Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ngayogyakarto hadiningrat

Upacara penobatan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono X. Minat masyarakat, pejabat maupun turis menyaksikan jumenengan. sejarah kerajaan mataram.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi, 7 Maret ini dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono X. Untuk menggantikan ayahnya yang mangkat tahun lalu. Seperti ayahnya, Pangeran Mangkubumi sederhana dan demokratis. Upacara penobatan dilakukan dengan penuh kebesaran, sebagaimana layaknya penobatan seorang raja Mataram. Apakah penobatan ini merpakan bangkitnya kembali "neo-feodalisme"? Pada Selasa Wage 29 Rajab 1921 -- bertepatan dengan 7 Maret 1989 -- Yogyakarta akan kembali menjadi pusat perhatian, baik secara nasional maupun internasional, apalagi lokal. Pada hari itu, seorang raja baru bagi Ngayogyakarto Hadiningrat akan dimahkotai. Pangeran Mangkubumi bakal resmi menyandang gelar Sultan Hamengku Buwono X. Ia menggantikan ayahandanya, Seri Sultan Hamengku Buwono IX, yang mangkat tahun lalu. Peristiwa langka ini -- penobatan sebelumnya terjadi di tahun 1940 -- seluruhnya berlangsung delapan hari, dengan puncaknya pada tanggal 7 Maret 1989. Di dalamnya, yang antaranya juga sangat menarik, adalah ziarah ke makam Kota Gede dan Imogiri pada dua hari pertama, dan labuhan (di Parang Tritis, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih) serta kirab. Yang paling menyedot perhatian, tentunya upacara puncak itu sendiri, yaitu Jumenengan atau koronasi sang sultan. Dilaksanakan di Sitihinggil, rangkaian upacara pemahkotaan itu akan berlangsung sehari penuh. Sejumlah 2.000 pengiring akan menyertai upacara, yang semuanya tentu akan memakai pakaian adat Jawa. Semua pusaka dan perlengkapan kebesaran lainnya bakal keluar dari simpanan. Singgasana raja, yang berusia 300 tahun, akan dikeluarkan dari keraton dan dibawa ke pelataran tempat berlangsungnya koronasi. Kita ketahui, Sultan Hamengku Buwono IX sampai akhir hayatnya belum sempat mengangkat seorang putra mahkota. Oleh karena itu sehelum pemahkotaan sultan berlangsung. Pangeran Mangkubumi akan dikoronasi terlebih dahulu sebagai putra mahkota. Dimulai pada pukul 08.00, prosesi dengan 2.000 pengiring bergerak dari Proboyekso, kediaman sultan di keraton, menuju Sitihinggil, tempat berlangsungnya upacara Gending Monggang dan Kodok Ngorek mengiringi upacara ini. Setelah penobatan Putra Mahkota menjadi Sultan Hamengku Buwono X, diadakan pula pengangkatan beberapa pangeran untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Mangkubumi setelah ia memangku jabatan Sultan. Kemudian dinobatkan istri Mangkubumi sebagai permaisuri -- koronasi permaisuri pertama sejak 100 tahun terakhir. Lalu pidato penobatan. Seusai upacara, Sri Sultan berkenan menerima ucapan selamat dari para tamu kehormatan, bertempat di Bangsal Sri Manganti. Sore harinya, unjuk bakti (ngabekten) para pangeran dan pembesar keraton kepada Hamengku Buwono X diadakan di Bangsal Kencono Kraton Yogyakarta. Esok paginya, 8 Maret 1989, seorang utusan Hamengku Buwono X akan menanam pohon beringin di Alun-alun Utara, tepat di depan istana. Pada hari itu juga, diberangkatkan empat rombongan keraton untuk mengadakan upacara labuhan di keempat tempat sakral bagi Kerajaan Mataram. Yaitu Pantai Parang Kusumo di Pantai Selatan, gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih, di Wonogiri. Sore harinya, berlangsung upacara kirab. Sultan baru bersama segenap Pangeran, dengan kereta kencana yang ditarik kuda, berkeliling benteng keraton sejauh sekitar lima kilometer. Dalam acara ini rakyat Yogya memenuhi jalan-jalan yang dilakui rombongan Sri Sultan, mengelu-ngelukan Sultannya yang baru. Jelas, bagi banyak negeri, peristiwa seperti ini sudah menjadi bagian dari masa lalu. Kecuali di negara-negara kerajaan seperti Inggris, Belanda, Jepang dan beberapa negara Skandinavia. Maka tak heran peristiwa unik dan bersejarah ini merupakan daya tarik bagi kaum pelancong. Kapan lagi bisa menyaksikan upacara penobatan yang begitu agung, dan kapan lagi bisa menyaksikan sekitar 2.000 kawula keraton Yogyakarta -- dari pangeran dan kerabat, abdi dalem segala tingkatan dan prajurit keraton, semuanya dalam pakaian adat lengkap menurut tingkat dan derajatnya masing-masing -- menyertai prosesi penobatan rajanya? Minat masyarakat menghadiri koronasi Sultan Yogya sangat besar. Khabarnya ada rombongan turis asing yang langsung menuju Indonesia selepas menyaksikan pemakaman Kaisar Syowa di Jepang. Panitia Upacara Penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Yogya mengundang 3.000 tamu kehormatan, para tokoh-tokoh baik nasional maupun lokal yang diundang sebagai pribadi. Tempat para tamu tersebut adalah di Sitihinggil dan Pagelaran. Karena upacara akan dimulai dari Proboyekso, yaitu bagian inti keraton, maka para tamu tidak dapat mengikuti keseluruhan upacara secara langsung. Untung telah dipasang close circuit television (CCTV) di sekitar tempat duduk para undangan hingga keseluruhan upacara akan dapat disaksikan. Bagaimana dengan puluhan ribu masyarakat lainnya? Merekapun tidak dilupakan. 30 buah pesawat televisi di pasang di sekitar alun-alun Utara yang menjamin mereka untuk dapat mengikuti keseluruhan upacara akbar ini. Dengan demikian baik para turis asing dan lokal serta masyarakat Yogya sendiri, yang tentunya merasa lebih berkepentingab menyemarakkan penobatan rajanya, dapat terpuaskan. Banyaknya peminat dan terbatasnya undangan sempat melahirkan desas-desus telah dikomersialkannya tanda masuk istimewa itu. Konon, surat undangan diperjual-belikan. Ini jelas ulah "oknum yang tak bertanggung jawab, karena Panitia mengundang tamunya tanpa mengutip bayaran. Seremoni agung yang langka ini tentu banyak yang ingin meliput dan mengabadikannya. Banyak wartawan dalam dan luar negeri telah berdatangan, siap melaporkan atau merekamnya dalam berbagai media yang ada. Dalam zaman yang kian modern ini, tampaknya secara tak terelakkan mereka menjadi bagian dalam setiap kegiatan, bahkan dalam upacara yang paling sakral pun. Demikian pula partisipasi para usahawan. (lihat Box). Raja baru bagi Yogyakarta? Pertanyaan ini pasti akan timbul di kalangan "republikein " sejati. Apa perlunya? Tidak cukupkah dengan seorang kepala daerah setingkat Gubernur? Di sinilah uniknya Yogyakarta, di sinilah "istimewa"-nya Daerah Istimewa itu. Ditinjau dari segi mana pun, terutama dari sudut sejarah dan kebudayaan, Yogyakarta tepat memerlukan seorang Sultan. Dan hendaknya dicatat, keberadaannya sah menurut UUD Republik Indonesia. Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi. Yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I, 1755. Beliau mengadakan perlawanan yang unik terhadap Raja Mataram di waktu itu, yaitu Sri Susuhunan Paku Buwono III. Dikatakan unik karena perlawanan itu sebetulnya direstui oleh Paku Buwono III, jadi yang Beliau perangi sebetulnya adalah Belanda yang makin mencengkeram Mataram. Hasilnya, dilakukan palihan nagari (pembagian kerajaan) Mataram, sang pangeran lebih suka memilih Yogyakarta. Alasannya daerah ini adalah cikal-bakal kerajaan Mataram yang menjadi besar di bawah Sultan Agung, yang sangat disegani oleh Belanda. Tampaknya, "semangat merdeka" ini tetap dinyalakan dalam kerjaan yang dirintisnya. Dan ternyata kesampaian. Sejarah mencatat, Sri Sultan Hamengku Buwono I sendiri seorang pemimpin perlawanan terhadap Belanda, di samping diplomat yang teguh. Penerusnya, Hamengku Buwono II, juga demikian. Lalu Pangeran Diponegoro, pemimpin perang rakyat yang membuat Belanda putus asa dan hanya bisa dikalahkan dengan siasat yang licik. Dalam zaman modern muncul seorang bangsawan Yogya bernama Dr. Wahidin Sudiro Husodo sebagai pencetus pembentukan Budi Utomo. Kita ketahui, Budi Utomo adalah pelopor organisasi modern dan pembangkit nasionalisme Indonesia, organisasi inilah yang mengantar Indonesia menjadi nasion yang merdeka dan bersatu. Selanjutnya, kita saksikan sendiri sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX ketika kemerdekaan diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta. Hanya sehari setelah proklamasi itu dicanangkan, HB IX langsung memberi reaksi positif kepada kedua pemimpin Indonesia itu: "Kami Sultan Yogyakarta mengucapkan selamat atas terbangunnya Negara RI dan terpilihnya PYM sebagai presiden dan Wakil Presiden NRI." Pada 20 Agustus, Sri Sultan sekali lagi mengirim kawat ucapan selamat sambil menyatakan kesediaannya berdiri di belakang Presiden dan Wakil Presiden itu. Tiga minggu kemudian, beliau dengan tegas menyatakan Yogyakarta, daerah kekuasannya, menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Dukungannya tidak cuma dalam ucapan pada 4 Januari 1946, setelah Jakarta tak aman lagi, ia rela Yogyakarta menjadi pusat pemerintah RI sementara. Ketika Yogyakarta diduduki Belanda, 1948, tidak saja beliau melarang tentara Belanda memasuki keraton tapi keraton juga menjadi tempat persembunyian yang aman bagi gerilyawan Indonesia. HB IX juga memegang peranan penting dalam Serangan Umum I Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol. Soeharto, kini Presiden RI. Dan sesudah itu beliau menjabat berbagai jabatan dengan puncak sebagai Wakil Presiden kedua dari Republik kita. Jasa Yogyakarta bagai tak habis-habisnya disebutkan. Namun yang harus dicatat disini adalah kerelaan Sri Sultan menyerahkan berbagai bangunan keraton untuk ruang kuliah dan kantor Universitas Gajah Mada. Universitas terkemuka ini sejak awal menjadi incaran bagai para pelajar dari seluruh penjuru Indonesia, yang sekaligus menjadi wadah pembauran antarsuku justru pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia. Peran ini relatif masih bertahan hingga kini. Kalau HB IX dikatakan dekat dengan rakyat -- Tahkta untuk Rakyat -- menurut istilah Sri Sultan sendiri -- memang menjadi kehendak dan tekadnya. Apalagi dalam nadinya ada mengalir darah orang biasa, yaitu dari moyangnya yang bernama Senopati. "Ayah Senopati, Ki Gede Pamanahan, berasal dari rakyat kebanyakan. Dia bukan wali dan bukan raja," sebuah sumber mengungkapkan. Sampai wafatnya HB IX, orang tidak mempersoalkan keistimewaan Yogyakarta, bagian dari Republik Indonesia yang berupa kerajaan berdasar permusyawarahan rakyat, Sultan diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Presiden dengan tidak terikat pada masa jabatan. Dari segi hukum landasannya adalah Pasal 18 UUD'45. Dengan demikian undang-undang dasar negara kita telah mentransformasikan Yogyakarta dari kerjaan Kasultanan Yoakarta dan Kadipaten Pakualaman dari kerajaan jajahan menjadi suatu daerah istimewa dalam Republik Indonesia. Pengakuan tersebut dinyatakan dengan diberikannya Piagam Kedudukan baik kepada Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII. Setelah bermusyawarah dengan segenap lapisan masyarakat Yogyakarta maka piagam tersebut disambut dengan amanat baik dari Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII. Waktu daerah-daerah lain mengalami masa-masa transisi yang tidak mulus dari pemerintahan Jepang ke Republik Indonesia, maka justru di Yogyakarta berlangsung lancar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, kemudian, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pelopor dalam demokratisasi pemerintahan. Misalnya dengan pembentukan DPR kelurahan, Majelis Permusyawaratan Desa, DPRD baik kabupaten dan Kota maupun DPR Daerah Istimewa. Mengenai Kepala Daerah Istimewa UU no. 2 Tahun 1948 mengatur sebagai berikut: "Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di derah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan mengingat adat-istiadat di daerah itu." Begitu juga, dari peraturan perundang-undangan lain yang berlaku mulai 19 Agustus 1945 sampai sekarang, keistimewaan daerah Yogyakarta tetap diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Bukan hanya secara yuridis formal Yogyakarta diakui sebagai daerah istimewa, tetapi secara historis kita dapat mengikuti ketegaran keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah Derah Istimewa Yogyakarta adalah sisi lahir dari keraton, sedang sisi batin adalah budaya keraton. Pangeran Mangkubumi, yang kini telah ditabalkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono X menyadari sepenuhnya bahwa keistimewaan Yogyakarta harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman baik dari segi lahir maupun batin tersebut. Dari segi batin maka teramat banyak warisan budaya yang monumental sifatnya. Sultan Hamengku Buwono I meninggalkan tata bangunan kraton yang penuh arti. Asas kesatuan dan persatuan tercermin dalam candasengkala Mulat Sarira Tunggal atau "Sari Rasa Tunggal". Prinsip integralisme ini, yang diajarkan oleh Sultan Agung melalui karyanya yang berjudul Sastra Gending, berhasil dijalankan oleh Hamengku Buwono I dan juga Hamengku Buwono IX, baik secara kosmologis maupun kultural. Menurut Damardjati Supadjar dari Yogyakarta, Sastra Gending bersama Pangrucutan berhasil ditransormasikan oleh HB IX sebagai "titik temu Timur dan Barat" dan "titik singgung budaya dan agama." Dikatakannya, "Dengan arif, Ngarsa Dalem Hamengku Buwono IX berhasil menata Yogyakarta sebagai 'masyarakat (mini) Indonesia', dalam Wawasan Nusantara sebagai mini". Penulis di atas juga mengemukakan: "Maka bila penobatan Jumenengan Ngarsa Dalem Sinuwun Hamengku Buwono X terlaksana pada 7 Maret 1989 akan sangat sesuai jika dihayati sebagai momentum pembaruan niat buat menegakkan Tahta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Budaya". Keraton Yogyakarta, yang telah berusia 200 tahun, adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya, bangunan ini ditata berdasarkan wawasan integral makro dan miko-kosmologis, yang mencakup dimensi ruang: lahir dan batin: dan dimensi waktu: awal dan akhir. Kawasan keraton yang seluas lima kilometer persegi itu merupakan kesatuan kosmologis Agni (Gunung Merapi), Udaka (Laut Selatan), dan Maruta (udara bebas di atas Sitihinggil) -- yang menjadi AUM. Bangunan Sitihinggil, yang didirikan di atas tanah yang ditinggikan, adalah pengejawantahan akan harkat manusia, yang atas perkenan Tuhan Yang Maha Esa, diangkat ke jenjang yang lebih tinggi sebagai Khalifatullah. Inilah unsur Ibu Pertiwinya. Sedangkan unsur ke-Bapak-Angkasaan-nya mencakup surya (matahari), candra (bulan), dan kartika (bintang) Itulah cakupan kepada gelar Hamengku Buwono. Toh tempat yang bernilai luhur itu sempat dengan sukarela disediakan untuk tempat kuliah Universitas Gajah Mada sampai dengan tahun tujuhpuluhan. Ini bukti betapa progresifnya Sultan Hamengku Buwono IX, beliau berfikir jauh ke depan. Hasilnya, tidak sedikit pemimpin Indonesia dewasa ini yang ditempa di Siti Hinggil tersebut. Warisan para pendahulunya, baik yang bersifat materi maupun rohani, pasti akan banyak membantu Sultan yang baru dalam menjalankan tugas sejarahnya. Dan tentu, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia bakal menjadi pegangannya. Tugas yang diemban Hamengku Buwono IX dalam masa kesultannya tak kurang berat daripada yang dipikul ayahandanya. Namun tekad tampak bulat, seperti lima butir pedoman beliau: * Untuk tidak mempunyai prasangka, iri, dan dengki kepada orang lain. * Untuk tetap merengkuh orang lain, walau orang lain tersebut tidak senang. * Untuk tidak melanggar Paugering Negara. * Untuk lebih berani mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. * Untuk tidak mempunyai ambisi apapun selain untuk menyejahterakan rakyat. Lima butir tekad ini agaknya akan menjadi Garis-garis Besar Strategi Kebudayaan keraton sebagai Pusat Kebudayaan di tengah-tengah era kemerdekaan sebuah negara demokrasi. Sebab, seperti yang ditekankan oleh Damardjati Supadjar, yang terpenting bukannya "mendewakan suara rakyat", melainkan "mendengar sabda-Nya di balik suara rakyat", dan "mentaati-Nya". Keraton/Daerah istimewa Yogyakarta telah ikut berperan dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia -- bahkan sedikit banyak telah turut mengisinya. Kini dalam era Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengku Buwono X. Yogyakarta terpangil ikut serta lebih aktif berperan dalam mengisi kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan. Kalau dalam masa kesultanan terdahulu dengan tekad "Tahta Untuk Rakyat", kini sebagai kelanjutannya, Hamengku Buwono X mencanangkan "Tahta Bagi Kesejahteraan, Kehidupan Sosial, dan Budaya Rakyat". Dalam bahasa Jawa, semboyan tersebut berbunyi: Kaprabon Kagem Karaharjaning Praja, Kawula. Tuwin Lestanning Pudaya. Semboyan tersebut sesuai benar dengan kenyataan Yogyakarta sekarang. Wilayah berpenduduk 2,8 juta itu pertama-tama memiliki khasanah budaya dan seni yang beragam dan tinggi. Keraton Yogya, yang berusia 200 tahun, menyimpan berbagai peninggalan yang tak ternilai -- banyak diantaranya berusia lebih tua. Sedang keratonnya sendiri menjadi saksi sejarah kebesaran Kerajaan Mataram, yang menjadi sasaran kunjungan para sejarawan, disamping turis biasa. Yogyakarta juga mengambil perannya sebagai Ibu Kota Republik ketika Jakarta tidak aman lagi sebagai pusat pemerintahan sebuah negara yang baru berusia setahun jagung (1946). Serangan 11 Maret 1949 yang berlangsung dikota ini, mencanangkan kepada dunia bahwa "Indonesia masih ada" -- hal yang berbalikan dari propaganda Belanda. Yogya dikenal pula sebagai kota senirupawan dan seniman pada umumnya. Dia lahir atau menjadi besar dengan sejumlah pelukis kaliber Affandi dan Sudjono, penyair dan dramawan W.S. Rendra, komponis C. Simandjuntak, penata tari Bagong Kusudiardjo -- untuk menyebut beberapa nama. Dari Kota Pelajar dan Mahasiswa ini dicetak para ilmuwan, diantaranya Prof.Ir. Sardjito, Prof. Johannes, Dr. T. Jacob. Di bagian pinggir kota, muncul nama Kota Gede, ibu kota Kerajaan Mataram dimasa lalu, sebagai sumber kerajinan perak. Masih di wilayah pinggiran bertebaran candi-candi, termasuk yang termasyur di dunia, seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut saksi bahwa Yogyakarta adalah penerus tradisi yang telah berusia sangat tua. Yogyakarta juga dikenal sebagai kota batik dengan gudeg sebagai masakan khasnya. Ini semua merupakan potensi yang bisa digali, dikembangkan, ditingkatkan, serta "dijual". Semua ini demi harkat dan martabat negara sebagai bangsa yang berbudaya -- disamping itu, tentu, untuk menopang kehidupan rakyat setempat. Apabila pemerintah setempat, bisa membantu mengembangkan potensi ini, "Tahta Bagi Kesejahteraan, Kehidupan Sosial, dan Budaya Rakyat" tentu tidak akan menjadi semboyan belaka. Sukses Sultan terdahulu menerapkan "Tahta Untuk Rakyat" rasanya dapat menjadi daya dorong. Keberhasilan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII membangun Daerah Istimewa Yogyakarta dari daerah termiskin ketiga pada awal masa orde Baru, sekarang menjadi daerah dengan pendapatan rata-rata yang meningkat, patut diteruskan. Melihat figur Pangeran Mangkubumi, tampak nyata ada alasan untuk mempertanyakan kemampuannya. Ayahnya sendiri, Hamengku Buwono IX, menganggap anak laki-laki tertuanya itu cukup siap mental dan spiritual untuk mengeman tugas sejarahnya. Sikap dan pandangannya tidak berbeda dengan sang pendahulu mengenai berbagai masalah kehidupan dan kemasyarakatan: berwawasan kebangsaan dan kerakyatan. Bagi Hamengku Buwono X, "negara" mengandung makna sosio-politis dan "bangsa" berpengertian sosio-psikologis. Negara Kebangsaan memiliki nilai-nilai dasar sebagai pengikat dan perekat kehidupan bersama, yang dengannya dapat terwujud bentuk-bentuk dedikasi dan loyalitas terhadap kepentingan bersama sebagai makna sosio-kultural yang hakiki. Dalam pandangan bangsawan berusia 43 tahun itu, Pancasila sebagai satu-satunya asas, tidak berarti monolitis, tapi merupakan batasan ideologi-politis bagi masyarakat Indonesia yang pluralitis -- namun berintegrasi nasional. Maka, menurut dia, perlu benar-benar dipahami kemajemukan masyarakat dengan segala konsekuensinya. Dalam kemajemukan itu tentu selalu ada benih-benih konflik, yang timbul karena perbedaan nilai-nilai. Namun perbedaan ini harus dicari titik temunya, untuk mencapai konsensus dan solidaritas nasional. Caranya, dengan bersikap berani dalam mengatasi segala problematik. Bhineka Tunggal Ika bagi Sultan merupakan strategi integrasi nasional. "Kepentingan Negara Kebangsaan harus berada di atas segala kepentingan kelompok dan golongan", ujarnya suatu kali. Karena kelompok/golongan ini adalah bagian dari keseluruhan yang utuh, mereka tidak boleh mengganggu kepentingan keseluruhan. Menyadari konsep rukun dan harmoni merupakan kultur Jawa, ia menolak pendewaan "suara rakyat", karena bisa menjurus pada "salah kaprah". Dalam esensinya, pengutamaan rukun dan harmoni adalah mendengarkan suara kebenaran Tuhan di dalam "suara rakyat" untuk diturut. Dengan demikian, kerukunan dan harmoni yang diperoleh akan memberikan ketentraman dan kebahagiaan sejati. Keterikatan pada kepentingan sosial dan jaringan sosial tertentu tidak dapat dipungkiri, menurut pandangan HB X. Itu bisa merupakan ikatan keluarga, ikatan kekerabatan, golongan etnis, adat dan tata cara, aspirasi politik, dan lain-lainnya. Dalam menerima Pancasila di negara kebangsaan ini, seseorang harus menerima pula berbagai perbedaan yang ada. "Yang penting, yang satu harus menerima dan memahami eksistensi yang lain", ujarnya. Sehingga penerimaan Pancasila tidak sekadar formalitas, tetapi harus diwujudkan secara faktual dan substansial, lanjut Sultan. Sikap curiga-mencurigai antarkelompok dan antargolongan, dan segala eksklusivisme sebagai refleksi pertahanan diri yang sempit, dikatakan harus ditekan seminimal mungkin. Karena, eksklusivismes atau pihak akan mengundang sikap sama dipihak lain. Berbicara tentang alih generasi, HB X berpendapat bahwa regenerasi bukan sekedar persoalan fisik-biologis dan alih peran, tetapi juga masalah kualitatif. Yaitu mutu generasi penerus --mereka harus mampu menghadapi pelbagai tuntutan dinamika dan perkembangan masyarakat. Seorang kader harus memiliki idealisme yang tinggi mampu berjuang dan berdaya tahan tinggi untuk melaksanakan perjuangan. HB X sendiri, sejak remaja hingga menjadi ketua DPD Golkar DIY sekarang ini, dengan bergairah selalu memanfaatkan berbagai orum pertemuan dengan kaum muda. Dalam kesempatan itu, ia melibatkan diri dalam pergumulan perjuangan bangsa. Dengan cara tersebut, daya intelektualitas dan spiritualnya terasa, dan kegiatan operasionalnya terlatih. HB X sempat mengamati peran kaum ilmuwan dan wanita bagi negeri ini. "Saya melihat peranan besar kaum wanita, terutama sebagai penyalur informasi yang sangat cepat", ujarnya. "Juga keampuhan mereka dalam interaksi sosial". Para cendekiawan dinilainya dapat menjadi sumber yang jernih dan bertanggungjawab dengan gagasan-gagasan dan pemikirannya yang segar, baik yang bersifat sportif maupun korektif. Mereka mampu berperan sebagai penangkal penyakit kerutinan, konservatisme dan rasa puas diri. Sebelum dinobatkan sebagai Sultan, Pangeran Mangkubumi juga sempat menjabat Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) DIY. Karena di sana ia dapat berperan sebagai jembatan antara dunia usaha (swasta) dan pemerintah -- dan dengan sikap yang jelas. Prinsipnya, "Kepentingan dunia bisnis harus terkait dengan kepentingan masyarakat bertolak dari semangat solidaritas nasional". Sikap itu dinamakannya patriotisme wiraswasta. Bagaimana sikapnya terhadap peran yang kini mulai diembannya: Sultan Hamengku Buwono X? "Saya akan tetap melaksanakan tradisi yang sampai sekarang masih berlangsung, seperti Sekaten, Labuhan, Siraman", ujarnya, tak lama setelah ia disebut-sebut sebagai calon pengganti ayahnya di kursi kesultanan Yogyakarta. Yaitu sesuai dengan kesepakatan di antara para kerabot keraton. "Saya tidak akan melakukan perombakan-perombakan", ia berjanji. Namun, HB X sendiri mempertanyakan kemungkinan perubahan sikap kawulanya pada 10-15 tahun mendatang. Umpamanya, apakah nantinya masyarakat setempat akan tetap menerima kebiasaan tadi atau malahan menganggapnya sebagai tahyul. "Ini yang kelak akan menjadi problem", katanya, sambil mengingatkan bahwa keraton harus pandai-pandai menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan zaman. Sesuai dengan perkembangan zaman itu, ia tak menolak kemungkinan, misalnya, menyederhanakan upacara-upacara tradisional tersebut. Ia menunjuk Bali, yang bahkan upacara yang berkaitan erat dengan keagamaan dapat disederhanakan. Lalu mengapa di Yogyakarta, ujarnya. "Upacara yang terkait dengan adat tidak?" Akan tetapi di dalam pelaksanaannya, tentu tidak semudah meniatkannya. Kalangan adat biasanya tidak mudah menerima perubahan terhadap pelbagai kebiasaan lama, yang telah diterima sebagai upacara yang tradisional dan sakral. Waktu tampaknya harus menunggu. Zaman memang telah berubah jauh, yang pada gilirannya membawa perubahan tata-nilai. Juga feodalisme. Kini bentuk kerajaan di banyak negara telah digantikan oleh sistem baru, dan yang sedikit itupun, lebih berat ke kulit daripada ke isi dengan raja yang lebih banyak sebagai lambang. Bagaimana dengan Ngayogyakarto Hadingingrat? Apakah dengan penobatan Sultan baru ini berarti kesultanan Yogyakarta ingin bertahan dalam bentuk neo-feodalisme? Tampaknya tidak. Sultan yang sekarang, seperti ayahandanya, terkesan lebih demokrat dari para "aristokrat baru" yang kini banyak ditemui dimana-mana dinegeri ini. Slogannya "Tahta Bagi Kesejahteraan, Kehidupan Sosial, dan Budaya Rakyat", agaknya bisa menjain Sultan Hamengku Buwono X akan sedemokratis pendahulunya dalam membawa rakyat Yogyakarta dengan aman dan sejahtera menerobos tahun 2000! DARI HERJUNO DARPITO KE HAMENGKU BUWONO X Dari urutan putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Pangeran Mangkubumi adalah yang kelima, namun merupakan putra laki-laki tertua. Lahir pada 2 April 1946 dengan nama Bandoro Raden Mas Herjuno Darpito, dari ibundanya, KRAy Windyariingrum. Pemilihan nama Herjuno Darpito sendiri ada sejarahnya, seperti yang diceritakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam buku "Tahta Untuk Rakyat" (terbitan Gramedia, 1982), sebagai berikut: "... Pada masa Sultan Hamengku Buwono I bertahta, telah dibuat lima figur wayang dari kulit. Di antaranya merupakan karya sang raja sendiri, sangat halus dan indah. Kelima wayang ini kemudian menjadi pusaka keraton. Namun, sang raja sendiri telah meramalkan bahwa wayang pusaka ini akan hilang pada masa pemerintahan Hamengku Buwono III. Dan, akan kembali lagi pada masa Hamengku Buwono VIII dan Hamengku Buwono IX. Kelak, bila kelima wayang itu telah kembali, itulah saatnya negara akan makmur dan sejahtera. Demikian ramalan pendiri Kesultanan Yogyakarta ini. Ternyata, pada masa Hamengku Buwono III, kelima wayang tersebut benar-benar hilang. Kemudian, pada masa Hamengku Buwono VIII, dua di antaranya memang ditemukan kembali. Dan ketika saya kembali dari studi di Holland, datang seseorang dari Cirebon untuk menyerahkan wayang tokoh Arjuna yang indah sekali. Setelah diteliti oleh ahli wayang keraton, serta dicocokkan dengan berbagai primbon tentang wayang, ternyata cocok sekali dengan ciri-ciri pusaka Keraton yang hilang. Begitu pula menjelang kelahiran anak laki-laki saya tertua pada tahun 1946, datang seseorang dari Ambarawa. Dia pun bermaksud menyerahkan wayang tokoh Srikandi (istri Arjuna), ditatah halus dan cantik. Pemilik wayang tersebut juga berkata bahwa daerahnya di Ambarawa baru saja diserbu Belanda. Semua rumah di sekelilingnya musnah terbakar. Anehnya, rumahnya sendiri tak tersentuh api sedikit pun, ceritanya. Saya putuskan ke Ambarawa bersama orang itu untuk membuktikannya. Memang, rumahnya yang berupa gubuk kecil masih berdiri utuh di tengah puing-puing bekas kebakaran. Pengembalian wayang Srikandi disertai pesan, agar bayi yang akan lahir diberi nama Arjunawiwaha. Karena dirasa kurang sreg, maka dicarikan kata lain, dengan tetap memasukkan nama Arjuna. Akhirnya, didapatlah nama Herjuno Darpito. Setelah dewasa, anak ini diberi gelar Kangjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi." KGPH H. Mangkubumi, S.H. mempunyai beberapa jabatan. Di samping sebagai Direktur Utama PT Punokawan yang bergerak dibidang jasa konstruksi, juga Presiden Komisaris Pabrik Gula Madukismo, Ketua Umum KADINDA, Ketua DPD Golongan Karya Daerah Istimewa Yogyakarta serta anggota DPR RI. KGPH H. Mangkubumi, S.H. juga merupakan raja Mataram pertama yang menyadang gelar "haji" di depan namanya. Aktif memberikan ceramah di berbagai pengajian, sekaligus juga memiliki toleransi yang besar terhadap kepercayaan agama lain. Hal ini tercermin pada saat peringatan 40 hari dan 100 hari wafat ayahandanya. Beliau menyediakan banyak tempat di Keraton bagi kelompok-kelompok keagamaan yang akan menyelenggarakan doa bersama. Kelompok Islam, Hindu, Budha, Katolik, dan Protestan, masing-masing disediakan tempat yang menampung ribuan umat. KGPH H. Mangkubumi, S.H., alumnus Universitas Gajah Mada ini, menikah dengan Taty Drajat, yang kemudian bergelar BRAy Mangkubumi. Calon permaisuri ini lahir tanggal 31 Oktober 1952 dari keluarga Kol.(Purn.) Soepono Pranoto Digdosastro, mantan direksi PINDAD di Bandung. Pernah kuliah di Universitas Trisakti, Jakarta BRAy. Mangkubumi juga aktif di berbagai organisasi. Sebagai Ketua Himpunan Wanita Karya DIY, Ketua PERWOSI DIY, Ketua Yayasan Jantung Sehat DIY, Ketua PAPMI DIY, juga masih sempat berkiprah di Yayasan Sayap Ibu cabang Yogyakarta. Patut dicatat, ditengah kesibukannya di berbagai organisasi dan memberikan ceramah, BRAy. Mangkubumi adalah seorang ibu yang bijak bagi kelima orang putrinya. RAj. Norma Lita Sari RAj. Nurma Gupita RAj. Nurkam Nari Dewi RAj. Nur Abra Juwita RAj. Nur Astuti Wijareni. Pada upacara Jumenengan ini, BRAy. Mangkubumi dinobatkan menjadi permaisuri, bergelar Kangjeng Gusti Ratu. Kini, Sultan Haengku Buwono X telah dinobatkan. Beliau mulai melangkah untuk mewujudkan haapannya: "Tahta Bagi Kesejahteraan, Kehidupan Sosial dan Budaya Rakyat". Suatu tugas yang tidak ringan. Namun, berbekal pengalaman dan kemampuan beliau, serta ajaran para leluhur, harapan itu tidaklah mustahil. Akankah wayang pusaka kelima -- yang terakhir -- ditemukan pada masa Hamengku Buwono X bertahta? Sehingga, seperti yang telah diramalkan oleh Hamengku Buwono I, Yogyakarta akan menjelma menjadi "negara yang makmur dan sejahtera".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus