Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melawan Pandemi dengan Mural

Kampanye melawan pandemi Covid-19 bisa melalui seni mural. Ada Bhayangkara Mural Festival Piala Kapolri 2021.

11 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

‘Merdeka Ataoe Mati!’ adalah grafiti yang merupakan bagian sejarah perjuangan Indonesia. Dalam sejumlah dokumen sejarah, grafiti semacam ini banyak tertulis di sejumlah ruang publik untuk membakar semangat perjuangan pemuda-pemuda pribumi untuk menghalau kedatangan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), tentara Belanda yang membonceng tentara sekutu pada 1945. “Ini salah satu bentuk protes di era perjuangan kemerdekaan,” kata Guntur Wibowo, dosen Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guntur Wibowo, Akademisi IKJ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Grafiti semacam ini ampuh sebagai alat untuk membakar semangat perjuangan melawan penjajah. Selain menggunakan ruang publik, grafiti “Merdeka Ataoe Mati!” juga tersebar luas sehingga memiliki peran kuat untuk mempengaruhi perjuangan anak bangsa ketika itu. Kata grafiti berasal dari bahasa Latin, graphium yang berarti tulisan. Grafiti berupa coretan-coretan di media dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, dan bentuk untuk menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu.

Belakangan, seni di media dinding berkembang bukan hanya sekadar tulisan, tapi juga berbentuk lukisan atau gambar di media dinding, tembok, atau media luas lainnya yang bersifat permanen. Jenis seni ini disebut mural, yang berasal dari bahasa Latin, murus, yang berarti dinding. Selain berbeda antara tulisan dan gambar, alat untuk membuat produk seninya pun berbeda. Grafiti biasanya menggunakan cat semprot, sementara mural menggunakan cat tembok.

Kedua seni ini pada dasarnya masuk dalam street art yang bertujuan untuk menyuarakan kritik isu sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Grafiti dan mural saat ini sudah diterima masyarakat sebagai sebuah karya seni. “Di RT, RW, di gang-gang sempit, masyarakat sudah menerima karya seni mural, jadi bisa dibilang dari masyarakat untuk masyarakat,” kata Guntur.

Menurut Guntur, mural dan grafiti dapat dipelajari di sekolah atau kampus seni apa pun, baik seni rupa maupun desain komunikasi visual (DKV). “Karena grafiti dan mural belajar warna, objek, dan komposisi yang merupakan teknik dasar membuat karya seni,” ujarnya.

Salah satu seniman grafiti, Suryo Hanantoseno, melihat saat ini grafiti dan mural telah menjadi kesatuan. Banyak seniman grafiti yang kini membuat gambar sebagai karya seninya dengan menggunakan cat semprot. Begitu juga dengan seniman mural. Menurut dia, saat ini banyak yang membuat tulisan di samping gambar dengan menggunakan cat tembok. “Keduanya sama-sama bentuk propaganda dan dilakukan di jalan,” kata Suryo yang akrab dipanggil Ones ini.

Ones, Seniman Grafiti

Karena kekuatannya sebagai alat mempengaruhi opini masyarakat, Markas Besar Kepolisian menggelar acara Bhayangkara Mural Festival Piala Kapolri 2021 di Jalan Palatehan, kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mengangkat tema ‘Peran Generasi Muda untuk Berkreasi dalam Menyampaikan Informasi yang Positif di masa Pandemi Covid-19’ ini, Kepolisian mengajak seluruh masyarakat Indonesia, khususnya seniman mural, untuk ikut membuat konsep mural yang berisi ajakan positif di masa pandemi. Karya-karya senima mural ini akan dikurasi oleh lima juri yang kompeten di bidang seni rupa.

Markas Besar Kepolisian RI telah menyiapkan juri untuk menilai karya mural. Para juri tersebut adalah desainer dan ilustrator senior Majalah Tempo Kendra Paramita, seniman kontemporer Moh. Al Firdaus, yang biasa dipanggil Daus Rojali, seniman mural Bunga Fatia, seniman grafiti Suryo Hanantoseno, dan akademisi Institut Kesenian Jakarta, Guntur Wibowo.

Pendaftaran dibuka sejak 27 September lalu dan akan berakhir pada 21 Oktober mendatang. Pendaftaran bisa melalui situs https://tribratanews.polri.go.id. Masyarakat yang tertarik untuk mengikuti lomba ini juga dapat mendaftar melalui kepolisian daerah setempat hingga 17 Oktober 2021. Puncak acaranya pada 30-31 Oktober 2021.

Guntur yang saat ini berprofesi sebagai dosen IKJ mengaku sangat senang dan bangga dipilih sebagai juri dalam acara ini. “Karena saya pun memang berangkat dari mural,” kata dia. Lulusan Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa IKJ dan lulusan pascasarjana Seni Urban dan Industri Budaya IKJ ini telah menjadi seniman mural sejak 2000.  “Ini bisa jadi ajang anak muda untuk memberikan karya seni muralnya dan kami bisa mendapat anak-anak muda yang berpotensi melalui event ini.”

Bagi Mabes Polri, menurut Guntur, festival ini dapat memberikan efek yang positif. “Melalui event ini, Polri dapat menunjukkan bahwa Polri pun dapat merangkul anak muda untuk kegiatan positif bersama,” kata dia. Acara ini dianggap bisa memberikan semangat bagi anak muda, khususnya yang tertarik dengan seni mural.

Ones, juri lainnya, mengatakan tema yang diangkat Bhayangkara Mural Festival Piala Kapolri 2021 ini terbilang bagus. “Di saat pandemi ini, penting untuk kita saling peduli dan memberi semangat. Dalam acara ini, semangat dan kepedulian dapat disalurkan melalui mural,” kata Ones yang telah menjadi seniman grafiti sejak 2001 ini.

Sebagai seniman grafiti, Ones seringkali menggunakan medium tembok yang kotor. Di jalanan, ia dan beberapa seniman grafiti lain seringkali merasa resah karena tembok dikotori oleh poster-poster yang malah merusak secara estetik. “Seperti poster Sedot WC, misalnya, kami ubah menjadi karya seni grafiti yang dapat dinikmati masyarakat,” ujarnya.

Ones juga berpendapat, sebagai alat kampanye, mural dan grafiti pilihan yang tepat. Apalagi saat ini, kata Ones, seni grafiti dan mural Indonesia semakin diperhitungkan di dunia. Contohnya, Festival Street Dealin yang pernah digagas Ones, menjadi salah satu festival grafiti terbesar Se-Asia tenggara. “Daripada kita berdemonstrasi, berkumpul, mural bisa dijadikan alat untuk menyampaikan kritik untuk pemerintah,” ujar Ones.

Juri festival yang lain, Kendra Paramita, menganggap Bhayangkara Mural Festival ini dapat mengakomodir seniman-seniman mural untuk bisa berekspresi tanpa ancaman dan ketakutan, alih-alih dengan membungkamnya. “Ini jadi ajang pembuktian bagi Polri dan negara bahwa mereka tidak anti-kritik,” kata Kendra, yang melihat mural sebagai karya yang unik.

Kendra Paramita, Ilustrator Tempo.

Karena lebih mengedepankan pesan, Kendra pun menganggap pesan positif menyikapi Covid-19 melalui karya seni mural dapat berdampak besar untuk masyarakat. “Dengan medium tembok di ruang publik dengan ukuran besar pasti akan mencuri perhatian,” kata dia.

Apalagi, menurut Kendra, saat ini media sosial membantu memviralkan karya seni mural. Karya yang dulu lebih banyak dinikmati oleh orang sekitar karya itu berada atau orang-orang yang hanya sering melewati jalan tempat mural itu berada, kini bisa dinikmati oleh orang di mana pun. “Sekarang influence-nya lebih luas,” kata Kendra.

Narasi positif soal penanganan Covid-19 memang dapat disebarkan dalam bentuk apa pun, termasuk mural. “Tergantung gagasan peserta bagaimana membangun komunikasi yang efektif untuk proaktif membangun awareness menghadapi Covid-19 ini,” ujar Kendra. Ia pun mengajak masyarakat Indonesia untuk mengikuti festival ini. “Kapan lagi bisa mencoret tembok di lokasi strategis dengan diakomodir tanpa karya seninya  dihapus dan diberi hadiah.”

Juri lain yang juga seniman mural, Bunga Fatia, mengajak masyarakat, khususnya seniman mural, untuk berpartisipasi dalam acara yang diadakan Mabes Polri ini. “Acara ini bagus sekali karena Mabes Polri concern dengan potensi anak muda di bidang mural, sehingga kami para seniman diberi kesempatan untuk berkarya,” kata Fatia.

Bunga Fatia, Seniman Mural

Fatia sejak 2014 telah membangun komunitas grafiti perempuan pertama di Indonesia dan mengikuti sejumlah festival mural di luar negeri. Menurut Fatia, perkembangan mural di Indonesia saat ini sangat berkembang. “Mural semakin dihargai karena yang tadinya hanya untuk hobi, kini sudah masuk galeri, restoran, dan kafe,” kata Fatia.

Melalui acara Bhayangkara Mural Festival Piala Kapolri 2021, Fatia juga menganggap seniman mural dapat mengekspresikan bagaimana cara berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19. “Bukan dengan mengeksplorasi penyakitnya, tapi lebih ke solusi,” kata dia. “Impact-nya akan lebih bagus jika karya seni mural lebih menunjukkan solusi untuk Covid-19,” kata dia.

Daus Rojali, Seniman Kontemporer

Moh. Al Firdaus, salah satu juri yang lain, melihat mural memang dapat dijadikan sarana edukasi, meskipun sejarah menyebutkan mural berasal dari semangat protes sosial tentang keresahan masyarakat yang diwakili oleh seniman. Seniman mural, menurut Firdaus, memiliki idealismenya masing-masing. Ada yang memang mau mengedukasi, ada pula yang memang mencari sensasi. “Karena melukis di tembok memberikan adrenalin tersendiri untuk seniman mural,” kata dia.

Firdaus juga menganggap acara yang digelar Mabes Polri ini menjadi angin segar, baik untuk para seniman mural maupun untuk Mabes Polri. “Ini proses rekonsialisi antara seniman dan polisi. Dan ini jadi momentum terbaik untuk membuktikan bahwa seni mural memang besar,” kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus