Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nelayan Bahagia Penambangan Pasir Berakhir di Pulau Rupat

Ekploitasi pertambangan pasir mengancam eksistensi Pulau Rupat. Jika pulau ini hilang, maka batas teritorial dengan Malaysia pun musnah.

27 Desember 2023 | 16.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL – Nelayan di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, akhirnya kembali bernapas lega. Lingkungan tempat tinggal mereka tidak lagi dirusak. Hasil tangkapan laut juga diharapkan kembali banyak seperti masa lampau. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memberlakukan pelarangan penambangan pasir di pulau ini sejak 21 Juni 2023 silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan anlisis tim ahli, kerusakan ekosistem di perairan Pulau Rupat disebabkan oleh dua faktor. Sebanyak 25 persen oleh faktor alam, dan 75 persen akibat kelalaian manusia, salah satunya dampak aktivitas penambangan pasir laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelarangan ini dibuktikan dengan penyegelan perusahaan tambang PT Logo Mas Utama. Dalam sebuah kegiatan patroli di perairan Selat Malaka, KP HIU 01 menangkap kapal milik perusahaan tersebut yang setelah diperiksa terbukti mengangkut hasil penambangan pasir laut tanpa izin.
“Kapal tersebut kami ad hoc di Dumai,” kata Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) Iqbal.

Selanjutnya, kapal penambang tersebut diperiksa dan diproses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) lalu diberi sanksi administratif berupa penghentian kegiatan. Kemudian petugas memasang segel pada PT Logo Mas Utama, serta di Pulau Rupat, Pulau Babi, dan Pulau Beting Aceh.

KKP juga melayangkan permintaan evaluasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terkait kegiatan pertambangan di Pulau Rupat.

Penangkapan ini, kata Iqbal, sebagai komitmen penetapan KKP bahwa Pulau Rupat berstatus dilindungi. Dari 17 ribu pulau di Indonesia terdapat 111 pulau-pulau kecil terluar yang pemanfaatannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010.

Dalam regulasi itu disebutkan hanya ada tiga kegiatan yang boleh dilakukan. Pertama untuk pertahanan keamanan, dua untuk kesejahteraan masyarakat, dan tiga untuk pelestarian lingkungan. Tidak diperbolehkan melakukan kegiatan penambangan atau eksplorasi.

Pulau Rupat yang berada di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau memiliki luas sekitar 1.500 kilometer persegi, dihuni oleh 55.00o penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Mereka harus menelan pil pahit akibat penambangan pasir yang menyebabkan hasil laut tidak sebanyak dahulu.

“Dampak yang dilakukan oleh pertambangan pasir laut terjadi di Pulau Rupat, Pulau Babi, dan Pulau Beting Aceh. Bahkan ada yang bilang pasir di Beting Kuali sudah hilang,” ujar salah satu nelayan yang tak mau disebutkan namanya.

Gusar dengan ancaman terhadap lingkungan dan mata pencaharian, para nelayan tersebut sempat melakukan aksi damai ke Kantor Gubernur Riau. Mereka menuntut penghentian penambangan pasir dengan cara mencabut Izin Usaha Pertambangan PT Logo Mas Utama.

Menindaklanjuti aksi tersebut, KKP langsung bertindak tegas dengan menghentikan seluruh kegiatan penambangan pasir di Perairan Pulau Rupat sesuai PP Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Keppres Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Kepala Desa Suka Damai, Abd. A, menuturkan gejolak antara nelayan dan perusahaan terjadi sejak beberapa tahun lalu. pasalnya, lokasi penambangan berada di kantong ikan atau disebut “lubuk ikan” oleh masyarakat setempat, yakni tempat ikan, kepiting, udang, dan lainnya. Di lokasi itulah para nelayan terbiasa menebar jaring.

“Penambangan (pasir) ini memang sangat mengganggu,” ujarnya. Karena itu, ia berharap setiap kegiatan eksploitasi mestinya dikoordinasikan dulu dengan masyarakat setempat. 

Menyelamatkan Teritorial Indonesia
Guru Besar Bidang Ilmu Ekologi Pesisir Institut Pertanian Bogor, Profesor Dietriech menjelaskan pentingnya menjaga pulau terluar Indonesia. Pulau Rupat sebagai pulau terluar yang berbatasan dengan Malaysia dan dipisahkan Selat Malaka, harus tetap dijaga eksistensinya. Jika hilang, artinya menghilangkan batas teritorial dengan negeri tetangga.

“Pulau Rupat ini merupakan salah satu pulau kecil yang tergolong dalam pulau-pulau yang proses pembentukannya mendukung ekosistem pesisir, terutama terumbu karang, lamun, dan mangrove. Ekosistem ini merupuakan pelindung dan peyangga pulau tersebut, dan tentu saja sangat bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat di sana, terutama sumber daya hayati.

Ketiga ekosistem itu saling memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi Pulau Rupat. Kalau mangrove hilang maka dapat juga merusak ekosistem terumbu karang. Kalau terumbu karang hancur, maka dapat menimbulkan abrasi. “Jadi, prinsipnya bila kita ingin mempertahankan Pulau Rupat maka semua pemangku kepentingan harus bersama-sama terlibat,” ujarnya.

Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan agar semua pemangku kepentingan terlibat adalah, menjalankan pengelolaan yang terpadu demi menjamin keberlanjutan Pulau Rupat. Upaya yang dilakukan pemangku kepentingan ada tiga dasar. Pertama harus ada kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, akademisi, dan dunia usaha.

Kemudian, perlu adanya koordinasi dalam memanfaatkan Pulau Rupat serta ekosistemnya. Ketiga, perlu ada proses dalam mengkonsultasikan setiap langkah pemanfaatan agar bisa menjamin keberlanjutan dan pemanfaatan yang optimal.

Sementara itu, Direktur Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor G. Manoppo menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 dengan tegas memuat kriteria pulau kecil yang dapat dikelola dan yang tidak atau dilarang.

Selain melalui regulasi, KKP juga konsisten melakukan pengawasan. “Bersama Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, kita sudah membentuk tim kerja yang terdiri dari beberap stakeholder terkait untuk mengecek di lokasi mana saja yang betul-betul dilaksanakn sesuai aturan,” tutur dia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010, ada tiga hal yang bisa dimanfaatkan pada pulau-pulau kecil terluar. Pertama untuk garda pertahanan. Contoh, dengan membangun pos penjagaan TNI. Kedua, memanfaatkan ekologinya, lingkungannya, atau mungkin hutan yang ada di pulau tersebut.

“Ketiga, kita bersama Kementerian ATR BPN mensertifikatkan pulau-pulau kecil sebagai legalitas formal, pulau tersebut adalah milik bangsa kita. Kita juga dorong masyarakat untuk meningkatkan reformasi itu melalui perizinan rekomendasi, bagaimana dapat memanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan,” kata Victor.

Ia menegaskan KKP memiliki kepedulian tinggi terhadap kelestarian laut Indonesia. “Laut itu sumber kehidupan masyarakat kita. KKP menjadi laut atau ekologi sebagai panglima, artinya kita jadikan laut sebagai sumber kehidupan kita bersama,” pungkasnya. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus