Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memahami Terminologi dan Regulasi Penjualan Pulau

Hukum di Indonesia tidak memungkinkan terjadinya jual-beli pulau secara legal.

13 Januari 2023 | 22.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Isu penjualan pulau-pulau kecil di Indonesia kembali menyedot perhatian publik sejak dua bulan terakhir. Setelah pemberitaan pelelangan Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan, kemudian muncul kabar serupa antara lain Pulau Gili Nanggu di Nusa Tenggara Barat, Pulau Ajap di Kabupaten Bintan, serta yang terbaru tiga pulau di Kepulauan Mentawai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adanya isu penjualan pulau paling tidak menunjukkan tiga hal. Pertama, tingginya perhatian publik terhadap isu kedaulatan negara. Kedua, masih rendahnya pemahaman masyarakat dan Pemerintah Daerah terhadap regulasi pengelolaan pulau-pulau kecil, dan ketiga yakni pentingnya meningkatkan literasi kepulauan untuk masyarakat.   

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu hal yang menyebabkan polemik dalam masyarakat terkait isu jual-beli pulau adalah karena hal ini dianggap menjual kedaulatan negara. Anggapan ini perlu diluruskan supaya tidak menyebabkan kesalahpahaman dalam masyarakat. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jual beli merupakan suatu proses persetujuan saling mengikat antara penjual sebagai pihak yang menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang di jual. Jual-beli merupakan perbuatan hukum antar subyek hukum (penjual dan pembeli), bersifat transaksional, ada obyek yang dijual/dibeli, dan menimbulkan akibat hukum (misalnya berpindahnya kepemilikan), sehingga jual-beli harus tunduk pada hukum nasional. 

Dalam kasus Kepulauan Widi, pelelangannya muncul pada situs lelang Sotheby’s Concierge Auctions yang berbasis di New York. Hal ini terkait MoU Pengembangan Kepulauan Widi antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan PT Leadership Islands Indonesia (perusahaan PMA) yang ditandatangani sejak Tahun 2015. 

Walau Pemerintah akhirnya membatalkan MoU tersebut, sesungguhnya pelelangan di sini hanya berupa pelelangan saham untuk mencari investor baru, dengan obyek hak pengelolaan dan pemanfaatan kawasan. Walaupun dinilai melanggar prosedur, namun dalam hal ini tidak terjadi transfer kedaulatan, apalagi Kepulauan Widi jelas-jelas merupakan bagian dari wilayah NKRI. 

Dalam kasus lainnya, yang terjadi umumnya adalah jual-beli bidang-bidang tanah di atas pulau kecil, sebagaimana yang umumnya terjadi di daratan pulau besar. Namun perlu dipahami bahwa Hak Atas Tanah (Sertipikat Hak Milik/Hak Guna Bangunan) bukan merupakan kedaulatan.

Hukum di Indonesia tidak memungkinkan terjadinya jual-beli pulau secara legal. Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Kesatuan ekosistem pulau kecil termasuk pantai, lahan pasang surut, terumbu karang, mangrove, lamun dan perairan di sekitarnya yang tidak mungkin diberikan hak di atasnya yang dapat diperjual-belikan. 

Perkembangan Regulasi Pemanfaatan Lahan di Pulau-pulau Kecil

Tingginya nilai ekonomi sumber daya dan jasa lingkungan kelautan di pulau-pulau kecil telah banyak menarik investor dari dalam dan luar negeri untuk berinvestasi memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Namun dalam perkembangannya, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh baik oleh WNI maupun orang asing atau perusahaan PMA menimbulkan beberapa permasalah, antara lain: 1) ketidakjelasan status kepemilikan lahan pulau, (2) perizinan pemanfaatan pulau, (3) penguasaan lahan dan penutupan akses dari dan menuju pulau, (4) konflik pemanfaatan ruang dengan masyarakat, dan 5) isu jual-beli pulau.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah telah menyusun regulasi dan kebijakan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil, serta menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan, salah satunya yang terkait dengan aspek pertanahan/agraria dan perizinan.

Didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disebutkan bahwa Orang Asing tidak dapat memperoleh Hak Milik atas tanah di Indonesia, hal ini tentunya termasuk tanah di pulau-pulau kecil. Apabila ada Orang Asing yang akan memanfaatkan lahan, maka dapat diberikan Hak Guna Usaha (HGU) dan/atau Hak Guna Bangunan (HGB) hanya kepada badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pada tahun 1996, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yang antara lain menyinggung pemberian HGU, HGB atau Hak Pakai atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri. 

Selanjutnya, pada tanggal 14 Juli 1997 Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Edaran Nomor 500-1197 yang menyatakan bahwa “permohonan izin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang meliputi Keseluruhan Dari Satu Pulau Hendaknya Ditolak”. 

Kemudian, pada tahun 2016 Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dan huruf c disebutkan bahwa “Pemberian Hak Atas Tanah di pulau-pulau kecil harus memperhatikan penguasaan atas pulau-pulau kecil paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari luas pulau, atau sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota dan/atau rencana zonasi pulau kecil tersebut dan harus mengalokasikan 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau untuk kawasan lindung”. 

Namun demikian, dalam hal diperlukan untuk kepentingan nasional, maka Pemerintah dapat menguasai dan memanfaatkan pulau-pulau kecil secara utuh, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (3) peraturan menteri tersebut. Untuk mencegah terjadinya perampasan tanah (land grabbing) di pulau-pulau kecil, maka pada pulau-pulau kecil yang belum terdapat penguasaan tanah, penguasaannya diprioritaskan untuk Pemerintah (Pasal 9 ayat 5). Inilah salah satu hal yang mendasari Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil-KKP melaksanakan program penataan pemanfaatan pulau-pulau kecil melalui sertipikasi Hak Atas Tanah di Pulau-pulau Kecil Terluar atas nama Pemerintah RI.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, sejak tahun 2019 juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 yang membatasi luasan pemanfaatan lahan di pulau-pulau kecil paling sedikit 30 persen dari luas pulau dikuasai langsung oleh Negara, dan yang dapat dimanfaatkan paling banyak adalah 70 persen dari luas pulau. Dari 70 persen yang dapat dimanfaatkan tersebut, pelaku usaha wajib mengalokasikan paling sedikit 30 persen untuk ruang terbuka hijau. Dengan demikian, luasan lahan pulau kecil yang dapat dimanfaatkan sebenarnya hanya 49 persen. 

Pengaturan ini juga diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengalihan Saham dan Luasan Lahan dalam Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Pemanfaatan Perairan di Sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing. 

Pengaturan pertanahan di pulau kecil telah diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah. Dalam Pasal 194 disebutkan bahwa “Pemberian Hak Atas Tanah atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai tidak dapat diberikan kepada 1 (satu) orang atau badan hukum”. 

Pasal 195 ayat (1) Peraturan Menteri ATR/BPN ini juga mengatur bahwa dalam rangka penanaman modal asing di pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 100 km2 (seratus kilometer persegi) dan belum terdapat Rencana Tata Ruang (RTR), dalam rangka pemberian Hak Pengelolaan/HAT maka diperlukan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sehingga semakin jelas bahwa setiap orang atau badan hukum tidak dapat mempunyai hak atas keseluruhan tanah/lahan di satu pulau kecil.

Terkait adanya kasus penutupan akses di pulau-pulau kecil yang menyebabkan konflik dengan masyarakat, juga telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perbahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007. Dalam Pasal 26A ayat (4) huruf b, salah satu syarat diberikannya izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing oleh Menteri Kelautan dan Perikanan adalah harus menjamin akses publik. Yang dimaksud dengan “akses publik” adalah jalan masuk yang berupa kemudahan, antara lain:

  1. akses masyarakat memanfaatkan sempadan pantai dalam menghadapi bencana pesisir;
  2. akses masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam;
  3. akses nelayan dan pembudidaya ikan dalam kegiatan perikanan, termasuk akses untuk mendapatkan air minum atau air bersih;
  4. akses pelayaran rakyat; dan
  5. akses masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai.

Urgensi Literasi Kepulauan

Belajar dari berbagai kasus pemanfaatan pulau-pulau kecil dan polemik isu penjualan pulau tersebut, maka perlu dilakukan program literasi kepulauan secara lebih terencana, terstruktur, dan berkelanjutan. Program ini berupa sosialisasi dan penyadartahuan kepada semua stakeholder, baik Pemerintah Daerah, organisasi masyarakat, akademisi, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum terutama yang terkait langsung dengan pemanfaatan pulau-pulau kecil. Hal ini bertujuan agar publik lebih memahami tentang pulau-pulau kecil Indonesia serta bagaimana kebijakan pengelolaannya.  

Dalam hal literasi kepulauan, Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah menginisiasi dengan program Sekolah Pantai Indonesia. Namun demikian, cakupan peserta materi literasi masih perlu diperkaya, antara lain dengan substansi terkait keragaman ekosistem pulau-pulau kecil, karakteristik pulau-pulau kecil, tipologi pulau, kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil dan aturan pemanfaatannya. 

Agar target dari literasi kepulauan ini dapat tercapai secara massif, penulis mengusulkan agar materi-materi terkait pengelolaan pulau-pulau kecil dapat dimasukkan dalam kurikulum sekolah SD/SLTP/SLTA sebagai materi penunjang, serta memanfaatkan berbagai kanal media elektronik, seperti website dan media sosial yang ada. Dengan meningkatnya literasi kepulauan, diharapkan akan menurunkan potensi-potensi konflik pemanfaatan sumberdaya dan kerusakan lingkungan serta meningkatkan pemanfaatan pulau secara legal dan berkelanjutan.

Arif Miftahul Aziz, S.Pi, M.Si – Ahli Madya Analis Pengusahaan Jasa Kelautan, Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen. Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan.(*)

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus