SETELAH meninggal, "gaya hidup" orang ternyata bisa menjadi lebih wah. Malah bisa menggusur orang yang masih hidup. Contoh yang gamblang, makam-makam megah di Cikadut, Bandung dan kuburan Batak di Tapanuli Utara. Selain pada upacara penguburan, kemewahan itu terlihat dari luas mandam pekuburan, keindahan bangunan dan bahan yang digunakan. Pemakaman Cina di Cikadut, daerah perbukitan sebelah timur Bandung, mungkin menjadi pemakaman umum yang termewah di Indonesia saat ini. Buktinya, di areal 100 ha itu terdapat banyak makam mewah yang bisa bikin mata melotot. Arsitektur dan pertamanannya indah dan anggun bak istana dongeng. "Tanah yang disediakan Pemda Kabupaten Bandung di Cikadut untuk pekuburan sudah habis sejak 1978," kata Yaya Sunarya, petugas Pekuburan Cina Cikadut, "Tapi tetap saja banyak orang yang menguburkan keluarganya di Cikadut. Mereka membeli tanah di sekitar makam dengan harga mahal." Sebenarnya, izin yang diberikan Pemda adalah bangunan makam dengan ukuran standar. Tapi lihatlah sebuah contoh. Bangunan tambahan senilai 300 juta rupiah membuat makam seluas 20 X 30 meter itu akhirnya menjadi taman impian. Makam dengan pilar motif naga, dan kubah dengan ornamen khas Cina, di tengah pertamanan yang elok, memang mampu menimbulkan rasa tenteram dan damai. Pantas kalau Pemda Bandung memungut pajak kemewahan untuk bangunan makam yang megah itu. Lain lagi di tanah Batak, Kabupaten Tapanuli Utara. Di sepanjang jalan yang kita lalui, dengan mudah dijumpai makam dengan bentuk khas Batak. Yaitu berupa rumah adat dengan ragam hiasnya, atau patung perkasa yang menjulang tinggi. "Bagi kami, menghormati nenek moyang adalah kewajiban yang sulit kami tolak," kata Rosmaida Manurung Silalahi. Ia ditemani tiga anggota keluarganya yang datang dari Jakarta dan Palembang. Mereka pulang kampung untuk membenahi makam keluarga. Demikianlah, ribuan keluarga Batak punya kebiasaan pulang kampung setiap tahun. Untuk merawat makam keluarga. Misalnya yang dilakukan keluarga Sinurat di Huta Julu, 204 km dari Medan. Di atas tanah seluas setengah hektar, mereka membangun makam setinggi 12 meter, dengan biaya 300 juta rupiah. "Anehnya, abang kandung dari yang terkubur di situ malah hidup prihatin di rumah gubuk," kata penduduk di sekitar itu. "Menghormati nenek moyang tidak mesti dengan membangun makam yang berbiaya ratusan juta. Uang itu hanya menjadi batu," komentar Aibiden Tambunan, petani di Lumban Julu. "Lebih baik dibelikan pupuk atau membuat irigasi," sahut Lindang Simarmata, seorang mahasiswa di Medan. Dan apa kata kepala Museum Sumatera Utara, M. Marpaung? "Nama nenek moyang bisa diabadikan dalam bentuk rumah sakit atau sekolah." Adapun cara pengusaha beken T.D. Pardede mungkin lebih baik. Untuk almarhumah Hermina istri tercinta, dibangunnya makam mewah dari marmer Italia, di halaman rumah sakit yang bersisian dengan kampus perguruan tinggi miliknya.BP, Riza Sofyat, Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini