Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkinkah Ada Lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW?

Menurut Syekh Qasim Nanautawi dan Mirza Ghulam Ahmad a.s., khatam bermakna puncak kesempurnaan kenabian Muhammad SAW, namun masih memungkinkan adanya nabi lain tanpa perlu mengusung syariat baru.

12 Maret 2025 | 13.50 WIB

Dok. Ahmadiyah
Perbesar
Dok. Ahmadiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Syekh Muhammad Qasim Nanautawi (1832-1880 M), pendiri Darul Ulum Deobandi di India, dalam kitabnya Tahzirun Nas menyatakan bahwa istilah khatam (penutup kenabian) bagi Nabi Muhammad SAW tidak semata-mata berkaitan dengan urutan kronologis. Menurutnya, keunggulan dan kesempurnaan sifat lebih relevan dalam memahami status khataman nabiyyin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandangan ini memunculkan tafsir alternatif yang berbeda dari pemahaman umum umat Islam, yang meyakini bahwa kenabian telah berakhir dengan Muhammad SAW. Mayoritas umat Islam menganggap tafsir soal kedudukan khataman nabiyyin Muhammad SAW telah tuntas tanpa perlu penjelasan tambahan, apalagi memunculkan kemungkinan datangnya nabi lagi setelah beliau. Berbobot atau pun tidak, kedudukan khatam pada Muhammad SAW dianggap tak lagi penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Karena itu, kemutlakan soal khatam seolah runtuh dengan pernyataan Syekh Qasim Nanautawi di atas. Kebijaksanaan akal yang diberikan Tuhan mendorong kita untuk mempertanyakan ulang, apa bobot atau keunggulan posisi awal atau akhir secara kronologis? Kenyataannya, posisi kronologis tak menambah nilai istimewa untuk menggambarkan keagungan dari Muhammad SAW.

Posisi akhir atau penutup secara kronologis dari khatam-nya Nabi Muhammad SAW juga dipertanyakan, terutama jika dikaitkan dengan kedatangan kembali Nabi Isa a.s. di akhir zaman. Jika Isa a.s. kembali dan wafat setelah menjalankan misinya, bagaimana seorang sejarawan yang objektif akan menentukan siapa nabi terakhir?

Sebab itu, Syekh Muhammad Qasim memberikan sebuah jalan keluar bahwa ke-khatam-an kenabian Muhammad SAW harus dilihat dari sisi sifat-sifatnya yang luhur dan sempurna, di mana hal itu tidak akan pernah dicapai oleh siapa pun. Ia juga menambahkan bahwa sekiranya di masa mendatang ada orang mencapai status kenabian, hal itu tidak bertentangan dengan sifat khatam  

Pandangan ini telah membuka ruang “kemungkinan” ada lagi kenabian setelah Muhammad SAW. Sebab, penafsiran tentang khatam tidak terbatas pada tertutupnya atau berakhirnya silsilah kenabian. Khatam bisa terkait keunggulan sifat, keindahan akhlak, juga kesempurnaan rohani. Dalam kitab Zarqani Syarh al-Mawahib al-Ladunniyah, Imam Muhammad bin Abdul Baqi Az-Zarqani (1645-1710 M) menggambarkan khatam sebagai cincin indah yang digunakan sebagai perhiasan.

Terbukanya ruang penafsiran alternatif untuk menjawab persoalan seputar khataman nabiyyin tentu tak lantas menghilangkan makna “terakhir.” Sebab, Islam telah dikukuhkan sebagai penerima kesempurnaan syariat agama. Islam juga satu-satunya agama yang Allah ridai. Sehingga, mustahil ada lagi syariat setelahnya.

Kefinalan syariat Islam dan Al-Quran hingga hari kiamat memperkuat keyakinan umat bahwa mustahil juga ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Karena dalam pandangan umum, kedatangan seorang nabi mestinya membawa syariat atau ajaran baru.

Muhyiddin Ibnu Arabi (1165–1240 M), sufi dan teolog dari Andalusia, mengklasifikasikan kenabian dalam dua bentuk: nubuwwah tasyri’iyyah (kenabian pembawa syariat) dan nubuwwah maqamiyyah (kenabian dalam maqam tertentu tanpa membawa syariat). Dalam pandangan ini, kenabian yang membawa hukum syariat telah berakhir dengan Muhammad SAW, namun kenabian dalam bentuk maqam tetap terbuka.

Artinya, kenabian yang membawa syariat mutlak telah berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Tapi kenabian jenis lain masih terbuka. Hal tersebut tidak mencederai maqam khataman nabiyyin, justru memanifestasikan kontinuitas dukungan ilahi atas Islam melalui kesinambungan nubuwwat.

Sebagaimana sabda Nabi Muhmmad SAW dalam sebuah hadis bahwa Islam akan senantiasa mendapat penjagaan dari Allah, dengan diturunkannya para mujaddid setiap seratus tahun untuk memurnikan agama. Inilah kontinuitas nubuwwat dalam pandangan Ibnu Arabi untuk menggambarkan Allah senantiasa mengabarkan (nubuwwat dari kata naba, artinya kabar atau berita) kepada orang-orang pilihan-Nya.

Corak nubuwwat yang sama juga telah diterima oleh pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s., jauh sebelum berdirinya Ahmadiyah pada 1889. Dari kitab yang ditulisnya, yakni Barahin Ahmadiyah jilid 1 sampai 4 yang terbit pada 1880, 1882, dan 1884, didapati gambaran tentang kontinuitas nubuwwat tersebut.

Kehadiran Barahin Ahmadiyah telah menggemparkan dunia keagamaan di India dan sekitarnya. Tak cuma soal argumentasinya yang membungkam lawan, tapi juga nubuatan-nubuatannya yang mengherankan banyak orang karena setiap nubuatan terbukti terjadi.

Maulvi Muhammad Hussein Batalwi, seorang Ulama Ahli Hadis, memberikan ulasannya sebanyak 200 halaman yang terbagi dalam enam terbitan, atas publikasi Barahin Ahmadiyah. “Pengarang Barahin Ahmadiyah, seperti telaah baik kawan maupun lawan, mengatur hidupnya sesuai dengan hukum Islam dan seorang yang saleh dan pesona yang jujur. Sudah menjadi pengertian umum bahwa bisikan-bisikan setan adalah palsu, tetapi tidak satu pun wahyu-wahyu yang diterima oleh penulis Barahin Ahmadiyah terbukti palsu sampai hari ini,” demikian tulisan Maulvi.

Mirza Ghulam Ahmad a.s. telah dianugerahi warna nubuwwah maqamiyyah sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Arabi. Akibat penghambaan luar biasa kepada Allah, juga kecintaan yang besar kepada wujud suci Nabi Muhammad SAW, kontinuitas nubuwwat seolah memilih beliau untuk menjadi bukti kuat keunggulan Islam.

Warna nubuwwah yang dimanifestasikan dalam kitab Barahin Ahmadiyah terkait dengan nubuatan-nubuatan yang genap terjadi, dipahami kaum muslimin sebagai bentuk keunggulan Islam. Tak ada kontroversi, apalagi memunculkan pandangan bahwa beliau telah menodai maqam luhur Muhammad SAW.

Mansur Muhammadi, sebuah jurnal dari Mysore, Bangalore di India Selatan, mengungkapkan kekagumannya atas kitab Barahin Ahmadiyah. “Kitab ini merupakan cermin dari agama yang penuh berisi Quran. Membawa kepada jalan yang lurus. Menjadi obor penerang jalan yang benar. Menjadi harta karun kebenaran. Sebagai tambang petunjuk.”

Kontinuitas corak nubuwwah dari diri Mirza Ghulam Ahmad a.s., yang memungkinkannya untuk menerima kabar gaib dari Tuhan, terus berlanjut hingga kewafatannya pada Mei 1908. Menurut penulis, ini adalah hak prerogatif Tuhan untuk memilih orang yang pantas memikul tanggung jawab besar ini. Sejarah menunjukkan bahwa corak nubuwwah yang diterimanya, lalu dijadikan sebagai hujjah untuk mengadakan pembelaan atas Islam, telah mendapat penerimaan luar biasa di kalangan umat Islam.

Pada 1890, sepuluh tahun sejak Barahin Ahmadiyah terbit pertama kali, Mirza Ghulam Ahmad a.s. mendapatkan mandat kenabian dari Allah SWT. Kontroversi pun tak terhindarkan. Para Mullah (ulama) marah besar atas pendakwaan tersebut. Tentu berujung pada dikeluarkannya fatwa kafir atas klaim kenabiannya.

Padahal, sebelum pendakwaan kenabiannya, umat Islam tak mempermasalahkan corak nubuwwah yang disampaikannya dalam Barahin Ahmadiyah. Justru corak tersebutlah menampilkan sisi unggul Islam atas agama-agama lain. Alhasil, mata para penentang terbelalak karena kabar ghaib-kabar ghaib yang disebutkan, semuanya terjadi dengan detail-detailnya.

Maka, sungguh mengherankan bagaimana corak nubuwwah yang telah berlangsung selama sepuluh tahun dan disaksikan banyak orang dalam penggenapannya, justru menimbulkan resistensi ketika diumumkan kepada publik sebagai satu jenis kenabian yang telah ditetapkan.

Mirza Ghulam Ahmad a.s. menegaskan dalam Chasma-e-Ma’rifat, “Dengan hati dan jiwaku, aku percaya kepada kenabian Muhammad SAW dan mengetahui bahwa semua jenis kenabian telah mencapai puncaknya, dan bahwa syariatnya adalah syariat terakhir. Namun, ada jenis kenabian yang belum dilarang, yaitu kenabian yang diperoleh melalui mengikutinya secara sungguh-sungguh, di mana cahayanya (yakni, Nabi Muhammad SAW) sendiri tercermin. Hal ini karena, pada kenyataannya, merupakan bagian dari kenabian Muhammad SAW sendiri dan merupakan ‘cerminan’-nya sendiri yang diperoleh melalui kemurahan hatinya semata.”

Kenabian Mirza Ghulam Ahmad a.s. hanyalah refleksi dari kenabian Yang Mulia Rasulullah SAW. Kenabian jenis ini dianugerahkan sebagai akibat dari ketulusan dalam mengikuti Nabi Muhammad SAW secara sempurna. Dengan demikian, kenabian yang hadir sesungguhnya tetap merupakan kenabian Rasulullah SAW, yang tercermin dalam bentuk buruz—bayangan—pada diri Mirza Ghulam Ahmad a.s.

Maulana Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya menulis, “Berjuanglah dengan keras di jalan kebajikan dengan cara yang memungkinkan Anda diberkati dengan kenabian dan Anda tetap menjadi pengikut (ummati).”

Kenabian ummati ini tidak datang dari sebuah ruang kosong. Percikannya mulai memancar saat ayahanda  Mirza Ghulam Ahmad a.s. wafat, di mana satu bentuk ilham diterimanya. Lalu percikan tersebut bertranformasi menjadi obor kebenaran saat pembelaannya atas Islam dimulai, lewat Barahin Ahmadiyah. Hingga akhirnya, corak nubuwwah tersebut harus dikukuhkan dalam sebuah pendakwaan.

Nubuwwah pada hakikatnya merupakan cara Allah SWT memanifestasikan dukungan-Nya atas Islam. Dia akan menyingkapkan kepada orang-orang terpilihnya cara terbaik memurnikan agama, sebab kehidupan manusia tengah bergerak kepada kerusakan. Dan kenabian merupakan sebuah jalan untuk memperbaiki kerusakan itu. Jalan-jalan perbaikan akan terus hadir. Sepanjang pintu-pintu nubuwwah masih terus terbuka. (*)

 

 

Muhammad Nurdin | Muballigh Jemaat Ahmadiyah

Sandy Prastanto

Sandy Prastanto

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus