makmur. Seorang ahli Prancis mengatakan, meski keadaannya tampak kurang menguntungkan, ada alasan berharap wilayah di belokan Sungai Niger ini memiliki masa depan terbaik dari antara bagian Sahara mana pun. Masa depan itu terletak pada sungai itu sendiri, arus air perkasa yang mengalir di tengah gyrun yang banjirnya setiap tahun menggenangi dataran yang luas. Sungai itu merupakan Nil kedua - yang kurang digarap untuk menyuburkan wilayah sekitarnya menjadi Mesir kedua. Pendapat ini dikemukakan tahun 1928. Tapi ketika belum lama ini air Sungai Niger tak menggenangi seluruh wilayah, tipislah harapan akan Mesir kedua. Yang tampak kini ialah sapi dan kuda yang pada mati. Hewan-hewan ini menghadapi bahaya jika hujan pertama turun, atau jika mencapai tepian air. Jika kelaparan atau kekurangan air, mereka tersandung di tepi sungai dan tenggelam. Mereka pun akan mati jika penggembala membiarkannya minum terlalu banyak. Pada suatu hari turun hujan dan, esoknya, banyak ternak yang hilang. Sedang para petani, yang menunggu tanahnya digenangi banjir, menanam padi di dasar danau yang airnya menguap. Tiap kali Anda melihat pertanda paling kecil tentang tanah yang lembap, Anda bertanya-tanya, kenapa ia tidak digarap. Anda seakan ingin berteriak: Tanah berlumpur di sini! Apa tidak ada yang tahu? Tapi segala sesuatu diketahui orang - tiap jengkal tanah - hanya, sebagian besar tanah itu jadi bencana. Tak lama kemudian semak-semak berduri atau yang kering menimbulkan halusinasi. Saya melihat orang dan binatang yang sebetulnya tidak ada. Pada suatu saat, saya melihat dengan jelas seorang wanita sedang menggali lubang. Saya cukup yakin, ia sedang menguburkan anaknya. Belakangan ia berubah menjadi pohon. * * * Di Tonka, keluarga Agali menyambut dan memberi kami makan. Saya diberi tahu, di Afrika orang makan tak boleh sambil ngobrol - untuk menghormati nasi. Kami duduk di sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari lumpur, kamar seorang bujangan, tukang kayu kamar itu dihiasi bungkus rokok Marlboro dan piringan hitam. Di atas tempat tidur lumpur yang saya tiduri ada tulisan dan gambar tentang kesehatan yang dikutip dari buku petunjuk kesehatan, satu-satunya buku di ruangan itu. Si tukang kayu adalah lelaki pemuram tapi ramah, berpendidikan tapi kecewa karena berkali-kali gagal di kelas terakhir. Di seluruh Mali saya terkesan akan tingkat pendidikan rakyat yang saya ajak bicara dalam bahasa Prancis. Tapi kesan ini keliru. Agali, misalnya, bisa fasih berbahasa Prancis, tapi tak bisa baca. Setelah makan siang, ia mandi, lalu mengenakan pakaian adat setempat, boubou, semacam jubah, dan peci putih. Tampak berwibawa. Ia mengatakan akan mengunjungi istrinya. Karena bekerja di Ibu Kota, jarang sekali ia bertemu keluarganya. Pembicaraan dengan tukang kayu segera merembet ke Paris: apakah di sana rasialisme masih kuat? Ia ingin ke Paris, tapi ia benci rasialisme. Saya ingat pada pengemis Afrika yang dilemparkan ke jalan, kemarahan pelayan kafe, dan apa yang dikatakan temannya tentang rasialisme . . . tapi apa yang bisa dibuat? Pergi ke Paris sering menguasai pikiran si tukang kayu. Tapi tak begitu mudah: Si tukang kayu dan temannya tahu semua tentang masalah pengangguran di negeri kami, dan mereka menjelaskan pada saya bahwa cara kami memecahkannya ialah dengan mengekspor para penganggur kami ke Afrika - sebagai petugas yang mengurus bantuan. Saya tak pernah berpikir tentang hal itu - bahkan meragukannya. Mereka memperingatkan saya, "Anda tahu, di kalangan Anda berlaku ucapan, 'Tak ada sesuatu yang cuma-cuma', bukan?" Mungkin ada ucapan begitu, kata saya. Nah, kata mereka, di Mali ada yang harus dikerjakan, tapi teknologinya yang kurang. Di Eropa dan Amerika kamu punya teknologi, tapi menghadapi kesulitan besar mendapatkan kerja untuk rakyat kamu. Inilah imbangan atas bantuan: orang-orang yang datang ke Afrika, kata mereka, menganggur di negerinya sendiri - ya, tak semua mereka tapi, pokoknya, itulah yang menyangkut soal bantuan itu. Saya terperangah melihat betapa bersemangatnya mereka mengemukakan hal itu. Dan makin lama memikirkannya, saya harus mengakui kebenaran yang tersembunyi dalam argumen mereka. Banyak orang Eropa yang saya tahu ingin pergi ke Afrika ketika mereka tak bisa mengambil keputusan mengenai hidup mereka. Tapi yang lebih mereka pikirkan ialah kerja sukarela atau kerja bantuan sebagai suatu pemberian, dan bukan sebagai jalan keluar dari pengangguran. Si tukang kayu tidaklah benci kepada para pekerja bantuan tapi memandang mereka dengan iba, seperti halnya orang memandang wanita-wanita Inggris yang miskin yang dahulu pergi ke India untuk mencari suami. Para petugas bantuan adalah orang-orang yang mempunyai problem. * * * Lewat tengah hari kami berangkat lagi - menyusuri bagian jalan terakhir di Timbuktu. Di daerah yang sudah ditinggalkan ini, bila kami berhenti, saya memeriksa bekas-bekas jejak ternak di tanah. Mengejutkan sekali: orang pernah tinggal di sini. Saya merasa seperti ahli purbakala. Lalu Agali bilang, oh, mestinya kau kunjungi wilayah ini lima tahun yang lalu - segalanya tumbuh di sini tanah ini bagus. Di Danau Fati, misalnya, bisa dilihat bagaimana rupanya daerah itu jika benar-benar didiami orang. Suku Bozo berkemah di situ, dengan ternak yang banyak, memancing di danau dan menggembalakan hewan mereka. Orang Bozo yang sangat hitam itu memang suku yang mengagumkan, tapi wajahnya seperti birokrat. Kami memasuki wilayah yang tak bisa ditundukkan Prancis sampai 1890-an - ketika mereka bertempur mati-matian melawan orang-orang Tuareg dan kehilangan seluruh pasukan bantuan. Sukar membayangkan apa maksud segala upaya dan kesombongan itu - ketika kami tiba dalam mobil yang terguncang-guncang di Benteng Goundam, yang dibangun bagaikan wujud dari angan-angan tentang kemahakuasaan. Dan ketika mobil berhenti (mesinnya kepanasan lagi), kami bisa mendengar suara-suara Goundam di malam hari, yang membuat saya merinding. Di sini orangnya sopan-sopan. Mereka menyambut Anda dengan assalamualaikum dan bercerita tentang hal-hal yang ingin Anda ketahui. (Yang kedengaran bukanlah bunyi genderang yang ditabuh para prajurit Goundam, tapi bunyi para wanita sedang menumbuk sorghum. Suatu malam, di Lere, saya mendengar apa yang saya kira suara kambing mengembik - kemudian ternyata jeritan sekumpulan bayi yang minta susu). Kemerosotan Kota Timbuktu (dari berpenghuni 100.000 menjadi sepersepuluh-nya) merupakan cerita lama. Sebagai kota tertutup ia mengecewakan para penjelajah, dan tak lagi dilalui kafilah-kafilah besar. Tapi kemunduran wilayah itu sekarang benar-benar tak tertolong lagi. Selama sepuluh tahun terakhir, daerah yang terkena banjir dan ladang tadah hujan dirusakkan, dan satu-satunya faktor baru kini ialah meluasnya kekeringan di enam dari tujuh wilayah Mali, sehingga Timbuktu tak bisa mengharapkan bantuan dari bagian lain negeri itu. Ternak boleh dikatakan mati semua. Penduduk kehilangan segala. Seperti kata gubernurnya, mereka benar-benar kena kutuk. * * * Agali, yang ipar-iparnya tinggal di situ, memandang kota itu dengan sedih. Dulu tempat ini bukan main menyenangkan, katanya bahkan sampai belum lama ini, ketika masih banyak orang yang tinggal. Kini yang tersisa hanya lengang. Ada desa-desa, tapi semua anak muda sudah pergi - ke Mopti atau Bamako. Dan kerena di Bamako tak mudah mendapat kerja, mereka pindah ke Senegal atau Pantai Gading. Kadang-kadang, kalau bisa, ke Paris. Menurut Gubernur, yang diperlukan penduduk ialah alat untuk menjadikan tanah bermanfaat. Mereka perlu alat untuk mengolah tanah dan mengairinya dari sungai. Perlu pompa besar atau beberapa pompa kecil - tapi semua ini tidak murah. Pemerintah Belgia telah membiayai proyek irigasi yang, seperti kami lihat, ternyata berhasil. Tapi keberhasilan rencana itu karena ia tidak dirongrong oleh sejumlah pejabat pengawas. * * * Kekeringan itu seakan mengecoh dan mencemooh. Tiduran di malam hari, sambil mendengarkan suara angin kencang di kejauhan, orang bertanya apakah hujan akan datang. Tiba-tiba seakan-akan debu masuk ke dalam mulutnya - tapi hujan tak datang juga. Ia menangis. Kekeringan bukan masalah yang berdiri sendiri - ia merupakan gabungan problem yang bermaksud mencemooh dan menjadikan hidup tanpa tujuan. Di Timbuktu, gabungan bencana kekeringan dan usaha pariwisata kecil-kecilan menjadikan orang seperti badut. Mereka tahu kota itu mestinya bersuasana misterius, dengan rumah-rumah lumpurnya, masjid lumpur dan universitas lumpur yang tak terpelihara. Maka, penduduk pun berlagak misterius, menutup wajah mereka (kecuali mata) dengan serban, menatap tajam kepada turis dan berkata, "Anda tahu siapa saya? Anda mungkin melihat saya lewat pagi ini. Saya membawa pedang saya, seperti biasa. Ini bukan pedang untuk turis - ini pedang Tuareg asli ...." Fajar di Timbuktu menghadirkan warna cokelat di udara dan ringkikan keledai. Unta mulai menjelajah bukit-bukit pasir. Wajah resepsionis hotel separuhnya berlumpur pasir - ia tidur di pasir di bawah emper. Ia mematahkan ranting pohon nimba dan menggunakannya sebagai sikat gigi. Para calon pemandu wisata sudah menunggu, sambil membalik-balik majalah dan berdiskusi - tentang harga pakaian di Paris. * * * Yang menjadi kawan Etiopia belum tentu menjadi kawan Dergue, kelompok yang memerintah negeri itu. Kawan Etiopia melihat adanya rakyat yang susah dan ingin menolong. Tampaknya sederhana: penduduk kelaparan dan perlu diberi makan. Kawan Dergue merupakan kelompok lain. Keinginan identifikasi mereka adalah sebuah politbiro, bekas Dewan Pemerintahan Militer Sementara yang menyingkirkan Kaisar Haile Selassie dan mendudukkan Mengistu Haile-Mariam di tahtanya. Kawan-kawan Dergue memerlukan kemampuan untuk memihak ke suatu rezim yang tampaknya mahakuasa. "Dari sudut pandangan Barat dan sosialis, Etiopia menganut posisi ideologi yang tepat dalam politik dalam negerinya. Keseluruhan politik ekonomi dan sosialnya terkandung dalam kerangka politik persamaan mereka. Hak-hak politik, ekonomi, dan sosial mempunyai inti yang sama dan tak terpisahkan satu sama lain." Inilah yang dikatakan seorang kawan - seperti membacakan siaran resmi kaum Dergue. Ia mengatakan kepada kami, "Kehidupan penduduk Etiopia yang paling miskin sudah diperbaiki" dan "Sungguh hebat, betapa cepatnya penduduk sebagai keseluruhan akhirnya menerima perubahan radikal yang telah terjadi." Ini disuarakan oleh Profesor Peter Schwab dari Universitas Negara Bagian New York. Ia mengaku seorang pecinta Etiopia yang terkenal, yang bersama beberapa pecinta Etiopia lainnya "melihat revolusi sebagai langkah positif, meski ada beberapa ekses". Tapi tak mudah melihat apa yang - dalam istilah profesor - itu disebut sebagai ekses. Pembersihan terhadap kaum konservatif dan borjuis yang beroposisi dianggap baik. "Pada tahun 1984," kata Schwab, "Etiopia dibersihkan dari kaum oposisi, dan kehidupan sehari-hari berlangsung tenteram, dan umumnya tak ada kekerasan .... " * * * Buku Schwab, Ethiopia: Politics, Economics and Society, sumber kutipan-kutipan di atas itu, terbit tahun ini di London dan merupakan salah satu dari seri monografi pertama mengenai rezim Marxis dewasa ini. Meski Schwab menganggap kehidupan sehari-hari tenteram di Etiopia, ia mendengar juga tentang perang yang berlangsung di sana. Juga oposisi yang besar dan keras yang dikucilkan Dergue. Juga masalah chauvinisme Amhara. Di bawah Selassie dan para pendahulunya, penduduk golongan Amhara-Tigre yang beragama Kristen (antara 35 dan 40 persen dari seluruh warga negara) menguasai lebih dari 80 kelompok etnis termasuk suku-suku Oromos dan Gallas yang merupakan 40% dari keseluruhan. Dominasi etnis ini banyak dibenci. Tapi bagaimana kalau terus berlangsung hingga kini? "Jelas," kata Schwab, "suku Amhara lagi-lagi diwakili di pusat pemerintahan jauh di luar proporsi jumlah mereka. Ini mungkin tidak penting artinya tapi mengingat tradisi historis Etiopia, persepsi ini sama pentingnya dengan kenyataannya. Harus dijelaskan kepada rakyat bahwa lepas dari jumlah mereka, mereka tak memegang pengaruh yang tidak semestinya ...." * * * Kawan Dergue mengagumi revolusi dari atas: revolusi akan mendirikan sosialisme dan sosialisme akan membangun komunisme dan tidak akan ada oposisi. Cara rezim Dergue menghadapi bencana kelaparan dan memperlakukan bantuan pangan dari luar negeri sama saja dengan cara Selassie. Di zaman Selassie (1973 dan 1974), ketika bantuan pangan luar negeri tiba di Etiopia, terjadi berbagai skandal. Para menteri menuntut cukai dari para donor luar negeri atas barang-barang itu, lalu mengatur pengirimannya, dan kemudian menjualnya kepada mereka yang sanggup membeli. Di zaman Dergue cara yang sama berulang, meski dibantah secara resmi. Reaksi terhadap bencana kelaparan di Afrika bersifat khas. Yang mengesankan ialah cara bagaimana uang itu dikumpulkan dengan cepat dan tidak bertele-tele. Antara lain, seperti dilakukan oleh para seniman musik Amerika dan Inggris, dengan menjual rekaman lagu-lagu mereka dan ternyata berhasil mengumpulkan dana yang amat besar. Tapi, begitu dana itu masuk ke Etiopia, mulailah timbul banyak masalah. Tiba-tiba saja ada hambatan pemerintah. Dorongan simpati yang murni tiba-tiba saja berhadapan dengan politik dan frustrasi. Tiba-tiba pecah perang. Dan, tahu-tahu, orang dari satu tempat harus berjalan berminggu-minggu untuk mendapatkan bantuan itu di tempat lain. Majalah Economist Desember tahun lalu mengecam keras perang tersebut, dan mendesak pemerintah Etiopia agar menghentikannya, "agar bantuan pangan bisa sampai kepada mereka yang lapar." Ini bukan tekanan politik, kata majalah itu, "tapi pemberi bantuan - dalam keadaan darurat seperti itu - berhak meminta imbalan dari pemerintah Etiopia berupa kesediaan memperlancar pembagian barang-barang itu. Jadi, harus dilakukan gencatan senjata, dan badan-badan pemberi bantuan bisa leluasa masuk ke daerah lapar." Jalan pikirannya sungguh kontradiktif: pemberi bantuan, yang tak menyertakan ikatan politik, berharap berhasil menciptakan gencatan senjata. Di akhir tulisan malah digambarkan seakan-akan ia bisa mencapai beberapa persetujuan dengan pemberontak. Mengistu benar-benar diminta mengorbankan keuntungan apa pun yang bisa didapatnya - barangkali melepaskan Eritrea. Tapi tak dijelaskan mengapa kelompok Dergue - yang dianggap berdosa karena telah melancarkan perang - harus berkorban demi para pemberontak yang lapar. Soalnya, penulis tajuk Economist tak menganggap penting perang yang oleh Mengistu dianggap perlu "untuk menegakkan kesatuan historis Etiopia, mengamankan jalan keluarnya ke laut dan menyelamatkan eksistensinya." Graham Hancock dalam bukunya Ethiopia: The Challenge of Hunger cukup keras mengecam Dergue, tapi pada akhirnya memuji. Yang diperhatikannya ialah masalah kelaparan yang memberantas kelaparan disebutnya baik, selebihnya jelek. Tentang Eritrea, setelah menceritakan pendudukannya oleh Italia sampai penindasan oleh Haile Selassie pada 1962, yang menyebabkan pecahnya perang sekarang ini, Hancock mengatakan bahwa sekitar 1977-1978 pejuang-pejuang Eritrea bisa merebut kemenangan. Tapi mereka terpecah - sampai sekarang. Para pejabat Etiopia mengatakan, mereka tidak akan menindas Eritrea dan Tigre jika EPLF (Front Pembebasan Rakyat Eritrea) dan TPLF (Front Pembebasan Rakyat Tigre) berhenti berperang dan mau berunding. Dan Hancock percaya bahwa pemerintah Etiopia akan berusaha sebaik-baiknya menampung tuntutan kedua kelompok itu. Tapi sudah cukup dikenal bagaimana Dergue memperlakukan lawan-lawannya yang kalah, di samping terhadap orang-orang Somali. Untuk membuat argumentasinya meyakinkan, Hancock merasa perlu menjelaskan mengapa para pemberontak Eritrea dan Tigre tidak akan diperlakukan seperti EPRP yang mengalami nasib - menurut Schwab - "para anggotanya banyak yang mati, dipenjarakan, atau mengasingkan diri." * * * Kami berbuat kesalahan besar, kata pejabat Etiopia di Addis Ababa. Kami buka diri kami kepada dunia, kami perlihatkan kepada mereka rakyat kami yang mati lapar. Baru-baru ini ada sejumlah orang Jepang di sini, katanya, dan mereka sepakat dengan saya: mereka bilang bahwa setelah Perang Dunia II, setelah Hiroshima, Jepang tak pernah memberi hati kepada dunia. Tapi kami di Etiopia percaya pada orang lain. Kami biarkan mereka datang, meski kami tahu mereka tak akan memahami segala sesuatu dari sudut pandangan sosialis. Dan ketika mereka menulis hal-hal yang buruk tentang kami, kami menanggungkannya dengan sabar. Kami harus berbuat sebaik-baiknya untuk rakyat kami. Kami percaya kepada dunia, tapi orang lain menarik keuntungan dari kami. Etiopia ditipu oleh usaha amal, katanya. Orang lain memperalat negeri kami untuk kepentingan karier mereka sendiri. Politisi tiba-tiba mengumumkan kedatangannya, dan tanpa konsultasi dengan pemerintah, mereka bilang akan menguniungi kamp ini dan kamp itu pada hari yang sudah mereka tetapkan. Mereka tentu harus didampingi. Orang, katanya lagi, menggunakan nama Etiopia untuk mengumpulkan dana yang tak pernah dilihat orang-orang Etiopia sendiri. Badan-badan pertolongan mendatangkan semakin banyak orang ke negeri ini untuk melakukan tugas yang orang Etiopia juga bisa melakukannya dengan kualitas sama baiknya. Dan mereka terus membawa wartawan (seperti saya ini) untuk mengawasi proyek mereka, sehingga badan mereka bisa mendapat uang lebih banyak lagi. Sementara ia memberi 'kuliah', saya mulai lagi mengkaji sepatu saya. Saya bertanya, apakah dengan 'kuliah'-nya ia bermaksud mengatakan agar saya langsung saja pulang ke Inggris. "Saya bukan hanya bicara kepada Anda," kata si pejabat sikapnya menghina. Saya melanjutkan mengkaji sepatu saya. Gambaran Amhara tentang public relations (si pembicara adalah pejabat humas) tampak begitu kasar. Saya membayangkan, di kantor pejabat inilah penyanyi Inggris Bob Geldof bicara sambil meletakkan kakinya di atas meja! Saya tak sanggup: lebih baik mati. Saya mengenakan jas Italia yang, atas petunjuk orang, saya beli khusus untuk acara itu. (Orang Dergue suka jahitan Italia, dan pejabat ini senang dasi buatan Pierre Cardin). Saya juga memakai dasi. Tapi harus saya akui, saya tak berani memboroskan uang untuk beli sepatu. Setelah dengan sabar mendengarkan kuliahnya, dan menyadari saya tidak memperoleh apa-apa, dengan rendah hati saya pamit. Ketika kami berjabatan tangan, Bapak Humas menghampiri saya dengan senyum kemenangan, dan dengan telaten menarik seuntai benang lepas dari kantung jas saya. Betapapun, agaknya, pakaian saya masih kurang pantas di matanya. * * * Usaha mendapatkan izin untuk mengunjungi daerah yang kelaparan menghabiskan waktu berminggu-minggu - dan, sementara saya membayangkan birokrasi yang brengsek, saya tak begitu merasakan adanya kejengkelan yang mendalam di kalangan pejabat pemerintah. Bukan semata-mata kebencian pada wartawan, bintang-bintang pop dan politisi. Tapi perasaan amat tidak menyukai para petugas bantuan itu sendiri. Seakan-akan tiap dolar yang diberikan merupakan penghinaan yang harus ditanggung, luka tikaman, ejekan. Dan argumen yang dikemukakan tampak bagai pantulan cermin dari tiap kecaman yang dilontarkan luar negeri terhadap Dergue. Anda menyebut kami korup - bagaimana dengan korupsi Anda sendiri? Anda memaksa mengikuti kegiatan kami - baiklah, bayangkanlah kami memonitor kegiatan Anda. Apa yang Anda inginkan? Berani benar Anda datang dan petantang-petenteng di negeri kami dan menggurui kami tentang apa yang harus kami lakukan. Berani benar Anda memperlakukan bencana kelaparan kami seperti kereta rombongan pemusik. Berani-beranian Anda berkilah bahwa Anda ingin menyelamatkan rakyat kami, padahal sesungguhnya menghancurkan pemerintah kami! Karena itu, wajarlah menduga orang Dergue tidak saja takut kehilangan muka, tapi juga gila gengsi. Sepuluh tahun yang lalu, ketika Haile Selassie jatuh, Dergue mengungkit sikap tak acuh kaisar itu kepada bencana kelaparan sebagai senjata terakhir untuk menelanjanginya. Mereka tak bisa melupakan ini. Sesungguhnya satu hal yang mereka tekankan ialah bahwa mereka telah meramalkan bencana kelaparan sekarang ini dan memohon dunia memperhatikannya. Tapi ketika dunia akhirnya memberikan perhatiannya, dan berkarung-karung bahan pangan tiba, Etiopia dibanjiri iklan untuk pemerintah negara lain, reklame untuk Tuhan, reklame untuk kegiatan amal. Orang Dergue benci iklan (sebab itulah semua reklame nama toko di Addis Ababa dicopot). Itulah sebabnya pejabat yang saya ajak bicara tak bisa membedakan antara iklan badan amal yang meminta orang menyumbangkan uang untuk Etiopia dan iklan sabun. Selama di Addis saya cukup lama bersama seseorang yang ingin membuat sebuah film tv Amerika untuk mengumpulkan dana. Saya kira, kalau ia bilang mau bikin film kampungan, mungkin ia akan diperlakukan lebih baik. Di Etiopia ada kebiasaan aneh: menyebut orang asing yang bekerja pada badan bantuan sebagai pekerja asing. Kami para wartawan asing akhirnya menyadari sebab musabab kami tak mendapat apa-apa - karena Dergue telah memberi tahu Komisi Pertolongan Etiopia, dan Komisi akan memberi tahu badan-badan bantuan bahwa terlalu banyak tenaga asing bekerja di Etiopia di badan-badan tersebut. Sekitar 450 orang semuanya. Ini harus dikurangi. Semua tugas tenaga asing akan ditinjau kembali, dan rencananya hanya satu tenaga ahli di satu badan bantuan . * * * Orang boleh bertanya apakah itu kegilaan. Atau apakah masalah keamanan tersangkut. Atau apakah kerahasiaan yang merupakan dasar. Sebuah artikel di Times London mengutip laporan diplomatik yang mengatakan, "Perbedaan pokok antara sekarang (Oktober 1985) dan April ialah bahwa para pejabat Etiopia lebih berhati-hati menyembunyikan apa yang sedang dilakukan." Di bulan April para pejabat berusaha mengosongkan dan membakar sebuah kamp pertolongan. Belum lama ini usaha mengosongkan kamp Ibnat dilakukan lagi: "Para petugas World Vision ketakutan oleh hal yang mereka anggap sedang terjadi di sekitar mereka.... Mereka melaporkan adanya jeritan di malam hari dan mengira orang dipaksa keluar kamp pada saat tak ada orang lain yang menyaksikan.... Para pejabat Komisi Pertolongan memeriksa rumah sakit mereka, dan secara serampangan menyuruh pasien pria, wanita, dan anak-anak, yang kata mereka sehat, keluar dari bangunan itu. Para pejabat itu bertindak demikian jauh dengan menyuruh para perawat World Vision mencabut tabung-tabung yang disalurkan ke hidung dan perut pasien anak-anak yang lemah dan tak bisa makan lewat mulut." Ketika membaca berita seperti ini, sekarang dari Etiopia, saya teringat pernyataan bantahan bernada keras yang diperbanyak dan ditumpuk di arsip Komisi. Saya juga teringat perasaan terluka Etiopia karena disalah-mengerti. Di masa pascarevolusi di Cina dan Rusia, bencana kelaparan di rahasiakan, dan puluhan tahun berlalu sebelum kenyataan itu diketahui dunia luar. Bencana kelaparan merupakan penghinaan terhadap rezim yang mahakuasa yang, tak pelak lagi, merupakan sebab kelompok Dergue menyesali semua publisitas yang diterimanya. Untuk seketika, saya bertanya-tanya: adakah gunanya terus nongkrong di Addis, berharap dapat melaporkan bencana kelaparan? Lalu penyakit malaria memecahkan persoalan itu. Saya lihat Glenda Jackson berkunjung ke Wollo, dan dalam iklannya mengatakan bahwa kini sudah tiba saatnya berhenti memohon (bantuan) dan mulai menagih. Saya doakan kampanyenya berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini